Sebuah mobil SUV membelah jalanan kota Tokyo yang masih senantiasa padat walau pukul sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Lampu-lampu jalanan beradu dengan cat mengkilat setiap alat bantu transportasi buatan manusia di jaman modern itu, mengakibatkan pantulan cahaya yang cukup menyilaukan. Tidak lupa, hiruk pikuk klakson terkadang ikut meramaikan suasana malam.

Mobil berlapiskan cat silver itu menderu halus, meliuk-meliuk gemulai bak penari, menyalip serentetan mesin berkendara lain yang hanya mencapai kecepatan rata-rata dua puluh kilometer perjam.

Mulus.

Suara musik jazz semi rock mengisi kesunyian yang menyelubungi bagian intim dari mobil tersebut.

Laju mobil yang mendominasi jalanan utama kota Tokyo itu sangat halus—Bahkan, nampaknya polisi lalu lintas setempat sama sekali tidak memiliki intensi untuk menghentikan velositi yang kian memuncak. Tidak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa, mobil itu dikendarai oleh Aomine Daiki, remaja berusia tujuh belas tahun yang bahkan belum legal untuk berkendara di balik roda kemudi.

"Hoi, Aominecchi. Kau mau ke mana lagi? Ini sudah malam, sebaiknya kita tidur dan beristirahat."

Ia melakukan peregangan terbatas, akibat sempitnya ruang gerak di dalam mobil. Pemuda yang duduk di kursi pendamping pengemudi, menggerutu sebari menatap sang sopir dadakan yang masih asyik memainkan roda kemudinya.

Rem sedikit—banting setir ke kanan beberapa derajat—putar ke kiri—gas kembali.

Salip menyalip masih terus dilakukan, menghiraukan kicauan Kise Ryouta yang merengek untuk kembali bercinta dengan kasurnya malam ini.

"Salahmu sendiri, Ki-chan. Inilah akibatnya jika kau mengajak Dai-chan untuk pergi makan malam. Pasti akan keluyuran hingga tengah malam. Ngomong-ngomong perkataanmu tadi seakan-akan kau adalah makhluk yang produktif di siang hari. Lucu."

Kise semakin menggerutu mendengar nada sarkasme dan menuduh yang implisit di perkataan Momoi Satsuki beberapa detik yang lalu. Liriknya jam digital yang memang sudah menjadi fitur tambahan dari mobil canggih kepemilikan Akashi Seijuurou itu.

"Ayolah Momocchi, aku hanya ingin makan malam bersama kalian. Mencari suasana baru setelah kita nyaris membunuh kreatur berharga. Aku ingin melupakan sensasi bergeridik yang aku rasakan ketika Kagami Taiga sekarat. Bisa-bisa, Akashicchi membunuhku jika aset berharganya benar-benar berubah menjadi manekin kaku," sahut Kise, berusaha untuk membela diri—ngeles, tepatnya.

"Hoi, Kise. Kau tahu kan Si Bodoh Alis Bercabang itu tidak akan koit hingga melepaskan nyawanya semudah itu. Jangan melebih-lebihkan."

"Tapi aku tidak melebih-lebihkan ketika ia merenggang nyawa tadi!"

Kise menoleh ke arah Momoi, tatapan memelas memohon pembelaan.

Gadis itu menghela napas, "Iya. Aku tidak menyalahkan fakta bahwa Kagami Taiga sekarat. Aku yakin Midorin setelah ini akan menginterogasi kita habis-habisan." Momoi tertawa hambar.

Ia pribadi juga tidak memungkiri bahwa beberapa jam yang lalu ia juga merasakan rasa takut yang sama dengan Kise. Momoi tidak ingin melihat Akashi Seijuurou marah.

Cukup sudah ia melihat Akashi Seijuurou mengamuk di masa lampau—Bisa sakit mental ia jika harus berhadapan dengan Akashi Seijuurou yang tengah diselimuti emosi.

"—Tapi tetap saja, ajakanmu sendiri yang membuat kita pulang larut. Terima getahnya sendiri, Ki-chan, jangan menyalahkan orang," sambung Momoi cepat-cepat. Sukses menghilangkan raut wajah sumringah di wajah bebas jerawat Kise, digantikan dengan bibir yang mengerucut.

"Nee, Satsuki, Kise."

Perlahan, kaki kanan Aomine Daiki beralih menuju rem dan menginjaknya perlahan. Mobil yang berisi tiga orang itu mulai membelah jalanan dengan kecepatan stabil, tidak ada aksi salip menyalip. Setia pada kecepatan tiga puluh kilometer per jam.

Kise merasa ada yang aneh dengan Aomine. Tangannya secara otomatis bergerak untuk mengecilkan volume dari pemutar musik yang semula bertugas untuk membuat mobil itu berasa lebih hidup.

"Ada apa, Aominecchi?"

"Tidak kah kalian merasa ada yang aneh?"

Aomine mengeratkan pegangannya pada setir kemudi sebari sesekali melihat kaca spion.

Kise dan Momoi bertukar pandang, tidak mengerti akan perubahan tiba-tiba di dalam diri Aomine Daiki.

"Fokuskan pikiran kalian. Kalian akan mengerti maksudku."

Alis pemuda berkulit tan itu bertautan. Rahangnya mengeras, ia tidak suka dengan hawa ini. Hawa yang sejak tadi ia rasakan ketika ia menfokuskan pikirannya untuk memainkan permainan koordinasi antara setir kemudi, kopling, gigi, serta mesin. Tidak lupa situasi sekitar yang haus akan perhatian.

Kise mematuhi suruhan Aomine. Pemuda beralis lentik itu menatap menerawang, gedung-gedung pencakar langit penghias kota Tokyo lewat begitu saja dari pengelihatannya.

Perlahan, Kise berhasil memusatkan pikirannya dan merasakan gelombang aneh yang agak ambigu.

Kadang menghilang, namun terasa kembali selama beberapa detik, lalu menghilang.

Seakan-akan—

"Dai-chan! Ini!" sebelum Kise berhasil menyimpulkan teorinya, Momoi Satsuki sudah terlebih dahulu terlonjak, menyebabkan goncangan mini terhadap jok yang diduduki Kise serta Aomine.

Aomine melirik ke arah kaca spion yang terletak di dalam mobil. Tatapannya bertemu sesaat dengan iris Momoi yang membelak."Ya, Satsuki—"

Menfokuskan kembali tatapannya ke jalanan malam, "—Dan aku tidak suka hal ini. Bersediakah kalian jika kubawa menuju—tempat pembantaian, malam ini?"

Tidak ada pilihan lain.

Kise dan Momoi mengangguk setuju.

Ada prioritas yang lebih penting dibanding seragam sekolah yang sudah seharian melekat di tubuh masing-masing.

"Aku menyerahkan pelacakan tempat kepada kalian, jadilah navigatorku, Kise!"

.

Yunouna Kyuketsuki no Sedai

Kuroko no Basuke by Tadatoshi Fujimaki

Rate: T

Warning: AU, Vampire! KiseDai, Fem!Kuroko, a little blood scene, OOC tapi diusahakan se-IC mungkin, SMA Teikou.

Enjoy-ssu!

.

Chapter 12: Bloody Hell: How and… What?!

Kagami Taiga duduk besandar di sofa berwarna merah yang berada di ruang tengah apartemennya. Ah, punggungnya masih terasa sangat rapuh—tubuhnya bisa menjadi selembek agar-agar kapan saja.

"Kagami-kun, tehnya di mana?"

Kagami mengerling ke arah dapur mininya. Furihata Kouki tengah menginvasi seluruh lemari dindingnya, membuka satu per-satu demi mencari sekotak racikan daun teh yang sudah dibungkus secara instant.

"Di rak yang berada di bawah lemari dinding. Toples merah muda gulanya. Jangan sampai salah memasukkan garam,"

Jika tidak diberitahu, mungkin Furihata akan menghabiskan waktu dua jam untuk menginvasi lemarinya satu-satu dan berakhir sebagai kekecewaan, karena kontak mungil itu tidak berada di sana.

"Terima kasih Kagami-kun."

Kagami terdiam. Menunggu Furihata yang masih berkutat dengan air panas, daun teh, dan gula.

Sesekali ia mencoba untuk mengangkat lengannya dan melakukan gerakan ke atas dan ke bawah yang berpusat di sendi engsel lengan. Tidak lupa gerakan meremas dan membuka untuk tangannya yang masih terbalut perban.

Berakhir miris, Kagami meringis pelan sebari reflek memegang tangan yang menjadi korban keisengannya sendiri.

"Jangan terkecoh denga perban yang bersih itu Kagami-kun. Midorima-san sudah membersihkan darahnya dan melakukan penyembuhan, namun tubuhmu sendiri belum bisa mendapat beban tambahan seperti gerakan iseng tadi,"

Ternyata Furihata bisa secerewet ini. Kagami baru tahu.

"Lebih baik kau diam seperti manekin, Kagami-kun."

Meletakkan teko, serta dua set cangkir beserta tatakan yang beralaskan nampan, Furihata berjalan perlahan dan mendaratkan tubuhnya di sebelah Kagami.

"Daripada kau bersantai dan bablas ketiduran, ada baiknya kau menceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi," setengah memaksa, Kagami berkata sengit kepada Furihata.

Pemuda besurai cokelat susu itu memejamkan matanya sejenak, kemudian menatap langit-langit yang berukuran dua belas kali sepuluh meter itu, menyiratkan bahwa luas dari ruang tengah ditambah dapur Kagami adalah sekian.

"Sebenarnya…."

-x-

Aomine kembali memacu kecepatan mobilnya hingga enam puluh kilometer perjam. Deja-vu, bertingkah lagi layaknya pembalap profesional. Aksi salip menyalip baik di jalanan lurus maupun tikungan tajam ia sikat habis. Mungkin setelah ini Aomine akan mempertimbangkan apakah ia ingin menjadi pembalap atau tidak.

"Aominecchi, cari parkir. Tempatnya di dekat sini."

Aomine mengangguk kemudian membanting setir ke kanan secara tiba-tiba. Ajaibnya, mobil itu langsung terparkir sempurna secara seri, mengisi kekosongan dari sebuah celah yang seharusnya bisa memuat dua mobil sekaligus. Katakanlah Aomine rakus—Namun ia adalah tipe orang yang mementingkan keperluan mendesak. Lagipula, siapa sih, yang akan berkunjung ke wilayah paling luar kota Tokyo yang notebane sunyi serta dekat dengan perbatasan kota-desa? Tidak ada, kecuali orang itu cukup memiliki nyali untuk mendekati wilayah yang katanya berhantu ini, atau orang itu bukanlah manusia, seperti mereka.

Ketiganya sontak keluar dengan tergesa-gesa. Berlari di tengah kegelapan malam sebari menahan aura yang membuat tubuh ketiganya serasa semakin lemas.

Pemandangan mengenai sebuah bangunan bergaya semi Jepang tradisional dan Eropa modern di depan mereka semakin mengabur. Terasa bergoyang.

Mungkin itu adalah efek dari api yang berkobar, melalap habis kayu-kayu yang semula didesain sebagai gerbang dari bangunan familiar itu.

Hawa panas mulai merambati tubuh ketiganya. Asap juga mulai menginvasi saluran pernapasan ketiganya.

Kombinasi antara panasnya api dan sebuah energi kasat mata semakin mengelilingi tubuh mereka.

Terbatuk-batuk. Kise dan Aomine mulai melambat. Peluh membanjiri tubuh keduanya.

Sementara Momoi masih berusaha untuk menghalau aura negatif ini, walau ia merasa staminanya menurun drastis.

"Itu dia! Ki-chan, Dai-chan. Lihat bangunan yang terbakar itu!" Momoi sontak berteriak, dan sukses memicu penambahan kecepatan dari kedua rekannya yang sempat tertinggal di belakang.

"Ayo, Kise!"

Masih melihat Kise yang melambat, Aomine berinisiatif untuk mengamit tangan kanan Kise dan setengah menyeret—mengajak berlari menuju bangunan yang mulai bertransformasi menjadi puing-puing kehitaman.

Suara sepatu pantofel ketiganya beradu dengan aspal jalanan terdengar ricuh.

Bahkan seorang tuna netra bisa menyimpulkan bahwa ketiganya tengah dirundung rasa kalut dan hasrat terburu-buru.

Ketiganya nyaris tiba di tempat itu, dan ketika Kise ingin membuka mulutnya untuk meneriakkan sesuatu kepada Momoi—

"Hey! Kalian bertiga! SMA Teikou! Berhenti!"

Sial.

Jantung ketiganya nyaris copot.

Terkejut mendengar suara berat yang tertuju pada mereka.

Suara berat yang berada tepat di belakang mereka.

Ketiganya panik.

-x-

Sesaat setelah Kagami mendeklarasikan tantangannya, secara tiba-tiba ia merasa dunia berputar, dan ia merasa tubuhnya seperti terombang-ambing di sebuah dimensi kosong. Terpisah dari Furihata. Entah, Kagami tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Sempat berpikir bahwa ia tengah terombang-ambing di dalam gelombang Tsunami* namun itu bukanlah logika yang bagus.

Kagami merasa mual.

Pening.

Sungguh, apa yang terjadi?

Masih berkutat dengan pikirannya, tanpa sadar tubuh Kagami sudah menghantam tanah padat, yang sedikit mengkerak sewaktu tubuh raksasa itu mendarat dengan tidak bersahabat di atasnya. Tanah kering. Keraknya menunjukkan sedikitnya kandungan air yang terkandung dalam media terpenting dari kehidupan alam semesta itu.

Kagami membuka matanya setelah sebelumnya ia reflek melindungi iris merahnya dari serpihan tanah yang bisa membuatnya iritasi.

Menyadari bahwa dirinya sudah terlempar entah ke mana. Yang ada di sekitarnya hanyalah sebuah lapangan—jika tidak bisa dibilang hutan karena terlalu tandus.

Sejumput rerumputan yang masih nekat untuk beradaptasi disana terlihat sangat kering. Rapuh.

Hanya terdapat suara hanya sekali. Makhluk yang menempati posisi predator dalam rantai makanan itu hilang entah ke mana. Mungkin bosan berputar-putar di atas tanah tandus yang tidak menyediakan kelinci atau tikus gempuk yang siap ia santap.

Mencoba untuk bangkit, Kagami merasa tulangnya sedikit kaku sehingga terdengar bunyi 'klak.'

"Yo, Kagamicchi."

Suara menjengkelkan Kise—menurut Kagami, terdengar. Namun sang empu entah berada di mana. Tidak mungkin kan, Kagami berhalusinasi?

"Kau tidak berhalusinasi, Kagamicchi yang manis."

Centil. Ia tidak suka.

"Di mana kau, Kise?" Akhirnya Kagami merespon suara yang entah berasal dari mana milik Kise. Ketimbang ia berlama-lama terpanggang di antah berantah seperti ini, lebih baik ia mengikuti suara Kise, yang mungkin bisa menjadi petunjuk.

Mungkin.

"Haha, akhirnya Kagamicchi merespon juga. Jadi, selamat datang di dimensi ciptaan Momocchi. Aku tahu ini tandus, nampaknya mood Momocchi sedang setandus tanah yang kau jejaki—Aduh!"

Kagami berasumsi, mungkin Momoi sedang menjitak Kise di seberang sana.

"Ah ya. Kau pasti kebingungan Kagamicchi. Aku langsung saja ke intinya." Berdeham sebentar, Kise melanjutkan instruksinya.

"Lihat di sekelilingmu, dalam jarak kurang lebih seratus meter, ada hutan di masing-masing penjuru arah mata angin. Salah satu dari kedelapan hutan itu menuju jalan keluar dari dimensi ini. Jika kau beruntung, kau akan keluar dengan selamat. Jika tidak, kau akan menemui tantangan. Dan jika iya, kau harus melewati tantangan itu untuk keluar dari sini. Pilih pilihanmu dengan bijak, Kagamicchi. Selamat berlatih dalam metode penalaran Momoi Satsuki."

Secara tiba-tiba, layaknya koneksi telepon yang terputus, suara Kise menghilang begitu saja.

Jadi ini adalah permainan untung-untungan—Kasarnya. Pikir Kagami sebari mengabsen satu persatu hutan yang berada seratus meter di luar lapangan tandus itu.

Aku tidak bisa menebak yang mana jalur yang aman. Semuanya nampak sama saja bagiku.

Jika salah—Aku akan menerima tantangan.

Kagami berpikir sebentar. Kemudian alis bercabangnya bertautan dan seringai kepuasan terbentuk di wajahnya.

Hee—Inilah yang menarik. Aku penasaran tantangan apa yang menungguku di depan sana.

Tanpa berpikir panjang, Kagami berlari menuju hutan yang terletak di sebelah utara dari arahnya berdiri tadi. Modal nekat. Mungkin itu yang cocok untuk mendeskripsikan keadaan Kagami sekarang.

-x-

"Ki-chan kau tidak harus menyebutkan moodku yang uring-uringan! Tidak penting!" mencubit lengan kanan Kise, Momoi misuh-misuh sendiri.

"Kan memang benar Momocchi!"

"Tapi itu tidak penting, Ki-chan kau brengsek!"

Di sebuah tebing yang berada kira-kira sepuluh kilometer dari hutan tempat Kagami terjebak, Momoi, Kise, dan Aomine tengah berdiri di sana, selesai memberi instruksi dan sekarang hanya tinggal menunggu sebari menikmati angin semilir yang berhembus dengan ramah.

"Hey berhenti bertengkar. Nampaknya Kagami mulai bergerak," lerai Aomine sebari memejamkan matanya, berusaha untuk mendeteksi keberadaan Kagami.

Perhatian Momoi dan Kise teralihkan. "Hm? Cepat sekali dia memutuskan untuk masuk ke neraka," respon Kise sebari ikut menfokuskan pikirannya untuk mendeteksi di mana Kagami sekarang melalui suhu tubuhnya.

Kelebihan mereka sebagai kaum berdarah dingin yang tidak memiliki detak jantung—mereka bisa mendeteksi keberadaan seorang manusia melalui suhu tubuhnya, namun tidak bisa mendeteksi keberadaan sesama karena mereka tidak memiliki suhu tubuh, alias dingin—bak porselen.

Tidak lama kemudian, Momoi tertawa sarkastik.

"Kurasa aku tahu, apa yang membuat manusia asuhan kita cepat dalam membuat keputusan."

Momoi masih larut dalam tertaswa sarkastiknya—nyaris dianggap gila oleh Kise dan Aomine.

"Nampaknya, ia lebih memilih jalan nekat. Aku sudah melakukan observasi semenjak pertama kali bertemu dengannya. Dan ia adalah tipe orang berkepala panas, tidak seperti rekan mungilnya yang berkepala dingin dan mau menggunakan otaknya untuk menyelesaikan sesuatu. Dia ini lebih suka main otot."

Kise dan Aomine mengerti.

"Hoo, jadi dia lebih suka tantangan?" Aomine menyeringai.

"Nampaknya iya, Aominecchi," sahut Kise sebari berdeham.

"Mari, kita menunggunya di ujung hutan utara, kawan-kawan,"

Momoi memanggil keduanya dan tengah berjibaku dengan percakapan mereka.

"Kalian tidak lupa kan, bahwa kali ini yang menjadi tantangan adalah, diri kita sendiri?"

-x-

"Hah?"

Furihata hanya mengangguk.

Ya, itu yang diutarakan oleh Akashi-san dan Kuroko-san padaku ketika mereka mengobatiku tadi.

"Itu adalah motif asli dari kenapa mereka menempatkan kita di sebuah dimensi, di mana kita terjebak di sebuah lapangan tandus di tengah hutan. Sebenarnya hutan itu adalah satu, tidak ada utara, timur, dan selatan," jelas Furihata sebari mengisi cangkir Kagami dengan teh yang sudah larut sempurna di dalam teko.

"Lalu, kau waktu mendapat tantangan itu bagaimana, Furihata?" tanya Kagami penasaran.

"Setelah mendengar suara Akashi-san yang menginstruksikan seperti itu. Aku tentunya sama sepertimu, bingung. Aku terus menatap hutan-hutan yang mengelilingiku selama sepuluh menit. Namun akhirnya aku mendapat suatu kesimpulan,"

Terselip sedikit nada bangga di dalam suara mencicit Furihata.

"Aku teringat dalam titah Ketua sewaktu masih dalam masa pelatihan. Bahwa vampire memiliki aura tertentu, mungkin bagi para pemburu seperti kita, akan terasa sangat khas. Selain itu, mengingat fakta bahwa sebenarnya hutan-hutan itu adalah satu kesatuan, aku mencapai sebuah resolusi."

Kagami terus mendengarkan dengan seksama, melupakan cangkir berisi teh yang ia pegang kupingnya.

"Pertama, kita sedang berlatih dengan mereka, jadi kemungkinan untuk mereka sebagai tantangan kita sangat besar. Oleh karena itu, aku menfokuskan diriku untuk merasakan, di mana mereka berada, karena pada saat itu aku tidak tahu bahwa mereka berada di atas tebing yang horizontal dengan arah timur dari tempatku berdiri. Jadi aku memutuskan untuk tidak mengambil arah timur. Kalau tidak salah aku mengambil arah barat," lanjut Furihata.

"Seorang hunter tidak boleh melepas kewaspadaan. Di tengah jalan aku juga berhenti sebentar untuk mendeteksi keberadaan mereka, dan menghindari arah di mana keberadaan mereka terasa. Aku melakukan itu secara berkala."

Cih, cerdas sekali.

Kagami merutuki dirinya dan otaknya yang tidak sejeli Furihata.

"Namun yah bagaimana lagi, aku tetap bertemu dengan mereka walau aku sudah berusaha untuk menghindarinya. Kuroko-san bahkan melontarkan tuduhan sarkastis mengenai aku yang membuat mereka menunggu lama."

Kagami mengernyitkan keningnya. "Mulut gadis Kuroko itu nampaknya memang tajam dari lahir. Lalu kau diapakan oleh mereka?"

Furihata menggeleng, "Tidak diapa-apakan. Hanya—aku diberikan pertanyaan seperti tes lisan. Aku juga sempat diinterogasi mengenai kelebihanku. Dan ketika aku menjawabnya dengan ragu-ragu atau tidak sesuai dengan keinginan mereka, Akashi-san sempat meninjuku sekali, Kuroko-san menebas pedangnya di pipiku tidak lupa dengan auranya yang mengerikan, dan Midorima-san yang kelihatannya diam-diam saja tapi sebenarnya ia menerapkan sebuah ilusi kepadaku. Setiap aku nyaris terlena, pedang tajam Kuroko-san langsung mengancung di daguku atau sebuah tinju telak dilayangkan oleh Akashi-san."

Kagami bergeridik ngeri. Nampaknya Furihata juga sama parah dengan tantangannya.

"Apanya yang tidak diapa-apakan, kau seperti pembantu yang dianiaya majikannya."

"Tapi setelah melihatku tidak kuat menhadapi serangan fisik dan mental yang mereka lancarkan bertubi-tubi, aku dibawa kembali dan segera diberikan pertolongan pertama," elak Furihata. Menunjukkan dagunya yang sempat tergores ujung pedang Kuroko yang sudah diobati.

Kagami mengangguk mengerti.

"Lalu, apa yang dilakukan oleh ketiga orang gila yang haus darah itu kepadaku?—Hingga babak belur begini," tanya Kagami sambil sesekali merintih akibat memar-memar yang belum kunjung hilang di sekujur tubuhnya.

Furihata memandang rekan sejawatnya dengan tatapan aneh,

"Kau apes Kagami-kun. Sayangnya, kau memilih untuk adu otot dengan Aomine-san yang menurut Kuroko paling haus dengan pertarungan, apalagi jika menemukan lawan yang kuat. Ada Kise-san yang diam-diam menghanyutkan. Di luar terlihat centil namun di dalam dirinya tidak jauh beda dengan Aomine-san. Kemudian yang terakhir, Momoi-san. Kemampuan intelegensinya yang paling bagus di antara mereka—Satu level di bawah Akashi-san. Otaknya yang cerdik serta licik itu bisa membuat keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat jika saat itu ia merasa terdesak."

-x-

Ketiganya mematung dengan perasaan was-was.

Momoi, sebagai gadis yang berdiri paling dekat dengan bangunan yang telah habis dilalap api itu bertindak sebagai yang paling panik.

"Siapa itu, Momocchi?" nada bertanya yang menuntut jawaban. Kise Ryouta tidak kalah panik dari Momoi.

"Mana aku tahu! Kau pikir aku punya pengelihatan di balik rambutku!" hardik Momoi sebari mengatur napas.

"Hey! Kemari kalian!"

Suara berang yang menuntut ketiganya untuk berhadapan dengannya terus terdengar.

Momoi dan Kise bimbang. Perhatian keduanya masih terfokus pada bangunan yang sudah berada di depan mata mereka itu.

Niatan keduanya adalah, segera bersonido dari tempat ini dan memanipulasi ingatan entah-siapa-itu sehingga ia beranggapan bahwa malam ini ia hanya berhalusinasi—parahnya, melihat hantu.

Seakan melakukan telepati, keduanya mengangguk sebari bersiap untuk melakukan aksi mereka.

"Ya. Ada apa, pak polisi?"

Namun gagal.

Momoi dan Kise terkejut mendengar suara bass milik pemuda berkulit gelap itu merespon suara yang di klaim Aomine sebagai 'pak polisi.'

Keduanya menoleh ke arah Aomine. Yang ditoleh seolah memberi isyarat melalui senyum tipis yang tersungging di bibirnya, 'tenanglah, dia hanya polisi manusia biasa.'

Konsekuensi akibat terlalu panik, Momoi dan Kise lupa mereka secara natural seharusnya bisa mendeteksi makhluk berdarah panas di depannya ini adalah seorang manusia biasa atau bukan.

"Apa yang kalian lakukan malam-malam begini? Masih dengan seragam!" Pak tua itu—Kise menyimpulkan melihat jenggot dan kumis yang mendiami wajah cekoknya, menghardik ketiganya dengan tatapan melotot.

"Kita hanya berjalan-jalan malam, Pak," ujar Aomine santai. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Posisi yang sangat tidak sopan jika berhadapan dengan polisi.

Raut wajah polisi tua itu terlihat semakin garang di bawah sinar lampu jalanan yang sedikit remang-remang di kota pinggiran itu. Nampaknya sang polisi geram akibat tingkah Aomine, "Kau, Bocah kurang ajar. Aku tidak akan mengurus apakah kalian baru saja habis bersenang-senang di sebuah klub malam di mana dan berapa jalang yang sudah kalian ajak bermain. Lalu kenapa kalian berlari seperti orang kesetanan?"

Momoi tersinggung mendengar tuduhan yang berhubungan dengan klub malam, namun ia memutuskan untuk tutup mulut. Tiada guna menghabiskan tenaga untuk berdebat kepada orang tua kolot macam Si Bapak ini. Mengingatkannya pada tetua-tetua vampire yang berotak kuno.

Kise jengkel, dan dengan kepercayaan diri penuh, ia ingin membela diri dan mengatakan bahwa maksud mereka berlari yang katanya seperti kesetanan itu baik, karena mereka melihat adanya kebakaran.

"Pak sebenarnya—"

"Kami sedang berlatih untuk drama." Potong Aomine cepat.

Kise menoleh tidak terima ke arah Aomine. Lancang sekali ia memotong perkataannya. Ingin membuka mulut untuk protes, Aomine segera mencengkram tangan pemuda yang berdiri menyerong di belakangnya itu.

Seakan-akan berusaha untuk berkata, diam dan biarkan aku yang mengatasi ini, bodoh.

"Drama? Jangan membodohiku nak. Aku sudah bertahun-tahun bekerja sebagai polisi," nada meremehkan. Namun Aomine tidak mau kalah.

Tetap bertahan dengan tatapan datarnya, Aomine meneruskan skenario yang muncul secara impromptu di kepalanya.

"Ya, pak. Besok kami akan melakukan pementasan dan kami berlatih suatu adengan di mana kami bertiga, sebagai pemeran protagonis, berlari melihat penjahat yang mencuri permata berharga dari museum negara kami. Kami mengasumsikan di situ penjahatnya." Aomine menunjuk bagian atas dari gedung yang terbakar. Kise sedikit bergeridik karena saat itu sebuah bongkahan kayu terjatuh dan menimbulkan suara mengerikan yang cukup memekakan telinga. Ditambah kobaran api yang secara tiba-tiba membesar akibat jatuhnya kayu yang telah berubah menjadi arang tersebut.

"Kurang logis. Itu bisa dilakukan dirumah, bocah tengik."

"Tidak pak, untuk bermain drama kami harus menjiwai situasi, karena itu kami memilih tempat ini yang relatif sepi yang bisa menjadi gladi kotor dari panggung kami esok hari."

"Kau tolol nak, tidakkah kau tahu itu menganggu ketenangan penduduk sekitar?!"

Aomine memutar bola matanya. Ia melirik sekitar sebentar, sebelum ia melanjutkan argumennya. "Terserah bapak, yang jelas kami tidak berteriak sekeras apa yang kami harus lakukan untuk besok karena kami masih sadar tempat."

Merasa tidak berguna berdebat mengenai hal ini, polisi tua itu menyerah. Ia tidak mengerti tentang drama dan jika diteruskan mungkin harga dirinya sebagai polisi akan turun di mata ketiga bocah tengik ini.

"Baiklah. Namun sebaiknya kalian berlatih di tempat lain. Apakah kalian melihat, aksi kalian mengundang tatapan keheranan dari penduduk yang berlindung di balik jendela rumah mereka? Lebih baik kalian menggunakan gimnastik atau entahlah, tempat privat yang bisa kalian gunakan seenaknya. Jalan ini adalah fasilitas umum, bocah. Kusarankan sebaiknya kalian pulang ke rumah. Orang tua kalian pasti khawatir."

Kise menengadahkan kepalanya dan melihat ke arah rumah-rumah berdempetan yang menghiasi jalanan sepi tersebut. Benar kata pak tua itu, sekitar lima jendela di rumah yang berbeda, anak-anak kecil tengah menyibakkan tirainya dan memandang ketiganya dengan tatapan ketakutan. Para orang tua memandang mereka dengan tatapan aneh. Seakan-akan menganggap mereka sebagai maling dan orang gila.

Aomine menghela napas setelah melirik sekilas, bertemu tatap dengan para orang tua yang marah. "Baik, kami mengerti. Terima kasih, pak."

Masih mempertahankan ketenangan di wajahnya, Aomine menarik tangan Kise yang masih ia genggam. Momoi otomatis mengikuti keduanya yang berjalan menuju mobil yang baru saja diparkir Aomine beberapa menit yang lalu.

-x-

Membanting pintu mobil, Momoi spontan menghardik Aomine yang baru saja melepaskan tangan Kise. Bekas kemerahan akibat terlalu kuatnya genggaman yang Aomine lancarkan tadi masih membekas.

"Apa-apa—"

"Tidakkah kau sadar sesuatu tadi, Satsuki?!" dengan nada yang lebih menyentak, Aomine memotong perkataan menghardik Momoi.

"Apakah kau sadar, bagaimana tenangnya lingkungan yang tadi kita lewati, sementara kita sebagai orang luar malah ketar-ketir seperti dikejar anjing ketika melihat kebakaran-?"

"Apa yang membuatmu berpikir, mereka tidak bisa menyadarinya, Satsuki?!—"

Nada Aomine makin meninggi. Seakan baru menyadari sesuatu, Momoi menundukkan kepalanya dan meremas rambut bagian atasnya.

Bodoh. Kenapa ia bisa begitu bodoh.

Pikirannya tidak fokus. Terlalu kalut akan situasi yang ia hadapi menyebabkannya lupa untuk menganalisis lingkungan sekitar.

Aomine mengatur napas, tenaga yang ia gunakan untuk mendamprat Momoi cukup untuk membuatnya terengah-engah.

Iris magenta gadis itu perlahan terfokus di bangunan yang menjadi target mereka sejak tadi.

"Ki-chan, coba foto ke arah bangunan yang terbakar itu,"

Permintaan aneh dari Momoi.

Kise tidak mengerti, namun ia langsung mengeluarkan ponsel berkamera yang sejak tadi bernaung di kantong celananya karena tidak ingin menyulut emosi baik dari pemuda yang tengah bergelut dengan roda kemudinya, walau saat itu mesin belum dihidupkan, dan gadis di belakangannya yang nampaknya tengah memikirkan sesuatu.

Menfokuskan gambar, dan Kise sukses mengabadikan peristiwa terbakarnya sebuah bangunan sebagai sebuah foto.

Momoi mengambil ponsel Kise dan ia mengamatinya. Sesekali pandangannya tertuju secara bergantian kepada bangunan yang habis di lalap api biru dan foto yang diambil Kise—

Tunggu.

Api biru?

Api biru, dan foto bangunan yang masih utuh di ponsel Kise—

Hanya ada satu kesimpulan yang bisa Momoi dapatkan.

"Ini adalah ilusi. Seseorang telah membakar habis Markas Besar Seirin dan mengkamuflasekannya dengan ilusi,"

Kise terkejut dan setelah ia melihat lebih detail lagi, bangunan yang ia abadikan gambarnya tadi—memang markas utama Seirin. Markas yang pernah mereka kunjungi sewaktu melakukan diskusi dengan Aida Riko. Sekarang muncul pertanyaan baru di benaknya.

Siapa, yang berani-dan yang terlebih, bisa mengakses jaringan keamanan Seirin yang sangat ketat dan kuat, mengingat ketua yang sekarang adalah penyusun strategi nomor satu di abad ini untuk kalangan pemburu.

"Momocchi…."

"Dai-chan, Ki-chan. Aku tahu ini tidak sopan untuk menganggu orang lain tengah malam. Tapi kita harus memberitahu Akashi secepatnya,"

"Lebih baik bertindak tidak sopan ketimbang menerima dampratan Akashi esok hari karena tidak melapor kasus seperti ini padanya secepatnya, Satsuki," kata Aomine lugas. Mengembalikan posisi rem tangan ke posisi semula, secara brutal Aomine menggerakkan mobil dalam posisi mundur demi meraih kembali kejayaanya di jalan raja.

" Ini hal yang serius. Api biru seperti itu—Setahuku hanya orang itu yang punya…"

"Aku penasaran apa yang akan termuat di koran manusia esok hari mengenai hal ini, Momocchi."

"Apapun itu, aku yakin bukan hal yang masuk akal, seperti biasa."

.

.

.

T

B

C

.

.

.

Sekitar satu atau dua chapter lagi sebelum akhirnya mencapai komplikasi yang akan mengarah ke inti masalah dari cerita ini, setidaknya untuk serial yang ini.

Terima kasih untuk yang sudah mereview!

Believe me it's Hoshiko Namura, Kanar Miyuchi, AulChan12, white rose, Michishige Michiyo, RallFreecss, Aoi Yukari, Kurotori Rei, Gise no Kazu, Reyna, Guest, V Yuki-chan, Wendi –K, Kaide kaine, shirei kira, ken mikan, Jihanna Meiko, Guest number

Untuk yang anon:

White rose: terima kasih untuk reviewnya :3, kelanjutannya sudah yaa silahkan dibaca.

Wendi –K, Kaide kaine, shirei kira, ken mikan, Jihanna Meiko, Guest number: Kalian ini kompakan ya-_- maaf aku baru update karena January dan Februari ada lomba di RL :D Dan aku update fanfic baru bukan berarti menelantarkan yang ini lho~ tenang saja akan aku update terus kok! Ini sudah ya!

.

Maaf jika ada yang kurang berkenan di hati, semoga ini chapter ini bisa menghibur kalian yang bertanya-tanya, apa sih, yang dilakukan trio AoKiseMomo kepada Kagami, walau baru part satu.

Terima kasih untuk yang sudah berkunjung dan setia mengikuti cerita ini!

Tanpa kalian mungkin aku sudah kehilangan motivasi. Suka sekali setiap melihat adanya notifikasi baik itu follow, fav, maupun review, support kalian sangat berharga!3

Ditunggu reviewnya! (re: kritik dan saran)

salam manis, Shizuka Clytaemnestra