Recon hospital, sebuah rumah sakit kelas internasional dengan penanganan kesehatan nomor satu tanpa memandang kasta pasien. Memiliki tenaga ahli yang profesional dalam setiap bidangnya. Bahkan, rumor mengatakan bahwa tidak ada pasien yang tidak bisa sembuh jika dirawat di rumah sakit ini.

"Hanji, tolong kamu cek kondisi pasien di ruang 305."

Lalu sekarang, Hanji Zoe, seorang perawat muda yang baru saja dipindahtugaskan ke rumah sakit luar biasa ini, mendapat tugas dari dokter atasannya, Erwin Smith. Di rumah sakit ini, para dokter memang memiliki beberapa perawat bawahannya masing-masing dan ia bisa memerintahkan perawat tersebut untuk menjadi perawat tetap seorang pasien jika penyakitnya sangat berat.

"Erwin, aku sedang meneliti sel ini, lihatlah! Ini menarik seka..."

"Hanji, aku sudah berkali-kali melihat beragam sel-sel seperti itu. Bisakah kau segera melaksanakan tugasmu?"

Dengan sedikit merengut, wanita berambut coklat itu meninggalkan mikroskop dan preparat-preparat miliknya di atas meja laboratorium dan melenggang pergi menuju ruangan 305.

Menghela nafas berat, dokter muda yang tergolong senior itu pun membereskan peralatan milik perawatnya yang sembrono itu. Dikumpulkannya preparat awetan yang tercecer di sekitar mikroskop, lalu dilepasnya preparat yang tengah terjepit di meja preparat mikroskop.

"Hm..? Hamamelis virginia?"

.

.

.

WARNING :

AU. Attack on Titan milik Isayama Hajime. RivaiHan with Rivetra. One-sided EruHan. Author's POV. T+ rated.

.

.

.

An Attack on Titan fanfiction,

.

.

.

A Spell

.

.

.

"Bagaimana keadaanmu, Rivaille?"

Kedua bola mata itu menyipit—menimbulkan kesan sinis—dan melirik ke arah perawat muda yang tengah tersenyum—nyengir—di sampingnya itu. Alih-alih menjawab, pemuda itu malah membuang mukanya ke arah yang lain.

"Oi, oi. Kau hanya tinggal menjawab apa yang kau rasakan. Kamu tidak mau sembuh ya?" Protes perawat itu sambil membungkukkan tubuhnya mendekati si pemuda yang tengah terbaring lemah di ranjang. "Kau lebih suka kalau aku yang memeriksa apa yang kau rasakan sekarang, eh?" Godanya.

Pasien bernama Rivaille itu menatap sang perawat dengan datar.

"Aku tidak merasakan apa-apa."

Kedua iris sang perawat—Hanji—melebar. "Sungguh?! Kalau begitu bahaya! Biarkan aku memeriksamu!"

Lalu tangan lembut itu menyentuh dahinya. Menyentuh leher jenjangnya. Menyentuh dada bidangnya.

"Kamu tidak merasakan sakit dimanapun?" Tanya Hanji setelah memeriksa secara garis besar, dengan nada kecewa.

Rivaille mendengus, "Kalaupun sakit, aku akan langsung memanggil Erwin saja."

Hanji tertawa, membetulkan kacamatanya, lalu meletakkan tangannya lagi di atas dada Rivaille. "Kau tahu, Rivaille. Aku bisa. Jangan terlalu kaku begitu ah."

Tangan dingin Rivaille menepis tangan Hanji di atas dadanya, "Aku tidak mau. Bisa-bisa nanti kau malah sibuk tertawa melihat keanehan jantungku dan akhirnya aku mati karena kau keasyikan melihatnya."

Hanji tertawa, lalu diam. "Bisa jadi."

Rivaille mendengus lagi, dan meletakkan tangannya di atas dadanya. Merasakan detak jantungnya sendiri. Normal. Tidak berdetak dengan lemah seperti waktu ia pertama kali dibawa ke rumah sakit ini. Jantung Rivaille memiliki suatu keanehan dimana ada sesuatu yang menempel di jantungnya seperti tumor atau kanker. Tapi bukan! Dan sesuatu ini mengganggu jalannya aliran darah ke jantung Rivaille. Hal ini membuat tubuh Rivaille melemah dan terpaksa ia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai polisi dan terbaring di atas ranjang rumah sakit ini.

"Lalu... Sekarang kau butuh apa?" Tanya Hanji dengan ramah. Rivaille memandangnya datar seperti biasa untuk beberapa saat.

"Kau bisa kasih aku apa?" Tanya Rivaille balik. Dengan kesal, Hanji menjawabnya ketus, "Harusnya kau menjawab pertanyaanku dulu!"

Rivaille melirik ke langit-langit kamarnya, berpikir. "Aku butuh Petra."

Perawat muda itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, lalu senyum pun tersungging di bibirnya. "Baik."

Merasa tak menduga Hanji akan menyanggupi permintaannya, Rivaille mengangkat sebelah alis matanya sedikit. Heran. Tapi kemudian rasa penasarannya terjawab dengan terdengarnya suara lembut itu dari balik pintu.

"Permisi..."

Itu jelas suara yang sangat dikenal—sekaligus dinanti-nanti—Rivaille, suara kekasih tersayangnya, Petra Rall. Dengan senyum manis, Petra mengeluarkan sebuah buku yang lumayan tebal dari dalam tas jinjingnya.

"Ini, kubawakan kekasihmu," Ditaruhnya buku tebal itu di meja yang berada tepat di kanan ranjang Rivaille. Rivaille melirik buku itu datar lalu kembali menatap Petra.

"Jangan bercanda," Lalu berusaha duduk, "Kamu jelas jauh lebih kusayangi dari pada buku tebal itu." Lalu, kedua insan berbeda kelamin itu pun berciuman dengan lembut di hadapan Hanji.

Kekasih ya. Ah, Hanji tidak pernah memikirkan tentang cinta sebelumnya. Bahkan saat ia remaja. Ia terlalu terobsesi dengan sains dan alam. Yang menarik perhatiannya hanya orang-orang yang juga menyukai sains. Yah, karena itulah dia bisa kenal dan akrab sejak SMA dengan Erwin, dokter yang menangani Rivaille. Tapi tentu saja yang diingatnya tentang Erwin hanya bagian tentang sains saja. Ia bahkan tak tahu kalau Erwin pernah menjuarai anggar tingkat nasional, padahal tiap kali Hanji berkunjung ke rumahnya, ia selalu melihat plat penghargaan itu di ruang tamu keluarga Smith.

"Ngapain kamu di sini masih ngeliatin? Yang kubutuhkan sudah ada di sini." Tegur Rivaille dengan nada datar, sedatar ekspresinya. Hanji pun tersadar dari lamunannya lalu memasang ekspresi kesal. "Oke."

Hanji berbalik lalu pergi keluar ruangan kelas 1 Rivaille. Senyum terbentuk di wajahnya. Sebentar lagi dia bisa kembali meneliti sepuasnya di ruangannya dan Erwin!

.

.

.

Tok tok tok.

Sebuah ketukan halus terdengar di ruangan Erwin dan Hanji. Erwin yang sedang meneliti resep obat agak sedikit terganggu, tapi toh dia punya Hanji yang bisa membukakan pintu itu untuknya.

Tok tok tok.

Lagi-lagi ketukan itu. Dengan sedikit jengkel Erwin menegur Hanji, "Hanji, tolong bukakan pintunya." Dan dijawab dengan suara haha hihi Hanji. Oh iya, dia sedang 'bercinta' dengan objek penelitiannya. Oh, kadang-kadang Erwin jadi ingin punya perawat cantik yang normal-normal saja.

"Masuk saja!"

Lalu tampaklah sosok cantik Petra menyembul dari balik pintu. Sempat terpikir di benak Erwin kalau gadis ini akan jadi perawat yang jauh lebih manis dari perawat maniaknya. Tapi, tunggu, sebenarnya ada urusan apa sampai gadis manis ini repot-repot datang ke ruang kerja Erwin segala?

"Permisi, saya mau berbicara dengan Hanji. Apakah dia ada di sini, dokter?" Tanya Petra dengan posisi masih mengintip ruangan Erwin dengan kepala menyembul dari pintu.

Lalu terdengar suara tawa Hanji yang terdengar begitu senang dengan objek penelitiannya.

Erwin mendesah pelan, "Masuklah, Frau Petra. Seperti yang kau dengar, dia ada di dalam."

Petra tersenyum lalu dengan perlahan ia masuk ke dalam ruangan itu. "Hmm... Ruangan anda wangi sekali, dokter. Tidak kusangka..." Tawa renyah Petra terdengar pelan dan membuat perhatian Erwin teralihkan lagi dari tugasnya. Wangi? Hm, ia mulai menghirup dalam-dalam nafasnya dan... Benar juga! Kenapa ia baru menyadarinya?

Lalu pandangan kedua manusia itu beralih ke meja penelitian Hanji dimana sebuah baskom yang cukup besar berisi sebuah cabang pohon yang telah patah menghalangi kegiatannya. Jangan-jangan wangi di ruangan ini berasal dari bunga yang melekat di cabang pohon itu?

"Indah sekali, Hanji! Wah! Benar! Ternyata harum ini berasal dari tanaman ini!" Petra mendekati Hanji dan memecah kesenangan Hanji dalam dunianya sendiri. Gadis manis itu mengelus mahkota bunga berwarna kuning itu. Tersenyum, berusaha mengingat-ingat sesuatu.

Hanji mengubah posisi duduknya dan sekarang ia tengah menghadap Petra, "Kudengar dari Rivaille, Frau Petra itu seorang florist ya? Apakah kamu tau ini bunga apa?"

Baiklah, baiklah, perhatian Erwin memang sudah tak fokus sejak Petra mengetuk pintu. Jadilah ia sedari tadi diam-diam ikut mendengarkan perbincangan kecil kedua gadis itu.

"Kau menelitinya sejak lama dan kamu tidak tahu itu bunga apa, hei, Han?" Sindir Erwin. Petra menahan tawanya. Hanji hanya memasang ekspresi polosnya, "Ya, aku memang tak tahu. Aku terlalu fokus pada strukturnya yang entah kenapa menurutku ini indah."

"Maaf, Hanji." Ucap Petra setelah beberapa saat mengingat-ingat. "Aku memang florist. Tapi toko tempatku bekerja tidak menjual pohon ini. Dimana kamu mendapatkan dahan ini?" Tanya Petra penasaran.

"Aku menemukannya di rumah kaca rumah sakit ini. Tentu saja sudah kutanyakan pada pengurusnya. Tapi mereka bilang pohon ini sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum mereka bekerja di sini. Aku sudah lama mencari nama bunga ini. Tapi tidak ketemu juga. Hmmm..." Keluh Hanji sambil memain-mainkan sebuah bunga yang berbentuk mirip bunga kenanga itu.

Erwin bangkit dari kursinya, lalu menghampiri kedua wanita itu. "Kalau kamu hanya ingin mengamati teksturnya di mikroskop, untuk apa kamu bawa cabangnya segala... Malah merepotkan dan jadinya merusak pohonnya kan." Komentar Erwin.

Hanji tertawa terbahak-bahak, "Saat aku ke sana, petugasnya malah sedang memotong dahan pohon ini karena sudah tumbuh tinggi, dan akan mengganggu rumah kaca. Makanya aku ambil saja sekalian satu dahan. Sekali-sekali merubah suasana dengan meletakkan bunga harum di tempat suram bau antiseptik ini tidak apa, kan?"

Petra tersenyum mendengar pembelaan Hanji. Erwin menatap dahan itu tak suka, "Tapi tidak harus satu dahan besar kan, Hanji! Lagipula itu sepertinya bukan jenis bunga yang bisa kau pajang di ruanganmu." Bantahnya tegas. Decakan kesal terdengar dari mulut Hanji yang kesal, mengingat kenyataan bahwa pemilik ruangan ini tetap Erwin selaku dokternya.

"Lantas, kau mau kuberikan bunga matahari saja di tengah musim dingin yang menusuk ini?" Tawar Hanji dengan sarkastik. Lalu ia tertawa lagi, merasa yakin Erwin akan tersudut mendengar sindirannya. Kenyataannya, Erwin terdiam, menatap wajah Hanji yang tengah tertawa, dan berpikir dalam-dalam.

"Tulip merah. Sepertinya bisa merubah suasana yang tak kau suka itu di ruangan ini." Jawab Erwin. Hanji berhenti tertawa. Ia tak menyangka Erwin akan benar-benar meminta bunga darinya. Petra yang mendengarnya tersipu malu, ia yang mengenal betul arti dari bunga tulip terkejut dengan aksi Erwin yang begitu langsung dengan meminta bunga itu dari Hanji.

Perawat berkacamata itu menatap Petra, lalu dibalas dengan tatapan ramah, "Hanji mau ke tokoku?"

Dengan sekejap, Hanji mengubah fokusnya kembali pada cabang pohonnya, lalu mengangkat baskom besar itu. "Aku mau mengurus ini saja." Dan ia berjalan perlahan sampai akhirnya sosoknya hilang dari pandangan Erwin dan Petra.

Ah, padahal Petra belum sempat membahas urusannya dengan Hanji...

Mendesah, Erwin pun mengambil lap di dekat tempat cuci alat laboratorium—yap, tepat sekali! Ruangan Erwin dan Hanji adalah laboratorium dengan dua meja keduanya yang agak terpisah dari meja-meja penelitian—dan mulai membereskan bekas-bekas eksperimen Hanji.

"Ah, biar aku bantu, dokter." Petra menyodorkan tangannya, meminta lap tersebut dari tangan Erwin. Tangan atletis itu pun menyerahkan lap dengan suka cita.

"Maaf, dan terima kasih. Hanji memang selalu merepotkan seperti itu." Ucap Erwin tak enak hati. Seperti biasanya, Petra membalasnya dengan senyum tulusnya yang mengatakan 'tidak apa-apa'.

"Ngomong-ngomong, tadi Frau Petra datang ke sini ada urusan dengan Hanji, kan? Apakah itu adalah untuk menanyakan perihal soal bunga yang sedang diamatinya tadi?" Tanya Erwin, mengingatkan. Petra pun kembali teringat pada tujuan awalnya.

"Ah! Aku jadi lupa tadi, melihat Hanji tengah melakukan suatu hal yang menarik." Erwin mengerutkan alisnya. Petra tadi menyebut penelitian tak jelas Hanji sebagai suatu hal yang menarik? Tidak salah? Ah barang kali wanita itu hanya tidak biasa saja melihat kebiasaan aneh Hanji itu. Erwin sudah bosan melihat aktifitas rutin rekannya itu di lab. mereka berdua, sehingga tak menganggap hal itu menarik apalagi luar biasa.

Petra melanjutkan omongannya, "Ini tentang Rivaille. Berhubung aku juga sedang berhadapan dengan dokter, jadi, bagaimana progress-nya, dok?"

Erwin tersenyum, memberi isyarat kepada Petra untuk berbincang di meja kerja Erwin. Apalagi ini menyangkut pasiennya. Pasti setidaknya ada satu dua data tertulis yang harus disampaikannya kepada 'keluarga' satu-satunya Rivaille itu.

"Sebenarnya ini lebih baik dari perkiraan terburuknya. Tidak bertambah baik, tapi tidak juga bertambah buruk. Operasi pertama sudah lewat hampir satu bulan lalu—memang efeknya butuh waktu lama—tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda jantungnya membaik. Sama sekali tidak ada progress." Jelas Erwin dengan wajah serius. Dikeluarkannya beberapa map yang berisi data-data tentang kondisi Rivaille. Ditunjukkannya bukti-bukti itu kepada Petra. Raut wajah wanita berambut karamel itu pun semakin pucat seiring bertambahnya data yang ditunjukkan Erwin.

Selesai menunjukkan data-data itu, Erwin kembali angkat suara, "Keadaannya masih sama seperti semula. Bisa jadi operasi itu tidak berefek terhadap kondisi jantungnya. Tapi..." Erwin terdengar sedikit ragu untuk melanjutkan. "... Tapi meskipun itu mungkin, entah kenapa saya rasa bukanlah itu yang terjadi pada Rivaille."

Meski berat, dengan tegas Erwin melanjutkan, "Operasi itu hanya memperbaiki kondisi Rivaille yang tadinya memburuk."

Kedua iris kuning keemasan itu membelalak kaget. Tatapannya mulai mengarah ke sembarang arah, tak lagi fokus kepada Erwin. Bibirnya yang tampak ranum digigitnya pelan.

"Pardon?"

Dengan sabar, Erwin menjelaskan, "Jadi, kemungkinan kondisi jantung Rivaille sebelum operasi sudah memburuk—walau pada pemeriksaan waktu itu aku yakin dia dalam kondisi biasa sebelum memburuk. Lalu operasi ini hanya mengembalikannya ke kondisi semula, yang pada dasarnya memang sudah tak baik."

Petra tersenyum miris. Ia memang sudah mengerti sejak awal Erwin mengatakannya. Hanya saja, ia belum bisa menerima kenyataannya.

"Lalu kenapa sekarang tiba-tiba dokter tidak yakin? Kenapa dokter bisa mengeluarkan hipotesa seperti itu dengan keyakinan penuh, padahal itu sama sekali terbalik dengan keyakinan dokter saat memeriksa Rivaille sebelum operasi?!" Petra mulai memasukkan emosi dalam pertanyaannya. Menahan kesedihannya.

Erwin menunduk. Ia.. Tersudut dengan pertanyaan-pertanyaan Petra. "Aku tahu ini sikap yang salah, Frau. Tapi aku tidak menyesali tindakanku. Apapun itu, yang harus dilakukan sekarang hanyalah bagaimana memperbaiki—menyembuhkan—Rivaille, bukan?"

Iris kuning keemasan itu berkilat cemas.

"Bagaimana jika operasi lagi saja, dokter? Sebelum keadaannya semakin bertambah buruk! Mungkin ini akan membuat kenaikan progress terhadap kondisi jantungnya!" Saran Petra.

"Operasi ini tidak bisa dilakukan terlalu sering. Terlebih belum lebih dari satu bulan setelah operasi itu dilakukan. Jika dipaksa, kemungkinan malah akan bertambah buruk kondisi tubuhnya." Jelas Erwin.

"Ta.. Tapi! Jika kondisinya memburuk, hanya akan mempertahankan kondisinya seperti ini apabila operasi itu dilakukan lagi! Berapa lama lagi ia harus terus menerus berurusan dengan rumah sakit?! Tidakkah... kau... paham... ?" Kedua mata Petra mulai berkaca-kaca.

"Tidakkah kau paham... perasaan orang yang selalu merasa akan mati sejak masa kecilnya...?" Lanjut Petra sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya tak terlihat oleh Erwin sekarang, tapi dokter muda itu yakin, pasti wanita di hadapannya ini sedang menangis.

Walau baru lima tahun menjadi dokter, tapi ia sudah sering melihat pola seperti ini dalam hidupnya. Secara nyata, bukan hanya dalam drama. Dimana pasien yang menderita penyakit dalam akan semakin memburuk kondisinya dan tangisan-tangisan atau bahkan caci maki para keluarga pasien ditujukan kepadanya. Bukan berarti Erwin meremehkan sebuah nyawa. Tapi, ia memang sudah berusaha sekuat tenaga. Tak semua penyakit dalam dapat diobati, karena adanya keterbatasan teknologi di dunia ini. Setiap kematian yang ditemuinya memacunya untuk memperbaiki kinerjanya dan mengembangkan teknologi untuk penyembuhan para pasiennya.

Awal ia mendapati kematian pasiennya, ia merasakan sebuah kekecewaan yang sangat mendalam. Bahkan sampai terseret jauh oleh emosi dan tak dapat melakukan segala aktifitas kedokteran selama beberapa waktu. Ia takut. Dengan mudahnya nyawa itu menghilang di hadapannya!

Tapi, ini tentang takdir Tuhan.

Pengembangan teknologi yang terus menerus dilakukan Erwin—bersama Hanji tentunya—membuahkan hasil untuk dunia kedokteran. Berkatnya, beberapa penyakit parah dapat dicegah, bahkan disembuhkan! Di dalam dunia kedokteran, Erwin termasuk salah satu pahlawan! Banyak dokter sudah berhasil menyembuhkan pasien penyakit berat dengan teknologi kedokteran yang dikembangkan Erwin. Tentu saja itu membuat Erwin bangga—Awalnya.

Karena pada dirinya sendiri, semua teknologi itu hanya dapat memperpanjang umur para pasiennya sebentar, lalu mati perlahan-lahan. Semua pasiennya, mati perlahan-lahan.

Sekali lagi, ini semua tentang takdir Tuhan.

Tapi, tetap saja. Pemikiran 'ini adalah takdir Tuhan' tak membuat dirinya lepas dari rasa frustasi dan bersalah akan kematian pasien-pasien itu. Dengan cepat, pasien-pasien tak lagi mendatanginya. Akhirnya ia bisa tersenyum lega, lepas dari kematian-kematian itu.

Sampai akhirnya Hanji, Petra, dan beberapa suster bawahannya—yang semakin sedikit seiring menghilangnya pasien untuk Erwin—datang membawa Rivaille yang terkulai lemas di atas ranjang dengan jantung tak biasa.

"Dokter Erwin Smith? Tidakkah kau mendengarkanku?!"

Bentakan itu menyadarkan Erwin dari lamunan masa lalunya. Ia meminta maaf telah mengacuhkan Petra beberapa saat.

"Bisakah memberi saya waktu untuk memikirkannya, Frau?"

Petra diam. Sepertinya ia menahan gejolak emosi dalam hatinya. Menatap Erwin sedikit kecewa, sampai akhirnya tersenyum miris di hadapannya. Bangkit dari kursinya, "Maaf, saya ada urusan lain, dokter." Lalu pergi dengan cepat. Meninggalkan Erwin sendirian di dalam ruangan dengan wangi bunga yang dibawa Hanji tadi.

Tiba-tiba, setitik warna kuning muncul dalam refleksi lensa matanya. Bunga yang dibawa Hanji tadi! Bunga itu terletak pasrah di dekat pintu ruangannya. Tampaknya Hanji menjatuhkannya dari dahannya saat ia membawa dahan itu keluar. Erwin pun mengambil bunga itu, berniat untuk membuangnya.

Tapi, aroma bunga itu mengingatkannya pada Petra. Tangisnya. Caci maki keluarga yang ditinggalkan pasien-pasiennya terdahulu. Tangisan mereka. Kematian-kematian pasiennya.

.

"Apapun itu yang terjadi, aku percaya yang kau lakukan adalah benar."

.

Otak cerdasnya memutar kembali rekaman suara Hanji yang terdengar lembut saat itu. Senyum tipis pun terbentuk di wajah yang biasanya selalu terlihat kaku dan serius milik Erwin. Dibuangnya bunga itu ke dalam tong sampah di luar ruangannya. Lalu pria itu kembali masuk ke dalam ruangannya, dan duduk manis di atas kursi empuknya.

"Ada banyak pasien lain di luar sana yang menunggu resep ini selesai!"

.

.

.

Cahaya putih serentak memaksa masuk ke dalam kelopak mata pria berdarah Perancis itu. Dengan enggan, dibukanya kedua kelopak matanya. Kembali bangun dari kematian sesaatnya. Mengerjapkan mata, beradaptasi dengan lingkungannya. Tidak butuh waktu seperempat detik sekalipun untuk menyadari dimana dirinya sekarang. Ia pasti ada di atas ranjangnya di rumah sakit. Ia selaluberada di sini.

Lalu, sosok wanita berambut coklat itu masuk dalam zona pandangnya yang masih samar-samar. Walau begitu, Rivaille sadar betul siapa wanita itu. Pasti perawatnya yang aneh, Hanji Zoe. Karena Ia juga selalu ada di sini.

Selalu.

"Bangun juga, pria pemalas? Ini makan malammu." Hanji menunjuk sebuah nampan yang bertengger manis di meja di samping ranjang Rivaille. Rivaille meliriknya sedikit. Agak heran, karena tiba-tiba ada daging babi yang disajikan di dalam makan malamnya.

Kedua mata Hanji berkaca-kaca, "Ha.. Hari ini kau beruntung karena tiba-tiba Erwin menyuruhku memberikanmu daging babi sebagai lauk! Katanya, se.. sekali-sekali kau perlu hiburan dalam menu makanmu. Tapi.. Tapi... Kenapa harus daging babi, Erwin! Hiks hiks..." Cairan bening mulai menetes satu per satu dari kelopak mata Hanji. Rivaille mengacuhkannya dan mengubah posisi ranjangnya yang memudahkannya untuk duduk. Diambilnya makanan itu, lalu dilahapnya dengan wajah datar.

"Rivaille! Walau kau makan, setidaknya menangislah untuk daging Buta-san—Tuan Babi—yang kau makan! Hiks..." Bentak Hanji sambil memalingkan wajahnya dari Rivaille. Kedua tangannya menutupi wajahnya untuk menahan air matanya yang semakin deras keluar.

Rivaille melanjutkan makan malamnya dengan biasa. Sudah biasa dengan segala ulah Hanji yang aneh. Kali ini, hewan yang sangat disayanginya—Babi—dijadikan lauk makan malam Rivaille. Aneh! Hanji benar-benar fanatik segala hal tentang Babi! Entah apa yang dilihatnya dari makhluk bau itu. Yang jelas raut wajahnya akan sangat berbahagia saat berbicara tentang Babi—kecuali dalam situasi kaum Babi sedang dalam masalah, seperti saat ini.

"Ak.. Aku tak mengerti kenapa kalian semua manusia begitu menyukai daging Buta-san... Tidakkah kalian kasihan padanya?" Ucap Hanji di sela isak tangisnya. Hanji, kenapa kamu begitu peduli dengan nasib Babi?! Bagaimana dengan sapi, kambing, atau ayam yang juga dipotong lalu kau makan dagingnya juga?!

Rivaille meletakkan piring makannya yang telah habis di tempat semula. Ia melepas kemeja putih rumah sakit yang dipakainya sementara Hanji masih membelakanginya dan menangis terisak. Dilepaskannya satu per satu kancing kemejanya dan akhirnya tampaklah badan atletisnya. Atletis? Hmm, walau berada di rumah sakit terus, tak berarti Rivaille tak dapat berolahraga—walau akhir-akhir ini hanya olahraga ringan—dengan rutin, kan?

Ranjang Rivaille berderit ketika pria itu beranjak dari ranjangnya. Diletakkanlah kemeja yang baru dilepasnya di atas kepala Hanji yang sedang terisak di kursi di samping ranjangnya. Isak tangis Hanji tiba-tiba berhenti. Awalnya Rivaille agak heran juga dengan tangisan Hanji—yang susah diredakan—tiba-tiba terhenti begitu saja. Tapi, ia tak memedulikannya dan melangkahkan kakinya perlahan menuju kamar mandi...

Srooot...!

"Da.. Danke, Rivaille... Hiks..."

Seketika, Rivaille langsung berbalik dan mendapati Hanji sedang mengelap ingusnya dengan kemeja putihnya!

Untuk beberapa saat lamanya, Rivaille membeku di tempat. Menyaksikan kemeja putih-bersih-bau antiseptik-nya sedikit basah terkena air mata dan ingus Hanji. Tidak bisa marah, Rivaille menegurnya dingin, "Cuci sampai benar-benar bersih."

Isak tangis Hanji terhenti seketika. Oke, dia salah karena menggunakan kemeja Rivaille sebagai lapnya, tapi, mencuci? Hei dia ini perawat dan bukannya tukang cuci! Bukankah tinggal disira air saja kemejanya akan bersih kembali? Apalagi jika bau antiseptiknya tingkat Rivaille. Kotor sedikitpun tetap wangi dan kuman pun hilang.

Tunggu? Bau antiseptiknya tak hilang? Hanji jadi penasaran apakah benar bau itu benar-benar tak menghilang dari kemeja yang tadi dipakai Rivaill...

"Hei! Apa yang kau lakukan dengan kemejaku, Hanji!"

Rivaille—yang sudah berbalut handuk di tubuh bagian bawah—menjauhi kamar mandi dan segera menyambar kemejanya dari tangan perawat berkacamata itu.

"Hei, santai lah. Aku hanya membauinya."

Alis pemuda perancis itu mengerut, "membaui? Apa maksudmu dengan mem... Hei!" Tiba-tiba Hanji memeluknya dan membaui tengkuknya—tidak sulit karena Hanji lebih tinggi dari pada Rivaille—dan wajahnya tampak puas. "Kau tidak berbau antiseptik kok, mungkin itu cuma kata orang-orang"

"Hanji! Lepaskan! Aku mau mandi, kau tak lihat bagaimana penampilanku sekarang?" Suara berat Rivaille menegur Hanji, menahan emosi. Alih-alih melepas pelukannya, Hanji malah semakin penasaran dan membaui telinganya "You smells so good..."

Rivaille merasakan sentuhan nafas Hanji yang menggelitik telinganya, "Han...ji... Hentikan atau aku akan..." Tampaknya Rivaille mulai sedikit menunjukkan emosinya sekarang. Oh, rupanya dia menahan mati-matian sesuatu di bawahnya agar.

"Hanji! Hentikan! Kau membuatku..."

Hanji yang tak juga berhenti membauinya membuat Rivaille lewat dari batas kesabarannya dan mendorong Hanji ke atas ranjangnya. Rivaille mati-matian menahan rona merah di wajahnya keluar. Kedua pasang mata itu saling memandang—dalam arti yang berbeda, mengingat Hanji hanya penasaran terhadap aroma tubuh Rivaille.

"Hh... Hh..."

Wajah Rivaille semakin mendekati Hanji dan bibir dingin itu hampir saja saling bersentuhan sampai bibir lembut Hanji mengeluarkan suara, "Aku suka aroma tubuhmu, Rivaille. Aku senang, kau tampak sehat."

Glek.

Jadi.. itu... termasuk pemeriksaan?"

Dengan berat—atau malah lega?—Rivaille menghembuskan nafas, dan menjauhi wajah Hanji yang tengah tersenyum. Yah, hal ini memang sangat Hanji. Melakukan berbagai macam hal tidak terduga—dan ambigu—untuk memenuhi rasa penasarannya. Diambilnya kemeja putihnya yang sudah tergeletak tak berdaya di lantai rumah sakit yang dingin. Ia harus mencucinya sendiri.

Agar Hanji tidak dapat mencium aroma tubuhnya di kemeja manapun lagi.

.

.

.

"Petra... Biarpun itu hanya sesaat tapi... Maafkan aku..."

.

.

.

A/N for Rouvrir Fleur :

Well, yeah. Akhirnya... Chapter 1 berakhir tanpa unsur soal bahasa bunganya ya HAHA (_ _) Cuma bunganya muncul di sini. Nggak tanggung-tanggung, sama cabangnya segala lho, Rou.

Iya, bunga yang aku pakai itu hamamelis virginia yang artinya a spell. Oh iya, aku tau kamu suka LeviHan tapi ini malah jadi HanLevi... Maafkan, ini agak plotless /dor/ dan Rivetra segala. EruHan pula. ONE-SIDED KOK, ONE-SIDED ERU. Aku kan suka menyiksa om ganteng walau dia udah sakit kehilangan tangannya hiks.

Ya sudahlah. Hope for quick update.