Unconditionally

.

.

.

Chapter 11

The last chapter

Aduh... sebelumnya author pengen minta maaf karena di chapter sebelumnya ada typo maksimal, typo yang membuat kata yg salah itu jadi beda arti T_T

Kalo yg ngeh pasti tau, typonya pas akhir-akhir, yang kata "sial!" itu.. harusnya "siap!"

Aduh... itu fatal banget ya... makanya author mohon maaf semaaf-maafnya karena telah mengganggu kenyamanan membaca pemirsah semua... T-T gomen nasai... jika diibaratkan, itu kaya polisi tidur gendut yang tergeletak ditengah jalan yang mulus... ganggu perjalanan.. ibarat nyamuk malaria di acara makan malam pengantin baru... ibarat es buah di tengah hari pas puasa... hks hks...

Daripada author terus lanjutin aksi ibarat-ibaratannya, mending langsung simak yu? Siap-siap kantung muntah jika dirasa menjijikan, siap-siap panas-dingin jika greget sama author (?)

Review kalian semua adalah kekuatan tak kasat mata kawan.. TwT

Memberikah secercah harapan dikegelapan jurang yg bernama 'kemalasan' (baaaah)

Duh author mulai gila tuh

Thanks guys,

, Fiiyuki, LDryunn Vladilen, rossadilla17, redlilys, kotoka-chan, salha no oichiru, le-luthe, Hime.Raven, Lala Yoichi, rivetraa, Nekonyan-kun, Carllenn, chii san, Pika, Guest (3 ekor #ha?), tasya, Keirlya, erisaren, ionally, shileedaelee99, Nakashima Aya, tasya, keysha R, mikasa , Kusanagi Mikan

Dan semua yang belum sempat author tulis akunnya karena author keburu publish fictnya, author kasih sikat miring dan kecup manja ;*

For this last chapter, please RnR

.

.

.

"Takdir kekejaman dunia yang membelenggu siapa saja. Termasuk orang yang berjuang melawannya."

Ekspedisi ke daerah yang beberapa bulan lalu masih ditempati manusia terdengar menggelikan. Jelas sekali daerah ini sudah dikuasai raksasa. Bangunan yang sempat menunjukan kehidupan dulu sudah berubah menjadi puing-puing. Yah mereka memang sedang melalui daerah bekas bangunan-bangunan berdiri, itu artinya mereka sudah berkuda sekitar 8 km dari pertama berangkat.

Matahari sudah ada di atas kepala mereka saat ini. Tujuan ekspedisi sekarang cukup sederhana namun penting. Mengambil dokumen yang tidak sempat diambil saat penyerangan raksasa saat itu. Jika dokumen-dokumen itu tidak penting, tidak mungkin mereka berani berada disini. Dokumen itu adalah dokumen informasi tentang penelitian raksasa yang dilakukan dalam beberapa ekspedisi. Berdoa saja agar bangunan bekas markas mereka tidak hancur.

Sejauh ini tidak ada serangan raksasa yang berarti, para prajurit bisa mengatasi makhluk besar itu dengan mudah. Tidak seperti biasa jumlah mereka masih sama setelah melewati dinding. Siapapun bisa membanggakan hal ini.

Ya siapapun tahu kalau misi ini bukan hanya mengambil dokumen. Tapi juga melenyapkan raksasa di daerah itu sebanyak mungkin sampai mereka berhasil mendapat dokumennya. Dengan begitu ekspedisi tidak akan terasa membosankan, itu bagi Levi.

Lihat saja pria berambut eboni itu, seolah tanpa lelah ia terus memacu peralatan manuver gearnya untuk menghabisi makhluk menjijikkan yang ia temui. Seperti yang pernah ia katakan, ia lebih suka bertindak daripada hanya memberi perintah dan menyaksikan dari balik panggung. Itu bukan gayanya.

Sebenarnya Levi sudah merasa sangat bosan dengan apa yang ia lakukan. Namun apa boleh buat kan? Yang bisa ia lakukan hanya menyukseskan ekspedisi ini dan memastikan korban jiwa hanya sedikit bahkan tidak ada. Ini ekspedisi pertama dimana ia seorang komandan kan? Jadi Levi akan melakukannya dengan sebaik mungkin. Jika dirasa raksasa yang merusuh di formasi mereka adalah tipe abnormal, Levi akan langsung turun tangan. Bukan karena ia meremehkan kemampuan bawahannya, tapi ia ingin memastikan sendiri apa yang ia lakukan tidak akan gagal. Kenangan buruknya di masa lalu benar-benar membuatnya merubah segala pemikirannya. Termasuk untuk percaya pada kekuatan orang lain. Hanya firasat yang bisa ia gunakan sekarang.

Dan anehnya, meski sejauh ini Levi sudah mengikuti firasatnya tanpa kesalahan, ia masih merasa tidak enak hati. Pikirannya hampir menuju kata berantakan. Banyak hal dibenaknya yang membuat pria itu merasa berat dan selalu ingin melihat ke belakang, menerawang pada jauhnya jarak yang sudah ia tempuh. Ia tidak tahu di dalam dinding sedang terjadi apa, itulah yang membuatnya merasa gelisah dalam diam.

Levi sudah mencoba membagi tugas kinerja otaknya. Karena ia tidak bisa lepas dari firasat buruk yang menyerang, jadi setidaknya ia juga harus fokus dengan misi yang sedang ia emban.

Levi kembali menunggangi kudanya, tetap dalam formasi yang sudah di atur. Di samping kiri dan kanan kudanya adalah Hange dan Mike, sedangkan di belakangnya adalah Nanaba dan Nicolas. Setelah melirik ke sekitarnya, Levi yakin bahwa Hange masih asyik dengan para raksasa konyol itu. Sekarang di formasi hanya ada dirinya dan Mike, juga kuda-kuda milik bawahan Levi yang ditinggalkan sang pemilik.

Levi tidak bermaksud membicarakan apapun dengan Mike karena sibuk mengelap pedang miliknya. Sampai Mike sendiri yang mengajaknya bicara.

"Levi, sebenarnya aku ingin mengatakan ini dari dulu karena merasa tidak enak. Tapi jika aku tidak mengatakannya aku takut kau memusuhiku seumur hidup."

Levi melirik malas. Mempersilahkan Mike untuk melanjutkan apa yang akan ia katakan.

"Saat aku bilang aku berhasil tidur dengan Petra sebenarnya aku berbohong, aku hanya ditemaninya minum teh, itu saja. Sisanya aku mengarang sesukaku. Kau tahu kenapa aku melakukannya?"

Pria yang ia ajak bicara kembali melirik. Karena Mike tidak kunjung melanjutkan perkataannya, Levi terpaksa memakai sedikit tenaganya untuk bertanya sesuai dengan klu dari Mike.

"Kenapa?"

"Karena aku lelah melihatmu begitu kaku pada Petra. Aku pikir jika aku memanasimu kau akan bertindak lebih jauh dari sekedar memandanginya saja. Ternyata aku benar ya? Ahahaha!"

Oh baiklah, Levi merasa lega akan hal itu. Setidaknya temannya ini tidak melakukan hal macam-macam pada Petra seperti yang pernah ia katakan dulu.

"Sudahlah, aku tidak akan peduli dengan masa lalunya yang seperti itu. Yang penting aku sudah memilikinya dan akan memprioritaskan dia diatas segalanya."

Mike tersenyum menanggapi. Saat pertama tahu bahwa Levi selalu datang ke kedai kopi Petra, Mike memang sudah menduga kalau pria tempramen itu sudah jatuh cinta pada si pemilik kedai. Itulah sebabnya Mike ingin sekali mencoba melakukan sedikit permainan untuk membuat Levi lebih agresif.

Tak lama Hange kembali dari aksinya berburu raksasa, tampak sebuah kesenangan di wajah nyentriknya itu. Levi tak berkomentar apapun, toh ia sudah terbiasa dengan kenyentrikan yang Hange miliki dengan alamiah.

"Kenapa berhenti? Gasmu habis?" Mike bertanya tanpa menoleh pada Hange sama sekali.

"Tidak juga. Hanya saja entah kenapa raksasa-raksasa itu seperti pindah haluan. Mereka meninggalkan lokasi ini dengan wajah imut mereka."

Sebelah alis Levi terangkat, heran.

"Aku rasa ada sesuatu yang terjadi. Ya kita tahu kan kalau raksasa hanya tertarik pada manusia, jadi apa mungkin mereka mencium bau manusia yang lebih banyak sampai menghiraukan pasukan kita?" Hange menambahkan.

Tiba-tiba Levi membalikkan haluan kudanya, membuat kuda-kuda yang dibelakangnya berhenti melangkah. Bukanlah tanpa alasan, Levi berbalik karena seseorang dengan jubah yang sama dengan mereka datang tergesa-gesa. Bahkan bisa dikatakan mimik orang yang datang itu sangat panik.

"Ada apa?" Levi langsung bertanya pada orang yang kini menghadapnya.

"Aku mendapat laporan dari penjaga dinding bahwa dinding sebelah timur gerbang utama telah dihancurkan oleh raksasa lapis baja!"

Yang mendengar informasi itu membelalakkan mata. Ini mimpi buruk yang terulang kembali.

"Dari mana raksasa itu muncul?"

"Aku tidak tahu komandan, mereka bilang raksasa lapis baja datang tiba-tiba dan langsung membuat lubang yang cukup untuk dimasuki raksasa lain!"

Levi mendecih. Disaat seperti ini kenapa bisa terjadi.

"Pantas saja raksasa bodoh itu meninggalkan tempat ini.."

"Hange, Mike, pimpin semua prajurit berkumpul dan buat jadi dua kelompok. Satu per tiga prajurit lanjutkan misi dan sisanya kembali ke dalam dinding."

Tangan Levi yang sudah memegang pistol asap langsung menembakkannya ke angkasa, memberi isyarat agar semua prajurit berkumpul di tempat asap itu muncul.

"Setelah semuanya mengerti, langsung jalankan rencana ini. Aku akan pergi lebih dulu ke dalam dinding. Suruh mereka langsung menyusul secepatnya!"

Levi memacu kudanya, tanpa peduli kata 'tapi' yang terlontar dengan sendirinya dari mulut Hange. Persetan dengan semua itu, ia yakin Hange dan Mike bukanlah orang bodoh yang tidak akan mengerti penjelasannya barusan. Sudah bertahun-tahun mereka menjadi pasukan dengan harapan hidup paling tinggi, itu bisa membuat Levi yakin seyakin-yakinnya.

Kudanya melaju dengan cepat, diikuti orang yang memberi informasi tadi. Ia harus cepat, benar-benar harus cepat. Kalau tidak, hanya mimpi buruk yang akan ia lihat setelah ini. Jangan sampai, raksasa-raksasa gila itu berhasil mencapai tempat Petra berada sebelum Levi sampai. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi, tidak akan pernah.

.

Ketukan pintu yang terdengar kasar membuat Petra terusik. Ia langsung meletakkan Kiddo di atas kasur dan berjalan cepat menuju asal suara. Saat daun pintu terbuka, mata caramel itu tak bisa untuk tetap terlihat tenang. Ancaman baru menghampirinya saat ini.

"Tidak heran begitu banyak pria yang meminta kau temani, tidak diragukan lagi kau memang cantik, nona." si pria bermanik biru dihadapannya berseru.

Petra mundur selangkah dari posisinya berdiri. Kakinya sedikit gemetar dibuatnya. Tidak salah lagi, orang-orang berseragam polisi militer ini akan menangkapnya sekarang juga.

"Tapi sayang.. kau harus mendekam di penjara setelah ini. Atau hukuman mati ya? Kurasa hukuman mati juga pantas untukmu, karena kau telah membantai pasukan polisi yang menjalankan tugas kemari waktu itu."

Seolah kehilangan pita suaranya, Petra hanya termangu. Tangan kirinya yang masih mendmpel pada kenop pintu sudah terasa dingin mati rasa. Manik caramel miliknya semakin melebar saat pistol ditodongkan ke arahnya. Petra tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam situasi ini, namun diam-diam ia mengumpulkan keberaniannya. Bukan hanya nyawanya yang sedang terancam, Kiddo juga. Itulah kenapa Petra mengitung mundur di dalam hati. Dan saat angka satu ia sebut, kakinya langsung bergerak cepat menuju tempat Kiddo berada, setelah menutup kembali pintu dan menguncinya. Dia memang bukan seorang pelari yang handal, tapi nyawa anaknya akan terancam juga jika ia berhasil tertangkap oleh mereka.

Melihat mangsa mereka sudah melesat masuk ke dalam rumah, para polisi militer langsung menggunakan insting liar mereka untuk mendapatkan buruannya.

Dalam kondisi itu, Kiddo menangis. Sepertinya ia mengerti akan situasi yang di hadapi ibunya.

Petra memeluk Kiddo erat-erat, ia langsung bergegas membuka pintu belakang rumahnya dan berlari secepat mungkin. Berlari dari apa yang berusaha mengejarnya. Ia harus bertahan dalam posisi ini, demi Kiddo.

"Tenanglah, Kiddo... ibu akan melindungimu, apapun yang terjadi.."

.

Dengan wajah penuh amarah Kenny mengangkat kerah polisi militer terakhir yang berusaha menyerangnya. Seperti yang dilihat, Kenny sudah melumpuhkan satu regu kepolisian yang bermaksud menangkapnya saat ini, di ibu kota. Kenny yakin sekali bukan hanya dirinya yang mendapatkan ancaman penangkapan tersebut.

"Berani melawan Ackerman berarti cari mati. Katakan padaku apa yang sebenarnya kalian lakukan huh?"

"K-kami hanya menjalankan tugas..."

"Tugas katamu? Harusnya kau tahu dulu siapa yang berhak ditangkap dan tidak! Siapa yang menyuruhmu?"

Tak ada jawaban yang terdengar kecuali ringisan.

"Siapa yang menyuruhmu hah?!"

"Mo..Moses-san.."

Kenny merasa heran. Bukankah Moses sekarang berada di penjara bawah tanah? Kenapa otak dibalik kekacauan ini masih orang itu. Ah lihat saja nanti apa yang bisa dilakukan Kenny agar Moses tidak bisa melakukan apa-apa lagi, bahkan hanya untuk berbicara dan berpikir.

"Lalu apa yang kalian lakukan pada Petra sekarang?"

"D-dia akan kami tangkap.. tapi jika dia berontak, kami diperbolehkan untuk menembaknya juga..."

Genggaman kerah di tangan Kenny semakin menguat.

"Sialan kau!"

Dan orang itu berhasil terlempar dan berakhir tersungkur diantara rekan-rekannya yang lebih dulu dikalahkan. Wajahnya sudah babak belur tentu saja. Sebelum Kenny menaiki kudanya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menginjak perut orang yang barusan ia lempar dengan mudah bagaikan membuang sampah.

"Jika kalian berani melakukan apa-apa lagi setelah ini, aku tidak akan segan-segan melubangi kepala kalian dengan peluru."

Ia pun berlalu dengan aura membunuh. Jika ia terlambat sedikit saja, Petra akan berakhir mengenaskan tanpa bisa melihat kepulangan Levi. Kenny mulai melaju menunggangi kuda hitamnya, dan berpapasan dengan bawahannya yang tampak panik.

"Kapten, anda mau kemana?"

"Ke dinding sebelah." Balasnya singkat.

"Ta-tapi kapten! Disana sedang dalam keadaan kacau! Lagi-lagi raksasa berhasil menjebol dinding!"

Alis Kenny semakin berkerut. Hal buruk apa lagi yang akan terjadi..

"Kalau begitu siapkan semuanya untuk mengefakuasi warga sipil! Kita tidak boleh menyia-nyiakan nyawa lagi, bersiaplah untuk bertarung!"

"Baik!"

Kenny menarik tali kekang kudanya, ia harus berangkat lebih dulu. Situasi ini lebih buruk dari kasus manapun yang pernah ia selesaikan. Semoga Petra berhasil melarikan diri dari rumah dan menciptakan jeda untuk polisi militer menemukan wanita itu. Semoga..

.

Raksasa-raksasa itu berdatangan dengan cepat. Memporak-porandakan setiap bangunan yang mereka lewati untuk mencari mangsa. Tidak pandang buluh, apa lagi menggunakan perasaan, mereka memakan manusia yang belum sempat melarikan diri. Tidak banyak manusia yang bisa mereka makan memang, karena sebagian besar sudah menjauh dari titik dimana mereka bermunculan. Raksasa lapis baja? Seperti biasa, dia menghilang begitu saja setelah berhasil menjebol dinding, menyisakan misteri akan sosoknya.

Prajurit garisson, polisi militer dan beberapa pasukan pengintai mulai berdatangan membasmi raksasa, meski tak seefektif yang dibayangkan. Ah andai saja sebagian pasukan pengintai sedang ekspedisi luar dinding, mungkin mereka bisa bertaruk dengan efektif dan tidak menghamburkan nyawa prajurit seperti ini. Sebagai gantinya memang begitu, warga sipil sebagian besar berhasil di efakuasi, dan para prajurit yang menjadi santapan.

Keadaan kacau membuat dunia balik dinding berlatarkan awan mendung dan asap yang menyembul ke angkasa. Sudah hampir seperti neraka.

Petra masih berlari diantara puing-puing bangunan yang hancur berkat pecahan dinding yang menyerbu saat raksasa lapis baja datang. Kiddo yang sedari tadi menangis kini sudah mulai tenang. Sekarang Petra tidak tahu sebenarnya ia berlari dari apa, dari manusia atau dari raksasa. Dia tidak tahu sekarang ia takut pada siapa. Yang ia sadari hanya kenyataan bahwa ia harus tetap berlari, dan sebisa mungkin mencari daerah yang tidak bisa dicapai oleh raksasa ataupun orang-orang yang mengejarnya.

Keringat dipelipisnya sama sekali terhiraukan begitu saja. Kakinya yang lelah terus ia paksakan untuk berlari. Ia ingin sekali menangis, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk meratapi takdirnya.

"Tuhan... tolong biarkan aku untuk bertahan, setidaknya sampai aku berhasil menitipkan Kiddo pada orang lain.." Petra berguman.

Mata penuh waspada miliknya melirik ke belakang, ia bisa melihat kepala raksasa tampak angkuh berdiri di balik beberapa bangunan di belakangnya. Jadi itu yang menjadi lawan umat manusia selama ini? Ia membatin. Pertama kali melihat raksasa dalam jarak pandang seperti ini tidak membuat Petra gemetar dan tidak bisa berlari. Itu karena Kiddo bersamanya, kekuatan yang bisa mengalahkan rasa takut akan dimangsa hidup-hidup.

"Petra!" Sebuah suara menginterupsinya untuk melihat ke depan, ya tak lain karena Petra merasa familiar dengan suara itu.

"Syukurlah aku bisa menemukanmu, ayo naik ke kudaku, aku akan membawamu pergi dan berlindung. Aku tahu situasi apa yang kau hadapi saat ini."

"Kenny-san..?"

Petra merasa lega bukan main. Setidaknya saat ini ada orang yang bisa ia andalkan. Dalam hati, Petra berterimakasih pada Tuham karena telah memurunkan seseorang untuk membantunya.

"Kau juga harus melindungi anak itu kan? Jadi, ayo naik."

Setelah sempat tersenyum sebagai bentuk rasa leganya, Petra menurut dan naik ke atas kuda.

"Tenang saja, aku tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak pada istri anakku." Ucap Kenny saat melihat Petra sedikit terkejut karena Kenny ikut naik dan duduk di belakangnya.

"Kita harus cepat sebelum..."

"Berhenti disana Kenny Ackerman!"

"Sial.. baru saja aku menduga hal paling buruk.."

Kenny melirik tajam ke arah orang-orang yang sudah mengepungnya di atas atap bangunan yang hampir hancur itu.

"Tenanglah, aku bisa mengatasi ini." Kenny berbisik tanpa menimbulkan kecurigaan.

"Jangan mentang-mentang kau keturunan Ackerman jadi kau bisa melakukan apa saja yang kau mau."

Kenny kembali mendelik. Banyak bicara sekali orang angkuh di atas sana itu, pikirnya.

"Aku bisa langsung menjatuhimu hukuman mati atas tuduhan pembantaian kelompok polisi militer dan melarikan buronan." Si polisi militer kembali berbicara dengan arogan.

"Petra, saat aku mengeluarkan pistolku, segera kau tarik tali kudanya. Mengerti?" Bisik Kenny dan dibalas anggukan oleh Petra.

"Berani bergerak dari posisi itu, aku akan langsung menembakmu, Kenny."

"Bukanlah lebih baik kalian membasmi raksasa disana daripada mengurusi ini?"

"Hey, kami polisi militer, bukan prajurit pembasmi raksasa. Tugas kami menangkap penjahat seperti kalian berdua, dan mungkin satu lagi.. komandan Levi yang terhormat."

Mata Kenny membelalak. Kesabarannya yang minim langsung membuat dirinya mengeluarkan pistol dan menembakkannya dengan cepat, dan disaat yang sama pula Petra membuat kuda yang mereka tumpangi berlari secepatnya.

Beberapa polisi militer berhasil tumbang oleh luka tembakan yang langsung mengenai daerah vital seperti kepala dan dada. Kenny memang penembak yang handal. Tapi sepertinya si mata biru banyak bicara dan besar kepala yang Kenny yakini adalah orang yang berhubungan langsung dengan Moses, masih bertahan dan berlari mengejar mereka -dengan pistol yang juga terus menembakkan pelurunya.

"Lumayan juga dia.. pantas saja lagaknya sombong begitu." Kenny menyeringai.

Perang tembakan terus berlanjut, sampai hampir saja mengenai Kenny.

Tanpa disangka si mata biru berhenti menembak, ia juga berhenti mengejar bersama 3 bawahannya yang masih tersisa. Kesempatan itu digunakan Kenny untuk mengambil alih tali kekang kuda agar mereka bisa menjauh lebih cepat.

.

.

.

"Terima kasih sudah datang di saat yang tepat." akhirnya Petra berucap setelah mereka memutuskan beristirahat di depan bangunan yang masih utuh berdiri.

"Tidak usah dipikirkan, kau memang tidak pantas dihukum untuk alasan aneh itu. Aku heran kenapa mereka gencar-gencarnya ingin menangkapmu sedangkan pelacur lain mereka biarkan berkeliaran sesuka mereka. Hukum benar-benar sudah tidak stabil saat ini."

Petra tersenyum miris sembari memandangi Kiddo yang juga tengah memandangnya dengan wajah polos. Merasa tidak tega jika anak itu yang berada dalam situasi seperti ini.

"Aku tidak tahu hal buruk apa lagi yang akan terjadi setelah ini.." guman Petra.

Kenny menoleh. Melihat ini semua bukanlah keinginannya, sungguh. Kemudian ia kembali memandangi jalan yang tadi mereka lewati.

"Kau tidak usah khawatir, bahkan Levi belum kembali kan? Dia pasti akan datang sebentar lagi. Medan yang dilalui memang berat bukan.."

Petra kembali tersenyum miris, berusaha menghibur diri sendiri.

"Ano.. Kenny-san, bolehkan aku menitipkan Kiddo padamu? Ini mulai dingin, anda bisa menggendongnya dibalik mantelmu."

"Hah? Bukankah kehangatan seorang ibu lebih penting?"

"Aku tahu, tapi..."

Petra melirik Kiddo yang menggenggam jari kelingkingnya dengan tangan mungil itu.

"Baiklah, aku akan menggendongnya." Kenny akhirnya menyerah.

"Sekali lagi terima kasih..."

.

Mendung itu berubah menjadi gerimis. Membasahi apa saja yang menjadi lintasan air hujan. Suara hentakan kaki kuda yang cepat mengiringi perjalanan Levi. Kini ia sudah memasuki bagian dalam dinding yang di serang. Kecepatan kudanya tidak berkurang sama sekali sejak pertama kali dipacu. Beberapa menit lalu ia sudah menuju rumahnya, dan tentu saja tidak menemukan Petra dan Kiddo disana. Levi berusaha memikirkan hal paling baik, mereka berdua pasti sudah diefakuasi ke dinding yang terdalam.

Mata sipit itu tidak melewatkan setiap objek yang ia lalui. Khawatir jika satu belokan saja yang terlewat dari pandangannya akan berakibat fatal. Kudanya terus berlari, menciptakan suara gemercik air yang menjadi latar percariannya.

Sejauh mata memandang, tak ada tanda-tanda kehidupan. Raksasa pun tidak terlalu banyak. Untung saja Levi tidak harus turun tangan karena setiap raksasa sudah mendapat lawan berkualitas dari barisan pasukan elit garisson. Jadi pria itu bisa fokus pada pencariannya.

Sesekali Levi melihat polisi militer yang seolah mengikutinya dengan tatapan menyelidik dan waspada. Jujur saja, Levi nerasa terganggu. Tapi selama mereka tidak mengusik kegiatannya, Levi akan berbaik hati membiarkan mereka berseliweran disekitarnya dengan tidak jelas.

Sampai..

Suara tembakan terdengar. Kuda yang ditunggangi Levi terjatuh berkat tembakan itu. Otomatis Levi juga ikut tersungkur. Levi langsung mencari pelaku biadab yang membuatnya kotor. Dan bingo, Levi menemukannya dengan cepat. Saat Levi baru saja akan menghampiri si pelaku -yang berada tak jauh dari tempatnya-, suara tembakan kembali terdengar. Kali ini berhasil membuat lengan kiri atasnya mendapat luka.

Darahnya keluar, seraya ia mendecih dan mengayunkan pedangnya ke arah objek buruannya yang pertama. Levi tidak peduli sesakit apa lengannya saat ini, yang harus ia lakukan adalah mengakhiri orang-orang yang mencari masalah dengannya secepat mungkin agar ia bisa segera menemukan Petra.

Tapi nyatanya orang yang ia hadapi tidaklah sedikit. Sekitar 10 orang? Itu yang menampakkan diri didepan Levi saat ini. Ia tidak tahu berapa banyak lagi orang yang akan datang tiba-tiba menyerangnya.

"Sialan kalian.. menghalangi jalanku."

"Bukankah anda sedang dalam ekspedisi, komandan? Kenapa anda berada disini sekarang?" Tanya seseorang bermata biru -ya, si mata biru yang tadi menyerang Kenny- tampak menyindir. Sungguh, Levi sangat membenci gaya bicara orang ini. Ingin sekali ia mengorek isi kepalanya dengan pedang.

"Aah.. aku ingat.. istri anda juga tinggal di daerah ini ya? Itulah kenapa anda pulang lebih awal dari pasukan anda? Wah wah.. anda komandan yang buruk ya.."

Levi menyiapkan kedua pedangnya untuk menyerang seonggok daging yang ia rasa lebih memuakkan daripada raksasa, ya.. si mata biru.

"Tapi sayang sekali dia sudah jadi buronan kami, jadi kami akan menangkapnya hidup atau mati. Aah, sepertinya Moses-san sudah menemukan istrimu yang cantik itu. Aku ingin tahu dia akan dibunuh dengan cara apa.."

Jangan ditanya Levi melakukan apa sekarang. Tentu saja menyerang orang dihadapannya dengan membabi buta.

"Kau seorang pria tapi mulutmu lebih cerewet dari wanita.. aku sungguh tidak mau mendengar ocehan tak bermutumu itu payah!"

"Ohoho! Ternyata gosip tentang sikapmu yang termpramen memang kenyataan ya.."

Saat Levi sudah mencapaikan ujung pedangnya ke arah kening si mata biru, ia juga mendapatkan todongan pistol dihadapannya. Baiklah, orang ini cukup hebat untuk ia lawan.

"Kau sudah tahu apa yang akan aku lakukan pada orang yang mengganggu hidupku." Levi mengintimidasi. Tapi sepertinya kali ini kurang berhasil.

"Aku akan membiarkanmu hidup bersama raksasa yang akan mencabik tubuhmu dan memakannya."

Setetes darah keluar dari ujung pedang yang mengenai kening musuhnya. Tak seberapa memang, dibanding luka tembakan yang sudah tidak dipedulikan oleh Levi. Ah memangnya kapan ia peduli pada lukanya sendiri? Levi selalu yakin sel darah putih yang ia miliki cukup untuk menutup lukanya dalam sehari dua hari. Naif? Entahlah. Levi tidak akan mengakui dirinya naif akan hal itu.

"Kau melukai orang kepolisian, komandan." seringai menjijikan terlihat.

"Lihat apa yang bisa kami lakukan atas perbuatanmu yang selalu menginjak-injak kami." Kata-kata itu menyusul setelahnya.

Levi sadar bahwa 5 orang kepolisian yang tersisa bersiap dengan pistol yang ditodongkan padanya. Mereka bercanda?

Dalam sekejap, Levi mendorong pedang yang ia todongkan agar bisa menembus kepala menyebalkan didepannya. Dan saat yang sama juga ia mendapatkan tembakan yang lain, jali ini mengenai bagian belakang tubuhnya, mungkin pelurunya sedang bersarang di ginjal kirinya sekarang. Hanya satu yang berhasil kena, yang lainnya meleset.

Darah yang lebih banyak keluar dari bekas tembakan, juga dari mulutnya. Rasa sakit itu tidak bisa dipungkiri, meski Levi tetap menggenggam kedua pedangnya dengan kuat. Si mata biru mendapatkan luka sayatan yang cukup dalam di keningnya, tapi itu tak membuatnya meringis sedikitpun. Yang ada ia malah melangkah mundur dengan santai dan menyaksikan 4 rekannya yang tersisa itu dibantai oleh Levi.

Darah yang berbaur dengan air hujan menjadi pemandangan disana. Dengan napas yang sudah tersenggal-senggal, Levi berjalan pelan menghampiri si mata biru yang tersenyum angkuh padanya.

"Kau tampak menyedihkan, prajurit manusia terkuat." Cibir si mata biru.

Sebelum Levi berhasil mendekatinya, ia mendapatkan serangan lagi. Sayatan dipipinya sebagai tanda bahwa barusan sebuah pisau hampir mengenainya. Pelakunya tidak salah lagi.

Kemarahan Levi semakin memuncak. Tapi rasa sakit yang menjalar dari setiap luka yang ia dapatkan membuatnya tak berkutik saat si mata biru menendang kakinya sampai Levi tak bisa menopang tubuhnya. Ia meringis.

"Gara-gara kau Moses-san dipenjara dan adikku mati." si mata biru menginjak kepala Levi yang menyentuh aspal basah.

"Kau pasti ingat adikku kan? Gadis yang mati ditanganmu."

Levi mendecih.

"Oh kau kakak gadis jalang itu."

Si mata biru menendang tubuh dibawah kakinya dengan keras. Itu membuat darah dari mulut Levi kembali keluar.

"Bukankah istrimu yang jalang?!"

Perlahan Levi bangkit berdiri. Jika terus merasakan kesakitan ia tidak akan bisa memajukan keadaan. Ia akan tetap diinjak dan Petra akan dalam bahaya besar.

Awalnya ia memang hanya berdiri. Namun setelahnya, serangan mematikan ia keluarkan. Layaknya raksasa, Levi membuat si mata biru tidak akan bisa lagi mengoceh seenak jidat. Sebenarnya ide untuk mencincang tubuh tak bernyawa itu cukup bagus. Tapi Levi sadar diri, ia harus menghemat tenaganya untuk melanjutkan mencari Petra.

"Urgh..."

Jika orang biasa pasti sudah pingsan jika berada di posisi Levi. Darahnya banyak yang terbuang. Dalam hati ia terus mengumpati orang-orang yang berhasil membuatnya membuang-buang darah seperti ini.

Ingin sekali ia melangkahkan kakinya di dalam hujan ini untuk kembali mencari Petra. Napasnya yang memburu menghasilkan kabut tipis yang cepat hilang. Tangan kanan ia gunakan untuk menahan luka di lengan kirinya. Baru ia rasakan berjalan dengan susah payah seperti ini, baru ia rasakan..

"Aku yakin dia masih baik-baik saja..."

Ia hanya bisa meyakinkan diri sendiri.

Dengan susah payah Levi menggunakan manuver gearnya untuk bergerak lebih cepat. Ia tahu bahwa dengan gerakan cepat dan tiba-tiba hanya akan membuat darah dari lukanya semakin mengotori baju, tapi ia juga tahu bahwa ia harus cepat. Melawan hujan yang menderas. Membiarkan tubuhnya tidak lagi kering.

Baru sekitar 15 meter ia berpindah posisi, Levi terjatuh. Memaksakan diri dengan luka seberat itu hanya akan membuatnya semakin tidak baik-baik saja.

Lagi-lagi Levi mendaratkan wajahnya di atas aspal dengan genangan air. Darah miliknya berbaur dengan air yang mengalir. Matanya tampak lelah.

'Di dunia yang indah dan kejam ini, untuk apa kita hidup jika orang yang kita lindungi sudah tidak ada.'

.

"Dia mirip sekali dengan Levi saat bayi.."

Kenny memainkan jemari mungil Kiddo yang terjulur ke wajahnya. Petra menanggapi dengan tersenyum. Mereka meneduhkan diri di sebuah bangunan yang berjarak sekitar 50 meter dari dinding kokoh. Hujan semakin lebat jadi tidak ada pilihan lain selain berteduh untuk sementara. Kiddo tidak boleh dibiarkan kedinginan dalam hujan seperti ini.

Lamunan jauh tentang Levi memenuhi kepala Petra tanpa diminta. Jika biasanya ia akan menyukai hujan, entah kenapa untuk saat ini ia sangat membencinya. Ia benci harus melihat darah yang ikut mengalir bersama air hujan. Ia memang tidak tahu itu darah siapa tapi, dia benar-benar merasa tidak baik.

"Kenny-san.. apa bisa kita berangkat sekarang saja?"

"Kenapa?"

Mata penuh kelelahan itu melihat langit yang perlahan menghentikan air. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu sampai awan-awan hitam diatas sana berarak menampakkan birunya langit. Hiburan yang Tuhan suguhkan pada dunia.

"Aku mendengar suara langkah kaki yang besar.." ucap Petra.

Benar saja, langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Tidak salah lagi, itu suara langkah kaki raksasa. Kenny segera memosisikan dirinya di depan Petra. 6 raksasa datang sekaligus? Lelucon macam apa ini..

"Apa aku bisa memberikan Kiddo padamu sekarang?"

Petra tak menjawab. Merasa dihiraukan, Kenny menoleh padanya. Saat itulah ia bisa melihat kedua mata wanita itu membelalak melihat sebuah objek. Kenny mengikuti arah pandangnya, dan melihat seseorang berdiri di atas bangunan di depan mereka.

"Moses huh?"

Kenny mengambil satu pistol ditangannya. Tapi disaat yang sama satu raksasa menggapaikan tangannya ke arah mereka.

"Sial!"

Akhirnya Kenny memilih menembakkan pistolnya ke arah raksasa. Dan ketika ia akan menembak Moses juga, pria itu sudah tidak ada di tempat semula. Raksasa itu menggunakan tangan yang lain untuk menggapai, Kenny menembaknya lagi dan lagi.

"Urgh sial! Menghabisi raksasa dengan pistol bukanlah ide yang bagus!"

Dalam hati terus merutuk kemana perginya para prajurit disaat seperti ini. Ah baiklah, jangan terlalu berharap bantuan orang lain disaat seperti ini, itu setara dengan kata mustahil.

"Urg.. tidak ada cara lain. Petra, pertahankan dirimu! Aku akan mengurus raksasanya! Tidak bisa jika aku hanya menembak tangannya! Aku berikan Kiddo pa-"

Petra tidak ada lagi dibelakangnya, Kenny lengah. Tak ada cara lain selain membawa bayi itu bertarung bersamanya. Kenny hanya harus yakin persediaan peluru yang ia miliki akan cukup untuk mengalahkan raksasa-raksasa yang menghampirinya itu, dengan keyakinan jika Petra tidak dimakan raksasa atau sejenisnya.

Kenny memulai aksinya, sedangkan Kiddo tetap berada dalam gendongannya. Jika membiarkan bayi itu disimpan, sama saja dengan menyuguhkan makanan pada mereka.

Di tempat yang sama, namun terhalang tembok bangunan, Petra tengah terdesak. Rambutnya dijambak dengan tak manusiawi oleh Moses, sosok yang sempat menghilang dari pandangan. Pria itu menyeringai licik. Petra bisa meyakini bawa Moses masih memakai pakaian tahanan.

"Kenapa.. kau bisa ada disini?"

"Ahahaha! Menurutmu kenapa huh?"

Moses mendekatkan wajahnya, bermaksud untuk menakuti. Ia juga siap dengan pedang dan peralatan manuver gear. Tidak usah bertanya darimana ia mendapatkan peralatan itu disaat seharusnya ia berada di penjara, ia akan menjelaskan sendiri dengan arogan.

"Aku memiliki koneksi dimana-mana! Aku dihormati! Itulah kenapa sangat mudah bagiku untuk mengumpulkan prajurit yang ingin menangkap kalian!"

"Kenapa kau sampai melakukannya sejauh ini.. "

"Kenapa kau bilang? Huh.. harusnya aku aku yang bertanya padamu! Kenapa aku sampai melakukan sejauh ini gara-gara kau?!"

Pria dihadapan Petra semakin mengeratkan jambakan dirambutnya. Cukup untuk membuatnya semakin meringis dan merasa pusing karenanya.

"Aku yakin rasa cinta yang begitu besar untukmu itu sudah berubah menjadi kebencian. Tapi nyatanya, aku tetap melakukan ini demi kau, Petra!"

Pedang yang Moses bawa diacungkan tinggi-tinggi. Petra bjsa melihat kilatan pantulan cahaya dari pedang tajam itu. Nampaknya langit cerah sudah sedikit menunjukkan diri.

"Aku akan menyelamatkanmu dari dosa karena telah mengabaikanku.. aku akan menyelamatkanmu dari penjahat yang merasuki otakmu, yaitu Levi. Ah aku rasa dia sudah habis oleh anak buahku. Bagaimana? Kau mau menyusulnya kan?"

Manik milik Petra yang sebelumnya menyipit kesakitan mulai membuka lebar. Kekosongan terlihat dari dalam sana.

"Kau... bohong..."

Tawa Moses pecah, menggelegar mengalahkan suara tebasan angin yang cukup kencang.

"Untuk apa aku berbohong? Tidak ada gunanya juga kan? Prajurit terkuat pasti akan mati juga jika diserang banyak orang."

"Bohong... bohong..."

Tubuh itu melemas. Matanya mengembun. Ternyata ini? Apa yang menjadi firasatnya beberapa saat tadi adalah ini? Pikirannya kacau bukan main. Napasnya seolah sesak. Lehernya seakan dicekik dengan kejam. Kenyataan pahit menghantam batinnya. Ia ingin berteriak. Ia ingin memanggil namanya, berharap sosok itu muncul dan mengusap pipinya seperti biasa. Mulutnya seolah terkunci tiba-tiba.

Moses berhenti menjambak rambut Petra. Ia hanya terus tertawa melihat bagaimana wanita itu mengekspresikan kekalutannya.

"Menjauhlah dari dia, sialan." Suara dingin terdengar dari balik punggung Moses. Dan sosok Levi terlihat saat Moses membalikkan tubuhnya.

Dengan tatapan tidak suka, Moses langsung mengayunkan pedang ditangannya ke arah Levi. Untung saja kesadaran Levi masih bekerja sehingga ia bisa menahan pedang itu dengan pedang miliknya. Petra membeku. Ada sebuah kelegaan dihatinya. Ditambah sebuah kekhawatiran mendalam melihat bagaimana darah menghiasi pakaian Levi yang biasanya selalu terlihat bersih. Jelas kalau pria itu tidak baik-baik saja.

"Harusnya kau sudah mati!" Moses memekik kesal.

Levi hanya menyeringai.

"Sayangnya yang mati itu anak buahmu."

"Khs..."

Levi berhasil menjatuhkan Moses dalam pertarungan itu. Meskipun belum sampai membunuhnya, tapi Levi sudah memberi hiasan merah di perut pria itu. Setidaknya mungkin dia akan mati kehabisan darah.

Dengan lemah dan sisa kekuatan yang ia miliki, Levi berjalan perlahan menuju Petra yang terduduk lemah menyaksikannya. Saat berada tepat di delan Petra, ia memeluk wanitanya. Merasakan punggung wanita itu bergetar hebat, Petra menangis kencang.

"Sudah, tidak apa-apa.. aku ada disini.." Levi menenangkan.

Dada Levi terasa diremas dengan keras. Sebuah rasa sakit terasa didalam sana. Melihat Petra dalam keadaan seburuk ini membuatnya teramat sakit. Tapi masalahnya bukan itu saja. Levi merasa lelah, sungguh. Matanya yang memejam saat merasakan pelukan hangat Petra membuka perlahan. Tak lama kembali menutup sambil terbatuk-batuk. Darah keluar lagi dari sana.

"Kau tidak terluka kan?"

Petra mengangguk.

Levi merasa membutuhkan ciuman Petra saat ini, ia meraih wajah wanita itu dan melekatkan bibir mereka berdua. Petra tidak peduli rasa darah yang mendominasi ciuman mereka, sangat tidak peduli.

Ciuman berhenti dengan cepat, karena Levi lagi-lagi membatukkan darah. Wajahnya sangatlah pucat. Petra melemas sendiri melihat sang suami dalam keadaan yang paling buruk seperti ini.

"Dimana Kiddo?"

Senyuman terlihat di wajah Petra, berusaha setulus mungkin.

"Bersama ayahmu.."

"Ah.. baguslah.."

Detik-detik berlalu. Tak mereka sadari kini pedang menembus tubuh keduanya. Dan Levi yang pertama merasakan itu, disusul Petra. Suara tawa nista terdengar kembali, seraya pedang yang menembus itu dicabut dengan sekali hentakan. Tak bisa dibayangkan lagi sesakit apa bekas lintasan pedang yang bersarang dengan cepat.

"Mati saja kalian berdua!" Pekik kemenangan Moses yang bersusah payah tertawa dalam kesakitannya yang tak kalah memilukan.

Levi dan Petra tidak lagi terduduk, mereka berdua yang bersimbah darah terbaring bersampingan, saling memandang. Masing-masing tahu, ini adalah yang terakhir mereka bisa saling memandang. Keduanya menautkan jemarinya. Pedang yang dihunuskan Moses berhasil merusak organ dalam. Ini menyakitkan.

"Petra.. ternyata akhir kisah kita seperti ini.."

Mata caramel dihadapannya tampak berbinar dengan adanya embun yang terkumpul disana. Darah segar kini sudah menghiasi mulut Petra juga.

"Kau tahu.. aku tidak menyesal hidup di waktu yang sama denganmu seperti ini.. banyak hal yang terjadi, dan aku tahu semuanya sama berat. Tapi jika kau ada disampingku.. seberat apapun tak masalah.. asalkan aku bisa melihat senyumanmu setiap hari.."

Kembali Levi membatukkan darah. Entah sudah ke berapa kali ia melakukan itu.

"Aku tidak menyangka aku bisa selemah ini.. tapi tak masalah.. ah, aku harap Kenny bisa menjaga Kiddo dengan baik.. karena aku tidak yakin.. akan bangun lagi setelah ini."

"Levi.."

"Nee Petra, jika ada yang namanya reinkarnasi.. aku ingin sekali bereinkarnasi di waktu yang sama denganmu.. saat itu terjadi, aku pasti akan mendapatkanmu lagi.."

Petra tersenyum lemah. Sepertinya rasa sakit yang menjalar di hati dan perutnya hampir mengambil kesadarannya, tapi ia berusaha bertahan agar bisa mendengar semua yang dikatakan Levi padanya, untuk terakhir kali. Levi menyentuh pipinya, tangan itu terasa dingin. Kesesakkan dalam dadanya semakin terasa.

"Saat perjalanan kemari.. aku kira aku akan mati, tapi mengingat aku belum melihat wajahmu lagi, arwahku tidak mau keluar dari tubuh ini. Tapi sekarang.. sepertinya waktuku tiba.."

"Aku mencintaimu.. Levi.."

"Aku tahu.. aku juga.. mencintaimu..." suara menenangkan itu tak lagi terdengar. Mata kelabu yang sudah menampakan kekosongan perlahan menutup. Menyisakan wajah terakhir yang tidak akan berubah ekspresi lagi. Dia tenang.

Aliran air mata Petra berhenti. Semuanya terasa mati rasa. Akhirnya ia bisa ikut tertidur, tanpa harus memastikan hal apapun lagi. Sesuai perintah otaknya, mata caramel juga tertutup. Tangannya yang sempat menegang saat pria dihadapannya lebih dulu menutup mata, kini melemah. Menunjukkan kehampaan. Tinggal menunggu saat dimana tubuhnya mendingin dengan sendirinya.

.

Kenny yang baru menyelesaikan tugasnya membunuh raksasa, harus melihat bagaimana kejadian itu terjadi. Otaknya langsung bekerja untuk menarik pelatuk pistolnya ke arah kepala Moses. Dan terus menembakannya sampai kepala itu tak lagi berbentuk, sampai peluru terakhirnya berhasil meluncur dengan cepat. Kenny masih terdiam, rol film masa lalunya terputar tiba-tiba.

.

Anak laki-laki itu memandangnya tanpa ekspresi. Entah kapan terakhir kali anak itu makan, terlihat dari tubuhnya yang ringkih memeluk lututnya di pojok ruangan. Seorang wanita yang lebih terlihat kurus terbaring diatas ranjang di tengah ruangan itu. Saat pertama kali Kenny melihatnya, ia yakin kalau wanita itu sudah mati. Ia menyesalkan hal itu dalam hati. Ia memang baru tahu kalau saat ia meninggalkan Kuchel -wanita yang terbaring itu-, wanita itu tengah mengandung anaknya. Akhirnya ia tahu sekarang. Dan disanalah anaknya berada, masih memandangnya datar. Tanpa hasrat untuk hidup sama sekali.

"Siapa namamu?"

"Levi.."

"Levi ya? Sampai kapan kau akan berdiam diri disini dan memandangi ibumu menjadi tengkorak? Ayo ikut denganku, aku akan memberimu makan."

"Siapa kau?"

"Aku hanya... kenalan ibumu. Panggil saja Kenny."

"Terima kasih.. Kenny."

.

Rol film itu berhenti dengan cepat. Saat sadar Kenny menjatuhkan dirinya, terduduk.

"Sekali lagi aku membiarkan anggota keluargaku.. mati.."

Pegangan tangannya pada pistol melonggar. Hujan disana memang sukses berhenti, tapi badai barulah di mulai dalam benaknya. Hanya Kiddo yang berhasil ia jaga.. hanya dia.

Tak lama beberapa prajurit pasukan pengintai tak sengaja lewat ke tempat itu. Diantaranya adalah Hange dan Mike, teman baik Levi. Merasa mengenal Kenny dan sedikit heran karena pria separuh baya itu tampak lemah, mereka menghampirinya.

"Kenny-san? Apa yang anda lakukan di-"

Mata Hange membulat sempurna. Tidak percaya dengan apa yang menjadi objek pandangannya saat ini. Begitu juga dengan Mike.

Beberapa prajurit bawahan Hange ikut menghampiri sang kapten. Pil pahit yang harus mereka telan setelahnya.

"Komandan Levi..."

Matahari memang mulai ditunjukan oleh awan hitam. Tapi hal itu tidaklah membuat tangis histeris Hange berhenti. Tak ada yang berjalan mulus. Mencari kebahagiaan di dunia itu ternyata sulit digapai. Persetan dengan sikap dewasa atau naif. Tak ada yang tahu hasil akhirnya jika tidak mencoba. Dan saat mencoba, jangan kecewa dengan hasil terburuk yang akan terjadi. Takdir hanya sedang bermain di dalamnya. Takdir yang curang.

.

Epilog

.

2018, Tokyo.

Seorang pria berperawakan pendek dan berambut eboni tengah menopang dagu di atas meja sebuah kedai kopi. Pakaiannya terlihat rapi dengan jas hitam yang dipadukan dengan cravat putih yang menghiasi kerahnya sebagai pengganti dasi. Pria itu tampak bosan menunggu seseorang. Jari telunjuknya tak henti ia ketuk-ketukkan di atas meja.

"Sampai kapan dia akan membuatku menunggu.." pria itu berguman.

Tak ada hak lain yang bisa ia lakukan saat menunggunya, kopi yang tadinya terisi di dalam cangkir didepannya sudah lenyap berpindah tempat.

Helaan napas terdengar sampai sebuah suara yang ia tunggu membuatnya menoleh dari pandangannya yang memandangi jalan melalui jendela transparan di samping kanannya.

"Maaf membuatmu menunggu lama, direktur." Ucap gadis yang ia tunggu itu.

"Apa kau sadar telah membuatku menunggu selama satu abad lebih huh?" Balas si pria kesal.

"Gomen nasai.."

Tanpa berpikir lagi, si pria langsung menyodorkan kotak berwarna merah berisi sebuah cincin.

"Aku habis kesabaran menunggu untuk reinkarnasiku, jadi aku tidak akan bertele-tele. Petra Rall apa kau bersedia menikah denganku?"

"E-eh? Pak direktur?"

"Kh.. sudah berapa kali aku katakan jangan memanggilku begitu jika kita hanya berdua."

"A-ah.. gomen nasai.."

"Jadi?" Si pria menunggu jawaban, dengan sorot mata yang busa membuat siapa saja jatuh hati dengan cepat.

"Hf... bagaimana mungkin aku bisa menolak, Rivaille.. kecuali ada pria yang melebihi ketampananmu."

Pria itu tersenyum puas. Tak apa, setidaknya ia berhasil mendapatkan gadis itu. Dan tak akan melepaskannya selama nyawa masih betah berada di dalam tubuh tegap miliknya. Sampai itu terjadi, dalam hati ia berjanji akan membuat gadisnya tersenyum setiap hari. Mendapatkannya kembali terasa seperti takdir. Ya takdir tentang mereka berdua.

-FIN-

.

.

Woaaaaaa akhirnya tamat jugaaaaa

Akhirnya author milih begitu endingnya, sad tapi nyempil happynya juga eheheehe XD

Ada typo kah? Pasti ada... 2hari kejar deadline itu ya begini jadinya

Jika feelnya kurang dapet maapin ya ... kalo author mah nyesek sendiri pas bikin adegan abang Levi sekarat tapi masih seksi abis ..

Ngetik sampe tengah malem, sampai kesemutan.. ngelupain kalo beberapa jam lagi harus bangun buat sahur... beuh rasanya~

Duh waktunya berpisah ya T_T

Hks hks.. author sayang kalian

Merasa ga sanggup kalo cerita ini berakhir di sini

Apa ada yang mau sequel?

Kalo ada yg mau author ntar bikinin deh ~ mau sequel yang mana? Tentang Kiddo atau rivetra di masa depan?

Kasih masukan ya, author masih bingung soalnya (ceritanya udahan ko malah bingung -,-)

Aduh... readers tersayang (digampar) saatnya kita berpisah kawan TwT

Makasih udah ngikutin author kaya anak ayam ngekor emaknya (lah ini apaa?!)

Semoga yg baca dapat pahala walaupun udah baca yg nista-nista begini, lemon gagal, rating m ngaco ahahaha #tawanista

Guys jika author ada salah kata alias typo, entah itu yang ditulisan atau dilakulan langsung oleh author (?) Mohon dimaapin ya...

Makasih cemungutz yg udah dikasih kalian sampai author kepikiran akhir ceritanya kaya gimana (tadinya kan ga tau akhirnya bakal gimana, mikirnya sambil nulis sih)

Author masih nampung review kalian ~

Yu ajakin temen-temen semua buat baca ini (yg cukup umur yaa) yg dibawah umur jg gpp sih.. #plaaaak jangan didenger yg barusan, authornya gila :v

Ya emang author gila... tergila-gila sama abang Leviiiii

Kalo nemu dia dijalan pasti bakal tereal-terak gaje "SENPAAAI NOTICE MEEEEEEE!"

Kurang gila apa coba? (Baaah :G udah gila bangga)

Author banyak ngomong ya sekarang?

"Kau bercanda? Sikapku memang seperti ini dari dulu." -levi-

Bhahahahahahahahah XD

Berat gini mau pamit (;_;)

Tapi masa juga author harus ngabisin satu lembat buat buang-buang waktu... tapi kan... tapi kan... (author lebay ih... jijik)

Yaudah deh,

Author cuma titip pesen, pesen bakso sama teh botol s**ro 2 (WHAATS?!)

Hiraukan yg barusan

Baik baik ya kalian di rumah :)

Tunggu fict author yg baru. Yg dulu juga boleh coba baca. Ikeeh rivetra shipper! Stok fict rivetra bikinan author masih ada ko (promosi binggo)

Udah ya ah? Author mau bobok chantik dulu biar di notice sama rivai senpai

Jaaaa minna-saaaaaan

Aishite iru yoooooooo~~~~

-author (gila) shigeyuki-