"Aku ingin dia tetap hidup bahkan bila aku harus mengorbankan sesuatu..."

(Petra Rall)

"Semoga Rivaille bisa kembali sehat dan hidup normal"

(Hanji Zoe)

"Sekali saja, aku ingin pasienku dapat merasakan nikmatnya kehidupan setelah sekian lama merasakan sakit dari penyakitnya."

(Erwin Smith)

"Aku masih ingin merasakan indahnya hidup bersama orang yang kucintai..."

(Rivaille)


.

.

.

A SPELL

.

.

.

Is the meaning of Witch Hazel flower

.

.

.

Copyright by Sasaki Yuki as known well by Schnee-Neige

.

.

.

For Rouvrir Fleur a.k.a Rou's Challenge

.

.

.

WARNING : AU. Attack on Titan milik Isayama Hajime. RivaiHan with Rivetra. One-sided EruHan. Author's POV. T+ rated. Alur cepat. OUT OF CHARACTER HANJI ORZ.

.

.

.

Sup krim jagung itu mulai kehilangan uap yang membuatnya terasa lebih lezat walau ditutup oleh selembar plastik. Hanji melengkungkan bibirnya ke bawah, tak suka dengan keadaan ini.

"Petra tidak menyuapimu?" Tanyanya kesal. Pasien yang satu ini memang termasuk sangat malas makan, tapi wanita berambut karamel kekasihnya biasanya berhasil membuatnya makan sampai habis.

Rivaille menggeleng, lalu kembali melihat pemandangan dari jendela kamarnya di rumah sakit dengan malas. Salju mulai berjatuhan dengan lembut satu per satu, menimbulkan suasana dingin sekaligus lembut, tapi tidak untuk Rivaille yang selalu bersikap dingin.

"Sikap dinginmu itu barangkali sudah membuat sup ini dingin juga dengan cepat." Hanji menaikkan suhu pendingin ruangan agar lebih hangat. "satu jam lagi waktunya makan malammu tiba, dan kau belum menghabiskan makan siangmu? Kau tidak menghargai makanan!" Tegur Hanji sambil membereskan makan siang Rivaille yang tidak tersentuh.

Rivaille tetap diam—seperti memikirkan sesuatu—dan Hanji terus-menerus mengoceh soal betapa kesalnya ia sup krim jagung yang termasuk enak dalam menu makan a la rumah sakit malah tidak dimakan oleh Rivaille. Sampai akhirnya sesendok makan sup krim jagung itu sudah membasahi bibir Hanji.

Rivaille memandangi Hanji dan wanita itu menyengir lebar, "dari pada dibuang? Lebih baik aku makan?"

Pemuda perancis itu mendengus dengan meninggalkan kesan 'terserah' dan membuat Hanji lebih leluasa memasukkan sup krim yang sudah dingin itu ke dalam mulutnya. Oke, rupanya sepiring yakiniku belum cukup mengisi perut perawat berkacamata itu.

Rivaille sedikit terganggu dengan cara makan Hanji yang agak berisik. Membuyarkan konsentrasinya, yang entah sebenarnya sedang konsentrasi terhadap apa. Sesekali mata tajamnya melirik Hanji yang begitu riang melahap sup krim jagung Rivaille yang tak lagi hangat. Aneh, perawat maniak babi itu menyadari tatapan curi-curi Rivaille dan tiba-tiba langsung memasukkan sesendok sup krim ke sela-sela mulut Rivaille yang terbuka karena kaget. Dengan cepat, ditutupnya rapat-rapat bibirnya dan membuat sup krim di sendok itu jatuh ke sarung membiarkan Rivaille mengucapkan satu patah kata pun, dengan cepat Hanji mencium Rivaille dan langsung memasukkan sup krim dalam mulutnya ke dalam mulut Rivaille, yang pada akhirnya pun tumpah juga karena kekagetan Rivaille yang refleks mengeluarkannya.

"Ha.. Han...!"

Yang Rivaille hadapi sekarang adalah seorang wanita berkacamata dengan baju perawat dengan sup krim yang mengelilingi bibirnya dan wajahnya yang memerah sampai ke telinga yang terlihat karena surai cokelatnya terikat rapi ke belakang. Tak percaya, Rivaille seperti menemui orang lain sekarang. Pemuda perancis itu sadar betul bahwa dirinya banyak disukai beberapa wanita, dan kadang beberapa wanita nekat pernah juga mencium bibirnya dengan paksa. Apalagi dia juga punya pacar yang cantik dan manis—dan sempurna. Lalu, perawat aneh ini, yang tidak pernah dibayangkannya berurusan dengan cinta, menciumnya, paksa.

Paksa, tapi—

tidak ditolak?

"Aku pikir kamu mau makan ini, hahaha karena kamu sekali-sekali melirik ke arahku, hahaha."

Tawa itu sama sekali tak terlihat seriang Hanji yang biasanya.

"Hanji, kamu..."

"Aku mungkin harus ketemu Erwin. Mungkin yang lain bisa menggantikanmu, hahaha."

"Hanji."

"Aku..."

"Hanji, kamu kenapa?"

Cengiran paksa itupun diam. Bibir merah itu terkatup rapat. Bulir-bulir keringat pun tanpa sadar turun satu-satu dari tengkuknya. Tangan kanan dan kirinya meremas rok pendeknya. Wanita ini tidak tahu kenapa dia bisa bertindak barusan. Barusan itu tidak keluar dari akal sehatnya!

"Aku... tidak apa-apa. Maaf."

Lalu wanita ponytail berkacamata itu berlari keluar dari kamar Rivaille. Meninggalkan sup krim dingin begitu saja tumpah di kemeja pria itu. Dengan gusar, Rivaille beranjak ke kamar mandi dan membersihkan bajunya, sekaligus mandi untuk ketiga kalinya dalam satu hari ini.

"Tch, merepotkan..."

Rivaille terus-menerus mengeluh tiap kali menggosok bagian yang sulit dibersihkannya. Mengeluh, mendecih, kesal, dan akhirnya baru dia sadari bahwa kemeja yang dicucinya telah bersih sejak beberapa menit yang lalu.

Ia gelisah.

Sebelumnya, ia tidak pernah merasa begitu gelisah hanya karena ciuman dari seorang gadis. Bahkan saat ciuman pertamanya dengan Petra. Mungkin ini karena ini Hanji. Karena wanita yang menciumnya adalah Hanji. Ya, mungkin.

Lalu? Bagaimana dengan Petra? Apa yang harus dikatakannya kepada Petra kalau begini keadaannya? Dia dicium oleh Hanji dan tidak mungkin tidak memiliki suatu arti khusus kecuali mungkin Hanji ingin menginfeksi dirinya dengan virus babi rabies atau apalah yang mirip itu. Tapi Rivaille tau benar Hanji tidak terjangkit virus itu.

Tunggu, Hanji memang tidak terkena virus rabies lalala itu. Tapi mungkin virus cinta.

Dan, sebenarnya tidak ada yang harus dikatakan Rivaille terhadap Petra kan? Dia cukup merahasiakan ini agar hubungan mereka bertiga tetap sama seperti biasanya. Petra dan Rivaille saling mencintai sebagai sepasang kekasih dan Hanji seorang perawat aneh yang melayani—menyusahkan—Rivaille yang sedang sakit. Yap.

Tidak... Bisa. Rivaille menyentuh dadanya dan merasakan detak jantungnya berdetak sangat cepat sejak tadi. Ubun-ubunnya memanas karena malu. Pemuda Perancis itu hanya tidak ingin mengakui bahwa ia cukup suka dengan perbuatan Hanji tadi—walau agak memaksa.

.

.

.

"Aku ingin cepat pergi dari rumah sakit ini..."

.

.

.

Wajah yang biasanya terlihat dingin itu kini dihiasi dengan sedikit kerut di antara alis tebalnya. Pria berambut pirang klimis itu bingung mendapati sebuah bunga bertengger rapi di mulut vas bunganya. Vas bunga yang dibiarkannya kosong agar Hanji dapat menaruh bunga tulip merah pesanannya. Tapi yang ditemukannya sekarang malah sebuah bunga yang sedikit aneh dan tak asing lagi di matanya.

Bunga yang dibawa-bawa Hanji bersama cabangnya ke dalam laboratorium waktu itu.

Diambilnya bunga itu. Ia berniat membuangnya karena tidak enak dipandang jika bunga itu dipajang di vasnya. Tapi tiba-tiba bayang wajah Hanji—mungkin ia terbayang karena akhir-akhir ini Hanji berbau bunga itu—dan membuatnya sedikit mengurungkan niat untuk membuang bunga itu. Toh, ini pasti dari Hanji, kan?

Tok tok tok

Lalu sosok wanita mungil berambut karamel itu muncul dalam jarak pandang Erwin.

"Selamat siang, Dokter."

Oh, Petra. Erwin harap ia datang bukan untuk memarahinya lagi.

"Selamat siang, Frau Petra. Silakan duduk di sini." Erwin menarik kursi untuk Petra dengan gentle.

Petra pun duduk di kursi yang telah disediakan Erwin dan tersenyum melihat bunga yang dipegang oleh Dokter yang menangani kekasihnya itu. Merasa diperhatikan, Erwin segera menarik lacinya dan melempar bunga itu ke dalamnya. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Erwin, formalitas.

"Apakah Anda baru saja mengucapkan permohonan Anda, Dokter?" Tanya Petra, dengan senyum misterius.

"Maaf, saya tidak mengerti maksud anda." Jawab Erwin serius.

Petra menahan tawa melihat ekspresi serius Erwin. "Apa kau tahu, Dokter? Bunga yang tadi kau pegang adalah Witch Hazel."

"Ah, aku tidak begitu memperhatikan soal bunga-bungaan. Tidak sepertimu yang begitu ahli dalam bidang itu, Frau." Tanggap Erwin tenang.

"Tidakkah kau tertarik, Dokter? Bunga itu mungkin saja dapat mengabulkan permohonan. Kadang ada beberapa hal yang sulit dimengerti dengan logika di dunia ini, bukan?" Lanjut Petra.

"Frau... Anda..."

"Sebuah mantra..."

"Frau Petra, tolong berhenti berbicara aneh!" Potong Erwin dengan sedikit emosi. Wanita itu akhirnya diam, namun bibir lembutnya tetap tersenyum.

"Rivaille pasti akan sembuh dari penyakitnya! Tolong jangan tambah pasien saya." Sindir Erwin dengan halus.

Petra tertawa lembut, "aku tidak gila, kok."

Lalu keduanya pun bergeming dalam diam. Suasana diantara mereka jadi kaku.

"Apakah... Kau yakin bisa menyembuhkan Rivaille, Dokter?" Tanya Petra lirih.

Erwin tidak berani menatap kedua mata karamel Petra. Pun dengan menjawab pertanyaannya. Ia tidak yakin akan hal itu, mengingat pemeriksaan terakhirnya terhadap pasien satu-satunya itu tidak menunjukkan hasil yang bagus.

Wanita lembut itu menundukkan kepalanya. "Aku sudah mengajukan permohonanku. Hanji juga. Rivaille... pasti... juga."

Alis tebal itu kembali mengerut mendengar gumaman Petra. "Maaf, aku tidak mempercayai hal-hal yang berbau seperti itu. Kalau Hanji... Mungkin dia agak sedikit aneh jadi itu mungkin saja kalau dia ikut-ikutan begitu demi babi kesukaannya."

"Salah." Petra kembali menatap Erwin dengan senyum merasa menang. "Ia memohon untuk kesembuhan Rivaille."

Biar sedikit tertegun, tapi ekspresi Erwin tetap kaku seperti biasanya. "Itu sangat tidak Hanji. Ia tidak pernah begitu berharap pasien kami dapat sembuh sampai harus mempercayai mitos-mitos aneh soal permohonan begitu."

"Maaf, tapi itu benar."

Walau ini biasanya normal untuk orang biasa, tapi tidak untuk Hanji. Hanji dan dirinya sudah biasa untuk tidak terlalu berharap dalam menyembuhkan pasien-pasien mereka. Entah kutukan apa yang menempel padanya, atau mungkin pada Hanji—atau mungkin keduanya?—tapi pasien yang mereka tangani selalu berakhir pada kematian. Walaupun Hanji sudah berperan sebagai perawat baik yang selalu menghibur dan melayani para pasien dengan ucapan-ucapan motivasi positif atau semacamnya, tapi ia tahu benar bahwa wanita itu memang sudah terbiasa melihat akhir tragis para pasien itu. Tak peduli sebanyak apa kata-kata positif yang diucapkannya.

"Ada keperluan apa Anda datang kemari, Frau?" Tanya Erwin, mengalihkan perhatian.

"Cara mengalihkan perhatian yang buruk." Komentarnya. "Tapi, baiklah. Aku berbicara soal pemulihan kesehatan Rivaille."

"Aku yang lebih tahu soal hal itu, tentu. Apa kau tidak memercayai kemampuanku?" Tanya Erwin tegas.

"Pesimis adalah hal terburuk yang tidak akan kulakukan jika menyangkut Rivaille." Jawab Petra tak kalah tegas.

Erwin mengangkat bibirnya, tersenyum. "Pantas Rivaille yang dingin seperti itu memilih anda sebagai kekasihnya."

"Itu tidak ada hubungannya dengan ini. Aku ingin kau melakukan operasi atau rontgent atau apalah itu supaya Rivaille bisa lekas sembuh." Balas Petra, sedikit tidak nyambung.

Kembali pada ekspresi biasanya, Erwin menanggapi balasan Petra, "aku tidak jamin operasi lagi akan memperbaiki keadaannya, tapi, aku memang merencanakannya dalam waktu dekat ini. Dan... Sebenarnya aku juga sedikit ragu kalau operasi itu..."

"... Kau tidak yakin kalau operasi itu takkan berjalan dengan baik sesuai harapanmu?" Potong Petra dengan nada menantang.

Erwin diam seribu bahasa. Wanita manis di hadapannya ini benar-benar menguras batinnya.

"Sepertinya kau telah melakukan sesuatu sehingga kau begitu yakin operasi ini akan memberikan efek yang baik. Apa yang telah kau lakukan sehingga bisa seyakin ini?" Tanya Erwin, membalikkan pertanyaan Petra.

Kekasih Rivaille itu menggigit bibirnya. Jeli sekali dokter ini. Ia ingin menjawab yang sebenarnya, tapi, dokter ini pasti tidak akan mau percaya.

Tidak akan.

"Pokoknya, lakukan saja. Kau juga sebenarnya tak ingin pasienmu kali ini mati di tanganmu kan, hah?" Pancing Petra, dengan seringai kemenangan.

Erwin meneguk ludah.

"Sudah yang keberapa kali sampai kau terbiasa kehilangan nyawa pasien-pasien itu lewat perantara dirimu, Dokter?"

Tahu dari mana wanita ini. Tahu dari mana ia akan sejarah hitam dokter berambut klimis itu?

Erwin kehilangan kesabarannya. Dihentakkanlah kedua tangan besarnya dengan cukup keras ke meja kerjanya, membuat Petra terlonjak kaget.

"Aku akan melakukan operasi secepat mungkin."

Lalu ia berjalan meninggalkan meja kerjanya perlahan.

"Semoga berhasil, Dokter." Bisik Petra. Akhirnya permintaannya dipenuhi Erwin.

Tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu lalu ia berbalik kembali menghadap Petra. "Ini bisa jadi akhir hidup dari calon suamimu. Aku tidak akan mau mengurusmu jika nantinya kau jadi gila menghadapinya, Frau."

Petra bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Erwin yang ada di depan pintu—yang terbuka—lalu berbisik di telinga Erwin dengan sedikit berjinjit.

.

.

.

"Kalau begitu, berharaplah agar Rivaille bisa selamat di tanganmu."

.

.

.

"AKU TIDAK MELAKUKAN APAPUN!" Jerit perawat berambut coklat itu ketika seorang wanita berambut karamel pendek datang di hadapannya sambil tersenyum, keesokan harinya.

Dengan air muka keheranan Petra merespon jeritan Hanji, "Ng, Hanji?"

Pipi Hanji memerah lagi, lalu tertawa hambar, "Ha.. Ha.. eh.. Tidak apa. Sorry aku cuma takut." Dustanya. "Yah, Erwin agak aneh akhir-akhir ini."

Petra tersenyum manis lagi, "Baiklah. Ah, aku kesini cuma ingin menitipkan pesan untuk Rivaille."

Hanji berusaha keras menyembunyikan ekspresinya, "O..oh. Tapi, kenapa kau tidak langsung ke ruangannya saja? Ini memang bukan waktunya jam besuk pasien tapi biasa sajalah, kau kan sudah terlampau sering ke sini."

Petra tertawa, "tidak, ah. Bukannya aku kaku terhadap aturan itu tapi aku hanya sedang tidak ingin bertemu Rivaille."

Ekspresi Hanji mengeras. Jangan-jangan Rivaille cerita soal kejadian kemarin.

"Kamu tidak membenciku?" Tanya Hanji langsung.

Petra menatapnya bingung, "benci? Kenapa aku harus benci kepadamu? Kau menyenangkan, Hanji."

Rasa bersalah pun semakin besar terasa dalam benak Hanji. Wanita di hadapannya ini benar-benar cantik, baik, feminin—singkatnya, sempurna. Sangat jauh berbeda dengan dirinya sendiri. Yah, bukan berarti Hanji sering memperhatikan dirinya tapi jatuh cinta itu seringkali membuat orang jadi berbeda. Dan, oh, bahkan Hanji tidak tahu kenapa ia bisa mencium Rivaille hanya karena desakan dalam perasaannya didukung dengan alasan ingin memberi Rivaille makan.

"Hanji?"

Ah, lagi-lagi pikirannya melayang kemana-mana.

"O..oh. Maaf, Petra. Ya, apa yang ingin kau katakan?" Tanya Hanji, akhirnya.

Petra tersenyum, sedih. Wanita itu terdiam sebentar sampai akhirnya suara soprannya terdengar lemah,

"Aku mencintai Rivaille..."

Hanji semakin teringat 'insiden'nya dengan Rivaille.

"... Aku akan pergi untuk waktu yang lama. Jangan cemaskan aku."

Hanji tertegun mendengarnya. "Memangnya kalau bekerja di toko bunga bisa dipindahtugas juga? Aku tidak menyangka kalau toko bunga itu cabangnya ada di tempat yang jauh." Duganya.

Petra tertawa, "Pokoknya sampaikan saja seperti yang tadi kukatakan, ya."

Walau sedikit bingung, Hanji mengiyakannya dengan anggukan kecil plus sebuah cengiran pepsodent. "Kau tidak menyuruhku mengatakan agar dia tidak menyeleweng terhadap wanita lain?" Lalu perawat berkacamata itu terkikik pelan, menggoda Petra.

Mata karamel itu pun menerawang ke arah kedua mata Hanji, membuat yang ditatap merasa tidak nyaman. Sebisa mungkin Hanji membuang pandangannya ke arah lain tapi Petra terus melihatnya seperti itu.

Sampai akhirnya suara lemah Petra terdengar, "Aku... Serahkan Rivaille padamu selama aku pergi."

Hanji tersentak kaget mendengarnya. "Apa?"

"Maaf kalau terkesan memaksa dirimu tapi..."

"Tapi gimana kalau nanti selama kamu pergi aku bertindak aneh lagi?! Aku akhir-akhir ini tidak bisa megendalikan perasaan... Hmph!" Hanji menutup mulutnya segera ketika menyadari dirinya sedang membicarakan masalah ciuman paksanya terhadap pacar wanita berambut karamel di hadapannya ini. Terlambat, Hanji sudah memberikan kode yang jelas walau tidak benar-benar menyebutkan bahwa tindakannya itu adalah mencium Rivaille.

Awalnya, setelah mendengar ucapan Hanji itu Petra sedikit terkejut. Namun sekarang senyumnya malah mengembang. Walau terkesan sedikit dipaksakan.

"Aku senang mendengarnya, kok. Tidak apa. Aku pergi sangat jauh jadi mungkin saja kalau kami putus. Hanya saja aku tak ingin memberitahukan ini padanya secara langsung. Aku tidak ingin membuatnya gelisah sementara ia akan menjalani operasi sebentar lagi." Jelas Petra.

"Operasi? Sebentar lagi?" Tanya Hanji tak percaya. Erwin tak pernah memberitahunya soal hal ini, tapi Petra mengangguk mantap. Mengiyakannya.

"Tapi Rivaille baru saja dioperasi sekitar satu bulan lalu dan efeknya... tidak membaik. Aku takut operasi lagi justru akan membuat kondisinya memburuk. Bukankah Erwin yang paling tahu soal hal ini, Petra?!" Protes Hanji.

"Aku sudah berkonsultasi mengenai hal ini kepada Erwin dan dia mengatakan secepatnya akan mengoperasi Rivaille." Jelas Petra lagi.

"Apa sih yang dia pikirkan..." Hanji menggeram menahan amarahnya, "sudah berapa pasien yang mati karena dia mengambil keputusan yang begitu tergesa-gesa?! Huh." Umpatnya.

"Eh? Mak.. maksudmu, Hanji?"

Sekali lagi salah bicara, Hanji.

"Maaf aku cuma meracau sendiri. Jangan dipikirkan, Petra." Jawab Hanji, panik.

"Benarkah?" Pancing Petra.

"Aku cuma agak kesal kepada Erwin karena tidak memberitahuku soal operasi itu kok, jadi aku ngoceh nggak jelas kayak tadi hehehe..." Dalih Hanji. Petra pun menggumam dan akhirnya tak lagi bertanya soal Erwin. Untung bagi Hanji, wanita itu bukan tipe orang yang begitu penasaran dengan hidup orang lain.

Petra merapikan tas jinjingnya, "baiklah, kalau gitu aku pergi ya, Hanji." Hanji mengangguk lalu melambaikan tangannya sampai akhirnya sosok Petra hilang dari pandangannya. Lalu perawat berkacamata itu mencari Erwin dengan amarah tertahan.

.

.

.

"Aku tidak akan membiarkan Rivaille meninggal seperti pasien yang lainnya!"

.

.

.

Rivaille baru saja menikmati acara 'tiga puluh menit tenang tanpa Hanji maupun bayang-bayangnya' ketika tiba-tiba Erwin masuk ke dalam ruangannya dengan terburu-buru dan atmosfir yang tidak biasanya.

"Apa kau siap dioperasi lagi?"

Kalimat pembuka yang sangat tidak harmonis dengan kisah yang sedang dibacanya tadi.

"Ya? Bisa kau ambil napas dulu?"

Erwin tersadar dari kepanikannya—atau mungkin gejolak emosinya—dan mulai menarik napas panjang bak program yoga ibu-ibu hamil. Keadaan mulai kembali tenang ketika pintu kamarnya terbuka dengan kasar—lagi.

"RIVAILLE, APA DI SINI ADA ERWIN?"

Oke, acara 'tiga puluh menit tenang tanpa Hanji maupun bayang-bayangnya' berakhir dalam durasi 32 menit pas.

"Hei! Aku mencarimu sejak tadi! Apa maksudmu soal operasi?!" Bentak Hanji tepat di depan wajah Erwin yang tengah lelah.

Erwin yang tadinya tenang kembali terpancing emosi melihat Hanji yang membentak dirinya, "Jangan emosi dulu! Kamu tidak tahu kan bagaimana aku harus memutuskan!"

Oke.

Ini ruangan pasien dan yang harusnya merawat pasien malah mengganggu pasien itu sendiri. Dan menutup telinganya dengan bantal pun tidak membuat kegaduhan itu lekas berhenti.

"Hanji, Erwin, tolong."

Dan Erwin cukup tahu diri untuk segera kembali pada dirinya yang biasanya.

"Oke, ehm, maaf, Rivaille. Jadi, apa kau dengar soal operasi yang dibicarakan Hanji, tadi?"

Hanji baru saja akan protes tentang tindakan Erwin dan dokter muda itu langsung menutup mulut aktif Hanji dan menunggu jawaban pasien di depannya ini, sampai akhirnya Rivaille mengangguk tak yakin.

"Aku sih tidak apa dioperasi. Aku tahu kau akan melakukan yang terbaik untukku."

Ambigu. Plis semuanya ini bukan EruRi.

"Tuh!" Hanji menunjuk Rivaille dengan jari lentiknya, "dia begitu mempercayaimu, Erwin! Tolong, jangan gegabah! Aku... Tidak ingin dia sampai meninggal seperti yang lainnya!"

Hanji menutup mulutnya dengan kedua tangannya segera setelah Erwin melotot mendengar kalimatnya barusan. Author pun tak tahu sebenarnya kenapa hari ini Hanji begitu mudah kelepasan bicara. Untung bagi mereka berdua, Rivaille bukan tipe orang yang mudah penasaran dan menganggap hal itu merupakan privasi jika orang yang bersangkutan tidak melanjutkan pembicaraan tersebut.

"Pokoknya, "Hanji melipat kedua tangannya di dada, "aku tidak setuju dengan operasi yang menurutku terlalu terburu-buru."

Rivaille menutup buku yang sedang dibacanya setelah menyematkan sebuah pembatas buku emas di halaman yang terakhir dibacanya, lalu menaruhnya di meja di samping ranjangnya. "Aku rasa tidak apa-apa kalau operasi."

"Rivai...!"

"...Tunggu, Hanji! Aku belum selesai!" Potong Rivaille. "Aku... Tidak ingin meninggalkan Petra begitu lama dan merepotkannya dengan datang terus-menerus ke sini. Aku yakin Erwin pasti bisa meneliti lagi apa yang menempel di jantungku itu dan segera melenyapkannya dengan tahap awal operasi kedua ini. Operasi pertama memang gagal, tapi kau tidak punya alasan untuk segera menyerah, Erwin!"

Baru kali ini pemuda Perancis itu terlihat begitu hidup.

Erwin tersenyum lega, menemukan alasan yang lebih baik dari pada sekedar termakan pancingan Petra yang mengikis nuraninya.

"Kau tidak memikirkan kondisi tubuhmu sendiri?! Kau bahkan bisa saja tidak dapat menemui Petra lagi setelah operasi!" Hanji mengguncang bahu Rivaille cukup keras dengan wajah—sangat—khawatir. Sedikit hentakan keras terasa sedikit menyakitkan dalam dada Erwin ketika melihatnya.

Rivaille menjawab dengan tenang, "makanya aku mempertaruhkan semua ini, demi Petra."

Hanji tertegun melihat ekspresi Rivaille saat mengucapkannya. Begitu penuh harapan, dan tentunya, cinta. Wanita berkacamata itu tersenyum getir, lalu berusaha melenyapkan jauh-jauh perasaan aneh yang mulai tertanam dalam dirinya terhadap pria ini. Tak dapat menolak keteguhan itu, Hanji pun menyerah dan mempercayakan semuanya pada Erwin.

Tuhan, entah apa yang menimpa Erwin selama ini sampai tidak ada satu pun pasien yang selamat di tangannya, tapi aku mohon, sekali ini saja, buatlah operasi ini berhasil dan bukannya membahayakan Rivaille... Bisik Hanji dalam hatinya.

"Yah, kalau begitu, aku harap kau bisa mempersiapkannya untuk operasi besok, Hanji." Dengan sedikit tidak rela, Erwin meninggalkan kedua manusia berbeda jenis kelamini itu.

Dan ruangan bau antiseptik itu jadi hening untuk beberapa saat, menciptakan suasana kaku karena teringat kejadian terakhir mereka berdua dalam ruangan itu. Rivaille kembali meraih novel tebalnya dan melanjutkan membaca bukunya. Hanji pun duduk di samping ranjang Rivaille. Menunduk. Diam. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal Erwin jelas-jelas menyuruhnya membantu Rivaille untuk persiapan operasi besok, tapi...

"Aku tidak akan apa-apa besok." Rivaille berusaha menenangkan Hanji yang disangkanya cemas terhadap Erwin yang akan melaksanakan operasi untuk Rivaille besok.

"Aku... Maaf. Aku... Cuma minta kamu melupakan apa yang terjadi kemarin." Ucap Hanji lirih, yang sangat tidak Hanji.

Rivaille mengalihkan pandangannya dari novelnya sejenak, "aku bahkan sudah tidak mengingatnya, sebenarnya." Dustanya.

Hanji tersenyum lega, lalu tersadar bahwa ia tidak membawa peralatan apa-apa ke kamar Rivaille, bahkan untuk mempersiapkan kondisi Rivaille untuk menghadapi operasinya besok. Ia pun bergegas mengambilnya dengan tergesa-gesa ke ruangannya dan membuat Rivaille menggelengkan kepalanya tanda heran dengan sikap Hanji yang memang sejak awal sudah aneh.

.

.

.

"Dasar..."

.

.

.

.

Salju turun semakin hari semakin sering. Menumpuk dan menghiasi pohon kecil Witch Hazel buatan Hanji. Namun pohon itu tetap bertahan dan berdiri dengan indah, karena memang ia hidup sesuai habitatnya, di tempat yang dingin.

Sepasang Obdisian itu menyala redup, melihat sekelilingnya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari dimana keberadaannya. Pria itu sudah terlalu terbiasa dengan antiseptik di sekelilingnya sampai ia mungkin saja sudah tidak mengenali lagi kamarnya. Jari-jarinya yang dingin bergerak pelan, berusaha mendapatkan kembali kesadarannya secara utuh dan mematikan efek bius yang menyebar di seluruh tubuhnya. Setelah dirasanya ia sudah menguasai kembali indranya, disentuhnya bekas jahitan tepat di atas jantungnya. Organ dalam itu berdetak normal, walau sedikit lemah. Mungkin efek sehabis operasi atau apa, yah dia tidak paham akan itu.

"Apa yang kau rasakan?"

Suara yang sedikit manly itu membuyarkan konsentrasi sang pemilik manik obdisian itu. Ah, seorang wanita berkacamata masuk dari pintu ruangannya. Hanji Zoe. Wanita yang merawatnya—selain Petra—selama ia ada di rumah sakit Recon ini.

—dan wanita yang akhir-akhir ini mengisi pikiran dan batinnya.

"Biasa."

Perawat berambut kuncir kuda itu menghela napas berat. "Maaf, tadi aku sehabis makan siang bersama Erwin."

Rivaille menaikkan sebelah alisnya, "buat apa kau minta maaf padaku?"

Hanji balik bertanya bingung, "ya... Bukankah Perawat memang harus mendampingi pasiennya sehabis operasi? Kami dari pihak rumah sakit pun tidak ingin ada apa-apa kalau ternyata habis operasi ada sesuatu yang tidak diinginkan."

Oh iya. Benar juga. Terus kenapa Rivaille mendadak gede rasa begitu?

Rivaille mengubah fokusnya kembali pada kesehatan tubuhnya. Ia benar-benar tidak merasakan sesuatu yang berbeda dari sebelum jantungnya dioperasi. Sehat. Tidak ada yang bertambah parah, tapi juga tidak bertambah baik.

"Aku tidak merasakan adanya perubahan dari sebelum operasi. Apa operasinya berhasil, Hanji?" Tanya Rivaille yang mencoba positif.

Hanji menarik senyumnya dengan aneh, "ya... benar-benar berhasil."

"Kau kenapa hari ini? Rasanya jadi sedikit lebih kalem." Mungkin maksudnya Rivaille bercanda, tapi sayang ekspresinya masih sekeras batu es yang ditabrak kapal Titanic.

Hanji terbahak, ekspresinya begitu mudah berubah, "ahahaha! Tidak. Aku hanya sedikit merasa... aneh. Rasanya ada satu kekuatan yang berada di sekitar kita."

Rivaille kembali ke sifat aslinya, "Ini baru Hanji."

Hanji tergelak lagi. Oke, dia sadar kok kalau dia aneh.

"Jadi, bagaimana kondisiku yang sebenarnya? Tolong jelaskan." Tanya Rivaille yang lebih terdengar seperti seorang guru yang sedang membacakan soal ulangan bahasa Indonesia.

"Yah, kau tahu ada sesuatu yang aneh semacam tumor di jantungmu. Dan sekarang sudah hilang begitu saja. Plop!" Lalu Rivaille memandangnya sinis, merasa Hanji tak menjawab pertanyaannya dengan serius.

"Ini beneran kok. Tapi kayaknya lebih baik kalau Erwin langsung yang menjelaskannya." Hanji mengeluarkan smartphone -nya. "Tunggu ya, aku suruh dia ke sini dulu."

Rivaille diam, lalu memandang pohon kecilnya dari ranjangnya. Kertas permohonan milik Petra berayun-ayun. Oh iya.

"Apa Petra sudah kau kabari? Setidaknya ketika aku selesai operasi?" Tanya Rivaille.

Hanji melirik sepasang obdisian itu, "em... itu... aku sudah lapor sih. Tapi, dia titip pesan padaku. Untukmu."

Perkataan Hanji memancing rasa penasaran Rivaille, "jadi, apa?"

Hanji menggigit bibirnya pelan, ragu untuk melanjutkan pesan Petra ke Rivaille, "jadi... dia bilang padaku kalau dia mencintaimu..."

Dalam hati Rivaille tersenyum.

"... Dan dia akan pergi untuk waktu yang lama. Jadi jangan cemaskan dia."

Sebuah godam yang cukup besar bak dihantamkan tepat di jantungnya.

"Dia tidak pernah cerita padaku." Gumam Rivaille, sedikit kesal, sebenarnya.

"Mungkin dia ada urusan mendadak. Aku tidak tahu sebesar apa cabang tempat Petra bekerja tapi kayaknya dia dipindahtugas, mungkin." Ungkap Hanji.

"Mana ada manajer toko bunga yang dipindahtugas begitu?!" Tanya Rivaille sedikit emosi. Sayang, ekspresi dinginnya tak berubah juga.

"Aku mana tahu hal seperti itu." Jawab Hanji santai. Yah, sebenarnya Rivaille pun juga tak tahu detail pekerjaan Petra, sih.

Rivaille menghembuskan nafas dengan uap di sekitarnya. Sudah hampir musim semi namun udara masih sedingin awal musim dingin hari ini. Pemuda Perancis itu sungguh tidak mengerti kekasihnya. Bahkan sejak awal dirinya bisa mencintai wanita tegas berambut karamel itu pun entah kenapa. Semuanya terjadi begitu saja. Tiba-tiba ia mencintai wanita itu seutuhnya dan wanita itu pun akhirnya mencintainya—setelah sekian lama menganggapnya hanya sebagai orang yang dikaguminya. Dan sekarang? Kekasihnya itu kadang posesif tapi sekaligus cuek seperti ini. Tapi, yah, mungkin Petra memang benar-benar memikirkannya sehingga tidak memberitahunya tepat sebelum operasi. Kalau tidak, ia malah tak fokus dengan kesehatannya sendiri dan malah lebih memikirkan kekasihnya nun jauh di mana entah.

Oh iya juga.

"Kemana, Hanji? Apa dia bilang mau pergi ke mana?"

"Tidak. Bahkan kotanya pun tidak." Jawab Hanji, sambil mengetik pesan untuk Petra.

"Dan di smartphone-mu juga tidak. Bahkan tidak ada pesan atau catatan apapun dari Petra." Jawab Hanji sebelum Rivaille memintanya mengambilkan smartphone-nya yang disita Hanji sebelum operasi. Yah, sebenarnya Rivaille pun jarang menggunakan samsung keluaran terbaru itu juga sih.

"Kau tau password-nya?" Tanya Rivaille agak terkejut. Padahal ia 'meracik' password-nya sedemikian rumit untuk menangkal makhluk iseng macam Hanji yang suka mengacak-acak privasinya awal-awal ia masuk Recon Hospital. Bahkan Petra butuh waktu cukup lama untuk menghafal password itu. Dan sekarang yang diwaspadai malah sudah tahu password-nya.

"Aku cuma iseng coba sekali—dengan memikirkan sudut pandangmu untuk mengetahui kira-kira password-nya apa—dan tiba-tiba terbuka. Begitulah."

Lucky Hanji atau... Creepy Hanji?

Begitulah. Dan wanita berkacamata itu juga tidak menyangka bahwa Rivaille memajang fotonya dengan Petra sebagai wallpaper. Hmph.

"Aku jadi semakin tidak mengerti Petra akhir-akhir ini," curhat Rivaille tanpa sadar.

Hanji melirik Rivaille lagi, "hm, jadi pacaran itu susah juga ya." Komentarnya.

"Zaman sekarang aneh melihat wanita seumurmu belum pernah pacaran tapi yah kalau itu kau... Wajar saja. Soalnya Babi bercinta dengan sesama jenisnya saja."

Jika tidak habis dioperasi, mungkin Hanji akan meminumkan obat puyer dicampur keringat Erwin ke dalam mulut besar Rivaille.

"Kurasa kalau untukmu sih langsung menikah saja. Dari pada nanti pacarmu gak tahan, gimana? Ada yang mau sama kamu aja udah untung. Apalagi kalau orang sekelas Erwin."

"—wait. You don't say that..."

"Kayaknya kamu yang harus diminumkan obat puyer dicampur keringat ibu kantin."

Dan Hanji tidak mau membayangkan rasanya. Jadi ini yang dirasakan 'kelinci-kelincinya' selama ini?

Lalu, alih-alih meneruskan pesan—mungkin curhat—nya kepada Petra melalui smartphone, ia malah jadi memikirkan apa yang dikatakan Rivaille. Jadi, maksudnya Erwin suka padanya, gitu? Hanji jarang nonton sinetron—tapi pernah, iya pernah, waktu itu sinetronnya agak supranatural karena ada babi ajaibnya—tapi kayaknya ada bos yang jatuh cinta sama bawahannya—atau sebaliknya—itu memang sinetron banget. Tapi, ia tidak merasakan hal-hal aneh seperti itu ketika sama-sama Erwin. Bahkan setelah beberapa tahun mereka bekerja sama dan makin dekat. Sungguh, tidak.

Malah pria di hadapannya ini yang membuatnya menyadari orientasi seksualnya normal.

Lalu, suasana yang tadinya cukup hening tiba-tiba jadi sedikit gaduh karena ada ribut-ribut di koridor luar. Kamar Rivaille paling dekat dengan tangga yang datar sehingga memang cukup banyak suara-suara dari luar yang terdengar.

"Suster! Tolong bantu saya membawa wanita ini ke ruang IGD di atas! Di bawah penuh!"

Decitan roda dan ribut-ribut para suster terdengar dari kamarnya.

"Siapa dokter yang akan menangani ini? Apa dokter Erd dapat dihubungi?"

Dokter Erd yang dicari... Berarti kali ini ada kasus kecelakaan, batin Hanji.

"Maaf, saya menemukan dompet nona ini terjatuh di lantai satu, suster—mungkin ini suara suster junior—saya sudah mengetahui identitasnya. Namanya Petra Rall."

Sepasang obdisian itu tercekat. Petra Rall.

Siapa lagi di dunia ini yang memiliki nama yang sama seperti kekasihnya?

.

.

.

"... Aku akan pergi untuk waktu yang lama. Jangan cemaskan aku."

.

.

.

To be Continued.

.

.

.


A/N :

MEPET BANGET ASLI. Ini jam 23.45 dan besok sudah harus selesai semuanya... uuuh T^T

Doakan saja author ini bisa menyelesaikannya tepat waktu, hiks.

Oh iya, maaf kalau tiba-tiba alurnya cepet. Saya mau nyalahin keadaan tapi... yah.. biasakanlah untuk mengatasi dan bukannya mencari alasan. Jadi begitulah.

Mind to Review?