"Coffee Shop"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Coffee Shop © Suki Pie

Rated : T

Warning : AU. OOC. Typo(s). and anything.

"Saya tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas cerita ini."

.

.

.

"The coffee shop that we used to go to
Our coffee shop
I'm blankly sitting here, where I can smell your scent."

(Coffee Shop, B.A.P)

.

.

Ricetta 0 : Prologue

.

.

Ting tong ting tong ting tong!

"Hoi, Tetsuya!"

Oh, dear. Orang bodoh mana yang tidak kesal ketika bel pintu apartemenmu berbunyi monoton—dengan keras—di pagi hari buta saat matahari sudah muncul setengahnya di ufuk barat. Jujur saja, itu mengganggu. Sangat mengganggu. Dan Kuroko Tetsuya salah satu korbannya. Sesaat sebelumnya ia menggerutu dalam hati sampai tangannya memutar kenop pintu hingga suara deritan kecil terdengar dan pintu sepenuhnya terbuka.

"Tch! Buka pintu saja lama sekali!"

Tidak sopan, Kuroko membatin keki. Meski tidak terlihat dalam raut wajah datarnya. "Kau seharusnya bersikap lebih sopan, Haizaki-kun."

"Aiish! Terserahlah!"

Laki-laki berambut abu itu mengibaskan tangan asal di depan wajahnya, setelah itu berjalan masuk tanpa dipersilahkan. Walaupun begitu, Haizaki tetap membuka sepatunya begitu menapaki lantai ruang dalam. Meninggalkan pemuda berambut biru muda di belakangnya yang mendengus kecil—dan sedikit sebal—sambil menutup pintu apartemen, lalu menyusul Haizaki di belakangnya.

"Hari ini kau tidak bekerja?" tanya Kuroko, berlalu ke arah dapur sedangkan Haizaki sudah duduk di meja makan dengan tiga kursi di sana, menduduki salah satu kursinya.

"Kedai akan buka setengah jam lagi," Haizaki membalas malas, namun mata abunya tidak lepas dari beberapa kue panekuk yang tersimpan rapi di atas piring, tepat di tengah meja. Sedangkan tidak jauh dari piringnya terdapat secangkir kecil cairan kental berwarna emas, madu.

Panekuk dan madu, Haizaki langsung tergiur dibuatnya.

Maka tanpa ragu ia mengambil tiga dari lima kue panekuk dan meletakannya di piring yang sudah disiapkan Kuroko untuknya, lalu menyiramnya dengan madu. Sampai penuh menutupi dasar kuenya.

"Kudengar resep baru kopi buatanmu disukai oleh pelanggan, Haizaki-kun," Kuroko menarik kursi yang berseberangan dengan Haizaki lalu mendudukinya. Menggeleng pasrah begitu mendapati kini kue panekuknya bersisa dua, namun ia tetap menyiramnya dengan madu.

"Hah, tentu saja! Racikan kopiku tidak pernah diragukan," cetus Haizaki, bangga. Memakan panekuk yang tertancap di garpu dalam sekali lahapan. Begitu mengenai ujung lidahnya, ia berseru. "Ouh! Panekuk buatanmu memang selalu menjadi nomor satu, Tetsuya!"

"Terima kasih." Kuroko ikut melahap panekuknya, tenang. "Lalu, apa kopimu itu sudah diangkat menjadi menu utama?"

Haizaki mendengus, sepertinya ia tidak suka dengan topiknya. "Nyaris," ujarnya, melahap satu suapan lagi, kali ini cukup cepat lalu mengunyahnya buru-buru. "Jika bukan orang itu yang tiba-tiba datang ke kedai, pasti racikanku sudah menjadi terkenal. Menyebalkan!"

"Orang itu?"

"Cucu direktur," tandas Hazaiki sebal, lalu mendengus. Mengerti bahwa laki-laki urakan itu tidak ingin membicarakannya lebih jauh.

Kuroko mengangguk pelan, kembali terfokus pada sarapan pagi di depannya. Hingga suara detik jam yang terus berjalan dipenuhi oleh keheningan. Sibuk dengan makanan masing-masing.

Pemuda berambut biru muda itu tahu, meski seorang Haizaki Shougo terkenal akan sifatnya yang—nyaris sebanding—dengan preman, namun kelihaian dan kecerdasannya dalam membuat kopi tidak pernah bisa diragukan. Alasan itulah mengapa Haizaki begitu mencintai pekerjaannya saat ini, walaupun pernah suatu kali Kuroko mengusulkan untuk membuat kedai kopi sendiri, tapi Haizaki menolaknya mentah-mentah.

"Oh ya, Tetsuya,"

Kuroko mengangkat kepala, "Hm?"

"Selesai kuliahmu nanti, kau sibuk?"

"Tidak,"

Haizaki menyeringai lebar, "pergi mengunjungi coffee shop tempatku bekerja?"

.

.


.

.

Bangunan coffee shop itu sederhana. Dengan jenis tulisan yang unik melingkar-lingkar dan terpampang jelas di depan bangunan. Unik, juga berseni, tentu saja. Mengingat pemilik kedai kopi di hadapannya ini adalah seorang direktur kopi terkenal di Jepang yang terbilang sudah tua, dan terutama seorang wanita.

Coffee Shop Time.

Begitulah titel yang tertulis di sana. Entah mengapa Kuroko merasa nama itu lucu.

Bukan hanya namanya saja yang unik dan lucu, tapi juga desain luar dan interiornya. Paduan antara gaya Victorian era, Perancis, juga Jepang. Desain Victorian untuk bagian luar, seperti kaca-kaca jendela besar yang lebih mendominasi di setiap dinding batu bata berwarna cokelatnya.

Interior Perancis untuk bagian dalam, untuk gorden tipis menghiasi kaca jendela, kayu mahoni di setiap meja dan kursi, konter pembuatan kopi, dan ornament-ornamen sebagai pemanis. Lalu kesan jaman Jepangnya terlihat di lantai atas (meski tetap didominasi oleh desain interior bergaya Perancisnya), dengan pintu geser dan beberapa alat racikan teh hijau. Sebenarnya, desain yang terakhir itu hanya untuk bersantai para pekerja.

Ditambah lagi, sang pemilik dengan kreatif memberikan beberapa konsep untuk kedainya. Konsep yang sesuai dengan musim yang tengah berlangsung di Tokyo.

Bunyi bel berdenting halus begitu Kuroko mendorong pintu kaca namun berukiran kayu kedainya. Garis tipis di wajahnya menekuk ke atas dengan simpul. Menyadari aroma caramel bercampur dengan susu dan cream memanjakan indera penciumannya dengan cepat, memenuhi rongga hidungnya. Tak aneh jika kedai kopi tempat Haizaki bekerja selalu dipenuhi oleh pengunjung.

"Selamat datang, meja untuk—eh? Tecchan?"

Sang subjek yang dipanggil menoleh cepat, mendapati laki-laki berambut hitam yang diketahuinya sebagai pelayan (dan rekan kerja) Haizaki sudah berdiri di sampingnya. Kameja putih yang dipadu dengan rompi hitam, dan celana yang senada dengan rompi menjadi cirinya.

"Doumo, Mibuchi-kun," Kuroko membungkuk singkat. Tak aneh memang jika salah satu pelayan di kedai kopi ini ada yang mengenalnya. Eksitensinya sudah cukup terkenal karena Haizaki sering kali memintanya untuk datang.

"Jika kau mencari Shou-chan, dia sedang keluar sebentar. Kau tahulah, mengantar beberapa pesanan pelanggan," jelas Reo sambil mempersilahkan Kuroko masuk. Kuroko mengangguk pelan setelah itu mengekor di belakang laki-laki yang sedikit, err… keibuan itu.

"Ah, sepertinya tak ada meja yang kosong," Reo berhenti seketika, membuat Kuroko nyaris menabrak punggung tegapnya. "Tecchan, bagaimana jika di atas saja?"

"Eh, bukankah itu—"

"Tidak apa-apa," Reo tersenyum, "kebetulan hanya di atas yang sepi pengunjung, tempat itu akan ramai jika menjelang kedai tutup malam nanti."

Baiklah, susah memang membantah orang yang satu ini. Ah, tidak, sebenarnya ini juga gara-gara Haizaki. Rasanya Kuroko seperti diberikan pelayanan spesial.

PRANG!

Langkah mereka berdua terhenti seketika begitu sampai di anak tangga teratas.

"Sudah kubilang bukan seperti ini!"

Mengambil inisiatif begitu sadar Reo berhenti di depannya, Kuroko mengambil satu langkah lebih maju. Tepat di ujung ruangan, dimana konter kecil selalu terlihat seorang barista berdiri di sina, di pojokan konter dimana mesin penghancur dan pencampur kopi terletak.

Kuroko melihat beberapa gerombolan kecil yang memencar, namun sedikit ia bisa menebak bahwa fokus gerombolan itu tertuju pada dua orang yang berdiri dekat konter.

"Wah, wah, sepertinya cucu direktur membuat keributan lagi," suara Reo mengalihkan perhatian Kuroko, dilihatnya laki-laki itu tertawa pelan. Penasaran apa yang terjadi, Kuroko mengikuti langkah sang pelayan. Mendekat ke arah kerumunan tadi.

"Konsentrasinya tidak pas!" suara bentakan itu terdengar lagi, "Apa kau tahu apa yang kau buat ini apa? Jangan berpikir bahwa membuat espresso sama saja membuat kopi biasa, Chihiro!"

Prang!

Suara benda yang dilempar kembali terdengar, kali ini diselingi suara denting sendok yang berjatuhan.

Pemuda bersurai biru muda itu mendekat ke arah konter, beberapa shot(1), classic drip, dan benda penyaringan kopi menarik perhatiannya, terlebih ketika mendapati secangkir kopi esspreso yang masih utuh. Mungkin minuman itu yang menjadi akar masalahnya, pikir Kuroko ringan.

Sejenak Kuroko bisa mengenali beberapa aromanya.

Kopi kental. Crema(2). Cairan pemanis. Dan susu.

Sudah sempurna, sebenarnya. Hanya saja, Kuroko tahu ada yang kurang dari espresso yang dibuat oleh barista yang mungkin sedang dimarahi itu. Tanpa pikir panjang, ia meraihnya, lalu menyesapnya dalam satu tegukan.

Terlalu pahit.

"Espresso dalam satu shot-nya terlalu penuh,"

Hening seketika mendominasi suasana. Semua pandang mata langsung tertuju ke arahnya. Tepat di iris biru langit Kuroko Tetsuya.

"Huaaah! Sejak kapan dia ada di sana?!"

Kuroko bisa mendengar seruan kaget itu tidak jauh darinya, namun ia tak menghiraukannya. Sorot matanya mulai menajam tatkala orang yang memarahi barista tadi, kini berbalik dan menatap dirinya. Sepasang iris dwi warnanya berkilat sinis.

"Apa maksud perkataanmu?" tanyanya dingin, dengan kedua lengan terlipat di depan dada. "Aku dengar kau menyebutkan shot tadi,"

"Un," Kuroko mengangguk kecil. Baiklah, dirinya tadi ceroboh. "Seharusnya, takaran dalam satu shot espresso itu satu fluid once atau tiga puluh mililiter cairan. Baik untuk diminum secara langsung, baik dicampur dengan susu atau pemanis. Tapi—" pemuda itu mengangkat cangkir yang sebelumnya ia teguk, "dalam campuran espresso ini, aku merasa kalau takaran satu shot espresso-nya empat puluh empat mililiter cairan. Dan jika dipaksakan dengan takaran seperti itu dalam waktu tetap dua puluh lima detik, kopi ini bukan disebut espresso."

Decak kagum terdengar setelahnya, beberapa di antaranya bisik-bisik tidak jelas.

Satu alis pemuda berambut merah itu terangkat, "lalu?"

"Untuk takaran empat puluh empat milliliter disebut dengan overshot, itulah mengapa rasa pahit lebih mendominasi."

Sungguh, Kuroko tak tahu mengapa semua penjelasan itu langsung terucap saja dari bibirnya. Mengalir lancar seperti air. Haizaki memang pernah mengajarinya beberapa hal tentang kopi.

"Hm…" laki-laki iris dwi warna itu menggumam pelan, merasa tertarik. Perlahan menjauhi salah satu bawahannya yang dimarahi tadi (Kuroko baru sadar warna rambut barista tadi tidak jauh berbeda dengan Haizaki) lalu mendekatinya. "Aku tak ingat memiliki bawahan sepertimu,"

"Aku—"

"Ah, itu, Sei-chan!" Reo menyela cepat, "dia memang bukan pelayan di sini, tapi Shou-chan mengenalnya."

"Shougo? Kau temannya Shougo?" pernyataan itu ditujukan untuk Kuroko, jadi si biru muda mengiyakan dengan anggukan. Membuat sang penanya tadi menyeringai tipis. "Pengetahuan kopimu boleh juga,"

"Eh—" ucapan Kuroko terpotong ketika tanpa sadar orang yang katanya disebut dengan 'cucu direktur' kini sudah berdiri di hadapannya. Dan masalahnya, astaga! Kuroko nyaris berteriak ketika sadar kalau dirinya saat ini terhimpit di antara konter dan pemuda di depannya. Kedua lengan si rambut merah berada di sisi kanan dan kirinya, memerangkapnya, memenjarakannya sehingga tidak ada akses keluar. Memalukan! Posisi ini sangat memalukan!

Hei! Tidakkah dia sadar kalau mereka saat ini berada di tempat umum?

"Ah, Tetsuya kau ada di—hei! Apa yang kau lakukan, Akashi?!"

Namun posisi mengerikan itu tidak bertahan lama, Kuroko merasa seseorang menariknya ke samping hingga terlepas dari himpitan laki-laki—yang Kuroko dengar—bernama Akashi. Haizaki yang melakukannya, dan kini laki-laki itu sudah berdiri di depannya, menghalanginya, pemisah di antara Kuroko dan Akashi.

Oh, dear … kali ini apa lagi?

"Shougo, lihat sopan santunmu,"

"Huh!" Haizaki berdecak kesal, "aku tahu jabatanmu di sini tinggi, tuan muda Akashi Seijuuro, tapi seharusnya kau juga menjaga sopan santunmu terhadap temanku."

Akashi tak menghiraukannya, sebaliknya ia lebih tertarik pada pemuda yang berada di belakang Haizaki, seperti burung yang dilindungi sangkarnya. Entah mengapa Akashi suka dengan perumpamaan itu.

"Hm, kau yang berambut biru muda, boleh kutahu siapa namamu?"

"Hei!" Haizaki protes, tak suka diabaikan. "Dengarkan—"

"Aku bisa meminta nenekku untuk memecatmu secepat mungkin Shougo," iris merah-emasnya mengerling sejenak, tajam. Membuat yang dilihat membatu seketika. "Dan kau—" kali ini berpindah kembali pada Kuroko, "siapa namamu?"

Hening beberapa detik, sampai akhirnya terdengar suara. "Kuroko Tetsuya."

Haizaki mendengus sebal begitu dilihatnya Kuroko membungkuk sopan. Laki-laki seperti ini untuk apa diperlakukan sopan? Batinnya keki.

"Tetsuya," Akashi tersenyum tipis, namun entah mengapa terlihat mengerikan. Dan, ya, itu tidak sopan. Memanggil nama orang secara langsung dalam satu kali pertemuan. "Reo,"

"Ya, Sei-chan?"

"Apa kita masih memiliki loker yang kosong? Dan tentu saja, pakaian kerja yang tersisa."

Kening Reo berkerut samar, namun ia tetap menjawab. "Hm, kalau tidak salah tersisa satu yang kosong."

Akashi mengangguk puas, atensinya kembali berpindah kepada Kuroko. "Mulai besok kau datang kemari lagi,"

"Hei, hei! Tunggu Akashi!" lagi, Haizaki menyela. Tch! Apa-apaan laki-laki itu? "Kau tidak boleh seenaknya—"

"Mulai. Besok." Nada suara Akashi berubah, lebih dalam, lebih dingin, lebih sinis. "Kau, Kuroko Tetsuya, bekerja di sini."

"Sial kau, Akashi!"

Kedua bola mata Kuroko membelalak.

"Dan aku tidak menerima penolakan."

Baiklah, ini sama sekali tidak lucu.

.

.

.

To Be Continued?


Shot : Gelas shot ini merupakan gelas tebal dan kecil yang dirancang untuk mengukur jumlah mililiter cairan.

Crema : Busa keemasan yang terdiri dari minyak, protein, gula yang mengambang di permukaan shot espresso, merupakan dasar minuman kopi lain seperti latte, cappuccino, macchiatos, dan mocha.


A/N : Haloo~

Ah, jangan tanya kenapa malah bikin multichap baru padahal yang lain masih berdebu, orz. Ya entahlah, Suki juga gak ngerti kesambet apa sampai bikin ini fic. Mungkin gara-gara minum kopi? /enggak/ Dan ya, mudah-mudahan aja ini gak jadi MC yang panjang X'D Oh ya, sebagai pengantar lagunya, dengerin Coffee Shop by B.A.P~ /nak/ Dan tokoh lain pasti menyusul kok (~^o^)~

Yosh! Terima kasih bagi yang sudah membaca yaa~ *kecupin satu-satu*

Akhir kata,

Review please? *wink*