Selamat Hari Raya Idul Fitri yaaa! :* minal aidin wal faidzin, minna-chamaa~.

SELAMAT MAKAN KETUPAAAAT!

Yak. Saya kembali dengan updatean fic yang astaganagabuset udah bulukan ini :''))) wqwq. Maafkan saya yang menghilang selama ratusan tahun seperti Aang karena tugas kuliah saya astagay. Belom lomba-lombanya #udah.

Selamat membaca!


Some Dreams on His Eyes

a HETALIA FANFIC

By : EcrivainHachan24

Desclaimer by : Hidekaz Himaruya

A special fanfiction for nacchandroid. Maap kalo jelek, Sayang :')

WARNING!

Abal, (maybe) OOC, death-chara, typo(s), etc

DON'T LIKE, DON'T READ!

.

.

.

.

.

"Interiornya terlalu biasa."

Itu adalah kalimat kesepuluh dari bibir manis-namun-mematikan milik Natalia Arlovskaya kepada katalog-katalog desain interior pernikahan yang disodorkan oleh beberapa wedding organizer. Tentu saja, Natalia adalah jurnalis mengenai lifestyle dan desain di kantornya. Estetikanya terhadap sesuatu terbilang sangat tinggi, dan jiwa artistiknya jelas-jelas membuat Alfred F. Jones yang sama sekali tidak mengerti estetika seni, memijat kepalanya yang pening. Di balik kacamatanya, Alfred memerhatikan desain-desain yang tertera dalam pamflet itu.

Natalia mengatakan desain pertama terlalu… 'putih'. Ya, tapi bukankah pada umumnya desain-desain pernikahan selalu identik dengan warna putih yang memiliki filosofi kesucian janji di hari penting itu? Namun Natalia kembali berkilah bahwa filosofi itu bodoh. Kesucian dan warna tidak bisa disatukan. Kesucian ya kesucian, warna ya warna. Begitu katanya. Alfred tidak mengerti, maka ia menuruti saja apa yang dikatakan wanitanya itu.

Desain kedua, menurut Natalia, terlalu gelap seperti pesta pemakaman. Bahkan ia menambahkan secara sarkastis bahwa sekalian saja ia mendatangkan pastor, para jemaat, menyalakan lilin, dan kemudian mereka berdua akan menikah di dalam peti mati.

Selera humor Natalia terkadang bisa sangat mengerikan.

Desain yang lainnya, menurut Natalia, ada yang "terlalu terang", "terlalu berbunga-bunga", "terlalu polos", dan banyak lagi.

Namun bagi Alfred, semuanya sama saja.

"Tapi Natie," protes Alfred, tak tahan lagi. "Bukankah yang paling penting adalah acaranya? Kenapa kau malah memusingkan hal-hal yang seperti ini?"

"Kau anggap ini remeh?" Natalia memelototi Alfred dengan tak senang. "Aku tidak mau pernikahan kita terlihat bodoh dengan interior yang memang bodoh."

Mendengar kata 'pernikahan kita', Alfred tersenyum lembut, kemudian menepuk pelan kepala calon istrinya itu. "Oh Natie, tentu saja. Kau akan memikirkan yang paling sempurna untuk… pernikahan kita! Nyahahahaha!"

Semburat merah di pipi Natalia terlihat, membuat wanita itu mendesis semakin tak senang saja. "Tutup mulutmu sebelum aku merobekmu, dan memenggal kepalamu menjadi hiasan pada malam natal."

Alfred menggedikan bahunya, kemudian mengecup pelan dahi wanita pemilik surai platinum blonde itu. "Ayo tidur, sweetie. Besok kita akan cari lagi desain interior yang sesuai dengan seleramu, okay?"

Natalia menghela napas panjang. Dia juga merasa kelelahan, sebenarnya.

"Baiklah," ujarnya sembari menutup katalog-katalog tadi.

Mereka berjalan dari ruang tamu yang berantakan dengan berbagai pamflet menuju kamar mereka berdua. Alfred merebahkan dirinya di atas tempat tidur berukuran queen size itu dengan desiahan keras. Seluruh tubuhnya pegal-pegal karena nyaris memutari New York demi mencari pamflet-pamflet dari berbagai wedding organizer yang kira-kira akan sesuai dengan selera Natalia… walau nyatanya, tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi standar estetika calon istrinya itu.

Tak apalah, untuk Natalia, Alfred akan melakukan apa saja.

"Kau pasti lelah," Natalia mematikan lampu tidur di sampingnya, kemudian berbaring di sebelah lelaki itu. Wajahnya yang basah karena sehabis mencuci muka, tersenyum samar. "Maaf, ya."

"Oh, it's nothing, sweetie," Alfred kemudian merengkuh wanita itu dalam pelukannya, menyandarkan dagunya di atas kepala bersurai platinum blonde yang mengeluarkan wewangian khas kesukaannya itu. "Aku tahu kau juga sangat antusias mengenai hal ini. Itu saja sudah membuat Hero senang kok! Nyahahaha!"

Natalia mendengus di dada lelaki itu. Rasa kantuk mulai melandanya, membuatnya tak sanggup mendebat calon suaminya itu.

"Eh, Natie," suara Alfred kembali terdengar setelah keheningan sesaat. Natalia mengerang karena ia sudah sangat mengantuk, dan Alfred terus-terusan bicara. Well, biasanya Alfred memang tidak bisa menutup mulutnya, namun hormon dan kondisi tubuhnya sedang tidak mendukungnya untuk bertoleransi terhadap semua itu.

"Apa? Aku bersumpah akan membunuhmu kalau hal apapun yang akan kau ucapkan tidak penting," jawab Natalia dengan nada tajam.

Alfred tertawa kecil. "Maaf, kau mengantuk, ya? Ahaha! Tapi aku cuma mau bertanya… apa kakakmu akan datang?"

Mendadak, seluruh rasa kantuk Natalia hilang.

"Apa?" spontan, kata itulah yang keluar dari bibir Natalia saking kagetnya. Alfred tidak pernah membahas Ivan semenjak ia memutuskan untuk pergi dari rumah kakaknya itu, dan kini tinggal bersama Alfred. Lelaki itu selalu berpikir hubungannya dengan Ivan baik-baik saja, karena Natalia selalu berpura-pura menelpon kakaknya itu pada akhir pekan, atau keluar rumah untuk mengunjungi Ivan. Alfred bahkan tidak tahu bahwa Ivan menentang hubungan mereka.

Apa yang harus dikatakannya pada Alfred?

"Oh, dia…," Natalia berusaha keras memutar otaknya, mencari alasan. "Ia tidak bisa dihubungi akhir-akhir ini," dusta Natalia akhirnya.

"Oh ya?" Alfred mengerjapkan matanya, tidak menyadari ekspresi gelisah wanita itu di dadanya. "Kukira dia selalu punya waktu saat weekend."

Oke. "Ehm, yah," Natalia berdeham. "Entahlah Alfred," Natalia membasahi kerongkongannya. "Mungkin ia sedang sangat sibuk akhir-akhir ini… eh, rekan binisnya banyak sekali, dan… eh… mungkin… ah, dia mungkin sedang ada banyak sekali pertemuan dengan koleganya. Aku sempat dengar dia akan memulai bisnis baru di Skotlandia." terang Natalia dengan susah payah berimprovisasi dengan keterangan palsunya.

Bagus sekali, pikir Natalia. Ia tak pandai berbohong, dan ia tidak tahu apakah Alfred menyadarinya atau tidak.

Tetapi pada dasarnya Alfred adalah lelaki baik hati dan tidak pernah berpikir negatif mengenai suatu hal, atau seseorang—apalagi orang tersebut adalah wanita yang sangat disayanginya—dia terkekeh kecil. "Kakakmu sepertinya workaholic, ya. Orang Rusia memang pekerja keras, nyahaha!"

Dia tidak curiga, pikiran itu membuat Natalia lega setengah mati. "Ya, begitulah."

"Kalau begitu, kita akan mengunjunginya sebelum pernikahan kita. Bagaimana?" ajak Alfred tanpa menyadari bahwa perasaan gelisah Natalia kembali memuncak.

"E-Entahlah," Natalia terbata. "Eh… aku rasa… aku akan menelponnya besok… aku akan menanyakan padanya mengenai kapan agendanya kosong." Natalia menelan ludahnya dengan susah payah. Mendadak ruangan ini terasa sangat panas.

"Oh, okay," Alfred mengangguk tanpa rasa curiga. "Sekarang tidurlah. Besok kita akan kembali mengelilingi New York! Nyahahaha!"

Natalia berdeham. "Ya."

"Good night, Natie," dikecupnya dahi wanita itu, sebelum akhirnya lelaki itu melepas kacamatanya, dan tertidur tidak lama kemudian.

Natalia memerhatikan wajah damai lelaki itu, lalu menghela napas panjang.

Maafkan aku, Alfred.


Wanita berambut cokelat ikal itu menghela napas berkali-kali. Dia berusaha menenangkan dirinya yang kala ini sedang diliputi rasa cemas, khawatir, dan… gugup. Ya. Ia gugup. Sembari memandangi pintu bercat silver di hadapannya, ia menghela napas kencang-kencang. Sudah lama sekali dia tidak kembali ke rumah itu… tidak sejak dua tahun yang lalu.

Rumah ini masih sama, pikirnya—membuatnya semakin gelisah dan tidak senang saja. Apakah keputusannya untuk datang kemari adalah tepat?

Kenapa juga ia harus melakukan ini?

Hhh.

Ragu-ragu, jemari lentiknya yang dicat merah memencet tombol bel yang berada di samping pintu.

Ting tong!

Tidak ada jawaban.

Ia semakin gelisah, namun ia sudah berdiri di sini, bukan? Tidak ada waktu untuk mundur lagi.

Ting tong!

"Ya, yaaa! Sebentaaar!" terdengar suara yang sangat-sangat familiar untuknya dari dalam rumah itu—membuatnya semakin mempertanyakan keputusannya untuk datang kemari. Ia menggerak-gerakan pangkal pahanya dengan gelisah, menggigit bibir saat didengarnya suara langkah kaki yang mendekat dari dalam.

Cklek.

Krieeet…

Sosok lelaki di hadapannya membuatnya menahan napas. Lelaki dengan tinggi sekitar 170 cm memandanginya dengan mata keunguannya yang terlihat kaget, kulitnya yang putih pucat senada dengan rambutnya yang berwarna pirang-nyaris-putih semakin terlihat transparan di bawah temaram sinar lampu. Laki-laki albino yang ada di depan pintu itu tidak dapat bicara dalam beberapa detik.

"Eli…?" panggilnya dengan nada bermimpi.

Elizaveta Herdervary berdeham, kemudian menyematkan rambutnya ke belakang telinga. "Hai, Gil."

Hening.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Gilbert Beilschmidt dengan nada mencemooh setelah sadar dirinya tidak bermimpi. "Mau minta uang padaku?"

Elizaveta memutar kedua bola matanya. "Aku tidak butuh uangmu, Tuan. Aku bisa mendapatkan apa yang aku mau sekarang ini. Kapanpun."

"Terserahlah," jawab Gilbert malas. "Aku tidak punya waktu untuk mendengar omong kosongmu," dia mengibaskan tangannya. "Pergi."

"Wah," cela Elizaveta dengan nada sarkastis. "Itu yang kau katakan pada mantan istrimu setelah dua tahun tidak bertemu? Bagus sekali, Gil. Kurasa kau mulai kehilangan kemaluanmu juga."

Wajah Gilbert berubah kaku. "Ya, dan mantan suamimu yang kehilangan kemaluannya ini sudah siap mendepakmu tanpa kaidah sopan santun lagi."

"Gilbert, kita harus bicara," pinta Elizaveta, mengabaikan balasan Gilbert yang pedas.

"Ya, Eli. Kita harus bicara," balas Gilbert dengan serius. "Tentang bagaimana caranya menyingkirkanmu keluar dari halaman rumahku."

Elizaveta memelototinya. "Rumahmu?!"

"Rumahku!"

"Ya ampun, rumah ini masih milik kita berdua!"

"Kita? Kau punya kebiasaan hilang ingatan, ya? Atau jangan-jangan kau teler dan berdelusi ini masih rumahmu!?" balas Gilbert dengan dramatis. "Astaga, aku akan panggil polisi sekarang juga!"

"Oh astaga, Gilbert Beilschmidt!" teriak Elizaveta, tak tahan lagi dengan kelakuan menyebalkan lelaki albino itu. "Biarkan aku masuk!"

"Sssh, kau akan membangunkan Pluto," desis Gilbert, mengingatkan Elizaveta akan anjing peliharaan miliknya.

Tanpa mengindahkan kaidah-kaidah sopan santun lagi, Elizaveta mendorong lelaki itu dengan perasaan muak, kemudian ikut masuk ke dalam rumah yang dulu ditinggalinya itu.

"Hei!" protes Gilbert saat Elizaveta menutup pintu di belakangnya dengan debaman keras.

"Apa?!" bentak Elizaveta tak senang. "Jangan mencekokiku dengan tetek bengek tata krama! Kau sendiri tidak memilikinya, jadi diamlah sebelum sepatu boots seharga limaratus dollar ini menyapa mulutmu yang mirip sampah itu!"

Gilbert memelototi wanita yang dulu adalah istrinya itu dengan pandangan tak percaya saat Elizaveta melepaskan mantel cokelat muda miliknya, dan menggantungnya di pinggiran sofa yang didudukinya. Gilbert semakin tak senang saja saat wanita itu menendang sepatu boots yang katanya seharga limaratus dollar itu dengan sembarangan. Ia melihat sekelilingnya, kemudian tertawa pelan. "Kau tidak mengganti interiornya sama sekali?" celanya. "Wow, Gil. Aku tidak tahu kau begitu sentimentil tentang kenangan kita berdua." ledek Elizaveta.

Gilbert memutar kedua bola matanya. "Bukan urusanmu, karena ini rumahku," tekan Gilbert, kemudian menyandarkan bahunya di pinggiran tangga. "Ada apa kau datang kemari?"

"Oh, ya, secangkir kopi boleh juga," sindir Elizaveta kepada etika pelayanan tamu yang diberikan Gilbert.

"Tidak ada kopi untuk tamu tidak diundang," balas Gilbert sembari melipat kedua tangannya di dada. "Cepatlah. Tetanggaku akan berpikir aku menyewa wanita murahan."

"Tetanggamu tahu aku mantan istrimu, Jenius," pelotot Elizaveta pada Gilbert yang menghela napas panjang.

"Baik," Gilbert memandangi wanita itu dengan alis terangkat. "Jadi?"

"Oke, langsung saja," Elizaveta berdeham. "Ini tentang anak buahmu. Alfred F. Jones."

"Oh dia," Gilbert nyengir. "Dia karyawan kesukaanku. Dia rajin, ceria, dan sangat berdedikasi. Aku tidak tahu kau bisa mengenalnya."

"Ya, ceritanya lumayan panjang," jawab Elizaveta sembari membasahi bibirnya. "Aku ingin kau melakukan sesuatu untuknya."

Gilbert melengos tertawa tanpa suara. "Kenapa aku harus melakukannya? Bagaimana bisa aku percaya padamu lagi?"

"Gilbert," Elizaveta menatapnya lelah. "Kau masih saja dendam pada masa lalu. Kau tahu, terkadang kau harus belajar melupakan dan berlapang dada."

"Ya, ya tentu saja," balas Gilbert menganggukan kepalanya dengan sarkastis. "Aku akan melupakan perselingkuhanmu dengan sahabatku, kemudian berlapang dada saat mendengar pengakuanmu bahwa kau melakukannya sebelum pernikahan kita,"

Elizaveta menelan ludahnya. "Itu cerita lama. It's just a stupid affair!"

"Stupid? Definitely," Gilbert menajamkan pandangannya. "But it's still an affair."

"Gilbert, bukan itu masalahnya," Elizaveta mengerang frustrasi. "Alfred… dia dalam masalah besar…"

"Ha?" kali ini Gilbert sungguh tertarik. "Apa… maksudmu?"

"Kau tahu Alfred akan menikah sebentar lagi, bukan?" tanya Elizaveta.

"Ya, dengan errr—siapa namanya—"

"Natalia Arlovskaya," kata Elizaveta membuat Gilbert takjub.

"Wah Eli," Gilbert tertawa kecil. "Sejauh itu kau tahu? Apa hubunganmu dengan Alfred? Oh… astaga… jangan bilang kau mau merayunya?!" Gilbert tertawa terbahak-bahak bahkan membuat Elizaveta kehilangan kata-kata. "Hahaha! Kuberi tahu, ya. Itu takkan berhasil! Alfred cinta setengah mati pada Natalia, dan kau tidak akan bisa nyempil seenaknya di antara mereka sebelum nyawamu terbang karenanya!"

Kali ini Elizaveta yang tertawa terbahak-bahak. "Kau ini bodoh, ya?!" jerit Elizaveta kesal. "Menyimpulkan seenaknya sendiri!"

"Apa lagi yang dapat aku simpulkan dari wanita sepertimu?!" balas Gilbert ikut kesal.

Elizaveta menatapnya curiga. "Kau… cemburu?"

Gilbert memelototinya seolah-olah ia sudah gila. "Go home, Woman. You are drunk."

"Well, I'm home now. This is my house, too," balas Elizaveta. "Astaga… kenapa sulit sekali untuk fokus pada satu topik saat berbicara denganmu?!" ia menghela napas keras-keras. "Gilbert, dengarkan aku, ini serius. Aku kenal dengan kakak Natalia. Dia tidak terlalu menyukai hubungan Natalia dengan Alfred… aku memberitahumu karena aku mengenal Natalia dan kakaknya itu sejak kecil. Dan kakak Natalia—Ivan—eh, dia agak sedikit destruktif…," Elizaveta menelan ludahnya, menatap Gilbert yang kini memerhatikannya dengan mimik serius. "Kau tahu, aku takut terjadi sesuatu pada Alfred."

"Dan, bagaimana aku dapat membantu?" tanya Gilbert masih dengan nada menyebalkan. "Maksudku, aku bahkan tak tahu tampang si Ivan ini."

"Kau cukup memberitahu Alfred bahwa ia dan Natalia harus segera pergi dari jangkauan kakaknya itu," Elizaveta memainkan jemarinya dengan gelisah. "Ivan dapat melakukan apa saja selama Natalia masih berada dalam jangkauannya…"

Gilbert mengernyitkan dahinya. "Ini tidak masuk akal. Ada banyak sekali pertanyaan di kepalaku."

"Simpan saja pertanyaanmu," balas Elizaveta, kemudian ia menundukkan wajahnya yang cantik . "Ini semua… salahku…"

Gilbert mendekatinya, kemudian duduk di samping wanita itu. "Apa?"

"Ini salahku," Elizaveta menatap lelaki itu, kemudian mulai bercerita mengenai apa yang sudah dilakukannya atas suruhan Ivan, menceritakan detailnya, bagaimana ia bertemu dengan Alfred, bagaimana mereka akhirnya bertemu, apa saja yang menjadi obrolan mereka, ketika Alfred bercerita, bagaimana ia meresponnya… ketika ia menggodanya… ketika Alfred bercerita mengenai Natalia…

"Dia sungguh mencintainya," bisik Elizaveta setelah bercerita. "Natalia, maksudku. Alfred benar-benar mencintainya. Ivan hanya khawatir pada Natalia karena ia pernah kehilangan kakak perempuannya karena hal yang sama," Elizaveta memandang iris ungu di hadapannya. "Tapi Alfred tidak akan melakukannya. Aku berjanji ia takkan pernah melakukannya."

Gilbert terpekur. "Aku tidak mengerti mengapa aku harus membereskan masalah yang kau timbulkan sendiri. Kau setuju untuk membantu Ivan, artinya kau mendukungnya, ya kan?"

"Awalnya," angguk Elizaveta mengakui. "Aku tadinya berpikir ini bukan urusanku. Aku tak keberatan menjadi pion mainan Ivan demi mencapai tujuannya, toh yang harus kulakukan cuma menyingkir setelah aku selesai dengan pekerjaanku dan mengambil uangku…," kemudian wajah Alfred yang penuh cinta saat menceritakan Natalia terbayang. Hati Elizaveta serasa ditusuk ribuan pisau. "… tapi lalu aku menyadari bahwa Alfred tidak seperti yang Ivan kira. Ia sangat—sangat mencintai Natalia. Saat ia menyebut namanya, wajahnya berubah… melembut…," kenang Elizaveta dengan nada bermimpi. "Ia seperti tidak menyadari sekitarnya. Hanya ia dan Natalia."

Gilbert menatapnya lama. "Apa ini," dia menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "Mengapa kau melakukan semua ini?"

Elizaveta tersenyum lemah. "Karena aku melihatnya, Gil. Sinar mata penuh cinta dari iris sedalam lautan di mata Alfred."

"Elizaveta Herdervary," sebut Gilbert dengan nada datar, "Kau bahkan tidak percaya pada cinta."

"Ya," angguk Elizaveta. "Aku tidak percaya cinta, Gilbert,"

"Lalu kenapa—"

"Tapi aku percaya Alfred benar-benar mencintai Natalia," ia tersenyum. "Aku tidak mau menjadi penyebab cinta mereka ternoda. Aku takkan membiarkan sinar cinta di mata Alfred menghilang karena Ivan…"

Hening.

"Oke, aku mengerti," angguk Gilbert setelah diam yang cukup lama. "Aku akan melakukannya. Memberitahu dia, maksudku. Walau aku belum tahu caranya."

"Terima kasih," Elizaveta memandangnya penuh rasa terima kasih. "Aku tak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu…"

"Ya, kau bisa," Gilbert kembali dengan nadanya yang sarkastis. "Dengan segera keluar dari rumahku."

Elizaveta memutar kedua bola matanya. "Aku akan segera melakukannya, oke? Berhentilah menggonggong seperti anjing polisi," lalu ia bangkit, dan meraih mantel cokelatnya, kemudian memakainya kembali.

Gilbert memerhatikan mantan istrinya yang sibuk mengancingi mantelnya itu itu dengan saksama. Elizaveta tidak berubah banyak, kecuali kini dirinya terlihat murahan dengan rok mini yang dikenakannya, bahkan pada musim seperti ini. Ia selalu cantik—walau Gilbert takkan pernah mengakuinya lagi—dan menarik. Elizaveta yang dulu dikenalnya adalah wanita tangguh, cerdas, berpendirian kuat, dan mandiri, maka ia menikahinya, karena pekerjaannya membuatnya jarang sekali memiliki waktu, dan ia merasa wanita hebat seperti Elizaveta pasti bisa menghadapi dirinya dan dunianya.

Namun ternyata, Elizaveta tetaplah wanita biasa.

Ia tetap membutuhkan Gilbert di sisinya, menemaninya, dan membutuhkan banyak afeksi dari suaminya. Namun, ia tak bisa mendapatkannya, maka ia mencarinya dari pria lain; dengan Antonio, sahabat karib dari Gilbert.

Tentu saja Gilbert marah besar.

Mereka bercerai sebulan setelah insiden itu terjadi.

Namun kini Gilbert berpikir… mungkin selama ini, dialah yang egois. Dialah yang terlalu menaruh ekspektasi tinggi kepada Elizaveta, membiarkan wanita itu menanggung semua beban sendirian, menuntutnya untuk selalu mengerti Gilbert dan dunianya, tanpa ia berusaha mengerti keinginan dan dunia impian Elizaveta. Gilbertlah yang selalu mengacuhkan wanita itu saat ia masih menjadi istrinya, menganggap Elizaveta selalu baik-baik saja... ia bahkan tidak tahu warna favorit atau tanggal pernikahan mereka dengan pasti.

Sesungguhnya, dialah yang tidak peduli.

Dialah yang tidak bisa memberikan apa yang seharusnya ia berikan pada wanita itu.

Dialah yang membuat wanita itu semakin tidak percaya pada cinta.

Dialah… yang membuat Elizaveta Herdervary pergi dari hidupnya. Kemudian hidupnya berantakan. Dan membuat hidup wanita itu juga berantakan.

Semua adalah salahnya.

"Eli," panggil Gilbert tiba-tiba.

Wanita itu menoleh saat selesai memakai sepatu bootsnya. "Ya, ya, ya. Aku mengerti. Aku akan keluar sekarang juga. Aku sedang tidak mood melanjutkan perdebatan denganmu, oke?"

"Sudah jam satu malam," kata Gilbert tidak mengindahkan jawaban wanita itu.

"Lalu?" Elizaveta menaikan sebelah alisnya tak mengerti.

Gilbert menatapnya—dengan sekuat tenaga terlihat—datar. "Tidakkah terlalu larut untuk kau pulang? Busway dan kereta sudah tidak bekerja lagi."

"Masih ada taxi," balas Elizaveta acuh. "Kau ini kenapa sih? Bukan urusanmu juga 'kan aku pulang dengan apa?"

"Lepas mantel dan boots bodohmu," Gilbert membalikan tubuhnya membelakangi wanita itu. "Aku akan menyiapkan oatmeal dan kopi. Kau mandi sana. Tidur saja di kamar tamu."

Elizaveta mengernyitkan dahinya. "Apa—"

"Aku belum sempat merapikan kamar tamunya, tapi kurasa masih lumayan rapi," lanjut Gilbert, berusaha menutupi rasa malu dan semburat merah di pipinya. "Masih ada beberapa bajumu di sini. Aku akan mengambilkannya untukmu."

Kemudian ia berlalu, menuju ke arah dapur, meninggalkan Elizaveta yang melongo dengan kelakuan Gilbert yang berubah seratus delapanpuluh derajat.

"Bukannya dia tadi yang ingin aku segera menyingkir dari sini? Dasar aneh."

To be Continue

Mind to review? ;)

V

V