.


.

White Lotus

(third part of White trilogy)

.

Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I take no profit of this and all the characters inside. All of the purpose for making this is just for fun and entertaining.

Uzumaki Naruto/Hyuuga Hinata, T, Adventure/Romance

© kazuka, september 15th, 2013

.

.

"Di sinilah semuanya yang baru dimulai. Kehidupan baru, asam-manis kehidupan yang baru pun telah siap dikecap. Apa saja yang akan terjadi setelah diselenggarakannya pernikahan Sang Hokage dan Sang Pewaris Souke?"

.


.

Namanya Hyuuga Hinata. Desember tahun ini ia akan berusia dua puluh tahun. Rambut biru lembutnya kini telah melebihi tengah punggung, panjang menjuntai ke pinggang dan sekarang ia lebih suka mengikatnya jika sedang terlibat dalam sebuah misi besar.

Dia sedang kerepotan memindahkan beberapa barang pajangan dari ruang utama menuju ruang lain yang terletak di bagian agak belakang dari rumah keluarga ini. Rambut panjangnya ia ikat tinggi-tinggi dan sesekali ia mengelap keringat yang membasahi kening serta poninya.

"Hanabi, tolong bersihkan kamarku sekali lagi, ya?" pintanya lembut pada sang adik, "Bibi Yuko memintamu untuk memastikannya lagi bahwa ruang itu benar-benar bersih."

"Baik, neesan," Hanabi menurut dan menyambut sapu yang diberikan Hinata padanya.

"Shi, dimana kau taruh bunga yang harusnya ditaruh di sini? Dipasang sekarang saja, ya?" ia beralih perhatian pada salah satu keponakannya—yang sebenarnya sedikit lebih tua darinya dan menunjuk bagian bingkai pintu depan.

"Sebentar, Hinata-san, kutaruh di kamarku, takut adik akan memainkannya. Kuambil dulu, ya."

Hinata mengangguk. Wow, malam ini semuanya begitu repot, ya? Padahal anggota keluarga Hyuuga banyak, tapi kenapa 'pekerjaan' ini tidak selesai-selesai bahkan saat H-1 dari acara?

"Hinata-sama, kenapa kau ikut menyiapkannya juga? Biar kami yang bekerja."

. . .

Namanya Hyuuga Neji. Satu tahun lebih tua dari Hinata dan setiap kali ia memikirkan tentang kehidupannya, ia selalu bersyukur. Kesempatan kedua adalah keberuntungan terbesar yang pernah ia miliki.

Setelah satu kali 'terbunuh' dalam perang, ia mendapatkan kesempatan satu kali lagi untuk menjalani hidup karena jurus jitu. Bukan, bukan semacam jurus yang dimiliki Nagato untuk menghidupkan kembali orang-orang yang dibunuh dengan Rinnegan—tapi ini adalah sebuah pengembangan jurus medis yang luar biasa yang dilakukan oleh Tsunade dan Shizune.

Energi kehidupan dari Hokage Pertama yang tersimpan dalam tubuh Juubi bisa mereka ubah menjadi nyawa kehidupan untuk orang-orang yang terbunuh dalam perang. Tidak semua korban bisa diselamatkan dengan jurus ini—namun Neji adalah termasuk yang beruntung.

Namun, bukan berarti tanpa konsekuensi. Ia bisa tetap hidup, tetapi dengan keadaan tubuh yang lebih lemah dari sebelumnya—yang tidak memungkinkannya untuk menjadi jounin kembali dan ... yah, mau tidak mau ia hanya menjadi penjaga internal keluarga Hyuuga dan tidak bisa bekerja keras dalam misi-misi seperti sebelumnya lagi.

"Hinata-sama, kenapa kau ikut menyiapkannya juga? Biar kami yang bekerja."

"Aku tidak mungkin merepotkan kalian," senyum Hinata pada sepupu yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya sendiri itu, "Tidak apa-apa, 'kan?"

"Tapi kau tidak boleh kelelahan. Acaranya diadakan besok."

"Tidak apa," Hinata menaiki sebuah bangku kecil, dan menempatkan sebuah rangkaian bunga yang baru diberikan oleh keponakannya tadi. "Naruto-kun juga sedang bekerja keras malam ini di kantornya, aku tidak boleh diam saja kalah dengannya."

Neji hanya menghembuskan sebuah nafas tanda keheranan. Perempuan ini benar-benar menjadikan Naruto sebagai inspirasinya.

"Ada yang bisa kulakukan?" Neji menawarkan diri, "Aku baru selesai—"

"Nejiiii—bisa tolong aku memindahkan meja-meja ini tidaaaak?"

. . .

Namanya Tenten. Seusia Neji dan—oh, koreksi, koreksi. Namanya Hyuuga Tenten. Resmi menyandang marga itu sejak dua setengah tahun lalu, tak lama setelah Neji benar-benar pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Suatu keputusan yang diambil Neji karena dia berpikir, ia tak mau lagi kehilangan kesempatan untuk seseorang yang ia kagumi.

Sebab Neji yang sudah tak bisa menjadi ninja lagi, Tenten-lah yang lebih sibuk sebagai seorang kunoichi. Dia berusaha keras untuk lulus menjadi jounin agar bisa mendapat lebih banyak misi yang dihargai tinggi. Sekadar menambah cadangan finansial dirinya dan Neji selain 'bagian' yang diberikan keluarga Hyuuga untuk mereka.

Dia tak banyak berubah, masih dengan keceriaannya yang seperti dulu dan penampilan yang tidak memiliki definisi berbeda dari ia semasa menjadi chuunin dahulu. Rambut cokelat yang diikat menjadi dua cepol di puncak kepala dan koleksi baju bermodel cheongsam-nya yang selalu ia pakai setiap hari.

"Nejiiii—bisa tolong aku memindahkan meja-meja ini tidaaaak?" panggilnya pada sang suami—ia sedang berada di ruang tamu dan ternyata ia diminta untuk memindahkan meja-meja yang di sana karena ruang itu akan dipakai untuk para tamu terhormat dari negara lain.

"Baik," Neji menyahut. "Aku ke depan dulu, Hinata-sama."

"Iya. Hati-hati, Neji-niisan, jangan terlalu memaksakan dirimu."

"Ya, aku tahu," Neji menjawab. Kadang ia capek diperlakukan seolah dialah yang 'harus dilindungi', tetapi mau apa lagi? Kondisi fisiknya memang tak pernah sama lagi seperti yang sebelumnya.

"Hnnggg, tidak usah, deh!" Tenten cengengesan ketika Neji datang untuk memberikan pertolongan. "Aku bisa sendiri. Kau sudah capek membantu Hiashi-sama, 'kan? Hehe, kau istirahat saja. Duduklah di sana, kalau sudah selesai nanti biar kuminta bibi di dapur membuatkan teh untukmu."

"Tapi ..."

"Sudah, jangan ada tapi," Tenten mengangkat salah satu meja itu sendiri. "Duduk. Kau baru boleh bekerja lagi kalau keringat di pelipismu itu sudah kering."

"Tenten ..." Neji sesungguhnya ingin mengelak, namun ia menyerah pada sorot mata memohon yang disiratkan wanita itu. "Baiklah. Terima kasih sudah mengerti."

"Itu kewajibanku, 'kan?" Tenten berlalu sambil tersenyum.

Ya, bukan hanya Neji yang merasa beruntung dengan garis takdir kehidupannya; Tenten juga. Karena dengan hal itu, mereka bisa menjalani sebuah lembar baru dimana mereka saling mengikat satu sama lain, atas nama kasih sayang.

"Haaaloooo, maaf aku terlambaaat! Ehehehehe~~"

. . .

Namanya Uzumaki Naruto. Berstatus sebagai Hokage keenam sejak satu setengah tahun lalu. Masih dengan kepribadian dan pembawaan yang sama seperti dahulu. Takdirnya sudah berbalik dari seorang bocah yang dikucilkan menjadi pemuda luar biasa yang dikagumi dan diakui seluruh desa.

Satu impiannya sudah tercapai. Satu misi terbesar dalam hidupnya telah sukses—membawa lagi sahabatnya dari jurang kegelapan. Dan tahun ini, ia ingin mewujudkan salah satu tujuan hidupnya, memiliki keluarga yang ia cintai dan bisa ia lindungi seperti ia melindungi Konoha.

Surai kuningnya tak berubah, ia juga tidak mau menanggalkan pakaian bernada oranye dari kesehariannya—namun sekarang selalu ditambah dengan jubah panjang bermotif api dengan kombinasi warna merah-hitam, mirip seperti yang disandang ayahnya dahulu.

"Haaaloooo, maaf aku terlambaaat! Ehehehehe~~" ia datang dengan kehebohan, melepaskan sandalnya di bawah teras dan melambai pada semuanya.

"Selamat datang, Hokage-sama," para anggota keluarga Hyuuga yang berada di luar menyapanya sopan dan formal. Mereka tampak hormat, meski kedatangan Naruto barusan adalah suatu hal yang lebih menjurus pada 'keributan'.

Neji hanya menggelengkan kepala dengan heran.

"Oh, hai, Neji!" Naruto masuk ke ruang tamu dan menemukan calon kakak iparnya di sana. "Mana Hinata?"

"Hinata-sama di dalam," Neji berujar datar. "Kukira kau tak akan datang malam ini."

"Heee, yang benar saja! Ini 'kan pernikahanku sendiri, masa aku tidak datang dimalam persiapannya?"

"Bukannya Gaara dan yang lain datang malam ini?" Neji menghela, dia melipat tangan dan bersandar pada tembok. "Kau tidak menyambut mereka?"

"Mereka datang lebih cepat hari ini, tadi sore sudah sampai. Jadi malam ini aku hanya menyambut Paman Bee dan rombongan Raikage. Juga menitipkan pesan untuk Sasuke dan Shikamaru tentang pekerjaanku supaya aku bisa cuti dengan tenang selama dua hari setelah acara."

"Hn," Neji hanya menjawab singkat untuk celotehan panjang Naruto. "Hinata-sama mungkin menunggumu di dalam."

"Baiklaaah! Hinataaaa!"

. . .

"Hei!"

"O-oh, Naruto-kun? Kupikir ... kau tidak akan datang lagi. Bukannya sibuk? Apa pekerjaanmu tidak apa-apa kalau ditinggal?"

"Semua sudah beres," Naruto mengacungkan jempolnya, menatap gadisnya dengan penuh rasa senang, "Aku bisa pulang lebih cepat. Aku mau membantu di sini."

"Sudah akan selesai, sih," Hinata menatap sekeliling ruangan yang telah bersih dan rapi, serta dihias dengan dekorasi yang cukup manis. "Hanya tinggal menyingkirkan beberapa barang dari ruang depan. Tapi sepertinya Tenten-neesan dan yang lain sudah hampir selesai."

"Wah, aku benar-benar terlambat sepertinya," Naruto menggaruk belakang kepalanya, mengubah raut wajahnya menjadi sedikit merasa bersalah. "Oh, iya, iya, aku lupa! Pakaian untuk besok mana? Harus kucoba dulu, nih—untung aku ingat, ya, hahahaha kalau tidak, besok pagi aku pasti kerepotan dan yang lain pasti memarahiku, hahaha~!"

"Ada di kamarku, Naruto-kun. Ayo."

Langkah mereka berdua beriringan, Hinata di depan dan Naruto di belakang. Sesekali, ketika bertemu anggota keluarga Hyuuga yang lain—Naruto harus membalas penghormatan mereka dengan membungkuk sesaat. Ah, bahkan ia melihat keponakan dan sepupu-sepupu Hinata yang masih kecil memanggilinya dengan nyaring.

Hinata menggeser pintu kamarnya yang telah terbuka seperempat. Hanabi ternyata masih di dalam, dan tampaknya ia mengerti. Sambil tersenyum kecil, ia keluar ruangan dan membiarkan kakak serta calon saudara iparnya itu memasuki kamar.

"Ini," Hinata mengeluarkan sepasang pakaian pengantin khas Jepang dengan warna yang senada, setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori untuk Naruto, dan hanayome ishō yang terdiri dari furisode dan uchikake yang juga serba putih.

"Haaaa," Naruto mengambil miliknya dengan sebuah cengiran cerah terpampang di wajah, kemudian ia mencoba mengepaskannya dan merefleksikan diri di cermin. "Baguslah, sudah pas. Untung saja mereka mengecilkannya dengan tepat."

Hinata baru ingat, bahwa pakaian itu sempat dirombak ulang karena ukurannya terlalu besar untuk Naruto.

Di kepalanya, Hinata mengulang lagi semua kejadian-kejadian beruntun dimulai dari selesainya perang, dua tahun lalu, satu tahun lalu, dan sebulan yang lalu, kemudian minggu lalu—semua yang berkaitan dengan tahapan hubungannya dengan Naruto.

Semua yang ia bayangkan dahulu ... akan terwujud besok. Hampir tidak dapat ia percaya, namun memang begitulah adanya. Itu adalah mimpi yang telah siap untuk ia genggam, dan sebuah rajutan kisah baru akan ia mulai bersama Naruto—pemuda yang telah mengisi hidupnya sejak ia masih kanak-kanak.

"Kau melamunkan apa?" tahu-tahu tangan Naruto sudah berada di pundaknya, melingkar memagut dirinya dari samping. "Kau gugup?"

"Te-tentu saja ..." 'penyakit' Hinata mulai kambuh, ia tidak bisa mengatur cara bicaranya dengan baik. "Naruto-kun—" Hinata tak bisa melanjutkan tuturannya, sebab mata Naruto menatapnya begitu intens. Kata-katanya seolah menguap begitu saja, dihisap oleh sorot mata Naruto saat memandanginya.

"Aku juga gugup," Naruto mematahkan pandangan itu dengan melempar perhatian ke sisi langit-langit. "Tapi, ini adalah sesuatu yang membahagiakan, bukan?"

"Kau benar ..." Hinata menunduk. "Terima kasih, Naruto-kun."

"Terima kasih untuk apa?" Naruto menatap Hinata lagi, tangannya semakin erat merangkul tubuh gadis itu. "Akulah yang harus—"

"Terima kasih karena telah menjadi dirimu sendiri yang kukagumi. Terima kasih sudah memilihku—dan terima kasih ... telah mencintaiku," Hinata memejamkan matanya sambil tersenyum. "Terima kasih telah setuju untuk mewujudkan mimpiku besok ..."

"Kau ini lucu," Naruto mengacak poni Hinata, "Yang 'setuju' itu kau. Kau yang mengatakan 'ya' waktu aku melamarmu. Aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Berterima kasih karena kau sudah menjadi perempuan yang selalu ada untukku."

"Selalu ada?" Hinata mengulang kalimat itu dengan sedikit nada pesimistis. "Aku ..."

"Waktu sebelum ujian chuunin berlangsung, kau menyemangatiku sebelum aku bertanding. Waktu aku disudutkan oleh Pein, kau yang datang menolongku. Waktu aku hampir putus asa dan diajak Obito sialan itu, kau menamparku dan mengajakku untuk bangkit lagi. Waktu bahuku cedera saat kita sudah akan menyerang Obito dan Madara—kau yang menyembuhkanku ... kau memang tak setiap hari bersamaku, tapi kau selalu ada untukku saat aku membutuhkan. Saat aku benar-benar perlu kekuatan."

"Suatu kehormatan bagiku ... untuk menjadi seseorang yang berharga untukmu," Hinata memberanikan diri untuk mengangkat kepala, dan membalas tatapan Naruto.

"Ya, Hinata," Naruto kemudian tersenyum dengan penuh daya pikat. "Aku menyayangimu," ia mengucapkannya dengan lembut, dan kemudian mengecup kening Hinata dengan mata terpejam, mengatakan dengan bahasa tubuhnya bahwa ia benar-benar serius akan kalimatnya.

"Aku juga, Naruto-kun ..."

. . .

x

. . .

Semua sudah berkumpul, pihak mempelai wanita dan mempelai pria. Naruto duduk di sisi yang berseberangan dengan pihak Hinata. Bersamanya ada Kakashi dan Tsunade di sisi kanan, lalu ketiga sahabatnya berjejer tepat di sisi kirinya, Sasuke, Sakura dan Sai.

Sesekali Naruto mencuri pandang ke depan, mengamati mempelainya yang kadang membalas tatapannya pula—dengan malu-malu.

Hei, apa dia pernah merasakan bahagia yang semanis ini? Hm, ia merasakan perasaan yang kurang-lebih serupa ketika bertemu untuk pertama kali dengan Minato dan Kushina—namun yang kali ini tidak persis sama. Disamping bahagia, ia juga kadang merasakan debaran yang tak karuan, tak sama dengan gugup biasa.

Sedikit pula ia merasa takut—takut tak bisa mengemban tanggung jawab yang sebentar lagi harus ia jaga. Was-was apakah semua akan berjalan lancar, juga turut terasa. Kompleks, pokoknya. Tak bisa terdeskripsi dengan jelas.

Hanya tinggal menunggu sang pendeta, maka acara akan bisa segera dimulai. Naruto merasa dia dan rombongannya datang terlalu cepat, sekarang bahkan masih terhitung kurang lima menit dari waktu acara yang dijanjikan. Hm, sayangnya ia tidak bisa bergerak bebas untuk membunuh bosan, sebab ini adalah acara formal.

Ah, dekorasi ruangan kali ini kesannya begitu suci—Naruto perhatikan dari sudut ke sudut. Sedikit banyak Hinata berperan dalam memilih hiasannya. Selera wanita itu benar-benar menggambarkan pribadinya, ya? Terlihat dari—

Deg.

Dahi Naruto berkerut.

Kenapa ia merasakan sebuah 'keberadaan' yang aneh? Seperti ada hawa yang tak baik menyusup ke dalam atmosfer ini.

Apa cuma dirinya yang menyadari?

Ditolehkannya kepala ke kiri. Dan kebetulan sekali! Sasuke juga sedang melihat padanya dengan ekspresi sedikit curiga.

"Aku juga merasakannya," Sasuke sudah seolah mengerti dengan isyarat pandang Naruto.

Naruto mengangguk, dan dibalas Sasuke dengan hal serupa. Pelan sekali, bahkan mungkin orang-orang di ruangan itu tak menyadari.

"Sensei," panggil Naruto, berpaling ke kanan. "Apa aku boleh keluar sebentar?"

"Untuk apa? Pendeta sebentar lagi datang."

"Aku mau ke ... ke ... toilet!" Naruto beralasan sambil berupaya sebisa mungkin meredam suaranya.

"Seingatku kau baru melakukannya sesaat sebelum berangkat tadi."

Duh! Naruto ingin menepuk jidatnya karena merasa kepayahan sebab alasannya tak mempan—tapi sayang, diurungkannya. Takut terlihat tak sopan di hadapan para tetua Hyuuga.

"Apa kau benar-benar tidak bisa menahannya? Atau kau terlalu gugup?" selidik Kakashi.

Naruto jadi gelisah sendiri. Ia cuma ingin keluar sebentar untuk mengecek keadaan—tapi sepertinya alasannya kurang kuat.

"Tenanglah, penjagaan cukup ketat, kau lupa? Lima ANBU bawahan Sai menjaga lima titik penting di sekeliling rumah," Kakashi menambahkan. Aha, tentu saja ia menyadarinya. Dia Hatake Kakashi, bukan? Ninja bertingkat jounin yang sudah punya pengalaman yang mumpuni.

Naruto agak kaget bahwa Kakashi juga mengerti tentang hal ini—tapi kemudian ia menyadari fakta bahwa orang ini adalah gurunya. Ia menghembuskan nafas yang agak panjang, kemudian mengangguk pelan. "Baik. Aku mengerti."

Baru saja Naruto menyelesaikan kalimatnya, ternyata yang ditunggu sudah datang—satu orang pendeta beserta tiga orang pengawal yang ditugaskan untuk menjemputnya.

"Sudah hampir mulai, Naruto. Hilangkan ketakutanmu, kau akan menghadapi hari bahagiamu hari ini. Ada aku, Sasuke, Sai dan yang lain."

Hatinya mulai sedikit tenang ketika mendapat ceramah singkat sang guru. Ia tersenyum mantap, dan sekali lagi ia berikan anggukan. "Terima kasih, Kakashi-sensei."

Dan inilah mula untuk Naruto. Membawa seorang putri Hyuuga ke dalam marganya, menggabungkan titel Hokage dan Pewaris Utama Souke Hyuuga. Mewujudkan sebuah cerita baru tentang cinta yang ia persembahkan untuk belahan jiwanya.

Ya, 'cerita baru', yang tak akan dia ketahui akan seperti apa jadinya nanti.

.

.

.

| t b c |

.

A/N: halo halo halo semuanyaaa, apa masih ingat sama trilogi White aku? hahaha udah lama ya rasanya dari part keduanya. maaf baru bisa di-post sekarang. yeah, penyebabnya adalah beberapa hal yang kebanyakan kalau disebut di sini~ ini baru prolog, jadi maklum ya kalau 'belum kelihatan apa-apanya', muehehe. termasuk alasan di balik judulnya. so, tunggu aja nanti~

ah, lalu, maaf ya, mungkin aku nggak bisa terlalu sering update. aku nge-handle penpik di tiga tempat sekaligus (FNI, FSnKI, dan blog pribadi), belum termasuk project pribadi dan hal2 yang berhubungan sama kuliah hukshukshuks dimohon pengertiannya ya ;_; doakan pengetikannya lancar sampe ficnya tamat ehehe~

terima kasih udah baca! n_n kalo ada yang salah ketik/kata yang kurang tepat di sini, jangan sungkan kasih tau ya, biar cepat2 diperbaiki n.n