Annyeonghaseyo chingu-chingu ah~

I'm coming again, anyone miss me? ! ! !

.

Tittle: Dr. Jung (3rd Story)

Main Cast: YUNJAE

Disclaimer: YunJae is not mine, tokoh dan cerita hanya karangan belaka.

Silahkan dibaca sesuai keinginan dan keputusan masing-masing, cerita tidak menyebabkan gangguan pernafasan, pencernaan dan janin.

Review, saran dan masukan sangat diharapkan. (Masih sambungan cerita dari 2nd story)

Enjoy reading!

.

.

Sedingin apapun sifat yang tampak dari apa yang seorang Jung Yunho tunjukkan sehari-harinya di rumah sakit ataupun di tempat umum, dia masih punya sisi hangat yang hanya tampak di saat ia sedang bersama namja tercantiknya. Jung Yunho tidak pernah lupa mengungkapkan betapa ia selalu mencintai Jaejoong, setiap harinya.

Pagi ini, Dokter tampan itu menunggui Jaejoong yang masih belum selesai dengan urusannya di toilet, padahal sebenarnya dia bisa menyantap sarapannya sendiri—apalagi dia sudah lapar. Mereka sama-sama punya kesibukan pada pagi hari, mereka harus bangun lebih cepat dari yang biasa, harus sarapan lebih cepat dari yang biasa.

Beruntung bagi Yunho, Jaejoong termasuk bisa diandalkan dalam hal apapun dalam rumah tangga (meskipun walau Jaejoong tidak bisa melakukan apapun, Yunho akan tetap mencintai namja cantik itu), tapi Jaejoong adalah realisasi dari kata "istri sempurna", sesibuk apapun ia dengan pekerjaannya di butik.

Yunho menurunkan korannya, tidak dia lihat ada tanda-tanda namja cantiknya keluar dari toilet. Pintu masih tertutup rapat dan bahkan tak ada bunyi aliran air yang terdengar.

Teh hijau Jaejoong bahkan sudah dingin. Nasi goreng yang disediakannya pun tak lagi mengepulkan asap, aromanya sudah hilang. Entah sudah berapa persen kenikmatan yang berkurang akibat terlalu lama berada di piring tanpa disentuh.

"Boo..."

Panggilan Yunho tidak mendapat jawaban. Namja tampan itu masih terlihat tenang, dia pun melipat korannya dan memutuskan untuk sekali lagi memanggil dengan sedikit lebih keras.

"Boojae…"

Kali ini jawaban untuk panggilan Yunho adalah bunyi kuncian pintu yang terbuka, serta engsel yang berderit karena dibuka perlahan.

Jaejoong keluar sambil mengacak poninya yang memang telah berantakan. Wajahnya agak basah, salah satu tangannya memegang benda putih kecil, yang ia pegang erat. Pandangan sendunya tertuju pada benda putih itu, Yunho dapat mendengar Jaejoong mendesis dan kemudian meracau pelan. Dia berjalan dengan langkah yang payah menuju kursi tepat di samping Yunho. Jaejoong mengangkat kakinya ke atas kursi, menekuknya dan menopangkan dagunya di atas lutut. Salah satu tangannya memeluk kakinya, dan yang satu lagi masih memegang benda persegi panjang putih yang tidak lebih besar dari telunjuknya itu.

"Gagal lagi, Yunnie," dia menenggelamkan kepalanya di ruang antara tubuh dan kakinya yang terlipat. Benda putih itu pun dia lemparkan jauh-jauh dengan kesal dan mendarat dengan sukses di kolong rak cuci piring. (Garis merah pada benda itu hanya ada satu, sumber kekesalan Jaejoong yang membuat paginya runyam.) Jung Yunho tidak mengatakan apapun. Kedua tangannya hanya terkepal di atas meja, tidak akan bergerak jika tidak mendengar suara isakan namja cantik itu.

Kemudian kursi yang tadi didudukinya berderit, menandakan bahwa si pemiliknya telah berdiri. Namja tampan itu mendekat, dan mengacak rambut almond istrinya, menarik dagu si cantik itu perlahan hingga kepalanya terangkat, Jaejoong mendongak dengan terpaksa. Kemudian Yunho mulai mencubit-cubit pipi yang memerah itu pelan.

"Kau seperti bukan Boojae yang ku kenal. Mana Boojae yang katanya bisa? Yang katanya akan sabar menghadapi ini, sesulit apapun itu?" Ejek namja tampan itu.

Jung Jaejoong adalah namja yang kuat dan keras kepala. Yunho tahu Jaejoong, ia sangat mengerti Jaejoong, jadi tindakan ini tidak akan mungkin membuat tangisan Jaejoong tambah keras. Dia bukan namja cengeng.

"Setiap orang punya batas, Yun.. Dan aku tidak tahu seberapa lama lagi aku harus bersabar."

"Tapi seharusnya setiap permasalahan yang kita hadapi bisa memaksa kita untuk memperlebar batas kesabaran itu sampai tak terhingga, sayang."

Jaejoong menepiskan tangan Yunho yang mulai membuat sakit pipinya, cubitan Yunho di pipinya mulai terasa menyebalkan.

"Jangan membohongiku, Yunnie. Jangan berpura-pura kuat di depanku. Aku tahu kau juga mulai merasa tidak sabar kan. Ya, 'kan? Jangan memperparah keadaan dengan berusaha memalsukan sikap. Semua terlihat di matamu. Kau pasti hanya berpura-pura." Tuntut Jaejoong.

"Lalu menurut mu aku harus apa, sayang?" Dielusnya bibir Jaejoong yang sedari tadi digigit oleh namja cantik itu. Yunho tahu, di sanalah kendali namja cantik itu agar tidak menangis lagi. Diusapnya bagian berwarna merah cherry itu dengan lembut, dan ekspresi Jaejoong perlahan berubah. Yunho telah tahu titik lemahnya, air matanya pun kembali meleleh.

Pertahanan Jaejoong gagal. Dia menarik leher suami beruangnya, memeluknya, menenggelamkan kepalanya di antara leher dan pundak suaminya.

"Aku ingin dia, Bear. Aku ingin dia. Kapan dia datang, huh?" racau namja cantik itu sesungukan.

Tangan Yunho balas memeluk Jaejoong erat. Salah satu tangannya pun memanjat naik ke kepala Jaejoong— memang, dia bukan tipe yang sangat romantis dan pandai memanja, namun dia setidaknya tahu bagaimana cara mengelus yang baik yang bisa menenangkan namja cantiknya.

"Kau pikir aku tidak merasakan apa yang kau rasakan?" dia merasakan pelukan Jaejoong semakin mengerat dan namja cantik itu menguburkan wajah lebih dalam di pundaknya. "Tapi namja diciptakan lebih kuat, agar bisa menopang yeoja-nya saat ia lemah."

"Yunnieeeee..." Jaejoong mundur untuk menatap wajah suami tampannya dari dekat. "Terima kasih sudah berkata-kata seperti itu ... tapi jangan lupa, aku juga namja." Protesnya sambil mengerucutkan bibirnya.

Jung Yunho terkekeh.

"Aku bersyukur karena kau selalu bersamaku untuk melewati masalah ini." Lanjut namja cantik itu tulus.

"Aku selalu punya banyak masalah denganmu," Yunho menajamkan mata musangnya pada Jaejoong, kelopak matanya menyipit. "Dan ada salah satu masalah terbesar yang kubenci."

Jaejoong menyeringai. "Apa itu, Uisanim?"

Yunho menutup jarak di antara dahi mereka, agar dia bisa menjelajahi mata indah Jaejoongnya lebih dekat lagi. Dia mengalungkan tangannya di bagian belakang leher istrinya, kemudian tersenyum licik.

"Aku terlalu mencintaimu," Yunho menutupnya dengan mencium Jaejoong.

Mungkin, belum saatnya untuk menjadi tiga, pikir Jaejoong. Karena dengan berdua pun, Jaejoong bisa mengerti bahwa hidupnya dibanjiri kasih sayang. Semenyebalkan apapun suaminya, sedingin apapun sikapnya, Jaejoong tahu Yunhonya adalah orang yang penyayang dan tidak akan meninggalkannya begitu saja. Terlebih Yunho adalah orang yang sangat dingin jika berhadapan dengan orang lain. Jaejoong yakin namja tampan itu tidak akan mudah digoda oleh namja atau yeoja cantik diluaran sana. Dulu, pun, jika bukan Jaejoong yang lebih dahulu menunjukkan rasa tertariknya, Jaejoong yakin Yunho hanya akan menyimpan rasa tertarik itu seumur hidupnya.

Kalau waktu itu Jaejoong tidak (hampir) terlibat dalam tragedi kecelakaan tragis, mungkin Yunho tidak akan melamarnya. Bayangan akan kecelakaan yang bisa saja merenggut nyawa Jaejoong (walaupun pada akhirnya tidak ada kecelakaan yang terjadi) dan akhirnya di situlah Yunho menunjukkan kepedulian serta kasihnya—menampilkan secara tersirat bahwa sebenarnya dia tidak ingin kehilangan Jaejoong, lantas segera melamarnya karena dia paham keterlambatan sedikit saja bisa beresiko besar: kehilangan Jaejoong selamanya sebelum sempat memilikinya sedetik pun.

Jaejoong sangat bersyukur mempunyai Yunho disisinya.

Dan untuk semua masalah mereka, antibiotik terkuat untuk mencegah terjadinya kekacauan yang lebih mengerikan lagi hanyalah saling percaya. Percaya bahwa semua akan selesai, percaya bahwa mereka masih akan menggenggam tangan satu sama lain—sebesar apapun masalah yang akan menghujani.

Semuanya Jaejoong pelajari dari namja tampannya di pagi hari ini.

.

.

.

Jaejoong berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit tempat suami tampannya bekerja, Dan ia berutung karena tak perlu repot-repot mencari Yunho— karena dokter tampan itu ternyata sedang berjalan beberapa langkah didepannya.

Diam-diam dihampirinya dari belakang, dengan sengaja langsung menyematkan jari-jarinya di jemari panjang Yunho.

"Hei tampan."

"Ck," Yunho berjengit kaget. "Bisakah kau berhenti menyapaku dengan cara konyol begini, Boojae?"

Jaejoong tertawa. "Yunnieee.. Yunniee..," Jaejoong mencondongkan diri, mendekatkan bibirnya ke telinga Yunho. "Aku punya sesuatu yang ingin ku diskusikan denganmu."

"Aku ada operasi kecil setelah ini, sayang, kita diskusikan di rumah saja, otte?"

"Sebentar saja…" Jaejoong ganti menggandeng lengan Yunho setelah melepaskan genggaman tangannya.

.

.

.

"So.. now, ada apa?" Tanya Jung Yunho langsung ketika mereka berdua telah sampai di ruangan pribadinya.

Jaejoong tahu ide ini adalah satu ide yang harusnya diprioritaskan terakhir. Tapi ia harus mengutarakannya, dirinya sudah menghabiskan waktu makan siangnya di butik hanya untuk membaca artikel mengenai hal ini, yang akhirnya memunculkan ide dalam benaknya.

"Yunnie, bagaimana kalau kita memprogram kehamilanku."

"Maksudmu?" kening Yunho berkerut mendengar usul yang barusan dikatakan namja cantiknya.

"Memprogram.."

"Katakan langsung, Boo.."

"Bayi tabung." Lirih Jaejoong pelan.

"Apa?" Tanya Yunho memastikan pendengarannya.

"Program bayi tabung, Yun. Dan terimakasih sudah mau mempertimbangkan permintaanku." Jawab Jaejoong cepat-cepat.

"Kau pikir aku akan setuju?" tanya Yunho dingin,

Jaejoong mengangguk-angguk.

"Tidak. Itu mahal." Jawab Yunho spontan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yunnie, uangmu kan banyak. Hehe.." Jaejoong mencoba berkelakar.

"Aku tidak akan menggunakan uangku untuk hal itu." Jawab Yunho tegas.

"Kalau begitu, dengan uangku." Pinta Jaejoong kekeuh.

"Tetap saja tidak bisa." Tolak Yunho.

"Kenapa?" tuntut Jaejoong.

"Itu tidak natural.. dan …. sangat berbahaya." Jawab Yunho dengan nada yang tak mengenal bantahan. "Jangan pernah berpikir sedangkal itu lagi."

Jaejoong menghela nafasnya pelan. Ia gagal.

Huft..

"..."

"Boo..." tegur dokter tampan itu, ketika melihat namja cantiknya yang hanya diam saja,

"Baiklah.. kalau begitu aku pulang duluan." Dengan lunglai namja cantik itu keluar dari ruangan serba putih itu. Diiringi tatapan sendu dari sepasang mata setajam musang milik suaminya.

.

.

.

Jung Yunho memasuki kamar tidur mereka hanya untuk mendapati Jaejoong yang masih berusaha menyeka pipinya yang basah.

Kemudian dokter tampan itu duduk di tepi ranjang, "Kau jadi manusia cengeng belakangan ini, hmm.. Siapa yang sudah menyakitimu?" Tanya Yunho sambil merapihkan rambut istrinya yang aut-autan.

Jaejoong menghadap Yunho sepenuhnya. Air matanya telah kering, namun masih menyisakan jejak.

"Kau! Kau menyebalkan, beruang jelek."

Yunho terkekeh.

"Maaf deh.."

Jaejoong menepuk dada Yunho sekali dan memeluknya erat. Entahlah, belakangan ini ia memang menjadi sangat sensitive dan cengeng.

"Ada rencana untuk besok?" Tanya Yunho sambil mengusap-ngusap rambut lembut namja cantik yang masih memeluk lehernya erat.

"Aku ingin mengunjungi panti asuhan. Boleh, ne?" pinta si cantik dengan suara pelan, matanya berat karena terlalu banyak menangis dan ia juga mulai mengantuk.

.

.

.

.

Yang pertama Yunho rasakan ketika memasuki gerbang paling depan dari panti asuhan itu adalah ... kewalahan. Dia tidak bisa melarang Jaejoong-nya yang seperti lepas kendali ketika bertemu dengan banyak anak-anak. Puluhan hadiah yang sengaja dibawa oleh namja cantik itu ke panti tersebut langsung diserbu oleh anak-anak yang tampak sangat bersemangat. Jung Yunho hanya tersenyum memperhatikan istrinya yang seketika sudah membaur dengan sekumpulan anak-anak yang bermain istana lego, menyapa mereka seolah Jaejoong sudah mengenal mereka dengan baik, dan tak lama kemudian langsung berpindah lagi pada tiga orang anak yang lebih kecil, yang sedang makan, bahkan langsung menyuapi salah satu dari mereka. Beruntung, anak-anak itu mau-mau saja didekati Jaejoong. Malah, mereka senang. Yunho sedikit bersyukur akan hal itu. Kalau tidak, Jaejoong hanya akan terlihat memalukan dan dia siap untuk menyeret namja cantik itu pulang, menghabiskan weekend mereka di rumah.

"Jung Uisanim," Suster Seong, pimpinan panti asuhan itu datang padanya. Dia membungkuk. "Sekali lagi, terima kasih atas semua kebaikan Anda berdua. Kami benar-benar terkesan. Andai saja kami bisa membalas kebaikan Anda dengan sesuatu yang lebih pantas ….."

"Anda tidak perlu melakukannya, Suster." sahut Yunho tenang. Senyuman mematikan masih tampak diwajahnya dan tatapan matanya terkunci hanya pada istri cantiknya. "Jaejoong memang begitu. Dia terlalu sayang pada anak-anak, sampai ke level dia akan melakukan apapun untuk mereka."

Suster Seong tersenyum, matanya menyapu ruangan, mencari titik tatapan dokter tampan itu, dan menemukannya di pojok, sedang menemani seorang anak terkecil di panti ini bermain boneka.

"Jung Jaejoong-sshi pasti ibu yang sangat baik di rumah. Anda beruntung memiliki istri yang seperti dia, Jung Uisanim."

"Dia belum jadi ibu."

Perlu sekian detik bagi Suster Seong untuk menyadari makna kalimat singkat yang terlontar dari namja yang berdiri disampingnya. Yeoja paruh baya itu terkejut dan langsung membungkuk lagi memohon maaf begitu sadar apa artinya. "Oh.. Maaf, saya tidak bermaksud—"

"Tidak apa-apa, bukan hal yang besar, Suster." Jawab Jung Yunho pelan.

"Kalau begitu, kami akan mendoakan kalian supaya cepat punya anak," Suster Seong tersenyum, masih agak canggung. "Anak itu pasti akan jadi anak yang diberkahi, karena punya ibu yang sangat pengasih dan ayah yang sangat cerdas."

"... Ya.. semoga saja.." Yunho menghembuskan nafasnya perlahan, "Terimakasih, Suster Seong."

Mata musang Yunho bertumbukan dengan pandangan penuh binar milik istrinya setelah Suster Seong pamit pergi. Namja cantik itu sedang duduk di sebuah kursi besar dan dikerubungi oleh anak-anak yang ingin mendengarkan dongeng darinya.

Sebuah senyum menawan diberikan Jaejoong untuk Yunho-nya, yang dibalas dengan kekehan geli dari namja tampan itu. Kemudian dengan langkah perlahan ia menghampiri istrinya dan bergabung dengan malaikat-malaikat kecil itu menghabiskan hari yang penuh canda tawa.

.

.

.

Jung Jaejoong bangun agak terlambat tadi pagi, sewaktu namja cantik itu akan memasak, ada telepon yang mengabarkan bahwa dia harus segera datang ke Butik karena ada client istimewa yang ingin bertemu dengannya secara mendadak. Jadilah dia harus berangkat sendirian dengan terburu-buru, meninggalkan Yunho-nya sendirian di tempat tidur, namja tampan itu masih terlelap, mungkin kelelahan karena kemarin mendadak ia harus melakukan sebuah operasi besar sampai jam dua malam.

.

(Moldir's House)

"Boss, Ada titipan untukmu." Seorang assistant Jaejoong, menghampiri dengan paper bag ditangannya.

"Dari siapa?" Tanya namja cantik itu, tanpa mengangkat kepalanya dari kertas yang penuh coret-coretan designnya.

"Tidak tahu, Boss. Supir ambulance yang mengantarkannya." namja berwajah bulat berpipi tembam, bernama Ahn Jjang itu mengendikkan bahunya.

Jaejoong mendongak menatap bingkisan di tangan assistantnya.

Di dalam paper bag tersebut ada sebuah lunch box beserta selembar note kecil, berisi tulisan tangan semerawut khas dokter, milik suaminya.

"Aku akan menertawakanmu, kalau kau masuk unit gawat darurat dan harus ku tangani karena lupa sarapan dan tidak makan, siang ini."

Awas kau Jung Yunho, pikir Jaejoong, tawa terbentuk dari bibirnya ketika dia membaca pesan yang ditempelkan sekadarnya di atas kotak makan itu. Dan ketika diintip, isinya adalah olahan daging asap yang dikombinasikan dengan sayur-sayuran yang dibuat menjadi salad, makanan kesukaan namja cantik itu.

.

.

"Jaejoong Oppa, pallet gold untuk kain ini mana?" Jaejoong menoleh pada assistantnya yang bernama Yoon Eun Hye, yang memanggilnya— Yeoja cantik itu sedang berada di meja resepsionis, rupanya.

"Habis?"

"Iya," jawab yeoja itu sambil melambai-lambaikan kertas karton cokelat yang merupakan alas dari bundelan pallet berwarna gold.

"Cari di rak yang di dekat jendela itu. Rak nomor enam, kalau tidak salah. Atau tujuh."

"Oke, Oppa. Terima kasih," langsung terdengar bunyi pintu kayu kecil yang dibuka.

Jaejoong kembali meneruskan pekerjaannya, mengoreksi tugas milik assistantnya. Namja cantik itu berusaha fokus. Dia mengelap keringat yang mulai muncul di keningnya—padahal pendingin ruangan di situ diyakini masih berfungsi dengan baik. Sejak tadi pagi perutnya juga terasa tidak enak dan terasa lebih tidak enak setelah dipaksakan makan siang. Mungkin setelah ini ia akan langsung pulang dan beristirahat.

.

.

.

Kelihatan ada kesibukan kecil yang terjadi di dapur rumah YunJae. Kesibukan yang dibuat Jaejoong sendiri, hanya dia yang mondar-mandir di dapur, seolah sedang menyiapkan banyak menu untuk sebuah acara besar, padahal nyatanya, dia hanya menyiapkan makan malam untuk dirinya dan Yunhonya.

Seakan hari ini adalah sangat spesial hingga Jaejoong membuatkan sampai tiga menu sekaligus. Entah nafsu makan Jaejoong malam ini sedang meningkat atau mungkin juga namja cantik itu tengah merasa bersalah karena meninggalkan suaminya tanpa sarapan tadi pagi.

Kini ia terlihat fokus dengan kegiatannya di depan panci di atas kompor, menyiapkan sup bening yang di request suaminya dan juga menunggu fish roll di penggorengannya matang.

Yunho yang baru turun karena dia menghabiskan waktu cukup lama berendam di bath tub, tampaknya tak ambil pusing dengan keributan yang dibuat istrinya di dapur.

Namun dia tak bisa mengabaikan begitu saja sebuah hal yang diperhatikannya ketika dia mencuci tangan di wastafel, tepat di samping namja cantiknya yang sedang menyelesaikan menu terakhirnya.

"Kau pucat, Boo."

"Benarkah? Ah mungkin hawa di dapur terlalu panas." jawab namja cantik itu.

Yunho memperhatikan Jaejoong yang kembali sibuk memasak.

"Kau memaksakan dirimu. Aku tahu itu. Kau berpura-pura agar tak ada yang tak khawatir."

"I'm okay, bear.. uhuk.." Lalu dia mengangkat frying pan dan menaruh isinya di piring. Yunho memicingkan matanya, tampak penggorengan itu tidak stabil, tangan Jaejoong gemetar ketika memegangnya. Belum sempat Yunho turun tangan, benda itu jatuh menyisakan bunyi yang nyaring. Setelahnya, Jaejoong terlihat oleng dan kehilangan keseimbangan untuk berdiri. Yunho dengan cepat menangkap tubuhnya, sebelum Jaejoong terjatuh lemas ke lantai. Yunho
mengalungkan tangan Jaejoong pada pundaknya. Dengan hati- hati dia angkat tubuh kurus itu bridal style ke sofa ruang tamu. Dan didudukkannya tubuh istrinya itu dengan hati-hati.

"Hehehe," namja cantik itu malah tertawa. "Maaf mengagetkanmu. Aku tiba-tiba lemas tadi."

"Terlalu lincah."

Jaejoong tertawa lagi. "Aku juga terlalu banyak makan cokelat hari ini di butik. Makanya batuk begini."

"Berapa bungkus kau habiskan?"

"Enam."

"Astaga, Boo. Kau sudah gila?" Tanya Yunho.

Jaejoong menggeleng cepat. Yunho menghela nafasnya kesal.

Berikutnya, yang Yunho dengar adalah sesuatu yang tak dia percayai. Jaejoongnya ... menangis?! Dia yakin, indera pendengarannya tak salah. Suara isak itu benar-benar suara Jaejoong, bukan sekadar ilusi.

"Boo.. kau? Menangis?"

Jaejoong mengusap pipinya sendiri, dia cemberut seperti anak- anak, "Kau mengataiku gila."

"Dan kau menangis karena itu?" Tanya Yunho tidak percaya.

Jaejoong mengangguk dengan masih mengerucutkan bibirnya.

"Kau memang aneh."

Dan kali ini Jaejoong terkekeh.

Kepala Yunho serasa ingin pecah menghadapi istrinya yang semakin hari semakin tak terkontrol.

"Baiklah, tidak apa." Namja tampan itu mengalah. "Ayo, kita makan."

"Kau saja. Aku sedang tidak selera. Aku capek setelah memasak semuanya tadi."

Heol...

Yunho sedang berusaha menguraikan semuanya dengan menghubungkan beberapa faktor. Jaejoong yang terlalu banyak makan cokelat—tak biasanya namja cantik itu tak bisa menahan nafsunya akan suatu menu, apalagi yang bisa menaikkan berat badannya—kemudian namja cantik itu juga memuntahkan seluruh makan siangnya ketika pulang ke rumah sore tadi, juga daya tahan tubuh yang menurun dan moodnya yang menjadi sensitif dan berubah-ubah.

.

.

Well... Jung Yunho terlalu cerdas untuk tidak bisa menduga kesimpulannya.

.

.

-end-

Hello yeorobundeul, kotak review ada di bawah, pls kindly spend one or two minutes of your time to write your review for me?

Thank you~