Haaai, minna :3 ada yang kangen saya? #siapakamu #diusir. Haahahahaha, setelah berapa abad saya nggak main ke FHI, tiba-tiba kangen fandom ini, dan nulis OTP saya; AmeBela! HOREEEEE~ #udah.

Sebenernya fic ini rikuesnya nacchandroid yang merupakan istri(?) saya :'D ini buat kamu, Sayang. Mwah :*

Enjoy!


Some Dreams on His Eyes

a HETALIA FANFIC

By : EcrivainHachan24

Desclaimer by : Hidekaz Himaruya

A special fanfiction for nacchandroid. Maap kalo jelek, Sayang :')

WARNING!

Abal, (maybe) OOC, death-chara, typo(s), etc

DON'T LIKE, DON'T READ!

.

.

.

.

.

Stasiun Riverside, California

04.30 am

"Ladies and gentlemen, the train to New York will leaving soon. Please be prepared your ticket and luggage before entering the train. Thank you for your attention."

Kantuknya hilang ketika mendengar pengumuman berbahasa Inggris itu. Iris birunya yang sedingin es melebar untuk mengusir rasa sakit di kepalanya karena nyaris ketiduran dengan posisi yang sangat tidak nyaman—duduk sembari menjaga kepalanya agar tetap tegak dan tidak terlihat memalukan—sesekali disibaknya anak-anak rambut yang menampar wajah cantiknya karena dinginnya udara di kala subuh. Bulan Desember selalu sedingin ini di Amerika, apalagi di kota yang tidak terlalu kosmopolitan seperti Riverside, dan bukan masalah besar baginya. Malahan, dia merasa bosan melihat titik-titik putih yang menggumpal di tanah dan atap-atap rumah bercerobong asap yang monoton dan dingin. Seumur hidupnya, dia selalu menyaksikan salju, dan salju lagi.

Gadis berambut platinum blonde itu merapikan bando pita putih yang menjadi pemanis di rambutnya yang panjang sepunggung. Dia merapatkan jaket cokelatnya di depan dada, kemudian menghela napas dalam-dalam. Ini akan jadi hari yang sangat panjang baginya. Dia tak pernah suka kerepotan, tapi apa boleh buat. Dia takkan pernah bisa menolak permintaan kakak tersayangnya untuk tinggal bersama semenjak kakak lelakinya itu tak bisa mengurusi dirinya dengan benar.

Jadi di sinilah dia. Bersiap pindah ke kota terpadat di negara adikuasa yang agung—New York. Dari Riverside yang aman, tentram dan sunyi, dan dia harus kembali beradaptasi dengan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, New York, siang dan malam. Dia tidak tahu harus senang atau tidak, tapi pekerjaannya di Riverside lumayan menyenangkan sebagai jurnalis, dan dia tidak yakin akan menemukan hal yang sama di New York, dengan sejuta orang yang jauh lebih individualis dibanding makhluk apapun di dunia ini.

Dia memang harus terbiasa. Ini semua demi kakaknya.

Setengah hati, gadis itu menarik koper berwarna violet dan berdiri, kemudian menggeret koper itu di belakangnya. Dia merogoh saku jaketnya untuk memersiapkan karcisnya, dibacanya berkali-kali tujuannya.

New York.

New York.

New York.

Dia menghela napas panjang. Tigabelas jam di dalam kereta jelas takkan menyenangkan, dan yang jelas, bakal memuakkan setengah mati bersama puluhan orang-orang asing.

Gadis itu memberikan karcisnya kepada petugas yang berjaga—yang bahkan tidak tersenyum saat mengecek identitasnya. Gadis itu sudah terbiasa dengan sifat menyebalkan dan tidak ramahnya orang-orang ini. Sudah hampir lima tahun tahun ia tinggal, dan inilah yang terjadi.

"Natalia Arlovskaya," petugas itu menyebutkan nama si gadis. "Tujuan New York."

Natalia, nama gadis itu mengangguk. Petugas itu memberikan cap dengan wajah malas ke karcis itu, lalu memberikannya lagi pada Natalia, petugas tidak ramah itu tidak mengatakan apa-apa selain mempersilakan Natalia memasuki kereta dan duduk di bangku yang diberikannya.

Sembari menghela napas panjang, Natalia menjatuhkan dirinya di kursi kereta yang terbuat dari sofa. Kelas eksekutif memang menyenangkan. Mungkin dia bisa mulai dengan membaca…

Diperhatikannya orang-orang mulai berdatangan lewat pintu kereta untuk duduk di kursi mereka masing-masing. Ada macam-macam orang—kakek-kakek berjas panjang dengan tas bisnisnya, ibu dan anak yang kelihatan mengantuk dan berwajah pucat karena dinginnya udara, bapak-bapak yang bertubuh gemuk yang sedang menelepon dengan sibuk, orang Asia yang memasang wajah acuh dan berwajah terlalu pucat. Diam-diam, Natalia menilai satu persatu orang-orang yang akan bersama dengannya hingga tigabelas jam ke depan.

"Ugh, so cold!"

Suara itu paling mencolok karena suasana kereta yang tidak terlalu ramai. Natalia tidak menoleh pada sumber suara, karena tahu-tahu saja, kursi di sebelahnya diisi oleh seseorang yang dengan gaduh menjatuhkan dirinya di sana.

"Dingiiin!" orang itu setengah berseru. "Benar-benar tidak manusiawi! Biasanya winter tidak sedingin ini di New York!"

Oh ya, dia pasti salah sangka tentang musim dingin di Riverside. Pasti.

"Hey ma'am," panggil orang itu kepada Natalia tidak menoleh karena sibuk merogoh sesuatu dari tasnya. "Kau tidak kedinginan?"

Pertanyaan basi macam apa itu. Sok kenal.

Natalia tak menjawabnya, malah dia menganggap tidak ada orang di sebelahnya.

"Ma'am?" panggil orang itu lagi.

Natalia masih memalingkan wajahnya, sibuk mencari bukunya yang seharusnya ada di tasnya. Ah, dia menemukannya. Sebuah buku dengan hard-cover dan berhalaman tidak terlalu tebal. Dia akan membaca untuk menghabiskan waktu.

"Oi," panggil orang itu lagi—kali ini menggoyangkan tangannya di depan Natalia. "You hear me?"

"Ck," kesal, Natalia menampar tangan lelaki itu dari wajahnya, dia menatap tajam pemilik tangan itu—tapi lalu dia tertegun.

Lelaki itu tinggi, seperti kebanyakan orang Amerika pada umumnya. Mungkin sekitar seratus tujuhpuluh lima sentimeter lebih, dengan rambut dirt blonde yang terlihat halus, memakai sweater tebal merah dengan lambang tim sepak bola kesukaannya di dada kiri, syal sewarna, dan celana panjang hitam yang tampak hangat.

Tapi ada yang membuatnya begitu tertegun.

Sepasang mata biru sedalam lautan yang memandangnya dengan bingung di balik lensa kacamatanya yang frameless.

Mata biru yang membuat debaran aneh di jantungnya.

Untuk menyingkirkan perasaan sentimentil yang aneh itu, Natalia memasang wajah semasam-masamnya. "Bisakah kau diam, bajingan?"

Hening.

Lelaki itu malah semakin menatap Natalia dengan bingung—cengirannya hilang sedikit.

Bagus, batin Natalia. Setelah ini dia akan diam.

Namun, bukannya tersinggung, lelaki itu malah tertawa keras—membuat beberapa penumpang lain memandangi mereka dengan tatapan ingin tahu. Natalia melotot melihat reaksi yang belum pernah dilihatnya itu. Orang yang tertawa karena dikasari olehnya. Apa dia gila?

"Oh, Gosh!" seru lelaki itu setelah sembuh dari tawanya. "Kau lucu sekali, ma'am! Aku belum pernah disebut bajingan sebelumnya. Jelas itu panggilan baru untukku! Kautahu tidak? Biasanya aku ini disebut Hero oleh orang-orang di sekitarku!"

Natalia mendelik. "Itu bukan pujian."

Pemilik surai dirt blode itu mengangguk yakin. "I know, and that's why!"

Hah?

Orang aneh, geram Natalia dalam hati.

Tak mau ambil pusing, Natalia memutar matanya dengan sinis—dengan sengaja—kemudian mulai membuka novel yang tadi ditemukan di dalam tasnya. The Sense of an Ending, novel yang dibacanya memang tidak terlalu tebal; hanya setebal seratus limapuluh halaman. Tapi dia suka dengan hal brutal yang indah di dalam novel karya Julian Barnes itu. Dia sudah membacanya ribuan kali, dan masih sangat menyukainya.

"The Sense of an Ending," suara di sebelahnya terdengar kembali—Natalia meliriknya dari ekor mata. Wajah lelaki itu nyengir lebar. "Aku juga suka novel itu!"

Oh, yang benar saja.

Natalia tidak memedulikannya, tetapi lelaki itu terus saja nyerocos. "Yaah, maksudku, aku memang bukan penggemar novel atau apa. Aku nggak begitu suka dengan buku yang isinya tulisan semua, komik buatan Kiku jauh lebih menarik dibanding itu. Tapi Arthur selalu mencekokiku dengan novel-novel William Shakespeare, aku nggak tahu siapa dia, tapi menurutku, tulisan dia membingungkan! Bagaimana bisa orang-orang menyukai kisah setragis Romeo dan Juliet yang dikarangnya? Titanic jauh lebih menarik, anyway! Yah, walau sama-sama tragis sih. Nyahahahaha~"

Natalia membuka halaman berikutnya.

"Tapi aku lumayan suka pada Harry Potternya J.K Rowling. Memang sih mainstream, tapi menurutku benar-benar keren!" orang itu kini menatap Natalia dengan semangat. "Mana yang lebih kausukai? Gryffindor atau Ravenclaw?"

Natalia terdiam sejenak. "Ravenclaw."

Lelaki itu terkekeh. "Cerdas, tapi individualis. Sepertinya memang cocok dengan karaktermu," lelaki itu menepuk dadanya sendiri dengan nada bangga. "Aku lebih suka Gryffindor! Gryffindor sangat pemberani, benar-benar mirip dengan sifatku! Yah, selama tidak ada hantu sih…"

Natalia menahan senyumnya. Dia tidak boleh terlihat memerhatikan lelaki bodoh itu.

"Novel yang kamu baca, karya Julian Barnes, dia cukup terkenal. Aku suka pada novel itu karena tidak terlalu tebal dan membuat minusku tambah parah, nyahahahaha!" lelaki itu tertawa nyaring—tapi anehnya, Natalia malah menyukai suara tawa itu.

"This was another of our fears; that Life wouldn't turn out to be like Literature," kutip lelaki itu—kali ini sukses membuat Natalia menatapnya. Lelaki itu nyengir lebar-lebar. "Salah satu kutipan kesukaanku dari novel itu. Aku benar?"

Natalia memandangnya tajam. "Kau merusak konsentrasiku."

"Maaf deh, sengaja," cengir lelaki itu—membuat Natalia memelototinya dengan lebih ganas. "Habis kamu terlihat seperti orang kesepian…"

Apa?

"Apa?!" emosi menyalak di dada Natalia. Dia sedang dikasihani?!

"Whoa, don't take the wrong idea," lelaki itu menggoyangkan tangannya. "Maksudku, kamu terlihat ada di dunia yang berbeda. Sendirian. Dan sendirian itu tidak enak, bukan?"

Deg.

"Makanya aku ada di sini!" cengir lelaki itu.

Natalia memicing. Tidak tahu harus memercayai lelaki itu atau tidak, karena setelahnya pemilik mata biru sedalam lautan itu mengangsurkan tangannya pada Natalia.

"Kita belum berkenalan. Aku Alfred. Alfred F. Jones, seorang reporter di televisi swasta. Kau?"

Alfred F. Jones.

Nama yang mengingatkannya pada presiden Amerika yang lampau—John F. Kennedy.

Nama yang bagus.

Natalia membalas uluran tangan itu dengan setengah hati. "Natalia Arlovskaya."

Lelaki itu mengerjap. "Kedengarannya seperti nama orang Rusia. Kamu orang asing?"

Natalia menarik tangannya, dan mengangguk. "Belarussia."

Alfred menepuk tangannya sekali. "Benarkah?! Pantas saja kamu nggak kelihatan kedinginan!"

Tentu saja, melihat matahari di Belarussia terasa sangat mewah bagi Natalia dan kakaknya. Sewaktu kecil, dia selalu punya harapan untuk melihat ladang bunga matahari bersama kakaknya suatu saat nanti. Impian kecil yang terasa sangat sulit untuk diwujudkan.

"Di mananya? Minsk?" tanya Alfred lagi, dan hanya dibalas anggukan kecil dari Natalia.

"Wah," Alfred bersiul. "Aku sudah pernah keliling dunia; ke Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, bahkan sampai ke Russia, tapi aku belum pernah ke Belarussia!"

Natalia mendelik. "Kau seharusnya melewati Belarussia sebelum sampai di Russia."

"Memang," angguk Alfred. "Tapi tiap kali aku naik pesawat, mataku terasa berat, dan tahu-tahu saja aku sudah sampai di tempat tujuanku! Nyahahaha~ "

Jangan tertawa, peringat Natalia pada dirinya sendiri. "Kalau begitu, kau sungguh-sungguh tolol," cela Natalia akhirnya.

Alfred terkekeh. "Omong-omong, ada urusan apa Natalia ke New York? Kulihat barang bawaanmu cukup banyak."

"Aku pindah ke New York." Natalia menjawab—kali ini mulai melupakan tujuan awalnya untuk membaca buku yang masih ada di genggamannya.

"Seriously?" Alfred mengerjap. "Kenapa mau pindah? Riverside jauh lebih tenang, anyway."

"Untuk mengurus kakakku," jawab Natalia singkat. Diam-diam, dia menilai lelaki itu yang tidak seperti kebanyakan orang Amerika yang tidak ramah. Tapi dari namanya, dia benar-benar warga asli Amerika.

Apakah ia berbeda?

Apakah Alfred F. Jones berbeda?

"Oh begitu. Kalau aku sih ke Riverside demi tugas pekerjaanku sebagai reporter," Alfred bercerita tanpa diminta, lalu nyengir lebar. "Bagaimana kalau aku jadi guide gratismu di New York nanti? Natalia belum pernah ke New York, bukan? Aku akan membawamu ke Statue Liberty—kau harus berfoto di sana!—atau ke Empire State Building, benar-benar indah lho melihat New York dari ketinggian, hampir sama seperti Menara Eiffel di Prancis, tapi aku pribadi lebih menyukai New York dari langit… oh ya! Lalu Central Park selalu indah di musim dingin…"

Blablabla.

Natalia memandangi lelaki itu dengan lelah—ia menyerah. Alfred F. Jones ternyata tidak suka ditolak, dan akan berusaha diterima jika ia tidak berhasil. Natalia tak menyalahkannya. Toh, setelah ini dia bisa berada selama tigabelas jam bersama lelaki berisik dan bodoh yang terus menerus nyerocos tentang hal-hal tidak penting yang membuat perjalanan ini tidak membosankan.

Malah mungkin terasa sedikit menyenangkan.

Benar begitu, Natalia?


"Jadi, di mana rumah kakakmu?"

Mereka sudah tiba di Stasiun Pennsylvania sejak limabelas menit yang lalu. Natalia tak menjawab pertanyaan Alfred, ia sibuk dengan ponselnya—mengetik-ngetik sesuatu di sana, memberitahukan kakaknya bahwa ia sudah sampai di New York, dan meminta konfirmasi apa yang harus dilakukannya.

"Natalia?"

Gadis itu menoleh dengan enggan. "Aku tidak tahu alamat ini tepatnya di mana."

"Coba aku lihat," Alfred mencondongkan tubuhnya mendekati Natalia. "Hmm, Yardley Street 12 Avenue. Aku tahu alamat ini! Dekat dengan salah satu rumah temanku!"

Natalia mengerjap. "Benarkah?"

Alfred mengangguk yakin. "Dia teman baikku. Aku sering main ke sana!"

Natalia memicing. Temannya? Laki-laki atau perempuan? Dan kenapa mereka bisa menjadi teman baik? Apa mereka lebih dari...?

Oh astaga, dia mulai gila sekarang. Kenapa juga dia harus peduli?

Iris biru sedalam lautan itu menatap es di mata Natalia—membuat jantungnya kocar-kacir. "Mau Hero antar?"

Natalia mengernyit. "Bagaimana bisa aku percaya padamu?"

Alfred tertawa keras. "Oh come on! Apakah aku terlihat seperti orang jahat?"

Natalia terdiam sesaat. "Sedikit."

Alfred mengerucutkan bibirnya. "Natalia jahat sekali. Mana ada reporter orang jahat? Superman saja pekerjaannya reporter kok! Benar-benar Hero 'kan?"

Natalia mendengus. Orang ini benar-benar maniak superhero. "Terserah."

Alfred menatapnya dengan berbinar-binar. "Aku boleh mengantarmu, ya? Ya, ya, ya? Aku tidak menerima penolakan, lho. Nyahahaha!"

Natalia mendesah, lalu mengangguk kecil, dan membiarkan lelaki Amerika yang dikenalnya tigabelas jam yang lalu itu melakukan tarian aneh sambil jingkrak-jingkrak—membuat orang-orang menatapnya ingin tahu. Natalia tak keberatan, jika itu artinya dia harus menghabiskan waktu beberapa lama lagi bersama dengannya.

"Let's go!" ajak Alfred sambil menarik koper Natalia dengan inisiatifnya sendiri. Natalia mengangkat bahunya, lalu berjalan di belakang punggung besar lelaki bersurai dirt blonde itu.

Dan dia takkan pernah menyangka bahwa punggung itu kelak akan menjadi sangat penting dalam hidupnya.


Musim dingin di New York memang tidak sedingin di Riverside, tapi Natalia tak pernah merasa sehangat ini. Merasa hangat hanya dengan sesederhana berada di samping pemuda yang sedang menyetir di sampingnya sembari bersiul-siul bahagia mengikuti lagu Linkin Park yang distel di radio mobil BMW putih yang dikendarainya. Ternyata Alfred benar-benar menghipnotisnya dengan segala hal-hal yang sederhana. Lelaki berkacamata itu bercerita tentang pekerjaannya, tentang teman-teman sekantornya yang membosankan, tentang hal-hal konyol yang nyaris membuat tawa Natalia meledak, atau bercerita tentang berita yang baru-baru ini terjadi. Dasar reporter.

"Nah, kita sudah sampai!" kata Alfred tiba-tiba menghentikan cerocosannya. Natalia menoleh ke kiri, sebuah rumah minimalis sederhana dengan taman kecil di depannya, dibentengi pagar hitam yang tidak terlalu tinggi dari kayu jati yang kokoh. Jadi inikah rumah kakaknya?

"Terima kasih atas tumpangannya," kata Natalia datar sembari melepaskan seatbelt-nya.

"Biar kubantu turunkan barang-barangmu, ya," kata Alfred sembari membuka seatbelt-nya juga. Natalia tak menjawab, karena perkataannya akan sia-sia saja jika berani menentang Alfred F. Jones yang tidak suka ditolak.

Natalia turun dari mobil dan menutup pintu, sebelum didengarnya suara langkah kaki dari sebelahnya, itu Alfred yang membawakan kopernya yang diletakkan di bagasi. Lelaki berkacamata itu nyengir lebar sembari memberikan pegangan koper violet itu kepada pemiliknya. "Nih. Selamat datang di New York, Natalia!"

Kali ini, Natalia tak bisa menahan senyumnya—walau hanya sedikit. "Spasibo."

"Bahasa Russia dari 'thank you', ya?" tebak Alfred lalu tertawa kecil. "Kalau begitu, you're always welcome! Aku pamit dulu, ya. Salam untuk kakakmu, Natalia!"

Natalia merasakan sebagian besar hatinya kecewa saat lelaki itu berbalik, dan bersiap meninggalkannya. Dia tidak ingin berhenti terlibat dengan Alfred. Semenyebalkan dan semengganggunya pria itu, Natalia takkan pernah mau kehilangannya.

"Alfred." Natalia sendiri kaget dengan dirinya yang tiba-tiba memiliki keberanian.

"Ya?" Alfred mengerjap sembari berbalik dengan sama kagetnya dengan Natalia. "Ada apa, Natalia?"

"… K-kau," Natalia berdeham, lalu memasang wajah sedingin mungkin untuk menutupi semburat merah di pipinya. "Bukankah kau berjanji akan jadi guide-ku? Ja-jangan salah sangka, aku belum pernah ke New York, makanya… aku memintamu."

Alfred membulatkan matanya. "Ya ampun, Hero pikir Natalia tak menganggapnya serius! Tentu, of course I'll be your free guide!" seru Alfred tidak menutupi rasa girangnya—berbeda dengan Natalia yang setengah mati untuk tidak terlihat sama girangnya.

"Berapa nomormu, Natalia? Aku akan menghubungimu jika senggang!" Alfred mengeluarkan ponselnya.

Dan mereka bertukar nomor.

Tanpa tahu benang merah yang sudah mulai terajut dan terjalin di antara kedua jari kelingking mereka.

To be Continue

Jujur aja, nulis karakter Natalia itu SUSAH BANGET. Karena kepribadian saya sama Natalia BEDA JAUH. Jadi maap ya kalo Natalia-nya rada OOC dan gimanaa gitu :'D kalo nulis Alfred-nya gak gitu susah, soalnya sifat saya sebelas-duabelas sama dia. Jadi yah, semoga tidak mengecewakan!

Love you guys! :*

Mind to review? :)

V

V