Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: YAOI, AU, OOC dan hal absurd lainnya

Pairing: Always NaruSasu (sedikit NaruSai)

Rated: M for Mature and Sexual Content

Don't Like Don't Read

.


Royal Kingdom in Seoul

.

By: CrowCakes

~Enjoy~

.


.

.

Seoul, siapa sih yang tidak kenal ibukota dari Korea Selatan yang memiliki banyak panorama dan tempat wisata yang cantik itu? Negeri ginseng yang disebut juga sebagai 'macan ekonomi' itu terkenal dengan negara paling makmur dan menyenangkan, terlihat dari gedung-gedung pencakar langitnya yang sangat besar, masyarakatnya yang melek terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan, budaya tradisionalnya yang sangat disukai oleh berbagai macam negara, dan pusat entertainment dunia. Semua hal-hal yang menakjubkan di Seoul membuat seluruh penghuni benua lain berlomba-lomba ingin berjalan-jalan kesana atau hanya sekedar berlibur semata.

Tapi tidak dengan seorang pemuda berkulit tan gelap dengan rambut spiky pirang yang kini tengah berada di bandar udara internasional Incheon. Pemuda berumur sekitar 20 tahun itu hanya mendekap tubuhnya dengan sikap angkuh dan malas. Badannya yang tegap dan tinggi, juga ditunjang dengan wajah tegas yang tampan, membuat siapa saja memandangnya akan langsung terpesona dan kagum. Namun sepertinya ketampanannya hilang saat raut wajahnya menampilkan ekspresi kusut yang kentara sekali. Membuat beberapa orang yang berada disekitar sana langsung menghindar sejauh mungkin karena takut kalau-kalau pemuda itu mengeluarkan belati dan menusuk siapa saja yang ada di depannya.

Well, ia punya alasan kuat kenapa dirinya yang berkewarganegaraan Jepang harus terdampar di benua asing yang penuh manusia seperti ini. Jawabannya mudah—yaitu karena ulah ayahnya yang bodoh itu.

Ya!—ayahnya yang idiot itu; saat masih muda bersekolah di Seoul dan menjalin asmara dengan salah satu wanita yang berkedudukan tinggi. Mereka melakukan—uh well—anggaplah 'accident' yang membuat sang wanita hamil di luar nikah. Keluarga sang wanita menentang hubungan mereka karena tidak suka dengan ayahnya yang berstatus warga negara Jepang. Akhirnya mereka memilih 'kawin lari' ke Jepang dan mengganti nama serta warga negara mereka menjadi 'Uzumaki'.

Romantisme yang klise memang. Kalau saja pemuda pirang itu masih berada di Jepang, mungkin ia akan tertawa melihat drama-drama di televisi yang mirip seperti jalan kehidupan ayahnya. Tetapi ini dunia nyata dan ia tidak tertawa. Sebab beberapa hari yang lalu, ia sendiri menerima surat dari Korea Selatan yang menyuruhnya untuk pulang ke Seoul. Kerabat ibunya ingin menjaga dan merawat dirinya setelah kematian kedua orangtuanya yang tragis akibat kecelakaan mobil sebulan yang lalu.

See?—Cerita klise yang memuakkan. Ia tidak butuh dirawat, ia juga tidak butuh dijaga. For god's sake! Umurnya sudah 20 tahun dan ia bisa menjaga serta menghidupi dirinya sendiri.

.

"Tuan muda Uzumaki Naruto—" Seorang laki-laki berjas hitam rapi sedang membungkuk dalam-dalam ke arah pemuda pirang itu. Membuat orang yang dipanggil menoleh sekilas. "—Maaf sudah membuat anda menunggu." Lanjut pria tadi dengan bahasa Jepang yang lumayan fasih. Naruto menduga kalau pria itu adalah suruhan dari kerabat ibunya.

Pemuda berambut spiky pirang itu berdecak kecil. "Cukup panggil Naruto saja." Perintahnya lagi.

Pria dihadapannya terlihat bingung dan ragu. Ada raut wajah enggan yang terpasang disana. "Uh—Na—Naruto, maaf sudah membuat anda menunggu." Ulangnya lagi.

Naruto tersenyum lebar. "Bagus—" Ia menepuk bahu pria tadi dengan bangga. "—Jadi, kita akan kemana?" Tanyanya lagi sembari menenteng kopernya.

"Kita akan pulang. Nyonya besar Kim—uhh—maksud saya, nyonya besar Kaguya sedang menunggu anda." Ucap pria tadi.

Naruto mengernyitkan keningnya, "Nyonya besar Kaguya? Apakah ia orang Jepang ataukah—"

"Tidak, tuan muda. Nyonya besar adalah orang Korea, tetapi ia menyuruh semua anggota keluarga menggunakan nama Jepang mereka untuk menghormati kedatangan anda." Jelas pria itu lagi.

Naruto mendengus pelan. "Jadi seluruh anggota keluarga menggunakan 'nama Jepang' untuk menghormatiku, begitu?—How nice." Sahutnya sarkastik.

Raut wajah pria dihadapannya itu terlihat pucat saat melihat gerak tubuh tuan mudanya yang nampak kesal. Ia mencoba membungkuk dengan panik. "Maafkan saya, Tuan muda." Ucapnya bergetar.

Naruto menoleh heran untuk sejenak, kemudian tertawa kecil. "Oh ayolah, aku bukannya memarahimu. Aku tidak mungkin marah padamu." Ujarnya dengan tawa renyah yang sanggup membuat pria itu lega.

"Terima kasih, Tuan muda. Jadi, bisakah kita segera berangkat sekarang? Nyonya besar mungkin sudah menunggu anda." Sela pria tadi seraya melirik jam tangannya dengan gelisah.

"Yeah, tentu. Ayo kita berangkat." Sahut Naruto dengan senyum cerahnya.

.

.

Kediaman keluarga ibunya bukanlah rumah biasa, melainkan sebuah bangunan besar layaknya kediaman kerajaan Korea di jaman dinasti Joseon. Sangat megah dan luar biasa mewah, hanya saja dengan perabotan dan perlengkapan modern di dalamnya.

Mata biru Naruto memandang ke seluruh bangunan itu. Ada taman yang cukup besar di samping halaman dengan kolam ikan yang juga sangat luas serta cukup jernih. Di atas kolam berdiri bangunan paviliun yang sama megahnya dengan bangunan utama. Di antara pavilliun dan taman, terdapat jembatan bercat merah yang membatasi keduanya, sangat mempesona dan artistik. Naruto benar-benar merasa berada di jaman dinasti Korea dengan segala keindahannya.

"Siapa kau?" Suara berat seorang pria membuat Naruto yang tengah berjalan-jalan di sekitar taman langsung menoleh dengan cepat. Ia menemukan sesosok pria berjas hitam rapi dengan rambut panjang yang terlihat agak berantakan. Mata hitamnya memandang sang Uzumaki dengan sinis. "—Aku tanya, siapa kau?" Ulangnya dengan nada agak kesal.

Sebelum Naruto membuka suara, pria yang menjemputnya di bandara itu langsung membuka berbicara. "Maaf tuan besar Kim—uhh—maksud saya, Tuan besar Madara, pemuda ini adalah tuan muda Naruto."

Madara mendengus sebentar. "Anak dari 'Kushina', huh?" Ucapnya dengan nada jijik. Ia bahkan enggan menyebut nama asli 'Kushina'.

Naruto yang melihat sikap bermusuhan yang dikeluarkan pria itu hanya bisa diam tanpa membalas. Sejujurnya saja, ini bukan keinginannya untuk datang ke Korea. Dia lebih memilih tinggal di rumahnya yang sederhana daripada harus dimusuhi oleh keluarga ibunya sendiri.

"Tenang saja, aku akan cepat pergi kok." Sahut Naruto, agak lancang. Membuat Madara mendelik semakin bengis.

"Kau—"

"Ah—Madara-chan, kau disini rupanya." Suara seseorang langsung menginterupsi pembicaraan Naruto dengan Madara. Mereka berdua menoleh dan menemukan sosok pria berambut panjang lurus dengan tawa lebar sedang berjalan ke arah mereka.

"Hashirama, sepertinya kau senang kalau kita harus saling memanggil dengan nama 'Jepang'. Sayangnya, aku lebih suka nama Korea-ku." Ketus Madara sinis.

Hashirama menepuk bahu Madara dengan riang. "Oh ayolah, hyung, aku suka Jepang. Negara itu menakjubkan. Aku bahkan meminta pada Mei-chan untuk membelikanku kimono kalau dia jalan-jalan ke negeri sakura itu lagi." Ujar pria itu lagi. Ia menoleh ke arah Naruto dan melemparkan senyum lebarnya. "—Ah, kau pasti Naruto, anak dari kakakku, Kushina. Apa kabar?" Sapanya ramah.

Naruto membungkuk hormat. "Namaku Uzumaki Naruto, salam kenal."

"Tidak perlu formal begitu, Naruto. Kita kan masih keluarga dekat." Hashirama tertawa sembari mengibaskan tangannya dengan malu-malu. "—Ngomong-ngomong, aku anak ketiga dan Madara-chan anak kedua." Jelasnya lagi sembari menunjuk pria yang masih menampilkan tatapan kaku.

Sang Uzumaki mengangguk paham. Ia mencoba mencerna informasi itu, 'jadi ibuku adalah anak pertama, dan adik keduanya adalah Madara dan yang ketiga adalah Hashirama. Lalu siapa Kaguya dan Mei?' Batin Naruto masih bingung.

"Jadi—" Hashirama menepuk bahu sang Uzumaki dengan lembut. "—Bersiap bertemu ibuku?"

"Maksudnya, bertemu nenek?"

"Yup! Nenekmu." Balas pria murah senyum itu lagi. "—Ayo, kita ke ruang utama." Ajaknya ceria sembari menuntun Naruto menjauh. Meninggalkan Madara yang masih berdiri di tempat sembari menatap kepergian pemuda pirang itu dengan dingin.

.

.

Ruang utama bangunan tersebut sangatlah luas dengan perabotan mahal yang mungkin bernilai ratusan juta dolar. Naruto bahkan harus bersiul takjub melihat keseluruhan isi ruangan yang terkesan modern tersebut. Memang dari luar bangunan itu nampak tradisional, namun siapa sangka kalau dalamnya sangat fancy dan mewah.

"Naruto, kau sudah datang rupanya.—" Suara seorang wanita memanggil namanya dengan lembut dan tenang. Pemuda pirang itu menoleh ke arah sofa dan menemukan beberapa anggota keluarga berpakaian rapi sudah duduk disana dengan tenang menyambut kedatangannya. Para pria nya memakai jas hitam yang menawan, sedangkan wanitanya memakai hanbok yang cantik. Beberapa dari mereka menampilkan wajah yang kusut dan sikap bermusuhan. Salah satunya adalah pemuda yang sebaya dengannya dengan potongan rambut raven berwarna hitam kelam. Pemuda itu sangat tampan kalau saja ia tidak menampilkan raut muka dingin.

"—Aku adalah nenekmu." Lanjut wanita tadi yang merupakan kepala keluarga disana, membuyarkan pikiran sang Uzumaki. Wajahnya sangat cantik dan terlihat awet muda, kulitnya juga berwarna putih mulus dan masih kencang, tetapi rambutnya tidak bisa membohongi waktu. Surai putihnya membuat Naruto menduga kalau umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Benar-benar wanita yang mengagumkan. "—Kau bisa memanggilku dengan nama 'Kaguya'." Lanjutnya lagi masih dengan tampang stoic.

Naruto membungkuk 90 derajat dengan penuh hormat. "Aku mengerti." Sahutnya dengan sopan.

Kaguya terlihat tidak peduli. Ia kembali berdehem kecil. "Kau mungkin sudah mengenal pamanmu. Yang ada disampingmu itu adalah 'Hashirama'." Tunjuknya pada pria berambut panjang yang selalu tersenyum cerah.

"—Dan ini adalah bibimu 'Mei'. Dia anak keempatku." Ucapnya lagi sembari menunjuk ke arah wanita muda cantik dengan rambut cokelat panjang yang dikuncir pada bagian atas kepala. Terlihat menggoda dengan tatapan sensualnya.

"Hallo, senang berkenalan denganmu." Suara sensualnya sanggup membuat sang Uzumaki panas-dingin.

Naruto mencoba tersenyum canggung sembari membungkuk hormat. Yang langsung disambut dengan senyum tipis menggoda dari bibinya itu.

Kaguya kembali meneruskan perkenalannya. "—Dua pemuda ini adalah sepupumu." Ucapnya sembari menunjuk dua orang cowok yang duduk di sofa tepat disebelahnya. Mereka berdua terlihat kembar, satu berwajah stoic dan satu lagi selalu tersenyum dingin.

"Kau bisa memanggilku 'Sai'." Ucap pemuda yang selalu menampilkan senyum dingin itu. "—Dan yang ini adalah kakakku, 'Sasuke'." Lanjutnya sembari menunjuk pemuda yang berada disebelahnya. Sasuke hanya menanggapinya dengan dengusan pelan, tidak tertarik.

'Ohh—jadi pemuda berwajah kusut itu bernama Sasuke', batin Naruto dalam hati.

"Ini konyol, *Halmeoni." Sasuke menatap sang nenek dengan kesal. "—Kenapa kita harus mengganti nama menjadi nama Jepang? Dan berbicara dengan bahasa Jepang? Ini membuat lidahku gatal." Keluhnya lagi.

Kaguya sama sekali tidak merespon. Ia masih duduk dengan tatapan tanpa ekspresinya. "Ini untuk menghormati Naruto, Sasuke. Kau harus memperlakukan dia dengan baik."

"Kenapa aku harus menghormatinya?! Dia hanyalah anak haram!" Ucap Sasuke lagi dengan nada kesal.

Kaguya mendelik sekilas. Ekspresinya tidak berubah namun aura dingin yang dikeluarkannya cukup membuat Sasuke membeku seketika. Pemuda itu sadar kalau neneknya marah. Ia menghentikan protesannya dan duduk dengan tenang di sofa. "Maaf." Ucapnya singkat.

"Dia akan memimpin kerajaan serta pemerintahan ini. Aku sudah menunjuk Naruto sebagai putra mahkota." Kaguya berbicara dengan tenang seakan-akan kalimat itu hanyalah sapaan biasa di pagi hari.

Tapi tidak dengan seluruh anggota keluarga kerajaan tersebut, mereka tahu persis apa yang dimaksud dengan 'putera mahkota'. Secara kasarnya yaitu pergulingan kekuasaan kerajaan, yang berarti Naruto kelak akan didaulat menjadi seorang raja.

Sasuke yang mendengar hal 'mengerikan' itu pun langsung berdiri dengan cepat. "Nenek pasti salah! Bagaimana bisa Naruto menjadi putra mahkota?! Maksudku, dia anak dari hasil persilangan—!"

"Yang menentukan bukanlah aku, melainkan riwayat dan sejarah kita, Sasuke. Hanya putra dari anak pertama ratulah yang bisa memerintah negara. Walau ibu Naruto tinggal di Jepang, ia tetaplah ratu Korea Selatan." Jawab Kaguya tenang.

"Fuck that shit!—Seharusnya aku yang menjadi putra mahkota!" Emosi Sasuke meluap seketika. Membuat Kaguya memicingkan matanya dengan galak.

"Aku tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu, Sasuke." Desis sang nenek lagi.

Belum sempat Sasuke protes lagi, suara Madara langsung menginterupsi pembicaraan panas itu. "Maafkan saya, *Eommonim." Sosoknya baru datang dan langsung membungkuk penuh penyesalan dihadapan Kaguya. "—Anakku memang kurang ajar." Lanjutnya, yang sanggup membuat pemuda raven itu mengerang kesal.

"*Abeoji, aku tidak—"

"Masuk ke dalam kamar." Madara menyela dengan cepat. Ia mendelik ganas. "—Jangan keluar sampai aku menyuruhmu untuk keluar." Desisnya lagi.

Wajah Sasuke mengeras seketika. Terlihat percik kemarahan dari iris onyx itu, sedangkan kedua tangannya terkepal erat di samping tubuh, berusaha meredam segala emosi yang ada di otaknya. Manik hitamnya melirik sang Uzumaki dengan ganas sebelum berbalik pergi meninggalkan ruang pertemuan keluarga itu. Bahkan ia tidak segan-segan mendorong para pelayan yang mengganggu jalannya.

Sai masih tersenyum dingin tanpa peduli dengan kepergian sang kakak. Sedangkan Hashirama dan Mei masih terlihat bingung serta terkejut dengan pernyataan yang baru saja di katakan oleh ibu mereka, namun tidak ada satu pun yang berani menolak keputusan itu.

Atmosfir yang tadinya baik-baik saja berubah menjadi berat dan tegang, sanggup membuat Naruto meneguk air liurnya dengan canggung.

"Uh—aku sama sekali tidak berniat menjadi putra mahkota atau semacamnya. Aku kesini karena surat yang mengatakan ingin merawatku, tetapi kalau situasinya begini, maka aku menyesal harus mengatakan bahwa aku lebih baik kembali ke Jepang daripada menjadi putra mahkota." Ucapnya panjang lebar, berusaha membuat kerabat ibunya itu mengerti dan membiarkannya pergi.

Sayangnya, takdir Naruto tidak semulus paha bintang porno yang selalu ditontonnya. Kaguya yang pertama kali menolak ucapan itu dengan nada tegas. "Tidak bisa, Naruto. Kau harus melakukan kewajibanmu sebagai pimpinan kerajaan ini."

"Tapi—bukankah Korea sudah mempunyai presiden, perdana menteri dan sebagainya? Lalu apa gunanya aku menjadi putra mahkota?" Sela Naruto cepat, masih bersikeras ingin pulang ke Jepang.

"Pemerintahan korea selatan tidak semudah cerita di buku sejarah, Naruto. Segala sesuatu mengenai hukum, undang-undang, dan segala hal yang terkait pemerintahan harus melalui persetujuan dari keluarga kerajaan sebelum di sah kan. Karena itulah tugas kita, yaitu mengatur segalanya untuk kesejahteraan rakyat." Ucap Kaguya bijak.

Naruto memijat pertemuan pelipisnya yang berdenyut sakit. Ia bingung harus mengatakan apa untuk menolak seluruh kegilaan ini. 'Putra mahkota? Kerajaan? Pemerintahan?For god's sake! Aku sama sekali tidak mempunyai tampang bangsawan atau sikap terhormat. Kalau hanya disuruh mengepel lantai atau menyapu halaman sih masih bisa kulakukan.' Batinnya dalam hati.

"Tapi, Nek—aku sama sekali tidak bisa melakukan hal itu. Aku hanya pemuda biasa." Tegas Naruto lagi, hampir putus asa.

Kaguya tidak menjawab dan hanya menatap pemuda pirang itu dalam diam. "Kau mempunyai darah kerajaan, dan kau sekarang adalah putra mahkota." Tegas wanita itu dengan desahan pelan, lelah menanggapi perkataan sang Uzumaki.

Naruto ingin membantah lagi, namun gerakan Kaguya yang mengangkat tangannya membuat pemuda itu mengatupkan bibir. Tanda bahwa sang nenek tidak ingin mendengar apapun lagi.

"Hashirama, Madara, bantu ibu ke kamar." Perintah Kaguya dengan lembut namun tegas.

Kedua pria itu segera bergerak untuk membantu wanita tadi berdiri dan mengantarnya menuju ruangan lain. Meninggalkan Naruto yang hanya bisa mendesah kalah dengan wajah yang hampir mati.

"Fufufu~" Sang bibi tertawa dengan elegan. Sosok ramping yang berbalut hanbok itu bangkit dari sofa dan melangkah perlahan menuju ke arah Naruto. "—Kau harus tahu Naruto kalau kau tidak bisa membantah perintah ibuku. Dia wanita dingin yang sangat berkuasa." Nasihatnya.

"Sepertinya aku memang tidak berbakat untuk berdebat dengan nenek, Bibi Mei."

"Naruto, jangan panggil aku bibi, panggil aku 'Noona', oke?" Sela Mei dengan cepat. Sembari tersenyum tipis melempar godaan.

Naruto mendelik ke arahnya dengan heran. "Noona? Apa artinya itu?"

Mei tertawa sebelum menjawabnya. "Artinya kakak. Lagipula aku masih cantik, jadi tidak pantas dipanggil 'Bibi'."

"Secara teknis bibi Mei—" Sai menyela cepat. "—Kau sudah tidak muda lagi. Berapa umur bibi? Hampir 30 tahun atau 40 tahun?" Tanyanya dengan senyuman dingin yang entah kenapa membuat Mei meliriknya dengan ganas.

"Jaga mulutmu, Sai. Bagaimana pun aku adalah bibimu." Sinis wanita berambut cokelat yang dikuncir ke atas itu dengan penuh emosi.

Sai tertawa kecil. "See? Kau bahkan mengakui kalau dirimu adalah seorang 'Bibi'." Ucapnya cepat.

Mei mendengus jengkel dan segera melangkah pergi dari tempat itu dengan hentakan keras, tanda bahwa wanita itu benar-benar emosi.

"Uhh—Apakah bibi Mei baik-baik saja?" Tanya Naruto agak takut.

"Dia baik-baik saja. Jangan pedulikan wanita penggoda itu. Dia memang agak eksentrik namun sebenarnya hatinya sangat lembut." Ujar Sai lagi seraya bangkit dari sofa dan tersenyum ke arah sang Uzumaki. "—Oh ya, bagaimana kalau aku mengajakmu berkeliling sebentar?" Usulnya lagi.

Naruto terlihat ragu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan bingung. "Aku tidak yakin. Maksudku, aku ingin segera kembali ke Jep—"

"Oh ayolah, Hyung—" Sai menghentikan omongan Naruto dengan menggandeng tangan pemuda berkulit tan itu dengan cepat. "—Aku janji, hyung akan menyukainya." Sambungnya lagi, masih memasang senyum palsu itu.

Sang Uzumaki mulai menyerah dan mengangguk setuju. "Baiklah—baiklah—Tetapi sebelum pergi, beritahu aku sesuatu." Jawabnya cepat.

Sai menatap bingung. "Beritahu apa?"

"Apa artinya 'Hyung'? Sungguh, aku sama sekali tidak pintar berbahasa Korea." Ungkapnya lagi dengan wajah serius serta penasaran. Membuat Sai terkekeh pelan.

"Artinya adalah 'kakak'. Atau kau mau aku panggil dengan panggilan '*chagiya'?"

"Apa itu chagiya?" Lagi-lagi Naruto menatap sepupunya itu dengan wajah heran.

Sai tersenyum misterius. "Ra-ha-si-a." Ujarnya lagi seraya menggandeng tangan Naruto menjauh sebelum pemuda itu kembali melontarkan kalimat protesnya.

.

.

Naruto menikmati acara berkeliling di kediaman kerajaan tersebut. Ada beberapa bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal masing-masing keluarga. Dan bangunan utama—yang terlihat cukup mewah dan besar—adalah bangunan yang digunakan untuk kediaman ibu suri yaitu neneknya, Kaguya.

"Jadi, kau dan Sasuke tinggal dimana?" Tanya sang Uzumaki pada pemuda disampingnya itu.

"Di salah satu bangunan sana—" Tunjuk Sai ke arah barat. Ada sebuah bangunan tradisional yang tak kalah megahnya dan sangat luas. "—Kediaman keluarga putra mahkota dan pangeran. " Lanjutnya lagi.

"Kalau begitu, ayahmu dan paman Hashirama juga tinggal disana?" Tanya Naruto.

Sai mengangguk cepat. "Ya, tepat sekali. Kau juga akan tinggal disana."

"Lalu bagaimana dengan bibi Mei?"

"Oh, dia tidak tinggal disana—" Sai menanggapinya dengan kibasan tangan yang malas-malasan. "—Bibi Mei lebih suka tinggal di hotel berbintang. Katanya lebih modern dan 'menggairahkan'." Jelas pemuda itu lagi sembari mengutip kata 'menggairahkan' dengan kedua tangannya.

Naruto terdiam kaku, tidak ingin berspekulasi apapun mengenai kata 'menggairahkan' itu. Bisa saja bibinya itu suka dengan suasana hotel atau sekedar menikmati romantisme hotel, atau juga—

"Bibi Mei selalu bersama pria kaya ke hotel dan melakukan hal yang manggairahkan tadi." Sahut Sai cepat.

—bersama dengan pria.

Well, itu masuk akal dan menjelaskan kenapa hotel tadi sangat 'menggairahkan'.

"Oh—" Hanya satu kata itu yang terucap oleh sang Uzumaki. "—Lalu bagaimana dengan media massa?"

Sai mengangkat kedua bahunya, tidak tahu. "Bibi Mei selalu bisa menggunakan cara licik untuk membungkam para paparazi dan media massa." Ujarnya lagi. "—Dia cantik dan licik, seperti ular." Sai berbicara dengan mendesis dan mematuk tubuh Naruto dengan tangannya yang dibuat menjadi kepala ular. Ingin menggoda dan bermain dengan sang kakak sepupu.

Naruto menanggapinya dengan tawa renyah. "Hahaha—stop Sai, jangan mencubitku."

Sai tersenyum sebentar sebelum menghentikan kejahilannya. "Hyung—" Ia memanggil dengan suara pelan. "—Berjanjilah kalau kau akan tetap tinggal disini dan tidak pulang ke Jepang." Ucapnya lagi dengan wajah yang serius tanpa senyuman.

Sang Uzumaki memijat tengkuk lehernya dengan kaku dan bingung saat mendengar kalimat pemuda dihadapannya itu. Jujur saja, ia ingin sekali pulang ke Jepang daripada harus menjadi putra mahkota Korea Selatan dan memimpin negeri ginseng itu. Lagipula sosoknya sangat tidak pantas menjadi pemimpin; dia mempunyai otak ber-IQ rendah—kalau tidak mau dibilang idiot—dan juga berpenampilan ala kadarnya, bahkan terkesan sangat berandalan dengan rambut pirangnya.

Sai yang berada disebelahnya hanya diam menunggu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Terlihat sangat tidak sabar mendengar jawaban sang kakak sepupunya itu.

"Hyung—" Suara bernada memohon itu keluar dari mulut Sai yang sedari tadi mengatupkan bibir. Naruto benar-benar membuat kesabarannya habis. Ia menginginkan sebuah jawaban sekarang. "—Katakan kalau kau akan tinggal disini." Lanjutnya lagi kali ini dengan nada lebih memohon dari sebelumnya.

Setelah berpikir keras, akhirnya mulut pemuda berambut pirang itu membuka dengan hembusan nafas tanpa suara, tanda ia menyerah dengan keegoisan pemuda itu. "Aku mengerti, aku akan mencoba tinggal disini selama beberapa hari untuk penyesuaian."

Kalimat itu kontan membuat senyum Sai terkembang. Ia merengkuh lengan sang kakak sepupu dengan manja. "Terima kasih, Hyung." Ucapnya dengan nada senang. "—Kalau begitu ayo kita pergi sekarang, aku akan menunjukkan kamarmu."

Sai menarik Naruto dengan tergesa-gesa sebelum pemuda pirang itu merubah pikirannya lagi. Mereka berjalan cepat menuju bangunan tradisional tersebut sambil sesekali berbincang dengan seru. Pandangan sang Uzumaki tidak lepas dari lingkungan sekitar, banyak para pelayan wanita yang membungkuk hormat saat mereka berjalan dan Sai selalu menanggapinya dengan senyum palsu. Sedangkan Naruto hanya membungkuk canggung.

"Hyung, kau harus berjalan dengan lebih tegap dan elegan lagi. Jangan terlalu banyak membungkuk." Nasihat Sai sembari menepuk punggung pemuda pirang itu.

"Well, aku memang begini. Dan aku sama sekali tidak pantas untuk—uhh—bersikap layaknya putra mahkota."

"Oh ayolah, bagiku kau sangat sempurna dan juga—tampan." Puji Sai seraya menangkupkan kedua tangannya ke pipi tan yang memiliki rahang kokoh itu. Mata hitamnya menatap lekat biru sapphire yang sanggup menghipnotisnya. "—Benar-benar sangat tampan." Sambungnya lagi seraya mendekat dengan perlahan.

Naruto hanya diam melihat tingkah aneh adik sepupunya itu, namun sama sekali tidak menghindar darinya. "Uhh—Sai—" Ia berusaha memanggil dengan sopan saat wajah pemuda itu mulai semakin dekat dengan wajahnya. Naruto bahkan bisa mencium aroma parfum yang manis dari tubuh pemuda pemilik senyum palsu itu.

.

"Ehem!" Suara seseorang dari arah samping mengganggu 'keintiman' kedua orang itu. Sai langsung melepaskan pegangannya dari wajah sang Uzumaki dan mundur untuk menjaga jarak. Ia menoleh dan mendapati sosok Sasuke yang tengah menatapnya dengan pandangan bosan. Sedangkan Naruto sepertinya terlihat lega saat terbebas dari Sai.

"—Apa yang kalian lakukan? Kalau ingin bermesraan lakukan di tempat lain." Ketus Sasuke dingin seraya mendelik Naruto dengan galak.

Sai menggandeng lengan Naruto dengan cepat kemudian kembali menampilkan senyum palsunya. "Aku suka dengan Naruto-hyung. Dia sangat tampan."

Sasuke memicingkan mata dengan tajam. "Tampan? Aku yakin kau buta, Sai. Dia pemuda terjelek dan bertampang bodoh yang pernah kulihat." Ketusnya. Sanggup memancing kemarahan sang Uzumaki.

"Hey!—Enak saja mengataiku jelek dan bodoh. Memangnya kau sendiri tidak pernah bercermin apa?! Kau itu—uhh—kau itu—" Kalimat Naruto terhenti saat ia bingung harus mengejek Sasuke dengan kata apa. Sejujurnya saja, pemuda raven itu terlihat tampan dengan tubuh ramping dan kulit yang berwarna putih susu. Rambut hitam legamnya membingkai wajah mungil namun tegas itu, dihiasi oleh mata dingin dan sifat cool. Belum lagi pakaian yang dikenakan Sasuke sangat sempurna, yaitu jeans hitam dengan baju berwarna abu-abu tua dibingkai oleh sweater yang senada celananya.

Benar-benar mirip foto model.

Sasuke berdecak tidak sabar saat Naruto sama sekali tidak melanjutkan ejekannya. "Apa lidahmu tergigit kucing, Idiot? Tidak bisa membalas ejekanku ya?" Hinanya lagi.

Naruto mengerang kesal. Walaupun Sasuke sangat tampan—lebih ke arah manis—tetap saja tingkah lakunya itu sangat memuakkan. "Dasar brengsek! Banci cantik yang suka berdandan!" Ejeknya. Entah itu pujian atau benar-benar hinaan, tetapi sanggup membuat Sasuke terdiam sejenak.

Naruto menyeringai puas. Ha!Kena kau!

Tapi bukannya marah, pemuda raven itu malah menghela napas berat sembari menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan mengasihani Naruto yang sama sekali bodoh dalam hal style and fashion. "Dengar ya, anak kampung. Ini namanya modis, bukan sepertimu dengan jaket black-orange yang norak."

"Apa kau bilang?!—Aku tidak norak!" Bentak Naruto lagi. "—Lihat dirimu sendiri! Memakai perona pipi dan mewarnai mata dengan cairan hitam. Itu banci!"

"Ini blush-on dan eyeliner." Ucap Sasuke santai seraya menunjuk pipi dan matanya.

"Ha!—Itu membuktikan kalau kau banci!" Raung Naruto lagi merasa menang.

Lagi-lagi sikap yang ditunjukkan Sasuke hanyalah mendesah lelah. "Kau itu hidup di jaman kapan sih? Tidak pernah mendengar yang namanya ulzzang ya?"

"U—Ular?"

"Ulzzang!" Bentak Sasuke kesal.

Naruto menatap heran. "Apa artinya itu?" Tanyanya tidak mengerti.

"Ulzzang itu artinya best face, Naruto-hyung." Penjelasan itu keluar dari mulut Sai. "—Kalau sekarang arti ulzzang sudah berbelok menjadi sebuah gaya persaingan antara orang populer yang memiliki penampilan serta wajah cantik atau tampan. Dan Sasuke-hyung merupakan net idol—artinya adalah idol yang terkenal di dunia maya." Jelasnya lagi.

Naruto tertawa kering. "Kau pasti bercanda'kan? Si banci ini adalah net idol?"

Sasuke menanggapi perkataan Naruto dengan dengusan pelan, tidak peduli. "Aku tidak menyalahkan ucapanmu itu, Naruto. Yang aku salahkan adalah otakmu yang memiliki IQ jongkok." Balasnya sembari memakai kacamata berbingkai besar, membuat wajah itu semakin mungil dan menarik. "—Sebelum menghina orang lain lagi, sebaiknya perbaiki wajah kusut dan penampilanmu itu dulu." Nasihatnya seraya berjalan menjauh dengan langkah sombong. Membuat Naruto ingin menghajarnya berkali-kali.

"Gah! Si angkuh itu benar-benar membuatku emosi! Memangnya siapa dia?! Baru menjadi ulzzang dan di cap jadi net idol saja sudah sombong!" Kesalnya seraya menggeram marah. "—Ngomong-ngomong, dia mau kemana sih sampai-sampai berdandan heboh begitu?" Tanyanya lagi pada Sai.

Pemuda pemilik senyum palsu itu hanya menggeleng pelan. "Entahlah, mungkin pergi ke pertemuan para ulzzang untuk sekedar mengobrol atau sharing." Sai kembali beralih ke arah Naruto dan menggamit lengan sepupunya itu lagi. "—Bagaimana kalau kita mengobrol di kamarku dulu sebelum ke kamarmu? Kau tahu, untuk mempererat persaudaraan kita." Usulnya.

Naruto terlihat berpikir sebentar, kemudian mengangkat kedua bahunya. "Well, tentu saja. Tidak masalah."

.

.

.

Naruto sudah membayangkan bahwa kamar Sai adalah ruangan yang sangat rapi dan bersih dengan ciri khas 'Korea' yang sangat kental. Sayangnya, bayangan itu langsung buyar seketika saat Naruto menjejakkan kakinya disana. Ruangan itu memang luas, namun sangat berantakan. Ciri khas Korea hanya ada pada pintu geser yang berlapis kertas dan meja kayu kecil di pojok ruangan dengan lentera kertas diisi lilin, selebihnya berhamburan kertas dan manga di lantai dan beberapa sudut kamar.

Perabotan di kamar Sai seluruhnya sangat modern dengan beberapa gadget yang ada di atas ranjang tidur, komputer dan televisi, serta rak lemari besar di sisi dinding yang penuh tokoh figur anime dan manga hentai. Belum lagi poster-poster hentai yang memenuhi dinding kamar tersebut, dan juga lembaran kertas serta tinta yang sering digunakan oleh seorang mangaka.

'TuTunggu dulu, mangaka? Sai seorang mangaka?' Tanya Naruto dalam hati.

Sedikit penasaran, pemuda pirang itu mengambil salah satu kertas yang berserakan di lantai dan langsung tercengang saat melihat gambar yang ternyata adalah sketsa kasar dari salah manga hentai kesukannya.

"I—Ini adalah seri terbaru dari 'Kawaii Momo-chan'." Ucapnya seraya memandang pemuda pemilik senyum palsu itu dengan bingung dan heran, sekaligus terkejut. "—Kenapa kau bisa memiliki sketsa itu?" Tanyanya lagi.

Sai hanya tersenyum sekilas sembari duduk di atas ranjang dengan santai. "Guess."

"Jangan katakan kalau kau adalah—"

"Yup!—Aku adalah 'mangaka' nya." Ucapnya jujur yang langsung membuat Naruto menganga lebar.

"No way, aku pikir mangaka-nya orang Jepang sebab nama yang dipakai adalah—well, sangat Jepang sekali." Sahut Naruto lagi.

Sai mengambil lembaran kertas itu dari tangan Naruto dan meletakannya di atas meja belajar. "Nama bisa berubah kapan pun, hyung. Tidak peduli kewarganegaraanku ataupun latar belakangku, aku tetaplah aku. Dan aku adalah mangaka-nya." Ucapnya dengan pelan dan senyum tipis. "—Apa kau kecewa, hyung?" Tanyanya lagi.

Naruto menggeleng antusias sambil tersenyum lebar. "Aku tidak kecewa! Kau itu sangat menakjubkan, Sai! Kau tahu, aku mengoleksi seluruh manga yang kau buat dan kau itu berbakat dalam menggambar gadis cantik berdada besar!" Pujinya antusias. Yang sayangnya, kalimatnya sama sekali tidak tersusun rapi, malah terkesan seperti pemuda mesum yang suka mengoleksi manga hentai.

Sai membalas pujian itu dengan tawa kecil.

"Apa?" Tanya Naruto yang tidak paham kenapa pemuda itu tertawa dengan kata-katanya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya berpikir kalau kau sangat menarik." Ucap Sai lagi setelah berhasil mengendalikan tawanya. Ia kembali tersenyum tipis. "—Kau benar-benar berhasil membuatku semakin menyukaimu, hyung."

"Eh?"

"Tidak. Lupakan yang kukatakan tadi." Sai mengibaskan tangannya dengan pelan, sedangkan wajahnya berpaling cepat untuk menyembunyikan rona merah tipis yang muncul perlahan di pipinya.

Naruto tidak melihat semburat merah di pipi sepupunya itu. Ia lebih fokus untuk memperhatikan detail sketsa gambar milik Sai. "Serius, Sai. Aku iri karena kau benar-benar berbakat." Ucapnya lagi. "—Aku tidak menyangka kalau idolaku adalah sepupuku sendiri." Sambungnya lagi sembari melempar cengiran menawan. Dan kali ini, senyuman itu sanggup membuat jantung Sai bekerja dua kali lipat.

'Tidak bagus.' Batin Sai dalam hati seraya mencengkram dadanya sendiri. 'Serangan pesona Naruto benar-benar membuat tubuhku panas.'

"Sai? Kau tidak apa-apa?" Tanya sang Uzumaki saat pemuda pemilik senyum dingin itu tidak merespon pujiannya. Sang mangaka terlihat lebih banyak menunduk diam.

"—Sai?" Naruto mengulang panggilannya dengan nada khawatir. Ia mendekat dan berjongkok di depan Sai yang duduk di tepi ranjang. Tangannya terjulur untuk meraih dagu pemuda itu, dan menatapnya dengan lekat.

Saat mata mereka saling bertemu, Naruto bisa melihat wajah itu tidak tersenyum sama sekali, melainkan diam dengan pipi yang benar-benar merah seperti kepiting rebus. Sang Uzumaki menyangka kalau Sai menggunakan blush on seperti Sasuke, tetapi nyatanya tidak. Jadi Naruto menyimpulkan bahwa Sai terserang demam panas.

"Kau sakit, Sai? Wajahmu merah. Kau ingin aku membawakan obat-obatan?" Tanya Naruto dengan nada cemas yang kentara sekali.

Sai menggeleng pelan. Tatapannya kosong seakan-akan jiwanya sedang berada di dunia antah-berantah dengan kumpulan bunga dan pelangi warna-warni. Terjebak oleh pesona sang Uzumaki.

"Hyung—" Akhirnya pemuda itu bersuara. "Aku menyuk—"

.

"Sedang apa kalian berduaan di dalam kamar?" Suara Sasuke lagi-lagi mengganggu pernyatan cinta yang ingin dikeluarkan Sai. Sang mangaka melirik kakaknya itu dengan tatapan bengis. Hancur sudah imajinasi indahnya dengan Naruto.

"Bisakah kau mengurusi masalahmu sendiri, hyung?—Jangan ganggu kami." Kalimat yang dikeluarkan Sai sangat datar tanpa ekspresi, tetapi setiap kata yang dikeluarkannya memiliki makna ancaman. Kali ini rona merah di pipinya menghilang dan di ganti oleh senyum dingin yang membekukan darah.

Sasuke yang berdiri di ambang pintu hanya mendecih pelan. "Apa-apaan wajah serammu itu, Sai? Kau mengusirku?"

"Aku memang mengusirmu." Sahut Sai cepat. Membuat Sasuke memicingkan matanya dengan galak.

Sebelum terjadi pertumpahan darah antara dua bersaudara itu, Naruto cepat-cepat menengahi keduanya dengan mengganti topik pembicaraan lain. "Uhh—Sasuke, kenapa kau pulang cepat? Apakah kau sudah selesai jalan-jalannya?" Tanyanya dengan nada gugup, berusaha tidak memancing emosi siapapun. Dan nyatanya cara itu berhasil. Terbukti Sasuke yang langsung merubah ekspresi jengkelnya menjadi wajah stoic seperti biasa.

"Aku tidak jadi pergi." Jawabnya lagi. "—Ada pembatalan acara."

"Uhh—oke." Jawab Naruto lagi sembari berusaha mencairkan suasana. "—Jadi, dimana kamarmu, Sasuke? Aku ingin sekali melihatnya." Ucapnya lagi.

Sasuke mendelik curiga. "Untuk apa kau ingin melihat kamarku? Ingin mencuri barang-barangku?" Sinisnya.

"Hey!—Aku bukan pencuri!"

"Tapi tampangmu itu tampang kriminal, Idiot." Sahut Sasuke lagi dengan nada dingin.

Naruto menggeram kesal. "Kalau begitu tidak usah saja! Lagipula aku tidak ingin membuang waktuku untuk melihat kamarmu, Brengsek!" Balasnya penuh emosi.

Sasuke terdiam dengan wajah betonnya. Tidak merasa terhina sama sekali. "Baiklah, kau bisa melihat kamarku. Aku kasihan dengan tampang miskinmu itu." Ujarnya lagi yang telak menohok jantung sang Uzumaki.

"Sudah aku katakan kalau aku tidak ingin melihat kam—!"

"Shut up, Idiot! Jangan banyak bicara dan ikuti saja aku ke kamarku." Potong Sasuke cepat seraya berbalik pergi.

"Ughh!—Si banci sombong itu benar-benar membuatku muak." Geram Naruto dalam hati.

Sai menatap Naruto sekilas kemudian menggenggam tangan pemuda itu dengan cepat sebelum sang Uzumaki pergi dari kamarnya. "Kau bisa tinggal disini kalau kau mau. Tidak perlu mengikuti perintah Sasuke." Ucapnya.

Naruto berpikir sejenak kemudian menggeleng. "Terima kasih untuk tawarannya, Sai." Ia melepaskan pegangan pemuda itu dari tangannya dan mengusap kepala Sai dengan lembut. "—Tapi sepertinya aku memang harus pergi ke kamarnya sambil berkeliling untuk mengenal lingkungan." Sahutnya lagi sembari melemparkan cengiran lebar.

Sai menanggapi dengan senyum khasnya. "Kalau kau sudah bosan berkeliling, kau bisa datang ke kamarku kapan saja. Bahkan saat tengah malam pun tidak apa-apa." Ucapnya tanpa malu-malu.

'WooWoohold on a second, dude! Apa yang dia katakan? Datang tengah malam? Untuk apa aku datang ke kamarnya tengah malam?' Kata Naruto dalam hati. Setengah heran dan setengah lagi ketakutan karena melihat senyum pemuda itu; yang entah kenapa mengingatkannya pada senyum bibi Mei si penggoda.

Naruto menggaruk pipinya salah tingkah. "Uhh—okay, i guess?" Jawabnya lagi. "—Kalau begitu aku pergi dulu, Sai... Bye!" Sambungnya lagi seraya keluar dari kamar dengan cepat. Menghindari atmosfir yang entah kenapa mulai terasa aneh. Sedangkan Sai hanya menatap kepergian sang sepupu dengan semburat merah di pipi.

"Ahh—love at the first sight." Gumam Sai lagi.

.

.

.

Kamar Sasuke lebih manusiawi dibandingkan kamar Sai yang sangat berantakan dengan kertas sketsa dan poster anime tertempel di dindingnya. Ruangan pemuda raven itu sangat bersih dan rapi dengan nuansa tradisional khas Korea yang sangat kental. Ada meja belajar kecil di tengah ruangan dengan lentera kertas berisi lilin, alas tidur tipis yang mirip dengan futon, serta lemari besar tua berukiran naga. Benar-benar mempesona.

Hanya ada sedikit perabotan modern yang ada di kamar itu seperti gadget, handphone, notebook, dan peralatan make-up di atas lemari.

Naruto mengambil salah satu alat make-up tadi dan memandang Sasuke dengan satu alisnya yang terangkat. "Kau memakai make-up?" Tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Tentu saja, Idiot. Bagaimana pun perawatan wajah perlu dilakukan." Ucap Sasuke sinis.

"Tapi ini make-up, Sasuke! Dan make-up hanya untuk cewek!" Terang Naruto lagi. "Selain itu, disini ada lipgloss, eyeliner, mascara, dan foundation? What the heck is this crap?!" Lanjutnya seraya membaca merek di benda tersebut.

Sasuke mendengus jengkel dan menyambar benda kosmetiknya itu dari tangan Naruto. "Ini untuk membuat wajahmu semakin menarik, Bodoh! Kau itu memang ketinggalan jaman." Ucapnya seraya meletakkan benda itu ke atas lemari.

Naruto menghela napas kecil. Kemudian bersender di sisi dinding kamar. "Sejujurnya Sasuke, tanpa kosmetik pun wajahmu itu sudah sangat tampan."

Kalimat itu sukses membuat Sasuke tercengang dan menoleh ke arah sang Uzumaki dengan pandangan heran. "Kau bilang apa?—Aku tidak menyangka kalau ternyata mulut kasarmu itu bisa mengeluarkan kalimat pujian juga."

Naruto mendelik galak. "Aku serius, Brengsek! Tanpa alat mengerikan itu pun kau sudah sangat tampan dan menarik!" Bentaknya lagi, yang entah kenapa langsung membuat Sasuke terdiam sejenak.

Pemuda raven itu memalingkan wajah dengan cepat sembari berdecak kesal saat merasakan hawa panas merayap di wajahnya. Membuat semburat merah melekat di kedua pipinya tersebut. "Hmph!—Jangan harap aku luluh oleh kalimat manismu itu. Aku banyak penggemar dan sudah kebal terhadap pujian." Ketusnya lagi, berpura-pura angkuh dengan melipat kedua tangan di depan dada.

Naruto memutar bola matanya dengan malas. "Aku tidak berpura-pura, Sasuke. Aku serius."

Pemuda raven itu tidak mengatakan apapun selain memilih untuk menyapu wajahnya dengan pembersih. Naruto yang berada di sebelahnya hanya menatap setiap gerakan yang dilakukan oleh Sasuke tanpa banyak bicara. Biru sapphire-nya bisa melihat bahwa Sasuke sekarang sibuk menghapus riasan di wajahnya; riasan yang sangat minim dan tipis. Tidak tebal layaknya tante-tante girang atau seperti riasan milik bibi Mei.

Sasuke sudah memiliki wajah tampan dan manis, jadi riasan yang sangat tipis sangat cocok untuknya. Naruto bahkan mengakui bahwa pemuda raven itu benar-benar mempesona walaupun tanpa make-up.

"Lihat? Kau tetap tampan dan menarik." Puji Naruto lagi setelah Sasuke selesai membersihkan wajahnya. Menampilkan kulit putih susu yang sesungguhnya dengan mata tajam hitam yang memikat. Tanpa eyeliner, tanpa mascara, dan tanpa foundation.

Sasuke yang mendengar pujian itu hanya mendengus sebentar dan duduk di lantai kamarnya, tepat di depan meja bacanya. "Jadi, bagaimana menurutmu?" Ia melemparkan sebuah pertanyaan ambigu.

Naruto menggaruk rambut spiky pirangnya dengan bingung sembari duduk di hadapan Sasuke—terhalang oleh meja baca diantara mereka. "Well, menurutku kau tampan dan manis."

"Kamarku, Idiot. Bagaimana menurutmu tentang kamarku ini?" Potong Sasuke cepat, memperbaiki pertanyaannya.

"Oh!—Itu rupanya." Sang Uzumaki tertawa canggung. "—Kamarmu bersih dan rapi. Sangat mencerminkan kepribadian orangnya. Aku suka." Lanjutnya lagi sembari melempar senyum menawan.

Entah karena sifat polos Naruto ataukah dia memang memiliki senyum yang paling mempesona sehingga Sasuke sekali lagi sukses memerahkan pipinya dengan rasa malu. Ia mencoba mempertahankan ekspresi stoic-nya dengan dengusan kesal. "Apa kelakuanmu selalu begitu, Naruto? Menggoda semua orang dengan senyumanmu?" Tukasnya cepat sembari memalingkan wajah.

"Gah!—Apa maksudmu dengan penggoda itu? Kau pikir tampang sepertiku ini punya sifat playboy, begitu? Asal tahu saja ya, aku selau ditolak oleh cewek bahkan sebelum aku menyatakan cintaku." Tuturnya lagi dengan menceritakan 'aib' nya sendiri. "Well, walaupun ada beberapa dari mereka yang akhirnya kasihan dan rela menjadi kekasihku. Tapi jujur, aku lebih sering ditolak daripada diterima." Ungkapnya lagi.

Sasuke melirik pemuda itu dengan ekor matanya. "Kau ditolak?" Ulangnya lagi dengan nada sangsi. Naruto menanggapinya dengan anggukan lemah, seakan-akan ia baru saja mendengar kabar bahwa dirinya akan segera mati muda kalau tidak segera memiliki seorang pacar.

Sasuke kembali melirik Naruto dengan seksama. Wajah tegas dengan rahang kokoh, Rambut spiky pirang yang terkesan berandalan namun juga menggairahkan, tatapan tajam dengan mata ocean blue, serta senyuman lebarnya yang memikat menjadi nilai tambah bagi pemuda itu. Dan Sasuke yakin sekali kalau dibalik jaket norak itu tersembunyi bentuk tubuh dengan enam otot terlatih di bagian perut. Belum lagi postur tubuh Naruto yang tegap dibalut oleh kulit tan eksotis semakin membuat sosok sang Uzumaki terlihat maskulin.

"Gadis-gadis yang menolakmu pasti sangat keterlaluan bodohnya." Kata Sasuke setelah selesai mengamati pemuda pirang itu dari ujung kepala hingga kaki.

Naruto mendongak untuk menatap lurus ke mata pemuda itu. "Apa maksudmu dengan mengatakan kalau mereka bodoh?"

"Bukankah sudah jelas? Kau itu lumayan tampan. Dan mereka bodoh karena menol—" Kalimat Sasuke terhenti di tengah jalan saat matanya tanpa sengaja menatap senyum lebar pemuda pirang itu lagi. Senyum menawan yang penuh godaan.

"Wow, aku sama sekali tidak menyangka kalau kau juga bisa memuji orang." Sahut Naruto dengan membalikkan seluruh kalimat yang pernah diucapkan oleh Sasuke padanya beberapa menit yang lalu.

Sasuke tersentak kecil dengan wajah memerah. Eskpresi ketus ditampilkan lagi. "Jangan melayang hanya karena pujian kecil, Idiot. Wajahmu itu sangat menjijikan."

"Benarkah?" Naruto mencondongkan tubuhnya untuk menatap Sasuke lebih lekat. "—Tapi tadi kau mengatakan kalau wajahku tampan."

"Ughh!—" Sasuke skakmat. Mati kutu. "—Maksudku, kau masih kalah tampan denganku." Alasannya lagi, berusaha menghindar.

Ada segurat tipis rasa kecewa di wajah Naruto. Namun ia masih belum menyerah untuk menguak kejujuran dari Sasuke. "Kau bohong. Jelas-jelas tadi kau mengatakan bahwa aku tampan." Ia kembali protes. Tubuhnya tercondong lebih dekat, melewati meja baca yang ada diantara mereka.

Sasuke memundurkan tubuhnya sedikit. Ekspresinya tetap dingin dan stoic namun mata hitamnya sama sekali tidak lepas dari sosok sang Uzumaki. Ia bisa melihat dengan jelas rahang kokoh itu beserta leher kuat yang menjadi titik pondasi wajah tersebut. Belum lagi tulang selangka di bagian bawah bahu yang saling membingkai dengan dada bidang yang cukup lebar. Membuat pemuda raven itu iri dengan tubuh proporsional milik sang Uzumaki. Dibandingkan tubuh rampingnya, badan Naruto sepuluh kali lipat lebih menggoda—yang diyakini Sasuke akan membuat seluruh wanita bertekuk lutut di bawah pesonanya.

"Sasuke? Kau mendengarkanku?" Naruto mengibaskan tangannya di depan wajah putih itu. Menyadarkan lamunan sang ulzzang.

"Ah, ya—aku mendengarnya." Sasuke mendorong wajah Naruto untuk berhenti memojokannya. "—Tapi tetap saja, kalau aku yang lebih tampan darimu."

Ucapan itu sukses membuat Naruto menekuk wajah dengan kesal dan memilih menyerah berdebat dengan Sasuke. "Kau itu benar-benar menyebalkan, Brengsek." Rutuknya.

Sasuke tidak menanggapi hinaan itu. Tangannya sibuk mencengkram dadanya yang berdetak tidak terkendali. Seakan-akan jantungnya meronta keras untuk segera keluar dari rusuknya. Sedangkan wajahnya memanas dengan semburat merah sempurna yang menghiasi pipinya. Pemuda raven itu yakin sekali kalau ada yang salah dengan jantungnya. Mungkin tanda-tanda gagal jantung atau gejala stroke? Oh god, ternyata berdekatan dengan Naruto bisa sangat mematikan seperti ini.

"Sasuke? Kau yakin kalau kau baik-baik saja?" Naruto heran melihat pemuda itu yang sibuk mencengkram dadanya sendiri. "—Apa dadamu sakit?" Tanyanya lagi seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh dada pemuda raven itu.

OH NO!—Itu adalah kesalahan terfatal yang dilakukan oleh sang Uzumaki, sebab jarinya tanpa sengaja menyentuh tonjolan kecil di dada Sasuke yang sanggup membuat tubuh pemuda raven itu seperti dialiri sengatan listrik statis. Membuat bukan hanya pipi Sasuke saja yang memerah, melainkan seluruh wajah hingga ke bagian telinga.

"Apa yang kau lakukan, Idiot!" Sasuke membentak kasar seraya menepis tangan Naruto dari dadanya. Ia berusaha keras memalingkan wajahnya dari tatapan sang sapphire.

Naruto berdecak kecil. "Hanya mengecek apa kau sakit atau tidak. Dan sepertinya kau memang sakit, Sasuke. Dadamu berdetak sangat keras." Sahutnya lagi. "—Apa kau punya penyakit jantung atau sejenisnya?"

Sasuke mendelik ganas. "Aku punya penyakit atau tidak itu bukan urusanmu, Bodoh!"

"Gah! Kenapa kelakuanmu itu sangat menyebalkan sih?! Aku hanya mencoba membantumu, Brengsek!" Naruto kembali menjulurkan tangannya ke arah sang onyx. "—Aku akan mencoba mengukur panas keningmu."

Sasuke berkelit ke samping dan segera bangkit dari duduknya. "Tidak perlu. Aku tidak butuh diperiksa olehmu." Ketusnya sinis.

Naruto ikut bangkit berdiri dan mencoba menggapai lengan pemuda raven itu. "Jangan membantah, Sasuke. Kau itu sedang sakit."

"Aku tidak sakit." Ia mencoba melepaskan pegangan Naruto dari lengannya. Kakinya melangkah mundur dengan panik.

"Tapi wajahmu merah." Naruto berhasil memojokan pemuda itu ke pojok kamar dan menangkap kedua tangan Sasuke untuk tetap menahannya di dinding. "—Jangan bergerak. Aku ingin mengukur panasmu dengan keningku." Perintahnya lag, yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Sasuke.

"Jangan berani mendekat atau aku akan menggigitmu!" Ancamnya dengan desisan keras. Mirip seperti kucing yang sedang terpojok oleh seekor anjing.

"For god's sake, Sasuke! Aku hanya mencoba memeriksamu, bukannya memperkosamu! Stop freaking out!" Naruto mulai mendekatkan keningnya ke dahi pemuda itu.

Sasuke mencoba berontak keras, tetapi saat kening mereka saling bersentuhan, ia langsung terdiam. Hidungnya bisa mencium wangi aroma tubuh yang menguar dari pemuda pirang itu. Campuran aroma jeruk dan apel segar, benar-benar membuat jantungnya kembali terpompa cepat. Mata hitamnya juga bisa melihat betapa jernihnya manik biru di hadapannya itu. Sangat menghipnotis kesadaran serta akal sehatnya.

"Hmmm, aneh. Wajahmu memerah tetapi kau sama sekali tidak demam." Gumam Naruto pelan seraya berpikir keras.

Sang onyx tidak mempedulikan ucapan pemuda pirang itu. Perhatiannya terfokus pada mata jernih dihadapannya dan aroma tubuh Naruto. Membuat Sasuke tanpa sadar mendekatkan wajahnya untuk merasakan celah bibir yang menawan itu.

.

"Oh my~ oh my~ look, what i've found." Suara bernada menggoda itu keluar dari sosok bibi Mei yang bersender tepat di ambang pintu kamar Sasuke. Ia tertawa kecil dengan mata berkilat jernih. "—Sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan, kids?" Ucapnya dengan alunan kalimat lembut ditambah sedikit desahan.

Sadar bahwa bibinya memperhatikan mereka, kedua pemuda itu dengan cepat memisahkan diri. Naruto terlihat salah tingkah dan panik, sedangkan Sasuke hanya mendengus pelan, entah lega karena terbebas dari Naruto atau mungkin juga kecewa karena bibinya itu mengganggu waktu mereka.

"Aku hanya mencoba mengukur demam Sasuke." Naruto berkoar cepat, takut kalau bibinya itu sampai salah paham padanya.

Wanita seksi yang berbalut dress hitam panjang dengan belahan sampai di paha itu hanya tertawa kecil. "Fufufu~ demam, huh?" Ulangnya lagi sembari melirik ke arah selangkangan Sasuke. "—oh yeah~ aku rasa keponakan manisku ini memang 'demam'." Sambungnya lagi dengan nada jahil seraya mengutip kata 'demam' dengan kedua tangannya.

Sasuke melempar death glare pada wanita itu dengan sinis. Tangannya mencoba menutupi bagian bawah tubuhnya dengan cepat. "Jaga matamu, Bibi." Desisnya.

Mei tertawa renyah. "Seharusnya aku yang mengatakan kalimat ancaman itu, Sasuke." Sahutnya sembari mendelik dengan kilatan menggoda. "—Jaga sikapmu untuk tidak terlalu 'excited' terhadap sepupu sendiri."

Sang onyx menggeram marah dan tidak membalas ucapan itu. Kalimat sang bibi membuat lidahnya kelu. Kalah. Skakmat.

Naruto hanya menatap bibi Mei dan pemuda raven itu secara bergantian. Tidak mengerti arah pembicaraan dua orang itu. "Uhh—Apa yang kalian bicarakan?" Tanyanya, penasaran.

Sasuke tidak menjawab dan memilih mendengus jengkel. Sedangkan bibi Mei hanya tertawa dengan nada mengalun manja. "Fufufu~ Jangan dipikirkan, Naruto. Hanya pembicaraan biasa." Sahutnya lagi. "—Oh ya, ngomong-ngomong kau dipanggil oleh nenek. Cepat ke kamarnya kalau tidak ingin dimarahi. Sepertinya ibuku ingin membicarakan sesuatu denganmu."

"Eh?! Nenek memanggilku?—Sebaiknya aku segera kesana." Jawab Naruto cepat seraya berlari keluar kamar.

"Nenek ada di bangunan utama. Ikuti jalur sebelah kanan. Kalau kau tersesat tanya saja pada pelayan!" Seru bibi Mei lagi pada Naruto yang terus berlari.

"Terima kasih, Noona!" Sahut sang Uzumaki lagi sembari menampilkan cengiran lebar.

Wanita itu tertawa pelan sembari melipat tangan kiri di depan dada, sedangkan tangan kanan menyentuh pipi. "Oh my~ Naruto benar-benar membuat jantungku berdetak kencang." Ucapnya dengan nada menggoda. Mata cokelatnya melirik sang onyx dengan kerlingan genit. "—Benar 'kan, Sasuke?" Lanjutnya lagi.

"Pergi." Sasuke mendesis ganas pada bibinya itu yang ditanggapi dengan tawa keras.

"Baiklah, baiklah, aku akan pergi. Bye, keponakanku yang manis." Ujarnya seraya berlenggang menjauh dari kamar pemuda raven itu. Meninggalkan Sasuke yang terduduk di lantai dengan tangan terkepal erat.

'Sial! Sial! Sial!'—Sasuke menyumpah serapah dalam hati. Tangannya mencengkram dadanya dengan kuat. 'Berhenti berdetak kencang, Dammit!'

'Naruto adalah putra mahkota. Dan aku membencinya karena sudah mengambil gelar itu dariku.'

'Benar! Naruto adalah musuh!' Sasuke mencoba memulihkan kewarasannya lagi. 'Musuh yang sangat' Kalimatnya terhenti saat otaknya mengkhianatinya dengan memutar kembali memori bagaimana pemuda pirang itu tersenyum dengan cengiran yang menawan, serta tubuh yang diyakininya sangat menggairahkan kalau saja pemuda pirang itu tidak memakai pakaian. Mungkin ia bisa meminta Naruto berjalan di sekitar kediaman kerajaan tanpa pakaian sehelai benang pun.

"Fuck! Hentikan otak! Kau mengacaukan detak jantungku lagi!" Teriak Sasuke frustasi sembari mencengkram dadanya dengan kuat.

.

Di balik pintu kamar Sasuke, Sai terlihat mengintip sekilas sang kakak yang tengah sibuk bergumam sendiri dengan wajah memerah.

Sai mengetahui gestur tubuh yang dilakukan oleh Sasuke. Ia juga sangat hapal wajah merah yang sering digambarnya di dalam manga tersebut.

Itu adalah sikap orang yang jatuh cinta. Dan menyadari kalau Sasuke—juga—menyukai Naruto membuat wajah Sai mengeras tidak suka.

"Kau bisa mendapatkan semua yang kau inginkan, Hyung. Uang, kekuasaan, ketenaran dan kasih sayang halmeoni. Aku tidak peduli dengan semua itu... Tapi tidak kali ini, hyung—" Gumamnya dengan kalimat mendesis. "—Aku tidak akan pernah memberikan Naruto padamu. Tidak akan."

.

.

TBC

.

.

.

A/N: Anggap saja kalau mereka semua dipaksa berbahasa Jepang saat berbicara dengan Naruto dan hanya beberapa istilah yang menggunakan bahasa Korea...

Dan disini author membuat Kushina (anak pertama), Madara (anak kedua), Hashirama (anak ketiga) dan Terumi Mei (salah satu kage dari Kirigakure, menjadi anak ke empat) bersaudara dan menjadi anak Kaguya. Agak aneh memang, tapi di dalam sebuah kerajaan harus ada anggota keluarga yang aneh, bukan? *Author di gampar massa* Ampuunnn XD...

Dan disini, saudaranya Sasuke adalah Sai dan bukan Itachi (maaf bagi fans Itachi, sebab ini merupakan salah satu jalan cerita)... Karena nantinya akan ada cinta segitiga, saudara-saudara! Hohohoho~~ #Plak *author mulai ngaco*

Sasuke sebagai ulzzang—yang diejek oleh Naruto dengan kata-kata nyelekit (tidak ada maksud mem-bashing siapapun, ini ciri khas Naruto (OOC) yang suka ceplas-ceplos kalau mengejek Sasuke... ) dan Sai sebagai mangaka.

Oke, pasti banyak yang nanya, kenapa settingnya harus di Seoul? Dan bertema kerajaan kayak genre drama-drama korea? Well, author cuma pengen buat aja... Hahaha, awalnya pengen RPF dengan tokoh Yunjae dan berniat bikin akun di situs lain buat nge-publish fic RPF tersebut. Tapi gak jadi, sebab cintaku pada NaruSasu lebih besar XD #plak *digampar Yunjae shipper*

Jangan salah sangka teman, aku suka Yunjae juga lho, tapi merubah sifat tokoh fiksi di Naruto lebih mudah dibandingkan merubah sifat real person (Takut kalau OOC nya berlebih). Agak bingung soalnya... Jadi daripada ide nya berkarat di otak, mending dibuat versi NaruSasu aja... Haha

Oh ya, satu lagi, adakah dari teman yang mau membuatkan nama 'Korea' untuk Sasuke? Marganya harus Kim ya?Kalian tanya kenapa Kim? Well, biar mirip ma Kim Jaejoong #plak *Author digampar lagi* XD Ampuuunnn...

*Halmeoni = nenek

*Eommonim = ibu (formal)

*Abeoji = Ayah

*Chagiya = sayang (biasa digunakan oleh sepasang kekasih)

.

RnR Please!