Disclaimer: Nope. Masih belum.


AN: Maaf. Sorry. Gomenasai. *Chamcha membungkuk dalam*

CHAPTER X

"Mmm.. cannoli ini lumayan enak."

"Aku setuju." Tsuna berjalan disamping Hime dengan santai. Gokudera berjalan disampingnya dan Yamamoto berjalan disamping Hime. Mereka saat ini sedang berjalan-jalan dan membeli pernak-pernik untuk koleksi Hime.

"Tsuna-sama, apa aku perlu menyingkirkan mereka?" Gokudera tiba-tiba berkata dengan suara rendah sambil merogoh sakunya, tak diragukan lagi bersiap melemparkan dinamitnya begitu mereka sudah tidak berada di kerumunan orang lagi.

"Ta-tak usah, Gokudera-kun. Toh mereka tidak menganggu kita." Tsuna berbisik kepada Gokudera sambil sesekali melirik kearah belakang mereka dengan tidak kentara.

"Tapi mungkin saja mereka pencopet yang mengincar turis." Yamamoto ikut berbicara. "Mereka sudah mengikuti kita sejak tadi, Tsuna."

"Jangan pedulikan mereka." Hime menunjuk salah satu toko souvenir yang dilihatnya. "Pura-pura tidak lihat saja."

"Kupikir mereka adalah suruhan Reborn." Gumam Tsuna. "Dia pasti tidak akan membiarkan kita berkeliaran begitu saja."

"Wah, tutor Tamaki-kun sangat hebat kalau begitu." Yamamoto tertawa.

"Dan juga berbahaya." Gerutu Gokudera.

"Sudahlah, seperti yang dikatakan Tsu-chan, mereka tidak menganggu kita." Hime berjalan menuju ke arah toko yang ditunjuknya tadi. "Aku melihat sesuatu yang menarik disana!" Hime berbalik hendak menarik tangan Tsuna, namun akibatnya ia tidak melihat seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya sehingga Hime menabrak orang tersebut.

"Aww.."

Tsuna segera menarik tangan Hime dan membantunya berdiri.

"Maafkan aku, apa anda tidak apa-apa, nona?"

Hime berdiri dan menepuk-nepukkan debu yang menempel pada roknya. "Tidak apa-apa, aku juga tidak memperhatikan jalanku."

"Ah, syukurlah kalau begitu." Orang tersebut tersenyum kecil. "Jika anda tidak terluka, saya permisi dulu."

Hime mengangguk pada orang yang menabraknya tersebut.

"Untunglah orang tersebut tidak marah." Tsuna menghela napas lega.

"Jangan khawatir, Tsuna-sama. Jika dia marah, kita tinggal meledakkannya saja!" Gokudera lagi-lagi merogoh sakunya.

"Hieee! Tidak perlu, Gokudera-kun! Tidak boleh meledakkan sesuatu sembarangan!" Tsuna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan panik.

Gokudera kembali menyimpan dinamitnya dengan kecewa, sementara Yamamoto tertawa melihat tingkah kedua temannya.

##

Liburan mereka berlalu tanpa tragedi yang berarti. Jika Gokudera yang mengancam seorang penjual souvenir yang menjual barang-barangnya dengan harga yang tidak masuk akal dihitung sebagai tragedi, maka boleh dikatakan liburan mereka berlangsung dengan aman dan tentram. Tak terasa waktu berlalu dan sudah waktunya pulang.

Mereka kembali ke Jepang seminggu sebelum sekolah dimulai. Tentu saja Tsuna dan Hime memastikan Iemitsu sudah kembali ke Italia sebelum mereka pulang.

"Tadaima!"

"Okaeri, Tsu-kun, Hime-chan." Nana menyambut mereka dengan senyum. "Bagaimana liburan kalian?"

"Cukup menyenangkan." Hime menjawab pendek.

"Menyenangkan, kaa-san." Tsuna menjawab dengan senyum.

"Mana oleh-oleh untuk Lambo-san?" Lambo yang ikut menyambut mereka di pintu masuk bertanya dengan ekspresi penuh harap.

Tsuna tertawa dan memberikan kantong yang dipegangnya. "Jangan langsung dihabiskan semuanya ya?"

"Yaay! Permen!" Lambo bersorak gembira dan segera berlari kedalam rumah.

"Apa Lambo membuatmu repot, kaa-san?" Tsuna bertanya saat mereka sudah duduk bersama makan malam.

Nana menggeleng. "Lambo sama sekali tidak merepotkan, dia bersikap manis selama kalian pergi, bahkan tou-san menyukainya."

Tsuna dan Hime langsung berhenti sesaat menyuap makanan mereka. Hal itu tidak luput dari perhatian Reborn. Kenapa mereka terlihat…khawatir?

##

"Menurutmu, apakah dia ingin mengajak Lambo masuk dalam famiglia Tamaki?" Hime duduk sambil mengeluarkan barang-barang dari kopernya. Ia memberi tahu Tsuna untuk ke kamarnya begitu Tamaki dan Reborn tertidur.

Tsuna mengerutkan dahinya. "Entahlah, Hime. Kuharap tidak. Lambo masih terlalu kecil, dan aku ingin ia menjalani masa kecilnya dengan normal bersama kita."

"Normal?" Hime mengangkat alisnya.

"Senormal yang mungkin kita bisa berikan padanya." Tambah Tsuna. Tentu saja, dengan seorang calon boss mafia di rumah mereka, 'normal' adalah hal mustahil mereka dapatkan. "Ngomong-ngomong, kau sudah mendapatkannya?"

Hime menarik keluar sebuah flashdisk mungil dari saku tersembunyi di kopernya dan memperlihatkannya pada Tsuna. "Tentu."

"Bagaimana?" Tsuna bertanya heran. Ia berusaha mengingat-ingat kapan Hime berinteraksi dengan orang lain, karena seingatnya, sepanjang liburan mereka selalu bersama. Satu-satunya waktu Hime berinteraksi dengan orang yang asing adalah saat seseorang menabrak mereka ketika mereka berbelanja. "Orang itu?"

"Un." Jawab Hime pendek.

"Apa yang ada di dalamnya?"

Hime menatap Tsuna dengan khawatir. "Sesuatu yang berbahaya."

##

Reborn harus mengakui, Tsuna dan Hime mempunyai firasat yang tajam. Tamaki juga memiliki firasat yang bagus, hanya saja ia malas melatihnya. Berbeda dengan yang diketahui orang-orang, hyper intuition bukan hanya bawaan sejak lahir. Memang, mereka yang mempunyai hyper intuition akan memiliki firasat yang lebih tajam dari orang biasa, tapi tetap saja dibutuhkan latihan untuk mengasahnya. Tsuna mungkin mengasah intuisinya untuk menghindari bully, dan Hime mengasah intuisinya untuk menemukan Tsuna yang sedang di bully.

Iemitsu memang mengemukakan ketertarikannya pada Lambo. Ia berasal dari Bovino Famiglia yang terkenal dengan kemampuan mereka membuat senjata. Lambo juga mempunyai potensi sebagai lightning guardian. Hal yang mengejutkan, mengingat usianya yang baru lima tahun.

Tapi walaupun Iemitsu tertarik, Reborn tak yakin Tsuna dan Hime akan membiarkan Lambo terlibat dengan Tamaki. Reborn bisa melihat ikatan yang mulai tumbuh diantara mereka, dan melihat bagaimana Lambo selalu menempel pada mereka berdua, Reborn ragu Lambo akan mau meninggalkan Tsuna dan Hime untuk Tamaki.

Untuk sekarang, Reborn tertarik pada pembicaraan mereka. Reborn ingin tahu lebih banyak, tapi mereka hanya berbicara sebentar. Ia sangat kesal jika ia tidak mengetahui sesuatu yang terjadi, karena itu mungkin ia akan menerobos kamar mereka berdua besok untuk mencari tahu apa 'hal berbahaya' yang mereka bicarakan.

Oh, bukannya Reborn cemas.

Tapi ia tahu, apa saja yang dianggap berbahaya oleh Tsuna dan Hime pantas diselidiki.

##

Tsuna, Hime, Gokudera, dan Yamamoto bisa merasakan ada sesuatu yang salah pagi itu saat Hibari tak ada di gerbang sekolah seperti biasa. Suasana sekolah juga terlihat suram.

"Sekolah biasanya memang tempat yang suram, tapi bukankah hari pertama sekolah masih memiliki suasana dan aura liburan?" Hime bertanya sambil menatap sekitarnya. Dimana-mana terlihat murid-murid berbisik dengan wajah cemas.

Tsuna dan yang lain tidak menjawab. Mereka juga merasakannya. Dan Tsuna memiliki firasat buruk tentang hal itu. Mereka berjalan bersama menuju kelas, dan saat sampai di kelas, mereka menemukan Sasagawa Kyoko sedang menangis di mejanya, dan temannya, Kurokawa Hana berusaha menghiburnya.

"Apa yang terjadi?" Yamamoto bertanya kepada salah seorang teman sekelas mereka, Koutarou, yang menatap Kyoko dengan kasihan.

"Kau tahu Sasagawa Ryohei-senpai? Kakak laki-laki Sasagawa-san?"

Mereka mengangguk.

"Dia juga menjadi korban penyerangan siswa Kokuyo." Bisik Koutarou.

"Juga?"

Koutarou menatap mereka heran. "Kalian tidak tahu? Kemana saja kalian selama liburan?"

"Kami keluar kota." Tsuna menjawab cepat.

Koutarou kelihatannya puas dengan jawaban itu, karena ia melanjutkan penjelasannya. "Oh, pantas saja kalian tidak tahu. Beberapa orang sudah menjadi korban." Koutarou menghitung dengan jarinya. "Sasagawa-senpai dari klub boxing, Arima-kun dari klub basket, Kagari-senpai dari klub voli, Mochida-kun dari klub kendo, Hattori-kun dari klub Koran sekolah. Dan tidak lupa beberapa orang anggota komite kedisiplinan. Mereka semua berada di rumah sakit sekarang."

"Tunggu, ada yang aneh." Tsuna ikut menghitung dengan jarinya. "Yang Koutarou-kun sebutkan tadi adalah orang-orang yang paling hebat dari klub tersebut kan? Dan kebanyakan dari mereka adalah klub olahraga. Kenapa Hattori-kun dan anggota komite kedisiplinan juga diserang?"

"Kabarnya Hattori-kun berhasil memotret pelaku penyerangan itu, sementara anggota komite kedisiplinan terluka saat berusaha menghentikan serangan terhadap Mochida-kun."

"Yah, paling tidak kita tahu kenapa Hibari-senpai tidak berada di gerbang pagi ini." Hime berkata pelan sambil mengangkat bahunya. "Kita hanya perlu berhati-hati saat sedang sendirian."

##

Sekolah berakhir dengan cepat. Bukan hanya siswa, bahkan guru-guru ikut merasakan ketegangan yang terjadi akibat serangan-serangan itu. Bagaimana mereka tidak khawatir, anggota komite kedisiplinan yang notabene adalah orang-orang terkuat di SMP Namimori bisa dikalahkan dengan mudah. Apalagi murid-murid biasa atau guru-guru?

Tsuna khawatir. Hime sudah memperlihatkan data yang didapatkannya saat mereka liburan, dan Tsuna yakin, mereka semua akan segera mendapat masalah.

"Kalian akan berlatih di dojo bersamaku hari ini?" Yamamoto bertanya dengan senyum biasanya.

Tsuna dan Hime mengangguk, sementara Gokudera menggeleng.

"Kenapa kau tidak ikut, Gokudera-kun?" Tsuna bertanya. Biasanya Gokudera tak pernah melewatkan latihan bersama mereka sepulang sekolah.

"A-ada yang harus kuurus, Tsuna-sama." Gokudera berkata dengan nada menyesal.

"Oh, begitu." Tsuna tersenyum. "Hati-hati di jalan, Gokudera-kun!" Tsuna melambai saat mereka berpisah di persimpangan jalan.

##

Yamamoto Tsuyoshi menjalani hidupnya dengan bahagia. Pastinya dia amat sangat bersedih saat istrinya meninggal, tapi keberadaan Takeshi membuatnya bisa bertahan. Takeshi juga bersedih, tapi ia selalu memaksakan dirinya untuk tersenyum agar ia tidak khawatir, karena itu Tsuyoshi juga berjuang agar tidak membuatnya khawatir.

Namun senyuman Takeshi tak pernah lagi sama. Ia jarang tertawa lepas, dan ia lebih sering memberikan senyuman palsu. Tsuyoshi tentu saja menyadarinya. Takeshi adalah putranya, dan ia bisa melihat kesedihan di matanya.

Takeshi mulai berubah saat ia mengajak beberapa orang temannya ke Takesushi. Tsuyoshi agak kaget awalnya. Ia melihat Takeshi selalu dikerumuni teman-temannya saat ia berada di sekolah, tapi Takeshi tak pernah membawa seorang teman ke kedai sushinya ataupun memperkenalkan mereka padanya. Sawada Tsunayoshi dan Sawada Tsunahime sudah membawa senyum untuk putranya, dan Tsuyoshi sangat menghargai hal itu. Bahkan, Takeshi akhir-akhir ini mulai menampakkan ketertarikannya untuk berlatih pedang. Tsuyoshi tersenyum, kelihatannya ia akan segera mewariskan jurus rahasia keluarga mereka pada Takeshi.

Sementara Takeshi berlatih dengan pedangnya, Tsuyoshi membantu Tsuna (ia berkeras agar dipanggil Tsuna, karena menurutnya Tsunayoshi-kun terdengar terlalu formal) melatih gerakannya. Tsuna sama sekali tidak cocok dengan pedang (ia terlalu takut melukai orang lain dan melihat darah), tapi ia mempunyai kemampuan dengan pertarungan tangan kosong. Sejauh ini, menurut Tsuyoshi perkembangan Tsuna sudah cukup lumayan, mengingat dia hanya mempunyai dua orang guru amatir di bidang ini. Tapi paling tidak, ia sudah bisa melindungi dirinya sendiri, dan harus diakui, ia sangat pandai mengelak dan gerakannya cepat. Itu mengimbangi kekurangan-kekurangannya yang lain.

Hime berbeda. Tsuyoshi tak punya terlalu banyak kesulitan dengan gadis itu. Pada awalnya gadis itu tertutup dan boleh dibilang tak pernah berbicara padanya, tapi dengan berjalannya waktu, ia mulai berubah. Ia memanggil dirinya 'oji-san' (Tsuna sudah lebih dulu memanggilnya seperti itu) dan berbincang serta tersenyum padanya. Begitu melihat Hime, Tsuyoshi tahu ia tidak cocok dengan pedang ataupun pertarungan tangan kosong, jadi Tsuyoshi membuatnya berlatih menembak. Jangan remehkan dojo-nya, walaupun kecil, ia mempunyai tempat latihan menembak khusus disamping dojo nya. Hime terus berlatih dengan rajin, sama seperti Tsuna dan dia juga menampakkan perkembangan yang pesat.

Hari ini, Hime menemuinya saat mereka mulai berlatih dan memperlihatkan sesuatu yang diambilnya dari dalam tasnya.

"Lihat oji-san! Aku sudah memiliki senjataku sendiri!"

Tsuyoshi tersentak. Ia tak menduga Hime akan mendapatkan senjatanya sendiri. "Apa itu legal?" tanyanya dengan hati-hati.

"Tentu." Hime memperlihatkan senjatanya. "Jangan khawatir oji-san. Ini tidak berbahaya dan Tsu-chan sudah menyetujuinya."

Tsuyoshi menatap Tsuna yang sedang berlatih, dan Tsuna balas menatapnya sambil tersenyum kecil.

"Tsu-chan berkata aku tidak boleh mengotori tanganku dengan darah-" Hime kelihatannya tidak puas."-jadi aku boleh mendapatkan senjata selama senjata itu tidak berbahaya." Hime memutar-mutar senjatanya dengan santai. "Ini hanya berisi peluru bius yang bekerja sangat cepat, oji-san. Dan pelurunya sangat kecil, hanya seukuran jarum."

"Bagaimana dengan dosisnya?"

Hime berpikir sejenak sebelum menjawabnya. "Cukup untuk melumpuhkan seekor sapi?"

Tsuyoshi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

##

Gokudera ingin berlatih dengan Tsuna-sama dan yang lainnya, tapi hari ini ia ingin berlatih dengan dinamitnya, dan walaupun yakyuu baka sering membuatnya kesal, ia cukup punya tata krama untuk tidak menghancurkan dojo berserta rumah yakyuu baka tersebut.

Gokudera sudah bertekad dalam hatinya, ia harus menjadi kuat. Bukan calon Vongola Decimo tidak berarti membuat hidup Tsuna-sama dan Hime-san akan aman. Karena itu, Gokudera tidak boleh lemah agar ia bisa menjaga mereka.

Gokudera menatap langit yang sudah mulai memerah. Ia menepukkan debu dari celana dan bajunya sebelum menyandang tasnya dan berjalan pulang.

Bzzt..bzzt..

"Gokudera-kun, jangan terlalu memaksakan dirimu."

Bagaimana Tsuna-sama tahu ia berlatih sendirian? Gokudera terlalu sibuk dengan ponselnya sampai-sampai ia tidak menyadari ada seseorang yang berdiri dihadapannya, menghentikan jalannya.

"Gokudera Hayato, atau dikenal juga dengan Smokin' Bomb Hayato."

Siapapun yang dihadapannya mengenalnya, dan Gokudera segera melompat mundur.

"Siapa kau?" Gokudera mengeluarkan dinamitnya.

"Kau tak perlu tahu, karena kau akan segera mati."

Remaja dihadapannya mengeluarkan sepasang yoyo yang segera diayunkan ke arah Gokudera. Gokudera lagi-lagi melompat mundur, namun benang yoyo itu sempat menggoresnya.

"Oi, apa-apaan kau!" teriak Gokudera dengan marah. Ia tak mengenal orang ini dan orang ini menyerangnya tanpa alasan. "Tunggu, apa kau berasal dari Kokuyo?"

"Kau tak perlu tahu." Lagi-lagi ia mendapatkan jawaban yang sama.

Gokudera memfokuskan tatapannya. Ia harus bisa melihat benang-benang (ia tak yakin apa itu benar-benar benang atau bukan. Benang biasa tak bisa menimbulkan luka gores sedalam ini). Ia mengeluarkan dinamitnya dan melemparkannya ke arah penyerangnya.

"Hanya itu kemampuanmu? Aku kecewa."

Gokudera menggertakkan giginya dengan kesal, namun saat penyerangnya kembali mengayunkan yoyonya, Gokudera tetap berdiri di tempatnya.

"Kelihatannya kau benar-benar ingin mati."

Gokudera meringis saat merasakan benang-benang itu mengiris kulitnya, tapi ia bertahan. Ia masih tetap berdiri di tempat yang sama saat lagi-lagi penyerangnya mengayunkan yoyonya, hanya saja yoyo itu kali ini juga menembakkan proyektil-proyektil kecil yang Gokudera rasakan menancap di tubuhnya.

"Kau akan mati."

Gokudera menyeringai. "Benarkah begitu?" Ia menjentikkan jarinya dan menatap dengan puas saat penyerangnya meledak dihadapannya.

"Aku bisa melempar dan meledakkan dinamitku kapanpun aku mau, dasar bodoh." Gokudera berkata lemah sebelum kesadarannya meninggalkannya.

##

Tsuna lagi-lagi merasakan firasat buruk saat melihat orang-orang berkerumun di tepi jalan. Ia dan Hime berusaha menerobos kerumunan dan melihat seseorang dengan rambut silver yang mereka kenal diangkat masuk kedalam ambulan. Tsuna segera bertanya kepada salah seorang paramedis.

"Dia terluka saat seseorang menyerangnya. Apa kalian keluarganya?"

"Ya." Hime yang berdiri disamping Tsuna menjawab pertanyaan itu.

Paramedis itu menatap dengan skeptis. Tsuna tidak menyalahkannya. Mereka memang tidak mirip, mana mungkin paramedis itu percaya.

"Seluruh keluarganya sedang mengunjungi Italia, dan ia adalah teman dekat keluarga kami." Jelas Hime.

Kali ini paramedis itu menerima penjelasan Hime. Tsuna menghela napas lega. Serahkan pada Hime untuk membuat alasan yang masuk akal dalam waktu yang singkat.

"Jadi, apa kami boleh ikut dengan ambulans ini?"

##

Tamaki sedang duduk mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan Reborn padanya dengan kesal ketika Reborn tiba-tiba melompat masuk dari jendela.

"Tamaki, misi pertamamu sudah diberikan."

"Misi?"

"Menangkap Rokudo Mukuro dan anak buahnya yang mengacau di Namimori."

"Kenapa harus aku?" protes Tamaki.

"Karena mereka adalah buronan mafia." Reborn menyeringai.

Tamaki menghela napas. "Apa mereka kuat?"

"Hmm… kau mungkin

bisa mengalahkan mereka." Reborn memilih jawabannya dengan hati-hati. Dengan kemampuan Tamaki saat ini memang mungkin bisa mengalahkan Rokudo Mukuro, tapi ia tak akan bebas dari beberapa cedera. Tentu saja Reborn tak akan mengatakannya.

"Apa aku boleh membawa famiglia ku?"

"Tentu." Reborn menjawab tak peduli. "Selama kau yakin mereka tidak akan mati. Berurusan dengan surat-surat setelah kematian itu merepotkan, apa lagi di kota kecil semacam Namimori ini."

Mata Tamaki melebar. "Ke-kematian?"

"Jangan bilang kau takut dengan kematian. Atau kau memang hanya bully yang cuma sanggup menakut-nakuti saudaranya sendiri karena ia tahu saudaranya tidak akan membalasnya?"

Tamaki merengut. "Tidak! Aku bisa mengatasi mereka."

Reborn akan memberikan instruksi selanjutnya saat ia mendengarkan bunyi klik dari kunci kamar di sebelah. "Pencuri?" gumam Reborn. Ia yakin tidak mendengar siapapun naik ke tingkat dua sebelumnya. Tamaki kelihatannya tidak mendengarkan suara itu dan kembali mengalihkan perhatiannya ke pekerjaan rumah yang diberikan Reborn.

Reborn mengelus Leon yang bertengger di kepalanya dan berjalan keluar kamar. Ia berdiri sesaat dihadapan pintu kamar, mencoba menduga siapa yang masuk ke kamar itu tanpa ia ketahui.

"Dokter berkata kalau Gokudera-kun harus dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu. Luka goresannya cukup dalam dan dia harus menjalani operasi untuk mengeluarkan proyektil yang menancap di dadanya. Kita beruntung proyektil-proyektil itu tidak panjang." Reborn bisa mendengar Hime berkata dengan nada penuh kelegaan di dalam kamar Tsuna.

Reborn tahu Gokudera Hayato diserang sore tadi, tapi keadaannya tidak membahayakan nyawanya. Tapi ternyata Tsuna dan Hime tetap khawatir.

"Bagaimana administrasi rumah sakit?"

"Aku sudah mengurusnya."

Hening sejenak. Reborn bisa menduga mereka berdua sedang memikirkan sesuatu.

"Hari ini Gokudera-kun, besok bisa saja mereka menyerang Yamamoto-kun." Tsuna berkata dengan suara datar yang hanya pernah di dengar Reborn saat Hime sakit.

"Tsu-chan…"

"Aku tidak bisa ambil resiko, Hime. Aku yakin Rokudo Mukuro ini juga mengincar Tamaki. Bukan kebetulan dia memilih datang ke Namimori. Dia membenci Mafia dan Vongola adalah salah satu famiglia terkuat. Dia pasti berusaha menghabisi calon penerus Vongola sebelum ia bisa mewarisi Vongola."

"Kenapa ia tidak mengincar kita, Tsu-chan?"

"Kenapa dia harus mengincar seorang dame dan seorang gadis yang tidak bisa apa-apa kecuali belajar?" Tsuna balas bertanya. Reborn mendengar setitik nada humor disana, seakan Tsuna tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.

"Kau akan membereskan mereka?"

Tak terdengar jawaban. Reborn memperkirakan Hime sudah bisa mengetahui jawabannya dengan melihat ekspresi Tsuna.

"Haaah…. Terserah padamu, Tsu-chan. Kau tahu aku akan ikut denganmu." Hime berkata dengan nada final. Reborn mendengar suara klik saat kunci pintu dibuka, dan saat Hime membuka pintunya, Reborn sudah tak ada disana.

##

Reborn tak tahu apa ia harus senang atau kesal dengan ini. Bianchi kembali, itu bagus mengingat ia akan mengajari Tamaki tentang racun. Tapi entah bagaimana Shamal berhasil membuntuti Bianchi.

"Shamal, kau tahu kau tidak diundang kesini." Reborn mengelus Leon yang hari ini bersikap sedikit aneh. "Tapi bagus juga, kau bisa mengobati Tamaki. Aku yakin tak lama lagi ia akan menderita overdosis Dying Will bullet yang selalu kutembakkan padanya. Sebaiknya dia diobati sebelum penyakitnya datang."

"Kau tahu aku tidak mengobati laki-laki, Reborn. Bahkan jika laki-laki itu masih seorang bocah." Shamal menjawab santai.

"Aku meminta tolong padamu."

"Kau meminta tolong tapi nadamu seakan sedang mengancamku." Shamal mengangkat tangannya. "Baiklah. Hanya kali ini."

"Bagus."

##

Shamal baru saja selesai dengan pengobatannya kepada calon Vongola Decimo dan akan meninggalkan rumah itu saat dua orang remaja menghentikan langkahnya di depan pagar.

"Apakah anda dokter Shamal?" yang laki-laki bertanya dengan nada sopan.

"Yep." Shamal memasukkan tangannya ke saku. "Aku tidak mengobati laki-laki, jika kau datang untuk meminta bantuanku."

Remaja itu menggelengkan kepalanya. "Aku tahu. Kau hanya mengobati Tamaki karena Reborn memintamu, dan kau tidak akan mau membantu kami."

Sesuatu dalam nada bicara remaja itu membuat Shamal merasa bersalah. Seakan ia baru saja menyakiti perasaan seseorang.

"Kami hanya ingin bertanya." Gadis yang disamping remaja laki-laki itu berbicara.

Mereka mirip. Pastilah saudara. Shamal kembali tersenyum. "Apapun untuk seorang lady yang menawan."

Shamal harus mengakui gadis itu sangat pandai mengendalikan ekspresinya. Ia sama sekali tidak menunjukkan reaksi atas perkataan Shamal. Ia tetap dengan ekspresi datarnya.

"Apakah anda hanya ahli pengobatan dengan trident mosquito saja?"

Shamal menatap remaja laki-laki itu sesaat sebelum menjawab. "Tidak. Aku dokter, kau tahu. Aku juga berurusan dengan obat-obatan dan skalpel."

Remaja laki-laki itu menyenggol gadis disampingnya. Gadis itu tersentak, kelihatannya ia sedang memikirkan sesuatu dan tidak memperhatikan percakapan antara saudaranya dengannya.

"Kami hanya ingin bertanya, jika kami ingin membuat seseorang tertidur selama… katakanlah duapuluh jam, berapa dosis obat tidur yang harus kami berikan?"

Shamal mengangkat alisnya. Ini pertanyaan diluar dugaannya. "Kalian tidak akan melakukan sesuatu yang illegal atau kriminal bukan?" Shamal tertawa kecil. "Wajah kalian terlalu polos untuk menjadi seorang kriminal."

Mereka berdua menggeleng cepat. "Ini hanya untuk seorang teman. Ia kesakitan dan kami tak tega melihatnya seperti itu." Jelas yang laki-laki.

Hoo.. ini pastilah dua saudara yang pernah diceritakan Hayato saat terakhir kali ia menelfonnya. Shamal sudah mendengar kalau Hayato terluka. Tebakannya, ini semua adalah untuk Hayato. Shamal memberitahukan dosis yang dibutuhkan. Ia bisa melihat wajah kedua remaja itu terlihat lega. Mereka berdua membungkuk dan berterima kasih kepada Shamal sebelum mereka masuk kedalam rumah.

"Apa kalian bisa memberitahuku siapa nama kalian?"

Mereka berdua berhenti berjalan. Yang laki-laki lagi-lagi menjawab pertanyaannya.

"Ah, maafkan kami. Kami sudah bersikap tidak sopan." Ia menggosok kepalanya malu-malu. "Aku Sawada Tsunayoshi, dan ini adikku Sawada Tsunahime."

Yang perempuan hanya menganggukkan kepalanya pada Shamal.

"Senang berkenalan dengan kalian, Hime-chan dan Tsuna-kun." Shamal melambaikan tangannya sambil berjalan menjauh. Kembar tiga, huh? Mereka cukup menarik. Shamal memastikan ia akan selalu membuka telinganya untuk mendengarkan gosip-gosip terbaru tentang mereka.

"Nah, sekarang waktunya untuk menemukan salah satu nyamukku yang lepas."

##