J.K. Rowling is the Owner of Harry Potter

I dont have anything just the story line, everything is belong to -The One and Only- J.K. Rowling

Just a simple story about my favorite pair in Harry Potter

Warning : Typo(s), OOC.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Let's the story Begin!

Chapter 1

Tatapan angkuh pria yang sering dijuluki Pangeran Slytherin membuat beberapa orang menyingkir dari jalan di koridor. Kepala Draco Malfoy terangkat ke atas dengan seringai yang ia banggakan. Sebelah kanan dan kirinya sudah berdiri dua pria idiot yang bahkan tak tahu dimana letak otaknya berada. Crabe di sisi kanan dan Goyle di sisi kiri. Alasan klasik Draco masih mau berdampingan dengan dua orang idiot ini bukan karena kegunaan mereka dengan badan besar mereka tapi karena keluarga Malfoy dan kedua keluarga dua orang teman tak bergunanya itu mempunyai hubungan yang cukup dekat.

Saat ini ia sedang berjalan di koridor menuju ke Aula besar. Sarapan Pagi. Rutinitas yang selalu di lakukan di asrama Hogwarts, sesuatu dalam satu hari yang paling ia tunggu. Ada hal yang sangat indah yang pasti akan ada di Aula, seseorang dengan wajah paling bersinar di antara banyak orang bermuka dua. Oh, apakah seorang cassanova seperti Malfoy bisa jatuh cinta? Ya, tentu saja. Biarpun ia sering bermain dengan banyak gadis tapi dari dulu hatinya selalu tertuju pada gadis itu. Tapi walaupun ia sangat menyukai gadis itu, lingkaran takdir membuat Draco tak bisa memiliki gadis itu. Gadis itu terlarang! Begitulah kata Ayahnya, kata kakeknya, kata kakek buyutnya. Draco bahkan tak boleh memimpikan gadis itu menjadi miliknya, itu sangat dilarang. Rahasia kecil ini tak Draco biarkan diketahui orang, ia tak mau Ayah yang selalu dibanggakannya akan kecewa melihat sang anak jatuh ke dalam pelukan darah kotor yang mengalir di tubuh gadis itu.

Gadis itu hanya cinta terpendamnya, toh, ia yakin setelah keluar dari Hogwarts satu tahun lagi, ia akan melupakan gadis itu, menjalin hubungan serius dengan gadis yang berdarah sama dengannya, dan takkan pernah mengingat masa suram sekolahnya yang selalu diisi dengan senyuman gadis itu.

Hermione Granger tertawa sambil membekap mulutnya. Langkah Draco terhenti di tangga terakhir. Ia terpana dengan pemandangan itu. Gadis yang disukainya sebelah pihak itu sedang tertawa bersama dengan dua orang teman tak bergunanya. Potter dan Weasley. Si anak kepala pitak dengan noda di dahinya yang sering dibilang "Anak-Yang-Bertahan-Hidup", Draco tak suka dengan tingkah sombong Potter yang selalu dipuja karena insiden kecil yang juga menorehkan noda di kepala pitak anak itu. Draco ingat sekali ia pernah menurunkan derajatnya dengan mengajak orang itu berteman dengannya dan apa yang ia dapat? Ia ditolak mentah-mentah seperti sampah.

Dan si rambut merah dari keluar miskin klan Weasley. Sungguh, apakah mereka bertiga sedang membentuk kelompok para pecundang? Lihat saja mereka, darah lumpur, darah pengkhianat, dan orang paling tak berguna.

"Kenapa berhenti?" Tanya Goyle yang kepalanya sedang celingak-celinguk mengitari Aula.

Draco tidak menjawab dan memilih untuk kembali berjalan. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya, ia benci dengan hatinya sendiri. Ia senang melihat kehadiran gadis itu tapi di saat bersamaan ia benci karena ia tahu kalau gadis itu berdarah kotor.

"Kenapa lama sekali datangnya, Drake?" Tanya Pansy yang langsung mengapitkan tangannya ke tangan Draco dan menjatuhkan kepalanya di tangan Draco saat Draco baru saja menempati kursinya di meja Slytherin.

Ia benci dengan Pansy. Sungguh! Gadis yang tak mempunyai harga diri, tak mempunyai otak, dan tak ada kejelasan mengapa sampai dilahirkan ke dunia. Tapi, Pansy adalah orang terdekatnya selain Crabbe dan Goyle. Setidaknya Pansy mempunyai kegunaan sedikit dari pada dua teman idiotnya. Pansy bisa memuaskannya di ranjang.

Hubungannya dan Pansy tidak jelas. Ia tak menganggap Pansy kekasihnya tapi ia akui kalau gadis itu sangat mempesona bermain di ranjang.

"Lihat itu! Si Darah Lumpur idiot sedang tertawa dengan dua orang kawan tak bergunanya. Apa coba yang mereka tertawakan? Hal-hal seperti si raksaksa Hagrid berjalan dengan High-heels?" Gurau Pansy yang masih melekatkan kepalanya di tangan Draco.

Bukan sekali dua kali Pansy mengejek Granger, bahkan rata-rata semua yang diucapkan Pansy terdengar masuk akal. Tapi tetap saja, Draco geram mendengar nama gadis yang disukainya diejek oleh orang lain. Hanya dia yang boleh memanggil Granger dengan sebutan Darah Lumpur, itupun untuk menyadarkan dia kalau darah mereka berbeda. Dia darah murni dan tentu saja ia tak boleh mencoreng darah yang selalu dijaga turun-temurun oleh leluhurnya.

"Mungkin." Hanya itu yang keluar dari mulut Draco. Ia pun melepaskan tangannya dari cengkraman Pansy.

Selama sarapan sesekali mata Draco menatap Granger. Ia melihat Granger terus tertawa bersama sahabatnya seakan dunia sangat berpihak padanya. Demi Tuhan, setiap hari melihat gadis itu ia makin sadar kalau ia semakin mencintai gadis itu. Apakah ia harus pindah sekolah supaya merasionalkan pikirannya yang sudah rusak? Ke Dumstrang mungkin.

"Drake, kau tidak mendengar ucapanku?"

Ucapan apa? Memang Pansy tadi bertanya?

"Apa yang sedang kau perhatikan?" Tanya Pansy lagi, inilah yang paling Draco benci dari Pansy. Mulut Pansy tak bisa tenang bahkan hanya untuk satu detik. Dia terlalu banyak berbicara. Sangat menyebalkan.

"Kau sedang melihat Granger?"

Draco mengalihkan matanya dan menatap Pansy, tatapan mata tajam yang penuh dengan ketidaksukaan. Buta sekali Pansy kalau tidak melihat cahaya kebencian yang menyala di mata Draco. "Bukan urusanmu. Dan bisakah kau diam untuk sejenak?"

Ucapan dingin Draco direspon dengan cukup baik oleh Pansy. Ia mendadak bungkam dan hanya berbicara pada orang lain. Draco juga tidak menatap ke arah depannya lagi, tempat meja Griffindor. Ia tak mau memancing kecurigaan orang-orang, ia tak mau orang-orang bisa melihat tatapan kehangatan yang ia tujuan ke meja di seberang sana. Sekali lagi, ia tak mau mempermalukan nama keluarganya.

Hermione berjalan tergesa-gesa. Tiga buku besar ada dalam genggaman tangannya. Ia sudah betul-betul telat masuk kelas. Tadi ia terlalu asyik membaca di perpustakaan dan melupakan bahwa ia mempunyai kelas penting hari itu. Kelas Transfigurasi, pasti Profesor McGonnagal akan kecewa melihat ia datang terlambat. Bodoh sekali dia! Coba saja tadi ia mengiyakan ajakan Harry dan Ron untuk menunggu di Ruang rekreasi. Pasti dialah orang pertama yang mengingatkan mereka untuk bergegas sepuluh menit sebelum jam dimulai dan menjadi orang pertama yang tiba di kelas-seperti biasanya. Tapi, tadi ia mendadak ingin ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku untuk bacaan ringannya sebelum tidur dan entah ada angin apa, ia malah duduk di kursi perpustakaan dan mulai membaca bukunya hingga lupa waktu.

"Ah!" Jerit Hermione begitu buku yang dipegangnya berjatuhan di lantai koridor.

Hermione mendelik kesal pada orang yang sudah jelas sengaja menyenggol bahunya. "Apa maumu sebenarnya?" Tanya Hermione yang kini memungut buku-buku perpustakaan itu.

"Apa mauku Granger? Bukankah kau sudah tahu apa mauku dari dulu? Aku ingin dunia sihir tidak mempunyai penghuni menjijikan sepertimu, darah lumpur."

Darah Hermione sudah naik sampai ke ubun-ubun, ia mengepalkan tangannya siap untuk meninju hidung orang brengsek itu sampai patah. Kalau ia sangat membencinya kenapa ia selalu datang menganggunya? Kenapa tak dijauhinya saja dirinya?

"Kau ingin aku menghilang dari dunia sihir? Jangan harap! Kau terlalu berpikiran sempit. Otakmu sudah dicuci oleh keluargamu. Ingat prinsip utama dalam dunia sihir-oh ayahmu yang bekerja di kementrian pasti tahu, bukan? Biar aku ingatkan kembali kalau kau lupa atau kau belum tahu, Ingat kedudukan Muggle dan Penyihir dalam dunia sihir sudah sama derajatnya."

"Sama Granger? Cih, kalimat itu tentu saja sudah mencoreng klan keluarga penyihir tulen. Ingat, tempat asalmu bukan disini, kau hanya orang asing yang datang ke tempat ini. Kau berasal dari dunia muggle bukan dari dunia sihir dan sudah seharusnya kau tinggal di tempat kau berasal bukan di tempat suci ini."

"Aku memang keturunan Muggle Malfoy tapi ingatkan aku jika aku salah, bahkan aku mempunyai kemampuan sihir yang jauh lebih baik dari para darah murni sepertimu."

"Kau-"

"Apa aku salah? Mari kita lihat bukti, kau hanya urutan ketiga dalam siswa terbaik di Horgwart selama lima tahun berturut-turut. Urutan pertama aku dan urutan kedua Harry. Benar bukan? Bahkan darah muggle dan darah campuran saja bisa ada di atas darah murni. Kau butuh perjuangan ekstra untuk menyaingi kita berdua, Malfoy."

Seringai yang paling Hermione benci muncul di bibir Malfoy,"Prestasi sekolah tidak akan bisa merubah takdirmu sebagai darah lumpur."

Hermione makin mengepalkan tangannya, ia tahu perbincangan ini takkan selesai dengan cepat. Ia harus mengakhiri obrolan tak bermutu ini, ia sudah dikejar waktu! Ia tak mau membuat guru yang paling disukainya kecewa atas keteledorannya pada waktu.

"Terserah apa katamu, aku rasa aku tak mau membuang waktu berhargaku untuk membalas ucapan tak berpendidikan sepertimu, Mr. Malfoy sang darah murni idiot yang tak berguna."

Hermione langsung bergegas dari tempatnya, setengah berlari. Ia tak mempedulikan suara ejekan yang terdengar di belakangnya. Demi Tuhan, kenapa orang itu selalu menganggunya? Apa ia tak mempunyai pekerjaan lain yang lebih berguna?

"Kenapa kau bisa terlambat tadi?"Tanya Harry saat jam Transfigurasi sudah selesai.

Hermione menghela napas panjang, ia memasukkan peralatannya dalam tas sekolahnya. "Panjang ceritanya."

"Oh ayolah, Hermione. Kau bahkan bisa bercerita satu hari penuh tanpa jeda. Jadi apa yang membuat orang yang kutahu sangat menghargai waktu bisa terlambat masuk ke kelas Transfigurasi?" Kali ini Ron yang bertanya.

Hermione berjalan keluar kelas dengan tiga buku pinjaman di tangannya dan diapit oleh Harry dan Ron. Ia sebetulnya malas menceritakan kejadian memuakan tadi, mengingat keteledorannya, mengingat wajah Malfoy, kata-kata kasar yang diucapkan pria tak berperasaan ini tapi dua temannya ini memaksanya bercerita. Selama ini merekalah orang-orang yang paling sering mendengar curahan hatinya, dan tak ada salahnya kembali membagi kenangan buruk itu pada mereka.

"Malfoy? Lagi?" Harry menggelengkan kepalanya prihatin bercampur cemas.

"Kenapa dia selalu menganggumu? Apa dia tak bisa mencari orang lain untuk sasaran ejekannya selain kau Hermione? Maaf, tapi bukan hanya kau yang berdarah muggle disini. Kenapa dia terus menganggu kita?"

Hermione mengangkat bahunya ke atas,"Tahukah kau, Ron. Pertanyaanmu sama seperti pertanyaanku."

Harry tiba-tiba berhenti berjalan, mukanya serius sekali. Jarang sekali Hermione melihat mimik itu di wajah Harry, ketegangan bercampur ketakutan. "Ada apa Harry?"

"Aku curiga satu hal. Ah tapi mungkin itu cuma perasaanku saja. Lupakan."

"Hal apa?"

"Bukan apa-apa, Hermione. Bisakah kita kembali berjalan agar sampai ke Aula lebih cepat. Aku betul-betul lapar saat ini."

Mereka kembali berjalan, sesekali Hermione melihat wajah Harry yang masih diselimuti ketakutan. Apa yang sebenarnya ditakutkan Harry?

.

.

.

RnR, please?

Ini adalah FF pertama buatanku setelah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia per-fanfic-an Harry Potter. Jujur ide cerita ini betul-betul kebetulan, maaf ya kalau ceritanya nggak sesuai dengan harapan kalian. Aku lagi nantang diri aku sendiri buat nulis FF karena aku pengen banget bisa nyelesaiin FF, selama ini aku selalu nulis tapi nggak pernah sampai tamat karena mendadak mood buat nulis ilang gitu ajah. Moga aja buat yang ini nasibnya nggak sama kaya cerita-cerita aku sebelumnya yang udah kadarluasa.

Oh ya! Maaf kalau di chapter-chapter depan ceritanya makin ngaco. Hehe