Disclaimer © Tite kubo

(Bleach bukan punya saya)

Un amore

by

Ann

Warning : AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo, Gaje (Mungkin juga…)

Nggak suka? Bisa tekan 'Back' atau 'Close'

dan

Selamat membaca…

Semua orang menginginkan akhir yang bahagia. Namun, terkadang untuk mencapai sebuah akhir bahagia ada pengorbanan yang harus dilakukan, ada sakit yang harus dirasakan. Tetapi bahkan setelah melalui semua itu, mungkin saja akhir bahagia itu tetap tak didapat.

Chapter 15 : Sebuah Akhir

...

Rukia membeku di tempat tak diacuhkannya kotak makanan yang jatuh membentur lantai. Otaknya masih mencoba mengolah informasi yang baru saja masuk ke indera dengarnya, sedang hatinya berusaha mati-matinya menolak informasi itu. Ia tak ingin percaya. Sungguh... itulah yang ingin ia lakukan. Menutup telinganya rapat-rapat dan pergi menjauh. Melupakan semua kejadian ini, lalu bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Ia akan melanjutkan rencana pernikahannya dengan Ichigo, menikah, tinggal di sebuah rumah berlantai dua dengan taman bunga kecil yang ia rawat sendiri, lalu mempunyai anak-anak, keluarga kecil mereka akan bahagia. Ya, mereka akan hidup bahagia. Namun, semua itu salah. Hanya impian semu yang Rukia khayalkan di alam pikirnya. Semua mimpi itu tak akan pernah menjelma menjadi kenyataan, tak akan pernah menjadi masa depan baginya, karena masa depan Ichigo bukanlah bersamanya. Masa depan Ichigo ada bersama Orihime Inoue dan bayi yang dikandungnya.

Sepagian ini ia begitu bahagia, begitu bersemangat untuk bertemu dengan Ichigo. Begitu banyak kebahagiaan yang melingkupinya, sampai ia lupa mempersiapkan diri untuk kemungkinan datangnya gangguan bagi kebahagiaan itu. dan benar saja, gangguan itu datang dikala ia merasakan puncak kebahagiaannya. Seketika Rukia merasa tubuhnya menggigil, seolah angin musim dingin menyapanya, padahal sekarang masih akhir musim panas. Kedua tangannya terangkat, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mengusir rasa dingin yang menusuk itu. Lalu ia melihat cincin itu. Cincin pertunangan yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Amethyst itu berkilau tertimpa cahaya.

'Rukia... mulai sekarang kumohon jangan meragukanku.'

Kata-kata Ichigo terngiang di benaknya. Seketika mengusir rasa dingin yang melingkupinya.

'Aku hanya ingin kau memercayaiku, itu sudah cukup.'

Percaya... Bukankah ia sudah berjanji untuk memercayai Ichigo? Bukankah ia sudah menyakinkan diri untuk tidak akan meragukan pria itu? Lalu apa yang sekarang ia lakukan? Berdiri di luar pintu, dan membiarkan Orihime Inoue berkata seenaknya? Mengatakan sesuatu yang bisa saja hanyalah sebuah dusta. Ia harus memastikan kebenaran. Dan kebenaran itu harus ia dengar dari mulut Ichigo sendiri. Jika setelahnya kebenaran itu akan mengoyaknya, menghancurkan hatinya, meluluhlantahkan harapannya, biarlah itu terjadi, ia akan memikirkan cara mengatasinya nanti. Sekarang yang harus ia lakukan adalah mencari sebuah kebenaran.

...

Sementara itu di dalam ruang kerja Ichigo:

Tak ada seorang pun yang berbicara setelah penyataan lantang dan mengejutkan dari Orihime. Detik-detik berlalu sementara Tatsuki hanya bisa menatap tak percaya sahabatnya itu, sedang Ichigo menatap lurus pada Orihime, dahinya berkerut tak senang, matanya semula terlihat terkejut, namun seiring waktu berubah menjadi tatapan marah.

"Permainan apa lagi yang coba kaulakukan?" ujarnya dingin.

"P-permainan?" Bibir Orihime bergetar mendengar nada dingin yang dilontarkan Ichigo padanya. "A-apa kau pikir aku membohongimu, Kurosaki-kun?" Ia memucat, tangannya terangkat menyentuh dada.

"Kau sudah pernah membohongiku, kenapa kau tidak bisa melakukannya lagi?" Ichigo bersidekap. Matanya menatap tajam pada Orihime. "Lagipula, Inoue..." ujarnya lambat-lambat. Ia melangkah mendekati Orihime, berhenti tepat selangkah di depan wanita itu. "Kalaupun kau tidak berbohong tentang kehamilanmu, itu tidak mungkin anakku." Ia menambahkan dengan yakin.

"Ichigo, kau tidak boleh seperti itu!" Tatsuki yang sejak tadi diam akhirnya buka suara.

"Seperti apa, Tatsuki?" Ichigo menoleh pada Tatsuki. "Apa maksudmu aku harus menerima saja apa yang dia katakan?" Ia menunjuk Orihime. "Dia berbohong! Dia tidak sedang mengandung anakku!" serunya lantang. "Benarkan, Inoue?"

Orihime mundur selangkah, menjauh dari Ichigo yang terlihat siap meremukkannya karena begitu murka.

"Jangan sekasar itu padanya!" Tatsuki beranjak ke depan Orihime, melindunginya dari amukan Ichigo. Orihime langsung menempel padanya, bersembunyi. "Aku tidak tahu ternyata kau seperti ini, Ichigo," semburnya. "Harusnya kau bertanggung jawab dengan apa yang sudah kau lakukan."

"Memangnya apa yang kulakukan?"

"Orihime hamil, dan kau yang bertanggung jawab. Kau ayah anak itu."

"Apa?! Aku?! Yang benar saja? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak pernah kulakukan?"

Orihime makin merapatkan dirinya pada Tatsuki, dan berbisik dengan memelas, "Tolong aku..."

"Dasar laki-laki," Tatsuki menggerutu. "Kalian selalu beralasan saat harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian."

Ichigo sudah membuka mulut untuk membalas kata-kata Tatsuki. Namun, sebelum ia sempat bicara, pintu terbuka lebar dan menampilkan sosok Rukia di ambang pintu. Semua mata tertuju pada putri Byakuya Kuchiki itu. Sedang gadis itu menatap tajam pada Orihime, yang segera menunduk, enggan membalas tatapannya.

Ichigo segera bergerak menghampiri tunangannya. "Rukia..."

"Sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat ya?" Rukia yang semula menatap Orihime, mengalihkan pandangannya pada Ichigo.

"Kau mendengar semuanya?" tanya Ichigo hati-hati.

"Tidak juga." Rukia mengangkat bahu, berusaha terlihat tak terganggu namun usahanya tidak terlalu berhasil. Ichigo masih dapat melihat tangannya yang gemetar. "Aku datang saat dia..." ia menunjuk Orihime. "Berteriak kalau dia hamil."

Wajah Ichigo berubah pias. Kerutan di dahinya semakin dalam. "Apa kau percaya padanya?"

"Apa kau melakukannya?" Rukia balik bertanya. Terlihat raut bingung di wajah Ichigo. "Apa kau membuatnya hamil?" Rukia memperjelas pertanyaannya.

Ichigo menggeleng. "Aku tidak pernah menyentuhnya seperti itu," ia menjawab.

"Jadi, dia berbohong?" Rukia bertanya lagi.

"Aku tidak berbohong." Inoue kembali bersuara. "Anak ini memang—"

"Aku tidak bertanya padamu, Inoue." Rukia melirik Orihime, memperingatinya bahwa sekarang bukan saatnya wanita itu berbicara. "Jadi, apa dia berbohong, Ichigo?" Ia kembali pada Ichigo.

"Tentu saja dia berbohong," Ichigo menjawab dengan sangat yakin.

"Bayi itu bukan bayimu?"

"Bukan."

Rukia menelengkan kepala, menatap Ichigo dengan pandangan menilai. Mungkin saja Ichigo membohonginya. Mungkin saja Orihime mengatakan hal sebenarnya. Mungkin saja... Stop! Hentikan! Rukia memperingati diri sendiri. Aku sudah memutuskan memercayai Ichigo. Jadi, aku akan memercayainya. Jika Ichigo berkata anak itu bukan anaknya, berarti itulah yang akan ia percayai.

Rukia menarik napas dalam. "Aku..." ia mulai berkata, "...percaya padamu."

Sudut-sudut mulut Ichigo mengurva, membentuk senyum yang mewakili perasaan lega yang ia rasakan. Kerutan di dahinya pun menghilang, warna kembali menghiasi wajah tampannya. "Terima kasih," ia berucap. Jemarinya terangkat untuk membelai sisi wajah Rukia.

"TIDAKKK!"

Teriakan histeris itu kembali terdengar, diikuti terjangan yang mengarah pada Rukia. Ichigo dengan sigap bergerak untuk melindungi kekasihnya. Menjadikan tubuhnya sebagai tameng saat Orihime menyerang dengan membabi buta.

"Hime!"

Tatsuki segera bergerak untuk menghentikan Orihime, mengunci pergerakan wanita itu agar tidak melukai siapapun. Namun ia sedikit terlambat, kuku-kuku cantik berwarna-warni milik Orihime sudah meninggalkan jejak, sayangnya bukan di sasaran yang ia inginkan, melainkan di pipi kiri Ichigo. Tiga goresan panjang dari dekat mata hingga ke bagian dagu.

Amukan Orihime mereda seketika. Wajahnya memucat, dan seketika airmatanya jatuh. "K-Kurosaki-kun..." ia terbata ketika melihat hasil kerja kuku-kuku cantiknya. "M-maaf..."

Ichigo tak mengacuhkannya dan berbalik pada Rukia. "Kau tak apa?" ia bertanya dengan khawatir.

Rukia menggeleng. Jemarinya terangkat menyentuh goresan di pipi Ichigo. "Kau yang terluka," ujarnya. "Sakit, kah?"

Ichigo menggeleng. "Bukan apa-apa. Yang penting kau tidak terluka."

"Ini harus diobati," kata Rukia.

"Nanti," sahut Ichigo. "Sebelum itu ada yang harus kita selesaikan." Ia berbalik dan melangkah mendekati Orihime yang merosot terisak di lantai. Tatsuki di sampingnya, memeluknya dengan protektif.

Ichigo menarik napas dalam. Kemarahannya menguap seketika melihat keadaan Orihime. Wanita itu tampak sangat kacau. Tubuhnya gemetaran, dan wajahnya bersimbah airmata. Ia belum pernah melihatnya seperti itu sebelumnya. "Inoue," ia memanggil dengan lembut. "Kurasa kita perlu bicara," ia mencoba berdamai.

Orihime mengangkat matanya, menatap Ichigo. "Maaf..." ia berucap lirih. "Aku tidak bermaksud melukaimu. Atau melukai siapapun... aku..." ia menggeleng pelan. "Aku tak tahu apa yang kulakukan."

"Sudahlah," Ichigo berucap. "Tenangkan dirimu, dan kita bicarakan semuanya." Ia menoleh pada Tatsuki. "Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku," ujarnya. "Sedikit-banyak, aku ikut andil membuat keadaannya seperti ini."

"Kau—"

"Tetapi bayi itu bukan tanggung jawabku," potong Ichigo cepat.

Tatsuki mengangguk. "Aku mengerti." Ia lalu fokus pada Orihime, membantu sahabatnya itu berdiri dan melangkah menuju sofa, mengambil beberapa tisu dan menyeka airmatanya. Saat ia melakukan itu sebuah gelas berisi air putih diletakkan di meja di depannya.

"Minumlah, kau akan merasa sedikit tenang setelahnya."

Tatsuki mendongak pada si pemberi minuman. Orang itu adalah Rukia. Yang meski masih terlihat sedikit kesal, masih mau repot-repot mengambilkan segelas air untuk Orihime.

"Terima kasih," ucap Tatsuki. Rukia mengangguk dan berbalik, kembali menghampiri Ichigo. Tatsuki meraih gelas dan mengangsurkannya ke mulut Orihime, memaksa temannya meminum cairan bening itu. Sambil melakukan itu, matanya memerhatikan saat kedua sejoli, di sudut lain ruangan terlibat pertengkaran kecil. Rukia memaksa Ichigo untuk pergi ke klinik untuk mengobati lukanya sementara Ichigo berkeras tidak ingin melakukannya sekarang, pria itu berkata akan pergi setelah menyelesaikan masalahnya dengan Orihime.

"Apa kau berbohong, Hime?" ia kembali menatap sahabatnya.

Orihime mencengkeram gelas di tangannya dengan erat. "A..aku..." Keraguan itu sudah menjawab pertanyaan Tatsuki.

"Kenapa?" Tatsuki bertanya lagi.

Orihime mengangkat matanya, hingga pandangannya bertemu dengan mata Tatsuki. "Aku hamil, Ta-chan," ia berbisik. Ia kembali memanggil Tatsuki dengan panggilan yang sering ia pakai saat mereka masih di sekolah menengah atas. "Aku tidak mau mengugurkannya, aku tidak mau jadi pembunuh."

Tatsuki menghela napas. "Kau tentu tidak boleh menggugurkannya, bayi itu tidak bersalah. Dia berhak hidup."

"Aku tahu..." Orihime menunduk dalam. "Tapi aku takut, aku takut membesarkannya sendirian," akunya.

"Tetapi bukan berarti kau boleh melemparkan tanggung jawab itu pada Ichigo. Ayah bayi itu bukan dia, kan?"

Orihime menggeleng. Matanya memandang ke seberang ruangan, pada Ichigo dan Rukia. Ichigo tengah duduk di kursi sementara Rukia mengobati lukanya. Beberapa kali terdengar keluhan dari mulut Ichigo, namun segera dibalas Rukia dengan kata-kata tegas yang membuat pria itu diam dan menurut.

"Aku bertemu dengannya lebih dulu, Ta-chan," Orihime berkata. "Mencintainya lebih dulu, memilikinya lebih dulu. Tetapi aku membuat kesalahan, aku egois. Aku memilih karirku dan meninggalkannya. Kupikir itu tidak apa-apa, kupikir Kurosaki-kun akan menungguku kembali. Namun, nyatanya aku salah. Gadis itu datang, masuk ke kehidupannya dan merebutnya dariku. Setelah itu aku baru menyadarinya, aku benar-benar mencintainya, aku ingin kembali, ingin memilikinya lagi." Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Dia milikku, Ta-chan. Milikku."

"Hime..." Tatsuki mencoba menyela, namun gelengan kepala Orihime membuatnya urung.

"Aku mencoba memilikinya kembali, tetapi gagal. Aku menyerah, dan mencoba menjalani kehidupan yang kupilih. Tetapi kehidupan itu semu, ambisiku menghilang, aku tak ingin lagi menggapai mimpiku, karena impianku sebenarnya adalah berada di sisi Kurosaki-kun. Kemudian aku hamil, dan saat aku mengatakan pada ayah anak ini tentang bayinya, dia berkata terserah padaku ingin melakukan apa. Dia tidak nampak ingin bertanggung jawab, dan aku memutuskan untuk aborsi. Rencananya sore ini akan kulakukan."

"Hime, kau tidak boleh." Tatsuki meremas tangannya. "Kau tidak boleh melakukannya."

Orihime hanya tersenyum dan melanjutkan kisahnya, "Lalu aku mendapatkan cincin itu. Harapanku membuncah, kukira Kurosaki-kun masih menyimpan perasaan untukku. Aku datang, dan mencoba peruntunganku. Namun, yang aku dapat adalah penolakan yang benar-benar pahit. Di sana, di dalam hatinya sudah tidak ada aku."

Tatsuki hampir menangis melihat kesedihan di wajah sahabatnya, namun ia tak bisa melakukan apa-apa. Orihime sudah kehilangan kesempatannya bersama Ichigo. Yang harus dilakukan sekarang adalah menolong sahabatnya itu melupakan kesedihan itu.

"Aku frustasi," Orihime kembali berkata. "Dan selanjutnya... kau tahu apa yang kulakukan." Ia mengangkat bahu. "Aku mencoba menghancurkan hubungan mereka." Matanya masih memerhatikan interaksi pasangan kekasih itu. Hatinya hancur, remuk redam, tetapi tak ada yang bisa ia lakukan. Pria itu bukan Kurosaki-kun-nya lagi. Pria itu adalah Ichigo-nya Rukia. "Kurasa aku harus meminta maaf pada mereka," ia mengakhiri kisahnya.

Tatsuki tersenyum. "Ya, kau harus melakukannya."

...

"Aku mengerti, jangan meminta maaf lagi," tegas Rukia. Ia mulai jengah dengan permintaan maaf Orihime yang tidak ada hentinya. "Bukankah sudah kubilang aku—maksudnya kami memaafkanmu."

"Aku sudah banyak menyakitimu, Kuchiki-san," ujar Orihime.

"Ya, tetapi itu sudah lewat," sahut Rukia. "Aku bukan tipe pendendam, Inoue. Kau sudah menyadari kesalahanmu, dan meminta maaf, itu sudah cukup bagiku."

"Kau baik sekali." Orihime tersenyum. "Kau lebih pantas bersamanya." Ia melirik Ichigo yang berdiri di dekat jendela, berjarak namun jelas masih mendengar pembicaraan mereka. Dari gestur tubuh Ichigo, Orihime tahu pria itu tengah berjaga-jaga, siap melesat ke antara ia dan Rukia jika nampak gelagat ia akan mencoba menyerang Rukia lagi. Ichigo memang menerima permintaan maafnya, namun jelas pria itu belum percaya sepenuhnya padanya.

"Aku terlalu baik untuknya," sahut Rukia penuh percaya diri. Ia melirik Ichigo yang pasti mendengar kata-katanya, tetapi pria itu tak nampak ingin mendebat atau mengutarakan sanggahan. Bahkan jika tidak salah Rukia mendengar kekasihnya itu menggumam, "Begitulah adanya."

"Apa yang akan kaulakukan setelah ini?" Ichigo beranjak dari jendela ke arah sofa, menduduki sofa single di sebelah Rukia. "Kau tidak berencana melanjutkan rencanamu untuk aborsi, kan?"

Orihime menggeleng. "Tidak. Aku sudah berbuat banyak kesalahan, dan aku tidak akan menambahnya lagi."

"Ayah anak itu bagaimana?" kali ini Rukia yang bertanya.

Orihime hanya mengangkat bahu. "Dia tidak akan terlalu peduli kurasa. Tetapi aku akan mengatakan padanya tentang perubahan keputusanku."

"Skandalnya akan besar, mengingat sekarang kau termasuk jajaran model papan atas di Jepang," ujar Ichigo.

"Aku akan berhenti jadi model, dan aku akan membesarkan anak ini."

"Aku akan membantumu." Tatsuki menggenggam erat tangan Orihime, berusaha memberi tambahan kekuatan pada temannya.

"Sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara waktu, pindah ke luar negeri akan baik bagimu," Ichigo menyarankan. "Jangan salah paham, aku tidak bermaksud mengusirmu," cepat ia menambahkan.

"Tak apa, Kurosaki-kun. Aku juga merencanakan hal yang sama. Tetapi sebelumnya aku harus membicarakannya dulu dengan Rangiku-san." Orihime teringat jika sekarang Rangiku pasti sangat mengkhawatirkannya. "Sekarang dia pasti sangat khawatir," ia menggumam.

"Kau benar, aku sangat khawatir, Hime." Orang yang dipikirkan Orihime muncul.

"R-Rangiku-san..."

"Aku yang memanggilnya," Ichigo memberitahu.

"Gadis bodoh, apa yang kaupikirkan?!" Rangiku langsung menghampiri Orihime. "Kau ini, sudah kubilang jangan melakukan hal bodoh," omelnya.

"Maafkan aku, Rangiku-san." Orihime tertunduk dalam.

"Untung saja Ichigo meneleponku..." Rangiku masih melanjutkan omelannya, kemudian ia berpaling pada Ichigo dan Rukia. "Aku minta maaf karena dia lagi-lagi mengganggu kalian. Dia sudah kuperingatkan agar membiarkan kalian, tapi dia tidak mendengarkanku. Anak nakal ini." Ia kembali menghadap Orihime dan melanjutkan omelannya yang seakan tak berujung.

"Rukia..."

Diantara suara omelan Rangiku, Rukia mendengar Ichigo membisikkan namanya. Ia menoleh. "Apa?" tanyanya tanpa suara. Ichigo meraih tangannya, menariknya pelan, memberi isyarat agar mengikutinya.

Tatsuki yang melihat keduanya melangkah menjauh hanya membiarkan saja, sementara Rangiku masih asyik mengomeli Orihime.

"Mau ke mana?" bisik Rukia.

"Makan, aku lapar." Ichigo menjawab sambil menarik Rukia keluar ruangan.

"Ah, iya." Rukia melepas genggaman Ichigo dan mendahului pria itu keluar. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu.

"Apa yang kau cari?" Ichigo bingung.

"Anu..."

"Kuchiki-san."

Rukia menoleh ke arah suara.

"Sepertinya ini milikmu." Kira melangkah mendekatinya sambil mengangkat sebuah tas kain berwarna merah ceri.

Rukia langsung sumringah, ia melangkah cepat menghampiri Kira. "Ini memang punyaku, terima kasih, Izuru-san." Ia mengambil kembali tas kain itu dari tangan Kira.

"Sama-sama," Kira menjawab. Ia menoleh pada Ichigo, mengernyit saat melihat perban di pipi kiri bosnya itu. "Apa semua baik-baik saja? Kau terluka?" Ia bertanya.

"Hanya luka kecil," jawab Ichigo tanpa menjelaskan lebih jauh.

"Kau yakin?" Kira sangsi.

"Sangat yakin," Ichigo menyahut yakin. "Lagipula lukaku sudah diobati dokter terbaik di dunia." Ia mengerling pada Rukia yang langsung membuang muka menyembunyikan wajahnya yang merona.

"Oh, begitu." Kira mengangguk lalu pergi menjauh.

Ichigo melangkah mendekati Rukia. "Jadi, itu apa?" Ia menunjuk tas yang dibawa Rukia.

"Alasanku datang ke kantormu," ujar Rukia.

Kening Ichigo berkerut. "Isinya?"

Rukia tersenyum. "Bukankah kau lapar, Ichigo?" Ia mengangkat tas kain itu dan mengoyang-goyangkannya. "Ayo kita makan. Aku membuatkan makanan kesukaanmu."

Ichigo meraih pinggang Rukia, menariknya mendekat, dan mendaratkan ciuman di pipi calon istrinya itu. "Kau memang yang terbaik, nyonya Kurosaki."

"Aku masih Kuchiki," Rukia memprotes setengah hati.

"Tidak akan lama, aku janji."

Rukia tak sabar menunggu Ichigo memenuhi janji itu. Ia segera ingin menjadi nyonya Kurosaki.

...

fin

...

Akhirnya~ Ga ada lagi tulisan bersambung, fic ini udah Tamat... Tamat... Tamat... Yokatta! *sujud syukur* Terima kasih untuk semua reader, reviewer, follower, dan kalian semua yang udah nge-fav fic ini, akhirnya penantian kalian untuk fic ini selesai. Semoga kalian menyukai akhir yang saya buat, kalaupun tidak puas ya sudahlah... apa boleh buat, yang penting saya sudah mengerahkan kemampuan terbaik saya untuk menyelesaikan kisah ini.

Sekali lagi terima kasih untuk kalian semua yang sudah membaca sampai akhir dan maaf jika ada kekurangan. Semoga kita bisa jumpa lagi di lain kesempatan. Ah, sebelum saya lupa, saya mau balas review dulu~

...

Review's review:

Aoi:

kan supaya gregetan yang bacanya. Hehe...

Rukia punya kesabaran, ketegaran, juga kepercayaan yang kuat kok, jadi tenang aja dia ga bakal hancur berkeping-keping.

Udah update nih, makasih dah mampir ya.

Guest:

Hai, makasih dah RnR ya. Hu-um, perasaan saya tega banget dah sama Rukia, disakitin mulu hatinya. *berasa jadi orang jahat*

Saya udah kelar kok ngubek2 perasaan kamu di fic ini, chapter ini yang terakhir. Tapi mungkin di fic lain saya akan bikin yg begini lagi. Mungkin loh ya...

Makasih dah RnR.

Shu:

Makasih dah RnR. udah diupdate kok ini.

Tsu:

Makasih dah mereview.

Iya, anaknya Aizen. Tapi Inoue bilangnya anak Ichigo, dia emang sedikit egois tentang itu.

Ella Mabby chan:

Ga kok, bukan kenyataan. Inoue bohong, dia Cuma terlalu stress dan frustasi makanya jadi ngomong kek gitu. Rukia kuat kok, dia bisa ngadepinnya.

Makasih dah RnR ya.

V:

Makasih dah RnR.

Cristiyunisca:

Wah, ternyata alurnya kebaca ya. Hehe...

Di fic ini karakter Inoue memang menyebalkan, tapi ga benar2 menyebalkan kok.

Ichi ga ngapa-ngapain kok sama Inoue.

Makasih udah mampir. Ini dah diupdate loh last chapternya.

silenR:

kan sengaja biar greget. Hehe... udah diupdate kok, dan ditamatin sekalian. Makasih dah mampir ya.

Liliss:

Wah, jangan dung. Saya ga bermaksud bikin kamu tambah benci sma Inoue loh. Di chapter ini, saya memasukkan pengakuan Inoue, supaya kamu ga terlalu benci sm dia lagi. Udah diupdate neh, dan berakhir dengan happy ending kok. Makasih dah RnR ya.

Rukishigo:

Hai, thanks for review.

Haha... saya bikin Inoue dibenci sepertinya. Jangan dung, kasian...

SRV:

Hai, makasih sudah mampir untuk mereview.

Saya yang ngetik juga gemes. Wkwkwk... Tapi rasanya senang udah bisa mengakhirinya. Udah dilanjut dan saya akhiri pula. Dan kali ini GPL loh. Hehe...

Chi-ya:

Thanks ya, udah RnR.

Ghost:

Halo, makasih udah mampir mereview.

Sayangnya ada. Hm... tapi saya ga tahu gimana nasibnya sekarang.

Menurut saya, saya sudah membuat akhir yang indah *lirik omake*. Saya berusaha berpegang pada kepercayaan Rukia ke Ichigo untuk mengakhiri fic ini.

Erikaa:

Hahaha... Maaf ya, bikin kamu syock. Naik darah pula, ga komplikasi kan?

Ini udah end kok, dan Rukia ga menderita lagi. Fic ini saya akhiri dengan damai.
Makasih udah mampir ya.

...

Ah... rasanya belum puas kalo belum bikin IchiRuki nikah. So, saya tambahin dikit ya... Eh, buat yang puasa mending bacanya malam-malam aja yah, jangan siang-siang.

...

~Omake~

Awalnya mereka merencanakan pernikahan kecil dan sederhana, tapi tentu saja, para ibu (Hisana dan Masaki) menolak keras. Mereka ingin pernikahan anak-anak mereka dilakukan besar-besaran. Setelah menggabungkan pendapat semua anggota keluarga akhirnya diputuskan, pernikahan Ichigo dan Rukia akan di adakan di kediaman Kurosaki di Karakura. Halaman belakang rumah keluarga Kurosaki diubah menjadi tempat berlangsungnya pesta. Meja-meja ditata di atas lahan berumput, dengan kursi-kursi ditata melingkar. Taplak-taplak meja putih dan vas-vas perak yang diisi bunga tulip menghiasi tiap meja. Pemandangannya benar-benar magis.

Tamu dari berbagai wilayah mulai berdatangan satu jam sebelum upacara dimulai. Upacaranya sendiri singkat, tapi menyentuh. Sebuah upacara yang pastinya diimpikan setiap gadis muda yang belum menikah. Lalu setelahnya resepsi dimulai.

Ichigo dan Rukia berdiri di depan antrean yang sepertinya tidak ada habisnya, menyambut teman-teman lama dan berkenalan dengan teman-teman baru. Gaun Rukia sederhana, gaun tanpa tali yang dihiasi mutiara-mutiara kecil. Rambutnya ditata tinggi, dan kalung amethyst menghiasi lehernya. Rukia memang sangat menyukai batu permata itu setelah Ichigo memberinya cincin pertunangan dengan batu yang sama. Yah, lagipula warna batu itu serasi dengan matanya. Dan Ichigo... hm... seperti biasa ia selalu menarik perhatian, bahkan di hari pernikahannya para gadis tetap mencuri pandang ke arahnya. Tak bisa disalahkan memang, tidak akan ada yang melewatkan pria jangkung, tampan, dengan setelan putih yang dijahit khusus oleh sang mama. Mereka berdua pasangan yang serasi, semua tamu yang datang pasti mengakui hal itu.

"Kau pengantin yang sangat menawan," Renji berkomentar saat memberinya ucapan selamat. "Tetapi aku yakin akan menemukan yang sama menawannya sepertimu," ia menambahkan.

"Kau harus menemukannya, dan mungkin saja kau akan menemukannya di pesta ini," ujar Rukia.

"Aku tak yakin secepat itu." Renji mengangkat bahu. "Tetapi tak ada salahnya mencoba." Ia menyunggingkan senyum hangat sebelum berlalu.

Di sebuah meja tak jauh dari pasangan yang baru melaksanakan upacar pernikahan itu, Orihime duduk di sana bersama suami barunya, Aizen Sousuke. Mantan kekasih Ichigo itu tak jadi pergi menyembunyikan diri keluar negeri untuk menyembunyikan diri. Saat ia mengutarakan niatnya untuk melahirkan dan membesarkan bayi mereka, tak disangka pria itu malah menawarkan untuk menikahinya, dan tentunya tawaran itu tidak disia-siakan Orihime. Mereka menikah sebulan yang lalu, dan nampak berbahagia dengan kehidupan pernikahan mereka.

"Kau sangat beruntung," Ashido berkata pada Ichigo.

"Aku juga merasa begitu." Ichigo melirik wanita disampingnya, Istrinya, anugerah terindah yang pernah ia miliki.

"Kau ingat kan, Rukia?" Ashido beralih pada Rukia. Mempelai itu memandang bingung senpai-nya itu.

"Kau selalu bisa datang padaku jika kau dalam masalah," pria berambut merah itu mengingatkan.

"Dia tidak akan pernah datang padamu," Ichigo menyahut dengan sebal.
"Aku tahu, aku tahu." Ashido tertawa renyah. "Jangan terlalu serius, Kurosaki. Lihat keningmu berkerut. Mana ada pengantin yang berkerut begitu." Dan setelah mengatakan hal itu ia berlalu, meninggalkan pasangan berbahagia itu. Ah, sepertinya salah satu dari pasangan itu sedang sedikit kesal. Hm... sedikit? Tidak juga, agaknya sebentar lagi si mempelai pria akan meledak.

"Kau tahu kan, aku tidak menyerah begitu mudah." Pria berambut biru itu memulai kata-katanya. "Jadi, jika kau bosan dengan suamimu." Grimmjow menyeringai. "Kau tahu dimana mencariku." Ia menutup kalimatnya dengan sebuah ciuman di pipi Rukia. Setelahnya ia melenggang pergi dengan santai, jelas sekali mengabaikan aura kemarahan yang membara dari si mempelai pria.

"Ichigo, sudahlah." Rukia berusaha menenangkan.

"Tapi dia..." Ichigo menunjuk-nunjuk punggung Grimmjow.

"Kau tidak boleh membuat keributan," tegas Rukia.

"Aku tahu, tapi—" Ichigo menghentikan protesnya setelah melihat tatapan tajam Rukia. "Baiklah," ia menyerah. "Tapi aku harus menghapus jejaknya."

Sebelum Rukia sempat bertanya, Ichigo meraih Rukia ke dalam pelukannya, menunduk, dan mencium wanita itu, semula di pipi, tepat di bagian Grimmjow mencium istrinya beberapa saat lalu, kemudian berpindah ke bibir dan bertahan cukup lama di sana. Cukup lama, hingga menyebabkan kehebohan tamu-tamu yang datang.

...

fin

Dan kali ini benar-benar dah tamat sepenuhnya.

...

See ya,

Ann *-*