Menikahlah!

Sangat berbeda dengan konsep awal, karena konsep awalnya udah tertelan virus dan ya, aku rasa tiga tahun sudah membuat orang berubah. Saat membuat ini aku masih polos (?) dan jujur saja, aku mau dipoligami (karena dipoligami itu salah satu amal yang tidak bisa setiap wanita lakukan)—tapi… huawwwaaah. Sekarang aku nggak mau. Poligami itu boleh dan halal—tapi tidak untuk suamiku.

Desclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto.

Tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfic ini.

Warning: AU! SasuSaku punya anak kembar Sarada dan Vegeta. Tema agak berat. Lama tidak dilanjutkan! Agak aneh. Selingkuh itu Halal (?). SasuSaku.

Untuk semua review yang masuk. Terima kasih banyak. Aku baca semuanya dan pengin nangis. Makasih banget sudah nyempetin mampir. Maaf nggak bisa bales!

I Love You All :*

.

.

.

Chapter 2: Dalang dibalik semua ini

Sakura…

Pertama kali mereka bertemu adalah di upacara penerimaan masuk SMA. Naruto yang mengenalkan mereka. Pemuda jabrik berambut kuning itu dengan semangat menceritakan pada Sasuke betapa cantik, anggun, dan pintarnya Sakura. Saking bersemangatnya, sampai Sasuke berpikir kalau Naruto membual. Walaupun jujur saja, saat dia melihat iris emerald dan surai merah jambu itu, Sasuke terpesona.

cantik. Ukh. Uchiha Sasuke. Apa yang baru saja kau pikirkan? Mana mungkin gadis rata di depanmu itu cantik. Lihat dia baik – baik! Tidak alasan bagimu untuk menyukainya.

"Sasuke Uchiha…?"

Deg.

Jantung Sasuke berdebar pelan mendengar alunan suara Sakura menyebut namanya. Belum sempat debarannya berhenti, Sakura sudah ada tiga puluh centi darinya. Tangan entah sejak kapan menggenggam tangannya. Tersenyum lembut.

Deg.

Sebelum iris mata melebar, berbinar ceria dan mengenggam erat tangan Sasuke, "Kau benar Uchiha Sasuke? Sudah lama sekali aku mengagumimu. Aku menyukaimu. Tidak—aku mencintaimu. Maukah kau jadi pacarku? Mau ya? Mau? Maukan?"

hnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn?

Sasuke pasti sudah buta sampai dia sempat tertarik pada gadis di depannya meski hanya satu detik.

"Aku—,"

—PYUUUR

Cipratan atau lebih tepatnya guyuran sedikit air mengenai wajahnya. Yang pertama dilihatnya adalah dinding kamar. Ah—dia masih ada di kamarnya. Yang keduanya adalah wajah masam—tunggu, Karin selalu berwajah seperti itu—yang mengguyurnya air dengan gelas.

"Ukh, Karin. Bisa kau membangunkanku dengan cara yang sedikit romantis?"

"Tidak." Jawab Karin singkat. Sebelum menambahkan, "Kau tau Sasuke-sama, tolong jangan berharap saya memperlakukan anda sebagai suami. Hah—ini melelahkan. Aku masih harus mengurus banyak arsip karena kemarin kita—,"

"—Karin jangan curhat!"

"Oke. Oke. By the way, ini sudah jam 8, cepat bangun dan berangkat ke kantor. Well, aku permisi, Sasuke-sama!" lalu Karin melanggang keluar kamarnya.

Sasuke menghela napas. Karin tidak berubah bahkan saat pertama mereka bertemu. Tetap seenaknya. Menatap interior kamarnya dan berhenti pada foto pernikahannya dan Sakura. Kalau saja dia menyadari hal ini lebih cepat, semua pertikaian ini takkan terjadi.

…kau benar Karin, ini sangat melelahkan….

…kalau bisa Sasuke ingin ini semua cepat berlalu….

.

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Menikahlah! © Riry024

.

.

Sasuke sangat lelah hari ini. Ini baru jam delapan pagi dan dia sudah sangat lelah. Alasannya bukan karena dua jam lagi dia harus berada di kantor. Bukan juga karena Karin meninggalkannya sepuluh menit yang lalu. Bukan juga karena kedua anaknya.

Satu – satunya yang bisa membuat Sasuke menghela napas frustasi dan memegang kepala pusing hanya dua orang. Yang pertama Sakura, yang sedang kabur ke rumah sahabatnya. Yang kedua adalah kakaknya, Uchiha Itachi, yang kabur dari Uchiha demi mewujudkan impiannya, menjadi aktor. Karena satu dari kedua orang tersebut dikabarkan takkan kembali dalam waktu dekat, maka hanya satu yang tersisa.

Uchiha Itachi. Yang sekarang tengah berada di dapur rumahnya dan memasak bersama kedua anaknya. Sumpah, sejak kapan kakaknya bisa masak. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Itachi dan dapur adalah kombinasi paling buruk di dunia. Sasuke jadi ingat—waktu SMA Itachi pernah menghabiskan telur lima kilo hanya untuk membuat—eh, itu tak penting sekarang.

Ukh, kenapa juga Itachi ke rumahnya pagi – pagi dan memasak. Inginnya sih, Sasuke langsung melabrak kakaknya yang main masuk kediaman orang, namun mengingat dia lapar dan kelihatannya masakan Itachi enak, Sasuke memutuskan menunggu. Well, marah dengan perut kosong tidak baik untuk kesehatan.

"Jadi apa yang kau lakukan disini, Itachi?" Mereka sudah selesai makan dan Sasuke langsung main sembur saja.

"Ara, jangan begitu Sasuke! Aku datang untuk menenangkan hatimu karena ditinggal istrimu! Sini peluklah kakak, adikku yang manis!" membuka kemeja dan merentangkan tangan lebar mempersilahkan Sasuke memeluknya.

"Berhenti melakukan hal menjijikan, Itachi! Lagipula Sakura tidak meninggalkanku. Dia hanya pergi ke rumah Ino. Heh—dia sudah sering kesana. Tolong jangan samakan aku denganmu yang ditinggal istrimu berkali – kali hingga jadi gila Itachi!"

Itachi tersenyum, "Menikah dan bercerai berkali – kali adalah keputusanku, Sasuke. Kau tau, seorang selebritis harus meningkatkan populeritasnya dengan nikah cerai nikah cerai." Diakhiri kedipan mata. Entah itu sindiran atau memang dia berpikir begitu Sasuke tidak tau. Dari dulu kakaknya tidak bisa ditebak.

"…." Sasuke terdiam. Antara ingin berkata 'kau pasti bercanda,' dan ingin menonjok muka kakaknya.

"Ah! Jadi ingat!" Sasuke menunggu, "Yang menyarankan Sakura untuk menyuruhmu menikah lagi adalah aku."

Oh.

….

3

2

1

"HAH?"

Dia bilang apa tadi?

Detik selanjutnya Sasuke melemparkan gelas—yang masih berisi the karena belum dia minum—ke wajah Itachi. Yang sayangnya bisa dihindari oleh yang bersangkutan. Sialan kau Itachi!

"Jangan marah! Kakakmu yang tampan ini melakukannya demi kebaikanmu,"

"APANYA YANG DEMI KEBAIKANKU? Sakura kabur gara – gara itu! Lagipula kapan kalian bertemu—kau tidak menghubungi siapapun sejak lima tahun yang lalu,"

"Soal itu—ra-ha-sia,"

"Sialan kau!"

"Jadi begitulah Sasuke-kyuun," kembali diakhiri kedipan mata. Antara kakaknya jadi banci atau memang kedipan mata dan pose sok manis memang sedang populer, "Ah, bicara soal itu. Untuk beberapa saat, Sarada dan Vegeta akan tinggal bersamaku. Maksudku, membiarkan anak – anak melihat kau memeluk selingkuhanmu sungguh adalah hal yang tidak baik. Hatoo*."

.

.

.

"I-Itachi yang menyarankan ide gila itu padamu?"

Ino sukses melongo. Setelah menangis semalaman, Sakura menceritakan asal usul ide tersebut tercetus. Ide yang dalam cerita Sakura, dikatakan oleh kakak Sasuke.

"Itachi nii-san mungkin tidak serius, namun setelah kupikir lagi—mungkin saja, itu solusi dari masalahku,"

Ino tersenyum manis, sangat manis, hingga membuat Sakura mundur tiga langkah. Dan benar saja, masih dengan senyum manis, si pirang mencubit kedua pipinya, "Solusi kau bilang? Kalau itu solusi, kenapa kau minggat dari rumah dan ngungsi di rumahku, jidat lebar!"

Ino menghela napas, "Kau membuat ini jadi sulit! Cepat pulang dan bilang ke Sasuke kalau kau tak suka dia selingkuh. Bicaralah dengannya! Aku yakin dengan itu masalah akan selesai."

"Tidak! Aku takkan mengatakannya! Seorang istri harus membiarkan lelakinya berselingkuh agar dia tetap bersemangat bekerja. Kau dulu mengatakannya sebelum bercerai dengan Itachi nii-san!" Sakura masih ngotot. Malahan dia menggunakan kata – kata Ino untuk membantahnya. Sial. Ino lupa dia pernah mengatakannya.

"Itu pengecualian untuk si brengsek Itachi. Tolong jangan samakan kasusku dengan kasusmu. Berbeda dengan Itachi, Sasuke masih punya hati nurani dan otak jernih! Sakura. Kukatakan ini padamu sekali lagi, Itachi itu gila, tidak waras, dan brengsek." Sekarang Ino memegang kedua bahu Sakura erat. Wajahnya seram dan Sakura ingin menangis antara takut dan kesakitan. Kalau membahas Itachi, Ino selalu seram.

"Bicara soal Itachi nii-san, aku menitipkan dua anakku padanya…"

HAH.

Ino terdiam. Kembali dia mengeluarkan senyum manis andalannya, "Sekarang Sakura sayang, katakan padaku apa saja yang sudah kau diskusikan dengan si gila Itachi. Awas kalau sampai kau luput menceritakan satu hal. Akan kukembalikan kau ke rumah Sasuke!"

"Eh-eh?"

Sakura dengan terpaksa menceritakan segala hal yang dia diskusikan dengan Itachi. Yang disetiap jeda ceritanya Ino menatapnya garang. Mengepalkan tangan penuh kebencian. Mungkin Ino bertanya – tanya, bagaimana mungkin Sakura mengambil nasihat dari orang yang rumah tangganya hancur?

"—Tentu saja aku benar – benar memikirkan ide itu. Maksudku, aku bertepuk sebelah tangan dengan Sasuke selama tujuh tahun. Bagaimanapun juga, aku tak ingin berpisah dengannya—jadi aku…."

"Memilih dia menikah dengan wanita lain?" Ino memijat kepala pusing. Gara si Itachi—yah bukan sepenuhnya Itachi sih, Sakura dan Sasuke juga salah karena sangat keras kepala. Keras kepala. Keras kepala.

Ah—kalau dipikir lagi dia ingat pola ini.

"Baiklah Sakura—aku ada solusi untukmu," bukan solusi yang baik—namun patut dicoba.

"Eh?" Sakura memiliki firasat buruk tentang ini.

.

.

.

.

Kalau Sasuke bisa. Diulangi. Kalau Sasuke bisa, dia pasti sudah melempar kakaknya ke penjara dengan tuduhan pencemaran nama baik, penculikan anak, dan perusakan hubungan rumah tangga. Dia pasti bisa mendapatkan setidaknya dua atau tiga miliar dari kakaknya.

Itu kalau dia bisa.

Nyatanya dia tidak bisa. Dia terlalu takut dengan kakaknya. Yang walaupun sudah jadi banci (Sasuke tau alasan kakaknya jadi banci adalah karena di sinetron baru yang dibintanginya, Itachi berperan sebagai banci) tetap menakutkan. Buktinya, meski hidup dalam hubungan nikah cerai nikah cerai, tak ada satupun mantan istri Itachi yang menuntutnya.

Oleh karenanya, sekarang Sasuke hanya bisa duduk di depan tumpukan kertas yang tingginya sudah menutupi wajahnya. Menundukkan wajah bukan untuk berpikir tapi untuk menyesali keputusannya tidak (paling tidak) menonjok wajah kakaknya. Agar sang kakak rehat dari dunia artis untuk sementara waktu.

Kalau dipikir lagi. Sasuke benar – benar sial akhir – akhir ini. Pertama istri kabur dan menyuruhnya menikah lagi. Kedua anaknya dibawa lari orang.

Ukh. Pasti tidak akan ada yang lebih buruk lagi dari ini.

BRAAAK

"Sa-su-ke~~~"

Pintu kantornya di buka dengan kasar. Eh? Dimana para petugas keamanan disaat – saat seperti ini? Harusnya mereka mengusir si rambut pirang sialan itu bahkan sebelum dia memasuki pintu masuk. Kenapa si dobe Naruto bisa ada disini?

"Kalau kau bertanya kenapa aku disini, jawabannya adalah—JENG JENG JENG—Karin menyuruhku kesini," menirukan suara dan pose Karin, "Naruto~, hari ini kekasihmu sangat moody dan membuatku kesal. Maukah kau berbaik hati menenangkannya untukku. Tehe~"

Karin…. Batin Sasuke terharu. Terima kasih sudah mengirimkan pelepas stress kesini. Tau saja, aku sedang ingin menonjok wajah orang.

Menit selanjutnya adalah adegan penuh sensor dimana Sasuke memukuli Naruto dengan sepenuh hati. Melepaskan segala macam stressnya. Ah. Terima kasih Naruto. Terima kasih Karin. Klan Uzumaki memang sangat mengerti dirinya dan selalu datang disaat yang tepat. Sasuke tertawa jahat.

Sepuluh menit, Sasuke akhirnya tenang. Membetulkan jasnya, dengan arogan seperti biasanya, dia bertanya, "Jadi apa yang kau lakukan disini?"

Naruto bangkit, dengan senyum cerah ceria seolah pukulan sayang Sasuke tak mempan padanya, menganggkat kotak yang tadi dia bawa, "Aku membawakan makan siangmu, Beb,"Memang dasar maso atau apa, Naruto jelas tau cara membuat Sasuke marah dan menjotosnya lagi.

Tapi Sasuke masih cukup tenang dan sabar untuk main pukul, jadi dia memilih untuk bertanya, "Ramen?"

"Iya, ramen. Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan siang di Ramen Ichiraku, tapi Karin bilang kau sedang moody, labil, dan tidak ingin bergerak jadi aku membawakanmu ramen,"

Well, dia memang sedang tidak kemana – mana sih namun ramen Ichiraku ada pas disamping kantornya. Keluar kesana sebentar jelas bukan masalah. Fakta bahwa kantornya di lantai 20 bukan menjadi masalah dengan adanya teknologi bernama lift. Sudahlah. Dia bersyukur ada kurir yang mau membelikannya makanan dan membawakannya ke lantai 20 dengan gratis.

"Hn. Kau bertemu Karin dan dia memberimu pass ke kantorku. Dimana kalian bertemu?"

"Di restaurant Orochimaru, Karin sedang makan dengan—dengan… uhm aku lupa siapa namanya, yah itu tidak penting," lalu tertawa. Membuka ramennya dan bersiap makan, begitu juga dengan Sasuke.

Sepuluh menit berlalu dengan tenang. Keduanya berprinsip, makan harus diam agar terasa lebih nikmat. Naruto yang selesai makan duluan mengambil teh—yang selalu disiapkan Karin spesial untuk Sasuke—untuk keduanya.

"Naruto, untuk apa kau kesini? Tidak mungkinkan kau jauh – jauh kesini hanya untuk mengantarkan ramen," dikatakan dengan wajah bosan dan tidak peduli seperti biasa.

Naruto tersenyum lebar, "Tentunya untuk mengobati dirimu yang ditinggal istri. Kemarilah dan peluk aku~ wahai bebebku~"

PLAAAK

Pukulan langsung di pipi kanan Naruto.

Menarik kerah Naruto, "Bisa kau berhenti bercanda! Dimana kau mengkopi kata – kata itu? Jangan bilang kau bertemu dengan Itachi juga sebelum kesini! Katakan padaku hah!"

Naruto berdoa dalam hati. Dengan gemetar dia mengatakan, "Ampun Sasuke. Sumpah aku tidak ketemu kakakmu. Aku cuma bercanda untuk menenangkan suasana. Cuma itu. Sumpah,"

Menurunkan kerah Naruto. Nampak si pirang ini tidak berbohong, "Jadi?"

"J-jadi?"

"Kau ingin aku mengulangi kata-kataku lagi, Na-ru-to-kun?"

Naruto menyembah ampun pada Sasuke. Benar kata Karin. Sasuke sedang sangat moody dan tidak bisa diajak bercanda. Salah – salah, Naruto benar – benar akan dibunuhnya.

Naruto menghela napas. Saat untuk serius, "Ini tentang Sakura-chan."

"…."

"Kau benar – benar harus segera menyelesaikannya secepatnya, Sasuke! Minta maaflah pada Sakura!"

"Kalau aku bisa, aku sudah minta maaf. Bukankah aku sudah cerita padamu kalau dia kabur ke rumah Ino?"

"Itu tidak seperti kau tidak tau rumah Ino. Kau bisa menjemput Sakura disana,"

Eh? Kok dia tidak kepikiran ya? Satu minggu Sakura di rumah Ino dan dia tidak kepikiran rute itu? Memangnya apa yang dia lakukan satu minggu ini? Ingatannya kembali ke dirinya yang menghabiskan waktu dan uang di bar – bar mahal untuk minum – minum guna menghilangkan stress berlebihan.

Ukh dia jadi merasa salah—Tapi Uchiha tidak pernah salah. Yang salah tetap Sakura yang seenaknya meninggalkannya dan menuliskan note, 'Jangan mendatangi rumah Ino!'. Dia hanya menjalankan permintaan istrinya dan melepaskan stress dengan cara biasa. Dia tak salah. Dia tak salah. Dia tak salah.

Dia—

"Sasuke?"

"Maksudmu aku harus memohon – mohon maaf di depan rumah dengan latar belakang hujan, dan tidak akan pindah dari sana sampai Sakura memaafkan, begitu?" Plis Sasuke, bagaimana mungkin kau bisa memikirkan hal se-ektrim itu.

"Ti-tidak perlu se-ektrim itu. Kau cukup minta maaf biasa saja,"

"Kau pikir itu cukup!"

"Eh?"

"KALAU KATA 'Maafkan aku!' CUKUP, MASALAHNYA TAKKAN SEBESAR INI! DIA MENYURUHKU MENIKAH DENGAN KARIN. DEMI TUHAN! APA MAU CEWEK ITU? SEMUA YANG KULAKUKAN SELALU SALAH DIMATANYA!"

"Tenang Sasuke! Tenang!"

"AKU TENANG!"

Hening sejenak. Oke Naruto, kau sudah masuk ke zona bahaya. Sebaiknya kau menyingkir sebelum Sasuke benar – benar membunuhmu. Namun, bukan Naruto kalau tidak nekat dan masuk ke zona bahaya demi yang tercinta. Hn? Kalian tak salah baca, untuk yang tercinta, Naruto Uzumaki memang gay dan dia naksir Sasuke—yah itu cerita lain dan tidak hubungannya dengan ini, jadi lupakan.

Naruto berdeham, meredakan suasana, "Bagaimana kalau kau coba memandang dari sudut pandang Sakura?"

"…?"

Keduanya terdiam.

"Ne—Teme…?"

"Hn?"

"Seandainya Sakura-chan yang berselingkuh, apa yang akan kau lakukan?" Naruto tersenyum penuh arti. Kembali hanya Naruto dan Tuhan yang tau arti senyum itu.

.

.

.

Hah… untuk kesekian kalinya Sasuke menghela napas. Tugas perusahaan benar – benar membuatnya makin stress. Sakura membuatnya stress, anak-anaknya membuat stress, Naruto dan pertanyaan bodohnya juga membuatnya stress, dan sekarang tugas dari perusahaan.

Sumpah, ini lebih buruk dari yang dia kira.

"Sasuke-sama, berhenti membuang tenaga anda untuk menghela napas. Segera selesaikan ini. Masih banyak tugas yang harus anda kerjakan," cih, dan keberadaan Karin yang sejak mondar – mandir mencari tugas untuknya sama sekali tidak membantu. Darimana asal semua tenaga si rambut merah ini. Dia tak lelah ya, sudah membebani Sasuke banyak pekerjaan.

"Ne, Karin. Bagaimana kalau kita benar – benar harus menikah?"

Karin menatap Sasuke, alis sedikit naik keatas. Heran. Bisa – bisanya atasannya menanyakan hal pribadi di sela pekerjaan, "Tolong jangan berasumsi yang tidak – tidak. Seperti yang anda ketahui, kita tidak cocok. Mungkin anda jenius, tampan, kaya, dan hebat di ranjang. Namun, untuk mengurusi lelaki ber-moody seperti anda—hah… membayangkannya saja aku sudah muak. Kalaupun kita menikah, hari berikutnya kita pasti bercerai."

"Seperti biasa, kata – katamu pedas sekali, Karin!"

"Cocok untuk lelaki seperti anda. Sakura-sama, benar – benar terlalu baik. Bisa – bisanya dia tahan dengan lelaki brengsek macam anda. Kalau aku jadi Sakura-sama, sudah kutinggalkan anda sejak tau anda berselingkuh."

JLEB JLEB JLEB

Sasuke tak mengira akan mendapatkan kata – kata itu. Dia jadi sedikit menyesal bertanya "Karin… sebenarnya kau dipihak siapa?"

"Aku dipihak netral tentunya, jadi Sasuke-sama segera selesaikan masalah ini dengan istri anda. Sebelum batas waktu pernikahan kita. Aku tak mau menikah dengan anda."

"Iya. Iya. Hari kau cerewet sekali."

"Ah, bicara soal Sakura-sama, tadi aku melihatnya di sebuah kafe saat makan siang."

"Hn?"

"Dia sedang bicara dengan lelaki tampan dan nampak akrab sekali. Mungkin sekarang giliran Sakura-sama yang berselingkuh dibelakang anda," Karin tertawa pelan dengan senyum mengejek. Dia hanya bercanda tanpa maksud apapun, "Yah, itu tidak penting. Sekarang cepat selesaikan tugas anda!" lalu bersikap seolah mereka tak melakukan percakapan sama sekali.

Deg.

Meninggalkan Sasuke dalam dilemma dirinya.

Sakura… berselingkuh dibelakangnya?

.

.

"Ne—Teme…?"

"Hn?"

"Seandainya Sakura-chan yang berselingkuh, apa yang akan kau lakukan?"

"Mungkin aku akan membiarkannya menikahi laki – laki itu. Agar dia tau bagaimana perasaanku yang bercampur aduk sekarang."

"Apa kau tau artinya bila kau menyuruhnya menikahi lelaki itu?" dan Naruto hanya menatapnya dan tersenyum penuh makna.

Sekarang Sasuke mengerti maksudnya.

To be continue…

Author NotePad (Yang Menyakitkan Mata):

Dilanjutkan setelah 3 tahun. Dari saya masih imut – imut polos, hingga penuh dosa. Dari kelas satu SMA hingga sekarang kuliah. Alasannya (simple, se-simple hidupmu): hatiku itu lemah. #digampar (Alasan sebenarnya: karena aku janji dengan Allah Swt. bakal melanjutkannya—meski cuma chapter 2—seusai seminar).

Alasan tak melanjutkan, karena SasuSaku sudah bersatu. Jujur saja, saya kehilangan ketertarikan untuk membuat fanfic yang pairingnya sudah jadi resmi alias canon. Saya seneng mereka canon tapi—yah… gimana ya bilangnya. Gitu dech. #dihajarkarenanggakjelas

Mungkin tidak sesuai harapan. Sebenarnya waktu mau mu-publish ini saya berkeringat dingin. Ini apaan coba. Apalagi (kalau masih ada yang mau baca) ada tulisan 'to be continue'-nya. Entah kapan akan kulanjutin lagi. Hah… maaf ya, kalau bakal lama lanjutannya. Sekali lagi terima kasih bagi yang mau membaca. #bungkukbadan

Sampai ketemu xxxx tahun lagi #ditendang

With love,

Riry024