Malam itu Daiki datang membawa sushi serta tonkatsu kesukaan Seita. Namun, pemuda itu hanya terbaring; bergeming diatas sofa seraya menatap langit-langit dengan mata kosong.

"Apa yang terjadi denganmu anak bodoh." Daiki tidak bisa menahan nada khawatir yang keluar dari mulutnya. Seita mengambil sifat Ryouta—Ryouta juga tidak akan mau berbicara jika ada masalah. Si pirang itu akan memendamnya sendiri.

(Memendamnya hingga lama dan berakar, serta akan meninggalkan lubang besar ketika dicabut.)

"Aku tidak apa-apa, Jii-chan. Hanya lelah sedikit." Seita akhirnya buka mulut. Daiki memincingkan matanya ketika melihat percikan darah di kemeja putih Seita. Jelas anak itu langsung disini ketika sampai di rumah.

"Lebih baik kau mandi dulu. Aku akan memanaskan makanan." Tanpa perlu disuruh lagi, Seita langsung bangkit dan menuju kamar mandi.

Seita bukanlah pemuda yang mudah terpancing emosi; sejak tujuh tahun lalu, semua emosi yang dikeluarkan oleh pemuda pirang itu mempunyai alasan.

Daiki berdoa semoga saja kemarahan Seita kali ini untuk sesuatu yang pantas.


Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Reality © Rhen

Dedicated for all AkaKise's shipper


Seita keluar dari kamarnya dua belas menit kemudian. Rambutnya masih basah oleh tetesan air, namun pemuda itu hanya menyampirkan handuk kecil untuk menutupi lehernya.

"Ayo makan. Awas saja jika tidak habis, akan kuhajar kau." Daiki mendengus kecil seraya mengambil potongan tonkatsu dan memakannya langsung. Seita dulu ingat Mamanya pernah bercerita, Pamanmu adalah orang yang lebih mengandalkan otot dari pada otaknya, karena itu jangan sampai memancing amarahnya.

Karena itu, sampai matipun Seita tidak akan bilang jika dia baru saja makan malam dengan Pria itu. Orang seperti dia tidak layak mendapatkan secuil saja perhatian dari mereka.

"Dan jangan lupa untuk ke tempat Midorima besok. Obatmu sudah hampir habis. Aku sudah menghubunginya, besok kau datang saja seperti biasa." Daiki berpesan setelah melahap potongan besar tonkatsu sebelum bangkit dan mengambil coat berwarna coklat tua pemberian seorang teman hampir dua puluh tahun yang lalu.

"Hai~ Hai~" Seita menguap malas, rasanya malas sekali untuk pergi ke tempat praktek Pamannya yang berambut hijau itu. Tapi, Shin-jii biasa memberikan cokelat kelas atas sehabis pemeriksaan singkatnya. Jadi ia rasa hal itu tidak terlalu buruk.

Daiki mengangguk sebelum berangkat pergi. Menyebalkan sekali harus pergi lebih awal karena polisi canggung yang bahkan belum bisa membuat teh dengan benar.

Setelah Daiki menghilang dari pandangan, Seita beranjak masuk ke kamar. Biarlah, dia akan bersih-bersih besok.

/

"Ne, ne, Seicchi, jika anak ini sudah lahir, menurutmu apa nama yang bagus untuknya?"

"Dia baru akan lahir empat bulan lagi, Ryouta."

"Tapi tidak ada salahnya mempersiapkannya dari sekarang, Seicchi. Aku tidak mau anak kita lahir tanpa persiapan apapun."

"Jika anak itu lelaki, dia akan kuberi nama Seita. Namun, jika dia perempuan, aku akan menamainya Reika."

"Seita? Seicchi terkadang bisa bersikap manis juga, ya."

"Akashi Seita terdengar lebih baik, Ryouta."

"Ah, Akashi Seita. Kami tidak sabar menunggu kehadiranmu disini,"

/

Hari minggu tepat jam dua belas siang, Seita sudah berada di dalam Hiroo Ebisu Hospital. Seita hafal benar tata letak rumah sakit ini. Dulu, dia bisa berlari-lari mengelilingi rumah sakit ini dengan mata tertutup. Tapi, semenjak gedung mengalami renovasi dan larangan dari Ryouta, Seita hampir tidak pernah berlarian lagi.

(Well, mungkin berlari kecil di taman belakang bersama anak-anak lain, tapi Mamanya tidak perlu tahu hal itu.)

Kakinya melangkah menuju sisi timur bangunan, tempat dimana ruangan Shin-jii berada. Dengan pelan dia mengetuk pintu. "Shin-Jii, apa kau ada di dalam?"

Seita hafal kebiasaan Pamannya yang satu ini. Akan memerlukan waktu beberapa saat hingga panggilannya dijawab. "Masuk,"

Seita melihat jam tangannya; sepuluh detik. Wow, rekor baru. Terakhir dia kesini, panggilannya dijawab dua puluh detik kemudian. Dengan segera, pintu tersebut dibuka. "Konnichiwa!"

"Jangan berisik, nanodayo. Ini di rumah sakit, bukan kebun binatang." Shintarou membenarkan letak kacamatanya dengan jari tengan, rambutnya yang masih hijau membuatnya tampak mencolok di ruangan putih ini.

Well... tidak sepenuhnya bernuansa putih. Banyak lucky item yang bertebaran di sepenjuru ruangan dengan berbagai warna dan bentuk. "Shin-jii~ Aku sudah datang!"

"Aku sudah tahu hanya dengan melihat, Seita. Tidak perlu berteriak dan memberitahuku lagi, nanodayo." Shintarou menghela nafas. Seita memang teramat mirip dengan Ibunya.

"Hehehe~ Gomen~ Aku refleks." Dengan segera Seita membuka bajunya dan duduk di hadapan Shintarou. Dan seolah sudah menjadi rutinitas, Shintarou menempelkan stetoskop yang tadinya melingkar apik di lehernya ke arah dada pemuda di hadapannya, tepat di bagian jantung.

"Jantungmu normal, tidak ada kejadian yang membuatmu merasa tertekan, bukan?" Shintarou bertanya seraya memeriksa pembuluh darah di pergelangan tangan pemuda Kise itu.

"Berapa kali harus aku jawab pertanyaan ini, Shin-jii? Yang membuatku tertekan adalah kejadian beberapa tahun lalu, dan aku rasa kita sudah melalui fase itu, bukan?" Kata-kata itu terlontar dengan mudahnya, tentu saja. Seita sudah berlatih semenjak pagi agar dia tidak kelepasan berbicara.

(Lagipula apa reaksi pamannya jika Ia berkata, "Well, aku bertemu dengan Papa, anaknya, serta Istrinya kemarin sore karena aku bertengkar dengan anaknya yang berambut merah. Tapi mungkin lebih tepatnya aku memukulinya hingga ia berdarah-darah.")

(Seita yakin jika Pamannya yang berambut hijau itu tahu, Bibinya yang berambut merah muda akan langsung terbang dari Korea meski liburannya belum saja selesai.)

Shintarou memandang Seita dengan pandangan tidak percaya. Siapa yang akan mempercayai omongannya jika matanya saja masih menunjukan bekas tangisan; bengkak.

"... Baiklah." Tangannya terjulur untuk mengambil sebuah buku besar bertuliskan New Project (OLD) di sampulnya. Jarinya yang berbalutkan perban membuka halaman demi halaman yang mempunyai foto beberapa balita kecil. Halaman itu terhenti di halaman yang tertempel foto Seita dengan tulisan 0051 di bawahnya.

Di halaman itu terdapat banyak foto Seita. Mulai dari Seita baru lahir, ulang tahun pertama, kedua, ketiga, hingga ulang tahunnya yang ke enam belas beberapa bulan yang lalu tertata apik di dalam kolom-kolom. "Jika saja Jii-chan bukan dokter, mungkin saja Jii-chan akan disangka stalker. Fotoku dari bayi hingga sekarang ada di buku itu, beserta semua data-dataku―alergi, penyakit dalam, hingga makanan yang bisa atau tidaknya aku makan."

Tidak menggubris celotehan Seita, Shintarou mulai menulis sesuatu di kertas dengan fountain pen berwarna kuning pucat norak. "Ada reaksi alergi? Bagaimana dengan alergimu terhadap dandelion?"

Seita menggelengkan kepala. "Tidak ada, sekarang aku sudah biasa saja bila berdekatan dengan dandelion. Jika bulan lalu, aku mungkin sudah mengalami sesak nafas." Seita tertawa kecil; mengingat bulan lalu dia sangat anti dengan dandelion. Bahkan menghirup aromanya saja membuat sesak nafas.

Shintarou bergumam baiklah sebelum bangkit berdiri dan menuju sebuah rak besar yang terdapat di pojok ruangan dan mengambil beberapa botol dari dalam. Sembari jalan, dokter itu menjelaskan, "Pil berwarna hijau untuk jantungmu, biru—"

"—untuk paru-paru." sela Seita. "Jii-chan pikir aku sudah berapa tahun menjadi pasien? Aku sudah hafal semua." Seita menghela nafas dan mengambil botol obat itu bahkan sebelum sempat ditawari. "Aku bahkan bisa saja buta dan tetap meminum obat dengan benar."

Shintarou melirik Seita sebelum berdehem. "Jangan sampai lupa untuk meminum obat dan makan sayur." Shintarou kembali duduk.

"Baik~ Aku pulang dulu, ya, Jii-chan. Titip salam pada Kazu-jii dan Himawari, ya." Seita dengan segera bangkit dan melambai sekali lagi sebelum menghilang di balik lorong putih.

Shintarou menghela nafas dalam sebelum membuka lacinya. Dengan cekatan tangannya merogoh bagian terdalam dan menarik sebuah amplop coklat pudar yang masih tersegel rapi.

Teruntuk Akashi Seijuuro. terbaca di depan amplop itu.

Dengan wajah bimbang, Shintarou akhirnya memasukan amplop itu lagi ke tempatnya selama sebelas tahun.

Semoga saja tidak akan ada badai, nanodayo.

.

.

"Ne, ne, apa Seicchi melihat bahwa hidungnya mirip sekali dengan Seicchi?"

Kekehan kecil keluar.

"Dia lebih mirip denganmu, Ryouta. Dari rambut hingga ujung kaki."

"Mou! Tapi aku yakin dia lebih mirip dengan Seicchi suatu hari nanti!"

Tepukan sayang di kepala.

"Kita akan melihat perkembangannya dengan kedua mata kita nanti, Ryouta.

"Ah~ Aku tidak sabar, ssu!"

.

.

A/N :

Saya kembali membawa lanjutan Reality uwu siapa yang masih inget Seita dan cerita ini :""))

Semoga kalian ga bosen ngeliat saya malang melintang lagi ya karena I'm back! /ditabok XD

Dan maaf karena chapter ini super pendek. Chapter depan akan lebih panjang tentang Akakisenya nurufufufufu

Akhir kata, selamat membaca o/

.

.

.

Salam sayang,

Rhen