Jarum jam itu bergerak menuju angka sembilan.

Merangkak dengan begitu lambat untuk menyelesaikan alur panjang dan menyesakkannya tiap hari.

::

Waktu benar-benar kejam.

Pada saat seperti ini waktu benar-benar kejam.

Tidak peduli pada apapun yang terjadi disekitarnya.

Tidak berusaha untuk membuatnya terlihat lebih lambat.

::

Pukul 9 tepat.

Laki-laki tinggi tampan itu akhirnya kembali dari pesta topeng kalangan atas yang selalu berakhir melelahkan.

::

Dia seperti pukul 9. Gelap dan kosong.

Dia seperti waktu. Kejam dan sempurna—tanpa cela.

Dia seperti manusia biasa. Mendambakan hembusan napas yang bebas.

.

.

.

Title: Masquerade

Disclaimer: FF ini, Masquerade, secara penuh adalah milik topsyhobby. Plot dan segala yang terjadi didalamnya murni milik author asli yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

Rating: M

Character: Cho Kyuhyun, Lee Sungmin, Kim Youngwoon, Kim Heechul, and other

Warning: MalexMale, Typo(s), OOC

Type: Chaptered

Don't Like, Don't Read.

.

.

.

a/n: topsyhobby memberi izin untuk menyadur FFnya ke dalam Bahasa Indonesia. So, yeah, FF ini jelas hasil saduran ke dalam Bahasa Indonesia dari saya, Chisana Yuri. Semoga tidak menimbulkan kesalahpahaman nantinya.

-Chapter 1-

Mengitari ruangan putih berkelas miliknya, Cho Kyuhyun berhenti sebentar untuk menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya. Asap tipis yang menyesakkan mulai menghalangi pandangannya pada secangkir kopi di meja sesaat setelah ia menghisap rokoknya. Entah sudah berapa lama kopi itu ada disana. Mungkin 10 menit, 15 menit, atau mungkin baru 5 menit.

Tapi, sama saja, toh kopi itu harus bersyukur tidak akan berada disana untuk waktu yang lama. Tidak seperti dirinya.

Jam tangan silver bermerek yang melingkari pergelangan tangannya terlepas setelah bunyi 'klik' pelan. Sang pangeran merebahkan dirinya di sofa kulit hitam tepat setelahnya. Hembusan asap rokoknya kembali terlihat saat dirinya menatap langit-langit ruangannya. Warna putihnya menyiratkan kesamaan dirinya dan langit-langit itu. Mengingatkannya akan dirinya yang tanpa cela. Sempurna.

"Depresi bisa membunuhmu."

Otaknya mengingat dengan baik suara psikiater baru yang berbincang dengannya beberapa jam sebelum ini.

"Depresi bisa membunuhku? Apa kau pikir aku tidak tahu sama sekali tentang itu?"

Dengan kasar Kyuhyun melonggarkan dasinya dengan satu tangan. Matanya tetap terpaku pada langit-langit ruangan. Seakan refleksi psikiater barunya ada disana.

"Oh, dan responmu kurang baik, Tuan Cho."

Kyuhyun menegakkan tubuhnya untuk sekadar mencari asbak dan membuang rokoknya. Dokter Lee mungkin hanya beberapa tahun di atasnya, tapi namanya sudah dipenuhi embel-embel kedokteran omong kosong. Mari ucapkan terima kasih pada sekretarisnya yang merekomendasikan manusia ini kemudian menyusun jadwal pertemuan pertama mereka hari ini.

Di awal pertemuan mereka, dokter itu sudah mengingatkan Kyuhyun kalau ia adalah seorang workaholic akut. Workaholic akut yang depresi kalau boleh ditambahkan. Benar-benar...dokter itu mengatakan hal yang tidak perlu. Untuk apa dia dibayar jika dia hanya mengatakan hal yang dirinya sendiri sudah lebih dari tahu?

Bagaimanapun juga, dua bekas sayatan silet di pergelangan tangan Kyuhyun dan botol setengah kosong yang berisi obat tidur di laci kerjanya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan keadaannya. Bahkan bocah ingusan yang berusia lima tahun bisa memberinya diagnosis sederhana persis sama seperti yang dokter itu ucapkan.

Oh, dan sebenarnya dokter itu juga seharusnya tidak perlu repot-repot memberinya sugesti agar dirinya tidak terlalu ambil pusing menghadapi masalahnya. Bodoh. Kyuhyun tahu itu.

Cho Kyuhyun juga tidak butuh tambahan orang untuk mengatakan padanya kalau hidupnya terlihat seperti penyedot debu rongsokan yang butuh penanganan ekstra jika ingin digunakan.

Kalau ia adalah putra tunggal dari Presiden salah satu perusahan terbesar dan berpengaruh di Korea. SJ Ltd.

Kalau dirinya adalah orang yang selalu diharapkan oleh orang banyak.

"Dokter sialan."

Dari total tiga jam sesi konsultasinya, psikiater itu menghabiskan seluruh waktu yang ada untuk mengoceh tentang hal-hal yang sudah Kyuhyun hapal di luar kepala. Mencoba menjadi senormal-normalnya pasien, ia hanya mendengarkan dan mendengus sesekali, menggeleng singkat sebagai bentuk penyangkalan.

Tebak apa? Sikap Kyuhyun yang tidak responsif itu tidak membuat psikiater barunya senang.

"Kau benar-benar membuatnya menjadi lebih sulit," kata dokter itu lagi sambil melepas kacamata tebalnya. Kali ini disertai helaan napas. Dan percaya atau tidak, Kyuhyun bahkan tidak bisa berpaling dari mata dr. Lee setelah itu. Oh, bukan hanya indah. Sangat menakjubkan untuk ukuran laki-laki sebenarnya. Indah dan menakjubkan.

"Tapi, tenang saja. Aku tidak mengatakan kalau ini semua adalah salahmu." Hanya seringai sinis yang Kyuhyun berikan atas ucapan dokter itu. Well...meskipun dokter itu berbicara dengan senyum manisnya, jangan berharap hal itu akan mengubah penilaian pertama Kyuhyun terhadap dirinya.

"Bukan kau yang menyiksa dirimu sendiri. Tapi, keadaan di sekitarmu. Itu letak masalahnya."

"Dan kalau kau lupa, dr. Lee. Kau adalah bagian dari keadaan sekitar yang kau sebut." Komentar pedas Kyuhyun hanya membuat dokter itu tersenyum lebih lebar.

"Nah, kalau begitu aku disini untuk membantumu dengan itu," katanya percaya diri.

"Sok pintar," gumam Kyuhyun dengan tangan yang berada di keningnya. Matanya terpejam saat membayangkan kata-kata sok pintar dr. Lee. Senyum dokter itu saat berbicara dengannya benar-benar...

Sebenarnya, di samping senyum dan semua kerapihan yang dokter itu tawarkan, kesan pertama Kyuhyun pada Lee Sungmin, seperti yang sudah ia katakan tadi, tidak terlalu bagus. Bagi Kyuhyun, siapapun yang berusaha menyusup ke kehidupan pribadinya tidak lebih dari seorang musuh besar. Tidak akan ada tempat dimanapun untuk dokter itu dalam hidup Kyuhyun.

Ah, benar. Mungkin ini yang menjadi alasan kuatnya untuk datang pagi-pagi ke kantor besok dan memecat sekretaris yang sudah membawanya pada psikiater manis yang sok tahu itu.

"Walaupun harus kuakui...dia lumayan manis untuk seorang psikiater." Kyuhyun mengubah senyumnya dengan seringai bersamaan dengan hilangnya pikiran konyol itu.

.

oo-0-oo

.

Siang ini Sungmin duduk di meja kerjanya dan membaca sekilas laporan klinik tentang efek trauma psikologis secara online. Matanya terpaku pada monitor di depannya saat tangannya bergerak tak tentu mencari sandwich kacang yang berada di kotak bekal berbentuk kelinci miliknya.

Mendengus pelan karena tangannya tidak bekerja dengan benar, Sungmin melirik ke kanan dan mengambil sandwichnya. Sembari mengunyah makan siangnya, Sungmin mendengar ketukan di pintunya.

"Masuk," ujarnya setelah menelan gigitan sandwichnya.

Pintu ruangannya terbuka dengan pelan—tanpa suara—untuk menampilkan laki-laki tegap dengan sinar redup di wajahnya. Bahkan tanpa kacamata, Sungmin akan tahu siapa sosok itu.

"Sungminnie, annyeong," ucapnya tersenyum sambil merentangkan tangannya lebar-lebar dan berjalan lambat-lambat ke arah Sungmin.

"Oh! Annyeong~" Sungmin buru-buru berdiri dari tempatnya untuk menghambur ke arah Kangin. Merasakan dirinya langsung dikunci oleh pelukan Kangin yang hangat. Tangan Sungmin mengalung erat di leher Kangin sebagai balasan pelukan Kangin di pinggangnya. Ayolah, jangan salahkan dirinya. Seandainya kalian tahu sudah berapa lama Sungmin tidak bertemu Kanginnya.

"Ya Tuhan...kau benar-benar datang. Aku senaaaang sekali." Nada riang benar-benar terdengar dari ucapan Sungmin. Ia benar-benar merindukan laki-laki yang memeluknya sekarang. Kangin mengangkat tubuh Sungmin dan memutarnya sebentar hanya untuk melihat Sungmin tersenyum lebih lebar padanya.

"Hm hm, lama tidak bertemu." Kangin mengecup pipi kanan Sungmin sebelum melepas pelukannya. "Waktu benar-benar bergerak, kan?"

Sungmin tertawa, ia menggenggam tangan Kangin lama. "Jadi bagaimana seminarnya, Kanginnie-hyung?" Suaranya yang begitu ceria tidak bisa digantikan dengan apapun saat melihat kekasihnya yang begitu jarang ia temui akhir-akhir ini.

"Ah, jangan ditanya, Min-ah. Mungkin akan lebih baik kalau aku keluar," jawab Kangin menarik tangannya dan memasukkannya ke saku jeans.

Sambil tersenyum tipis Sungmin mengusap punggung lebar Kangin. "Benar-benar buruk ya? Sooman-gwajangnim menyulitkanmu lagi?"

"Pria itu harus berhati-hati atau aku akan mengeluarkan otaknya jika dia tetap memperlakukanku seperti ini." Tangannya menyilang di depan dada bersamaan dengan protes kerasnya. "Dia selalu mengungkit kejadian saat aku gagal menangkap bajingan-bajingan itu. Cih. Seakan aku memang sengaja membiarkan mereka kabur."

"Tentu saja, tidak mungkin, Hyung." Meskipun tidak yakin seratus persen pada 'bajingan' yang Kangin maksud, Sungmin memilih menenangkan kekasihnya. Bagi Sungmin, cara terbaik yang bisa ia lakukan adalah menunjukkan betapa ia memahami Kangin dan membiarkan kekasihnya memuntahkan kemarahannya. Itu akan lebih baik daripada Kangin memendamnya dan membiarkannya menyumbat tenggorokannya, dan oh, ia tidak mau semuanya berakhir dengan kekerasan.

Kanginnie-hyung pasti membicarakan penangkapan gagal di malam itu. Entahlah. Mungkin.

"Ya, Sungminnie, itu kotak bekal yang kuberikan tahun lalu?" Kangin menunjuk kotak bekal berbentuk kelinci diatas meja Sungmin, mengganti topik secara tiba-tiba. Sungmin tertawa mendengarnya. Ini dia kelebihan mengencani seorang polisi. Pekerjaan semacam itu menguntungkan sebenarnya, karena terlihat seperti dua sisi koin. Di samping agresif dan aktif saat melakukan pengejaran terhadap pelaku kriminal, mereka akan setenang air saat berada di ruang investigasi. Sama seperti Kangin, dia akan meledak seperti gunung meletus suatu kali dan detik berikutnya amarahnya akan reda dan perhatiannya akan teralih sepenuhnya pada hal lain.

"Hu'um. Itu yang kau berikan."

"Astaga...bagaimana mungkin kau masih menyimpannya?" tanya Kangin sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya. Senyum lebarnya bisa dilihat di saat yang bersamaan.

"Bagaimana ya...aku sangat sangat menyukainya. Tidak bisa menemukan yang lebih baik dari itu." Jawaban manis dari Sungmin mengundang seringai dari Kangin.

"Mendekat padaku," katanya sambil membuat gestur dengan tangannya agar Sungmin mendekat padanya. Gerakan lambat Sungmin terhenti oleh bibir Kangin yang menempel dengan miliknya. Benar-benar hanya sempat menempel. Ciuman lima detik.

"Aku mencintaimu." Telinga Sungmin rasanya mendidih saat Kangin membisikkan kata itu padanya.

"Aku ju—" Balasan Sungmin harus menunggu. Ponsel Kangin yang bergetar benar-benar merusak momen bahagia mereka.

"Maaf," ucap laki-laki tegap itu saat melihat Sungmin memajukan bibirnya tanpa sadar. Ia tahu Sungmin tidak akan pernah suka pengganggu.

Kangin menjauh untuk menjawab teleponnya. Matanya melirik Sungmin beberapa saat sebelum ia memilih mengalihkan tatapannya. Sejujurnya Sungmin ingin tahu siapa yang menghubungi Kangin, tapi ia tidak bisa mendengar apapun karena sepertinya Kangin mengecilkan volumenya saat itu. Jawaban singkat seperti 'ya' dan 'hm' tidak memberi petunjuk apapun pada Sungmin. Belum lagi ia menangkap Kangin melirik padanya beberapa kali lalu mengalihkannya lagi. Membuatnya harus menahan ekspresi sebal pada Kangin.

Siapa yang meleponnya? Kenapa dia tiba-tiba seperti itu?

"Sial," umpat Kangin saat menutup teleponnya. Ia buru-buru berjalan menuju Sungmin yang kelihatan menunggu banyak penjelasan darinya. "Sungminnie—Sayang, aku minta maaf. Aku harus pergi sekarang."

"Siapa yang menelepon?"

"Sooman-gwajangnim. Sesuatu terjadi di stasiun."

"Apa sesuatu yang serius?" Sungmin bertanya dengan nada khawatir. Mengabaikan mulutnya yang akan mengucapkan 'Tapi, kau baru sampai. Kita baru bertemu sebentar.'

Kangin tertawa pelan dan mengacak rambut Sungmin. "Tidak mungkin seserius tatapanmu, Sayang. Jangan khawatir." Kecupan lagi pada bibir Sungmin. Kali ini mungkin artinya sampai-nanti.

"Aku akan menghubungimu nanti malam. Maaf karena harus pergi sekarang." Ternyata tepukan tiga kali pada puncak kepala Sungmin tetap tidak membuat wajahnya terlihat lebih bersinar. Kangin jelas bisa membaca raut tidak suka pada pemuda yang lebih muda darinya itu.

"Hmm. Hati-hati," bisik Sungmin saat mengantar Kangin sampai pintu ruangannya dengan senyum tipis di wajahnya. Senyum yang terlihat sedikit...ya...kecewa. Ia sangat kecewa.

Dokter itu berdiri nyaris lima menit untuk sekadar menatap kosong punggung Kangin yang bahkan sudah tidak terlihat lagi. Ia mengedipkan matanya cepat untuk menyadari kekosongan di ruangannya setelah itu. Rasanya begitu cepat. Momen berharganya berlalu bahkan sebelum ia menyadari ia mendapatkannya. Sungmin tahu pertemuannya dengan Kangin akan terus berkurang setelah ini. Itu artinya...kejadian menyenangkan seperti tadi tidak akan terus terjadi.

Sungmin sudah menyusun rencana yang begitu matang saat mendengar berita kalau Kangin akan senggang dari siang, tapi ternyata hal itu tidak membantu sama sekali. Semua orang sudah tahu kalau menjadi polisi artinya ucapkan selamat datang pada jadwal non-stop.

Aku tahu. Tapi, apa sesulit itu untuk mendapatkan kebebasan di waktu senggang? Untukku?

Ia menggelengkan kepalanya keras-keras.

"Harusnya aku bersyukur. Melihatnya saja sudah menjadi sebuah keberuntungan bagiku."

Tapi, tetap saja aku kesal.

Mengatupkan bibirnya untuk mencegahnya maju karena kesal, Sungmin berjalan dan kembali duduk di belakang mejanya. Belum ada lima kali ia menarik napas, resepsionisnya sudah masuk dan berada di depannya.

"Siang, dr. Lee." Yoona tersenyum sambil berjalan pelan ke arah Sungmin. Ia menyerahkan lembaran kertas pada dokter manis itu tanpa melepas senyumnya. "Ini jadwal untuk siang ini, Dokter."

"Terima kasih, Yoona."

"Ada beberapa pasien yang menunda jadwal hari ini, jadi aku mencoba menghubungi yang lain dan membuat jadwal baru. Tidak masalah, kan, Dokter?"

Anggukan singkat dari Sungmin. "Yah, terima kasih."

Nada lemas dari Sungmin membuat Yoona menaikkan alisnya dan memeriksa wajah dokternya dengan lebih dalam. Sepertinya sudah saatnya menempatkan dirinya sebagai teman bicara Sungmin.

"Kekasihmu membuat masalah lagi, ya? Aku melihatnya keluar beberapa saat yang lalu." Tidak ada formalitas sama sekali.

Tawa gugup Sungmin terdengar. Ia sedikit kaget dengan tebakan Yoona yang begitu akurat. Atau ini karena ekspresinya mudah terbaca? Kalau memang iya, lalu kenapa Kangin sepertinya tidak pernah menangkap isi hatinya dengan sampai saat ini?

"Gotcha! Tidak bisa berbohong padamu." Tangan Sungmin terangkat ke atas sebagai tanda ia menyerah.

"Bagaimana keadaannya akhir-akhir ini?" Jeda diantara ucapan Yoona menunjukkan ia memilih kata-kata dengan hati-hati. Bagaimanapun, hubungan Kangin dan Sungmin memang diawali dengan sesuatu yang patut diberi perhatian lebih. "Apa dia masih sedikit...kau tahu...tidak aman?"

Untuk pertanyaan itu Sungmin menggeleng dengan percaya diri. Senyumnya terbentuk lagi. "Tidak sama sekali. Tidak ada lagi alkohol. Tidak ada lagi halusinasi. Dia melakukan pekerjaannya dengan sangat mengesankan."

"Senang mendengarnya." Yoona mengubah nada suara menjadi lebih ceria. "Dia berubah banyak karenamu. Semuanya berkat dirimu, dr. Lee."

Tawa Sungmin akhirnya terdengar. "Ayolah, kau terlalu memuji."

Kalau dipikir-pikir, perubahan yang Yoona bicarakan itu tidak murni usaha Sungmin. Mungkin tidak diragukan lagi jika Sungmin adalah pihak yang paling terlibat dalam misi 'mengangkat Kangin yang tenggelam dalam kepungan alkohol'. Tapi, tidak sepenuhnya begitu.

Hari dimana Sungmin menemukan laki-laki mabuk yang tersungkur di depan kliniknya sudah terjadi tiga tahun yang lalu. Saat itu Kangin benar-benar dibawah pengaruh alkohol yang dahsyat dan dia memohon pada Sungmin agar Sungmin bersedia mengusir suara-suara gila yang bergema dalam kepalanya. Kangin terus berteriak dan mengatakan jika dia takut menyakiti orang-orang di sekitarnya. Ia takut karena kejadian itu selalu terjadi tanpa sengaja atau, pernah sesekali, tanpa sadar karena dirinya sedang mabuk berat. Kangin pernah mencoba menghilangkan kebiasaannya meminum minuman itu, tapi hasilnya justru setara dengan bunuh diri.

Lalu kemudian...pada saat tubuh Kangin gemetar hebat di depannya, Sungmin mengulurkan tangannya. Ia menggenggam tangan Kangin yang gemetar dengan hangat dan penuh optimisme.

Sungmin bekerja dengan profesional. Ya, dia mencoba profesional. Dia berhasil menyembuhkan Kangin dari perilaku menyimpang yang membuat hidupnya seperti benang kusut. Laki-laki itu akhirnya bisa kembali melanjutkan hidupnya satu setengah tahun setelah masa-masa sulit yang ia lalui bersama Sungmin.

Kangin memang benar-benar selamat, tapi disini bagian yang paling tidak-profesionalnya. Sungmin tidak bisa menolak saat Kangin mendekatinya di luar hubungan dokter-pasien. Ia benar-benar tidak bisa mengesampingkan perasaannya. Bukan, bukan hanya karena Kangin yang sekarang sangat menarik, tapi karena perasaan antara dirinya dan Kangin. Sungmin memang akan selalu berbagi cerita pribadi dengan pasiennya, termasuk Kangin, agar pasiennya selalu merasa nyaman dan mereka bisa sembuh. Tapi, ia juga selalu bisa mundur teratur dari ikatan yang ia bangun dengan pasiennya pada saat pengobatan tepat setelah kontrak kerja mereka selesai.

...Sayangnya, hal itu tidak berlaku pada Kangin.

Sungmin tidak bisa menjauh bahkan sekalipun ia dipaksa.

Mungkin karena Kangin begitu menghibur, mungkin juga karena alasan yang lain. Entahlah, itu tidak terlalu penting. Yang jelas Kangin berbeda. Sungmin sangat menyukai Kangin yang berani melawan penyimpangan dalam dirinya sendiri, sikap keras kepalanya yang membuatnya sembuh...dan juga Kangin apa adanya.

Ah, masa-masa itu... Benar-benar tidak terasa kalau sudah lebih dari satu tahun sejak Sungmin jatuh cinta padanya.

"Ngomong-ngomong, karena pergantian jadwal yang kulakuan tadi, itu artinya dia akan ada disini hari ini." Yoona berbicara untuk membuyarkan lamunan Sungmin.

"Dia?" Alis Sungmin bertaut.

"Yang kau bilang tidak bisa diajak bekerja sama itu."

"Ah, ya. Dia memang sangat sulit." Sungmin mengangguk dan memainkan tangannya pada kotak bekalnya. Ia ingat laki-laki yang mempersulit masalahnya sendiri beberapa hari yang lalu. Padahal ia lebih muda darinya, tapi sepertinya masalahnya menumpuk seperti gundukan sampah yang tidak didaur ulang.

"Kalau begitu persiapkan dirimu, Dokter. Karena dia akan disini tepat pukul satu."

Sungmin melirik jam digital di meja. Dia mendesah berat saat melihat angka tiga puluh.

Jam satu. Artinya tiga puluh menit lagi.

Dan aku bahkan belum menyelesaikan makan siangku. Oh ini akan buruk.

.

oo-0-oo

.

"Baiklah, kita akan memulainya pelan-pelan. Oke?" Sungmin menyapa Cho Kyuhyun yang benar-benar tiba pukul satu. Tepat. Tidak lebih, tidak kurang. Luar biasa. Orang di hadapannya benar-benar tahu cara memanfaatkan waktu.

Laki-laki dengan setelan kantoran yang duduk dengan kaki menyilang itu diam. Sungmin sudah menebaknya. Benar-benar orang yang sulit.

"Bagaimana kalau secangkir kopi?" Pasiennya menggeleng singkat.

Aku tidak gampang menyerah, Kyuhyun-ssi.

"Ayolah, kita harus minum dulu. Bagaimana kalau teh? Aku juga punya jus kalau kau mau."

Kyuhyun menutup matanya geram untuk beberapa detik. Ia kemudian menjawab dengan helaan napas panjang. "Tidak. Terima kasih."

Sadar dengan ketidaknyamanan yang dirasakan Kyuhyun karena tindakannya, Sungmin memilih berhenti. Lebih baik ia mencari cara lain untuk bicara dengan pasien spesialnya ini.

"Tahu tidak? Pertama kali kau datang ke sini beberapa hari yang lalu, ah tidak, sebenarnya sampai saat ini pun aku menyadari kalau kau memiliki suara yang bagus," ucap Sungmin dengan senyum yang sangat manis. Dan sungguh luar biasa, Sungmin melihat respon Kyuhyun. Yah, Kyuhyun memang tidak berterima kasih pada pujian yang ia lontarkan, tapi ia menatapnya dengan heran.

Tatapan heran Kyuhyun itu akhirnya terhapus oleh seringai yang berkata 'Usaha yang bagus, Dok. Usaha yang bagus.'

Meskipun bukan respon yang Sungmin inginkan, paling tidak ini bisa dihitung sebagai kemajuan.

"Baiklah...Bagaimana kalau kita mulai dengan 'Bagaimana perasaanmu hari ini?'" Sungmin memajukan tubuhnya, mencoba lebih dekat dengan Kyuhyun meskipun terhalang meja kerjanya. "Bisa cerita padaku bagaimana harimu, Kyuhyun-ssi?"

Kyuhyun menatap Sungmin tajam saat mendengar kalimat terakhir yang Sungmin katakan padanya. Menatapnya beberapa detik sebelum tersenyum sinis pada psikiater sok pintarnya.

"Dokter Lee, aku menghargai usahamu yang terlihat ramah, bersahabat, dan mendekatiku dengan semua perhatianmu agar aku mau mendengar omong kosong yang akan kau berikan padaku sebentar lagi. Tapi, sampai kapanpun...Tuan Cho untukmu, dokter."

Sungmin membeku dengan nada dingin yang Kyuhyun berikan padanya. Ia menggigit bibir bawahnya karena kehilangan kata-kata untuk membalas Kyuhyun.

Sungmin tetap memilih tersenyum pada akhirnya. "Apapun yang bisa membuatmu lebih nyaman, Tuan Cho."

Tanpa menunjukkan kalau dirinya sedikit kesal dengan Kyuhyun, Sungmin bangun dari tempatnya dan berjalan dengan tenang untuk kemudian meraih kursi di samping Kyuhyun. Ia memperkecil jarak antara dokter-pasien yang daritadi ada. Jarak personal untuk pembicaraan yang lebih intim.

"Jadi, kenapa kau tidak mulai menceritakan harimu?"

Sekarang, saat Sungmin hanya berjarak beberapa inchi darinya, Kyuhyun menatapnya dengan lebih intens. Atas ke bawah. Tidak melewatkan mata indah yang membuat napasnya tercekat.

"Aku tidak melihat alasan untuk mengatakan apapun padamu, Dokter." Telak bagi Sungmin. Ini tantangan yang dikirim langsung olehnya. "Kau dokternya dan aku hanya pasien. Tidakkah kau berpikir kalau kau yang harus menemukan cara untuk menyembuhkanku?"

Dia benci padaku.

Tapi, sekali lagi. Ia ingat sesi pengobatannya dengan Kangin tiga tahun lalu. Kangin begitu membencinya karena ia menolak untuk membiarkan Kangin merokok saat itu. Tepat di sesi pertama konsultasi mereka.

Senyum hangat yang Sungmin berikan sebagai balasan atas ucapan Kyuhyun tidak memberikan efek apapun pada pemuda itu. Mata Kyuhyun justru berkilat dengan sangat menakutkan.

Oh, bukan. Dia tidak benci padaku. Dia benar-benar benci padaku.

Sungmin masih ragu untuk membuka mulutnya. Pangeran di depannya tidak punya niat membuat hidupnya lebih mudah. Oh, ini akan panjang.

Bagaimana kalau ia menggunakan metode yang ia gunakan pada Kangin dulu? Mengingat kebencian Kyuhyun mirip dengan kebencian yang Kangin berikan padanya.

.

.

Psikiater itu mendekat. Jas putihnya ia lepas dan dilempar asal ke lantai. Menyisakannya dalam balutan sweater coklat muda disana. Wajahnya yang berseri-seri ia tunjukkan pada Kyuhyun yang mengeraskan emosinya, menunjukkan kalau pasiennya tidak menyangka dokternya akan melakukan itu.

"Tapi, sayangnya, aku bukan dokter. Aku hanya temanmu," ucap Sungmin lembut dengan nada yang lebih rendah. Terdengar seperti bisikan.

.

.

.

To Be Continued

Saduran Masquerade ini...spesial buat Kirra yang udah ngasih tau FF ini :D Maaf nunggu lama banget. FF ini jelas bukan jenis FF yang pernah aku pikirin bakalan aku ketik soalnya suer, FFnya terlalu bagus buat orang kayak aku T.T

Persis kayak yang saya bilang diatas, FF ini saduran. Saya jelas tahu hasil saduran saya bener-bener abal.

Semoga chapter pembuka ini ga mengecewakan karena...yah Masquerade akan jadi FF yang panjang hehe.

Serius, saya butuh masukannya. Review please~

Sebagai penutup 2013, saya mau bilang welcome buat 2014...jangan lupa doanya buat Sungmin yang mau 29 taun sebentar lagi hehe