Niat awalnya, dalam rangka memeriahkan SafOnyx day, saya mau ikut nyumbang fict SasuFemNaru. Tapi apa daya, ternyata nggak bisa publish tepat waktu. Maaf yah... SafOnyx lovers ^-^

Btw, dilarang mengcopy sebagian atau keseluruhan isi cerita tanpa ijin saya. Tolong hargai usaha saya untuk menyajikan setiap cerita. Keterlaluan rasanya bila mengcopy paste, merubah chara, mempublish fict milik orang lain dan mengklaim sebagai hasil karyanya sendiri.

Terima kasih... X0 X0

Disclaimer : Naruto belongs to Kishimoto sensei

Pairing : SasuFemNaru

Rated : T

Genre : Romance, Friendship, Youth, School, Family

Warning : OOC, OC, typo(s), gender switch

Here We Go...

14 Days With Mr. Stranger

Chapter 1 : She

By : Fuyutsuki Hikari

Naruto mengunyah pelan makanannya, pagi ini dia kembali sarapan seorang diri. Tsunade yang berprofesi sebagai dokter spesialis bedah sangatlah sibuk. Seringkali neneknya itu bekerja lembur jika ada operasi darurat. Naruto menyesap jus jeruk miliknya, matanya menerawang jauh. Sudah hampir satu bulan ini pikirannya tidak tenang. Dia benar-benar bimbang, apa sebaiknya ia berkata jujur pada nenek angkatnya atau tidak. Ya, ia memiliki rencana untuk pulang ke kota kelahirannya saat libur musim panas nanti. Tapi Naruto begitu takut jika Tsunade tidak mengijinkannya untuk pergi.

Ia kembali menarik napas panjang dalam-dalam. Selama tujuh belas tahun, dia tidak pernah menyesal karena tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya. Peninggalan dari orang tuanya hanyalah sebuah gelang tangan yang terbuat dari platina. Gelang itu bertuliskan nama Naruto N. Dari sanalah namanya diambil.

Naruto besar di panti asuhan. Beberapa kali dia dipindahkan dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Hingga akhirnya Tsunade datang ke Konoha, mengadopsinya dan membawanya untuk menetap di Amerika. Waktu itu usia Naruto belum genap tujuh tahun.

Gadis muda itu tidak pernah bertanya kenapa dia diserahkan ke panti asuhan. Ia juga tidak pernah ingin tahu mengenai keadaan orang tua kandungnya. Apakah mereka masih hidup atau tidak? Atau masih adakah keluarga kandungnya yang hidup di Jepang. Tidak, dia tidak pernah tertarik untuk mengetahuinya atau dia hanya berpura-pura untuk tidak tertarik? Hanya dia sendiri yang mengetahuinya.

Saat ini bagi Naruto keluarga yang dimilikinya hanyalah neneknya yang bernama Tsunade dan Deidara, kakak sepupu laki-laki yang entah ada dimana keberadaannya saat ini.

Deidara sangat menyukai tantangan, karena itu dia lebih memilih keliling dunia untuk berpetualang. Sedangkan Tsunade, dia nenek nyentrik, cerewet dan galak. Tapi nenek itulah yang selalu berdiri bersamanya. Saat Naruto berhasil, Tsunade orang yang paling bahagia karena keberhasilan cucunya itu. Saat Naruto gagal, nenek itu juga yang selalu menghibur, membesarkan hatinya tanpa kenal lelah. Dan ketika Naruto merasa gagal, lelah serta putus asa, Tsunade jualah yang berdiri dan memberikan semangat tanpa henti.

Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, membawa peralatan makan kotor ke dapur dan mencucinya dengan cepat. Naruto melirik jam dinding yang tergantung di tembok dapur. Sesaat kedua bola matanya membulat sempurna saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Naruto mengelap tangannya yang basah dengan lap kering sambil berjalan kembali ke ruang makan. Ia menyambar tas sekolahnya, dan dengan langkah cepat ia-pun keluar dari dalam rumah.

Suara klakson mobil dan udara yang kurang bersih menyambutnya pagi ini. Kota New York bukan kota tenang. Sebaliknya, kota ini sangat sibuk. Bising, macet dan lautan manusia sudah menjadi pemandangan umum di kota ini setiap harinya. Hutan beton berdiri begitu tinggi, gedung pencakar langit itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kota ini. Beruntung, karena kota ini memiliki taman kota yang sangat besar sebagai penyeimbangnya.

Naruto melangkah semakin cepat, kereta bawah tanah selalu menjadi pilihannya untuk pergi ke sekolah tiap harinya. Gadis itu berbelok dan menuruni satu demi satu anak tangga. Ia mendesah lega karena berhasil masuk ke dalam kereta tepat waktu, itu artinya dia tidak akan terlambat masuk kelas yang dimulai pukul sembilan pagi.

Langkah kaki gadis itu semakin cepat saat gerbang sekolah mulai terlihat. Dengan setengah berlari ia berjalan menuju ruang ganti. Naruto mengikat rambutnya tinggi dan membentuknya menjadi sanggul kecil. Leotat mini berwarna hitam memeluk erat tubuhnya. Ia pun mengenakan stocking berwarna kulit yang berfungsi untuk menopang tubuh terutama bagian pinggang kebawah yang kurang kencang. Pointe shoes warna peach dikenakannya cepat. Setelah persiapannya selesai dia pun kembali berlari menuju kelas.

Naruto bernapas lega saat mendapati kelasnya masih belum dimulai pagi ini. Murid-murid yang lainnya sudah mulai melakukan gerakan-gerakan dasar ballet. Kelas ini hanya berisi sepuluh orang murid, empat orang laki-laki dan sisanya murid wanita. Naruto berjalan menuju barre, dan memulai peregangan ringan sebelum akhirnya melakukan gerakan-gerakan dasar ballet, seperti plie, audebra, dan pointed toe.

Sebuah tepukan tangan terdengar keras, menghentikan semua kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Seorang guru wanita berusia setengah baya berdiri tegak di depan pintu kelas, menyedot perhatian para murid kearahnya. Rambutnya hitam legam, dengan bola mata jernih berwarna hijau, menatap seluruh penghuni kelas dengan tatapan teduh. "Good morning, class." Sapa wanita cantik itu merdu dan latihan panjang untuk hari ini pun dimulai.

Selesai kelas ballet, Naruto masih harus ke kelas gym untuk melatih otot-ototnya. Selama dua jam dia berada di kelas gym dengan instruktur pribadinya. Tepat pukul lima sore dia keluar dari sana. Setelah berganti pakaian, dia kembali berjalan menuju ruang kesehatan.

Dia memiliki janji dengan physiotherapist sore ini. Sesampainya di sana, seorang wanita muda menyapanya ramah dan memintanya untuk berbaring di atas tempat tidur pasien.

Therapist itu memijat lembut kaki Naruto, melemaskan kembali otot-otot kakinya yang memang sudah lelah. Mereka bercakap ringan, terkadang suara tawa renyah terdengar dari mulut keduanya.

Banyak hal yang dikorbankan Naruto untuk menjadi ballerina. Masa kecil dan masa remajanya tidak bisa dinikmatinya. Rasa sakit yang dirasakannya tidak diidahkannya. Ia tidak memiliki banyak teman. Teman yang berada satu kelas dengannya terasa seperti lawan dibanding teman. Beruntung, dia masih memiliki instruktur gym, guru dan therapist pribadi yang mau berbagi suka duka dunia ballerina dengannya. Hal itu sedikit menghibur ditengah-tengah perjuangannya untuk menjadi ballerina profesional.

.

.

.

Matahari sudah lama tenggelam saat ia berjalan pulang. Naruto memutuskan untuk berjalan kaki hingga town square dan naik bis untuk pulang. Gadis itu tersenyum kecil saat matanya melihat beberapa remaja wanita tertawa tidak jauh dari tempatnya saat ini.

Mereka terlihat begitu bahagia, begitu pikirnya. Naruto menggelengkan kepala pelan, mengenyahkan pikirannya itu. 'Menjadi ballerina adalah kebahagiaanku. Tidak ada yang perlu aku sesali,' katanya di dalam hati. Ia kembali menutup mata, menutup hati dari gemerlapnya town square yang seolah merayunya untuk ikut serta menikmati hingar bingar yang ditawarkan.

Naruto semakin mempercepat langkahnya, ia menghela napas lega saat berhasil mencapai halte bis terdekat. Ia menunggu beberapa saat sebelum bis yang akan membawanya pulang datang. Dengan langkah ringan ia naik masuk ke dalam bis dan segera mengambil tempat di salah satu kursi kosong di belakang supir. Lagi-lagi pikirannya kembali melayang jauh.

Tiga puluh menit kemudian, ia sampai di halte tujuannya. Naruto perlu kembali berjalan selama lima belas menit untuk sampai rumah. Gadis itu tersenyum lembut saat mendapati lampu rumahnya sudah menyala, itu menandakan jika neneknya sudah ada di rumah malam ini. "Tadaima!" seru Naruto lantang.

"Irasshai," sahut Tsunade dari dapur. "Bagaimana latihanmu hari ini?" tanya Tsunade sambil menyodorkan sepiring lagsana yang masih mengepul pada Naruto. Tsunade melepas celemek bermotif bunga yang dikenakannya, melipatnya rapih sebelum kembali menyimpannya di dalam laci dapur.

Sedangkan Naruto, kini ia sudah duduk dengan nyaman di kursi makan dan meletakkan tas sekolahnya di kursi kosong di sampingnya. "Seperti biasa," jawab Naruto dengan helaan napas pendek. "Padat, lelah dan menyenangkan." Tambahnya dengan senyum tipis.

"Sekali-kali pergilah bermain dengan teman-temanmu." Usul Tsunade membuat Naruto tersedak. Ia meraih gelas dan meminum isinya hingga tandas. "Kenapa? Apa usul baa-san terdengar aneh?" tanya Tsunade mengernyit bingung.

"Tidak aneh," sahut Naruto dengan mengibaskan tangan kanannya di depan muka. "Hanya saja, teman yang aku kenal lebih suka menghabiskan waktu di ruang latihan untuk menari." Jelasnya, kini dengan senyum lebar.

Tsunade menepuk keningnya, dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Bagaimana aku bisa lupa mengenai hal itu?" katanya dengan nada tak percaya. "Sekarang kamu makan yang banyak, mandi dengan air hangat dan pergilah tidur. Besok pagi ada sesuatu yang ingin baa-san bicarakan denganmu."

"Kenapa harus dibicarakan besok? Kenapa tidak malam ini saja?" kini giliran Naruto yang mengernyit bingung. Ia menyumpal mulutnya dengan satu suapan penuh lagsana.

"Baiklah," ujar Tsunade setelah menghela napas panjang. "Rencana ini sudah baa-san pikirkan sejak lama. Baa-san memutuskan untuk pensiun dini." Jelas Tsunade.

"Baa-san yakin?" tanya Naruto yang hapal betul jika pekerjaan neneknya merupakan napas kehidupan bagi wanita tua itu.

Tsunade sedikit ragu sebelum akhirnya kembali bicara. "Baa-san pensiun agar bisa bergabung bersama relawan lainnya."

"Relawan lainnya?" Naruto semakin bingung. Ia meletakkan garpunya di atas piring dan melipat kedua tangannya di atas meja. Matanya menatap lurus Tsunade, meminta penjelasan.

"Ya, baa-san akan pergi ke Addis Ababa dan menjadi dokter relawan di sana."

"Addis Ababa?" beo Naruto dengan nada satu oktaf lebih tinggi. "Baa-san akan pergi ke Ethiopia?"

"Benar," sahut Tsunade setenang mungkin.

"Baa-san yakin?" suara Naruto terdengar serak. "Itu bukan daerah yang mudah. Ethiopia negara konflik dengan segala permasalahan kompleks di dalamnya."

"Karena itu kami kesana, mereka kekurangan dokter ahli. Dan aku berniat untuk mengabdikan ilmu yang aku miliki untuk mereka."

"Jika itu keputusan baa-san, aku akan mendukungnya." Kata Naruto setelah terdiam cukup lama.

Tsunade tersenyum, ia berjalan memutar ke belakang kursi Naruto dan memeluknya penuh kasih sayang. "Arigatou, honey." Ujar Tsunade lalu mengecup puncak kepala gadis itu lembut. "Baa-san beruntung memilikimu sebagai cucu."

"Dan aku beruntung karena baa-san lebih memilihku daripada anak-anak yang lainnya." Sahut Naruto dengan mata berkaca-kaca.

.

.

.

Hari itu pun akhirnya tiba, hari saat Tsunade beserta relawan lainnya pergi menuju Addis Ababa. Tsunade sudah mengatakan jika akan sulit bagi keduanya untuk berkomunikasi. Namun ia berjanji akan mencari cara untuk mengatasinya. Tsunade meminta pada Naruto agar pindah ke asrama setelah libur musim panas nanti. Naruto tentu saja menyetujuinya, namun hingga hari ini dia masih belum mengatakan jika ia akan pulang ke Jepang selama tiga minggu.

Naruto terus berdiri di dalam bandara, menatap jauh lewat kaca besar untuk melihat pesawat yang dinaiki oleh Tsunase lepas landas. Gadis itu tetap diposisinya hingga pesawat menghilang di balik awan putih.

Naruto berbalik untuk pulang dengan langkah pelan. Rumah akan semakin sepi tanpa keberadaan neneknya. 'Masuk asrama sepertinya pilihan terbaik,' katanya dalam hati.

.

.

.

Malam pun datang menyapa dengan cepat setelahnya. "Besok aku pulang," gumam Naruto di dalam kamarnya. Matanya enggan untuk dipejamkan, dia begitu mengkhawatirkan keselamatan Tsunade. Dan ia pun merasa bersalah karena tidak jujur pada neneknya itu. "Seharusnya aku jujur pada baa-san," sesalnya kini. "Gomenasai, aku hanya berharap baa-san tidak kecewa padaku."

Naruto bangkit dari tempat tidur untuk mengecek kembali semua barang-barang bawaannya. Setelah yakin semua sudah lengkap, ia pun menutup koper berukuran sedang itu dan menguncinya.

Selesai berkemas, ia berjalan menuju balkon kamar, terus duduk di sana begitu lama. Ia menatap langit malam tanpa bintang hingga kantuk pada akhirnya menyerang, mengalahkannya dan ia pun kembali ke dalam kamar untuk istirahat.

Sementara itu, dibelahan dunia lain, Sasuke sudah bersiap untuk pergi sekolah pagi ini. Ia menutup pelan pintu apartemen miliknya dan melangkah pergi.

Dia berjalan cepat tanpa peduli jika dirinya menjadi pusat perhatian dari para gadis yang dengan terbuka memperlihatkan ketertarikn mereka. Dia tidak peduli, dia benar-benar tidak peduli.

"Ohayou, Sas." Sapa Kiba riang. "Melihat raut wajahmu, sepertinya pagimu tidak mulus seperti biasanya." Kiba terkekeh, tidak takut saat mendapat tatapan sinis bungsu Uchiha.

"Teriakan fans Sasuke terdengar seperti suara biola rusak," sahut Shikamaru.

"Ngek...ngek...ngek..." ejek Kiba sambil memperagakan pemain biola menggesek senar biola dengan busurnya. Shikamaru tersenyum simpul, begitu juga dengan Gaara yang sedari tadi diam. Di belakang Kiba, Neji mengikuti gerakannya secara berlebihan. Hal ini membuat Kiba tertawa keras sebelum duduk di tempat duduknya.

"Bisakah kalian diam?" protes Sasuke yang lebih terdengar seperti perintah.

"Sorry," cicit Kiba dan Neji bersamaan.

"Tumben mereka belum datang," kata Gaara kemudian. Matanya menatap lurus ke pintu masuk kelas.

"Tenang saja, mereka pasti datang." Neji segera memasang headset, memejamkan mata, menikmati musik yang mengalun merdu. Dan benar saja, tidak lama berselang, teriakan-teriakan itu terdengar keras dari luar kelas.

"Sasuke-kun!" teriak beberapa siswi yang saling berebut untuk masuk ke kelas 3-A. Dua diantara mereka terlihat saling beradu tatapan sinis satu dengan yang lainnya. "Minggir, Pig!" bentak siswi berambut pink. "Kamu menghalangi jalanku!" bentaknya lagi.

"Kamu yang seharusnya tahu diri, Forehead!" balas Ino kasar. "Sasuke-kun sudah menolakmu berulang kali. Apa kamu tidak malu? Dimana harga dirimu?"

"Hah, lihat siapa yang bicara!" dengus Sakura. "Kamu lupa, Sasuke juga menolakmu berulang kali." Sakura tersenyum puas melihat ekspresi kesal Ino. Keduanya masih melempar tatapan sinis, tanpa menyadari jika saat ini siswi yang lainnya sudah berkumpul di depan meja Sasuke dan menyerahkan bento yang mereka bawa untuk pemuda itu.

"Berani sekali kalian mendahuluiku!" raung Ino dan Sakura bersamaan setelah keduanya sadar akan kondisi di sekitarnyase. Keduanya segera menghampiri meja Sasuke dan memasang senyum manis pada pemuda itu.

"Sasuke-kun, ini bento buatanku. Mohon diterima," kata Sakura dengan suara manis yang dibuat-buat. Kedua pipinya merona merah tersipu malu.

Ino menyikut tangan Sakura, dan mendelik sinis. Sakura yang diperlakukan seperti itu hanya menggertakkan gigi dan melotot ke arah Ino yang kini tersenyum manis pada Sasuke. "Lebih baik makan bento buatanku. Bento milik mereka bisa membuatmu sakit perut." Katanya yang disambut protes para siswi lainnya.

Sasuke masih bersikap cool, dia menumpuk semua bento yang ada di atas mejanya lalu berteriak kencang. "Ada yang mau sarapan?" tawarnya yang langsung disambut gembira oleh para siswa yang segera berebut bento milik Sasuke. Para siswi mencoba untuk menghentikan mereka, namun mereka kalah kuat. Sepertinya para siswa itu rela menumpahkan darah mereka demi makanan gratis.

"Aku membuat bento itu khusus untukmu." Protes Ino yang secara tidak langsung menyuarakan protes siswi lainnya.

"Aku tidak pernah memintanya. Dan aku sudah mengatakan jika aku tidak akan memakan bento dari gadis manapun, kecuali jika dia keluarga atau kekasihku." Balas Sasuke dengan tenang.

"Karena itulah kamu harus memilih satu diantara kami. Agar kami mengakhiri persaingan ini." Ujar Sakura penuh harap.

"Hn."

"Putuskan sekarang!" timpal Ino.

Sasuke masih memasang wajah datar andalannya. Kiba yang merasa kesal akhirnya angkat bicara. "Kalian pikir Sasuke itu apa? Kenapa kalian memaksakan kehendak kalian?"

"Jangan ikut campur, Inuzuka!" raung Ino keras dengan tangan terkepal menahan marah.

Kiba mengangkat bahu cuek. "Sebenarnya aku malas untuk ikut campur. Aku hanya kasihan pada kalian yang tidak tahu malu terus memerus mengemis cinta Sasuke. Padahal Sasuke sendiri sudah memiliki kekasih."

"Apa?" teriak para gadis itu bersamaan. Begitu juga dengan Gaara, Shikamaru dan Neji yang tidak kalah terkejut. Sedangkan Sasuke bersikap seperti biasa, walau dalam hati dia mengumpat, mengutuk Kiba.

"Sasuke sudah memiliki kekasih. Dia sangat cantik, berambut pirang, bermata biru. Kalian tidak ada apa-apanya, karena itu berhenti berharap dan cari laki-laki lain!"

"Benarkah itu? Sasuke-kun, katakan jika itu tidak benar." Mohon Sakura meratap sedih.

"Hn." Gumam Sasuke tidak jelas. Suasana kelas kembali riuh dengan rengekan para siswi yang meminta klarifikasi dari Sasuke yang masih bersikap tenang.

"Aku minta bukti jika kamu memang sudah memiliki kekasih!" tuntut Ino keras kepala. "Jika tidak ada bukti, aku tidak akan berhenti untuk mengejarmu!" tambahnya menggebu. Sakura mengangguk setuju akan ucapan Ino, dan akhirnya para siswi yang berkumpul itu membubarkan diri untuk kembali ke kelasnya masing-masing.

"Kamu gila!" desis Sasuke setelah fangirlsnya membubarkan diri. "Pirang, bermata biru? Yang benar saja."

"Maaf, itu keluar begitu saja dari mulutku." Kata Kiba menyeringai lebar.

"Seharusnya kamu memikirkan sesuatu yang lebih masuk akal." Desis Sasuke. "Dimana aku harus mencari gadis pirang denan mata biru?"

"Tunggu!" potong Neji. "Jadi, yang dikatakan Kiba tadi, bohong?" tanyanya dengan kernyitan dalam. Kiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa bersalah karena sudah membuat masalah baru untuk Sasuke.

Shikamaru menggeleng pelan. "Hal ini bisa menjadi dua mata pisau untuk Sasuke." Katanya. "Jika Sasuke bisa membawa seseorang untuk berpura-pura menjadi kekasihnya, aku jamin fans gilanya akan mundur secara teratur. Tapi jika tidak," Shikamaru terdiam untuk sesaat, memberi jeda sebelum kembali bicara. "Jika tidak, mereka akan menyerang mu lebih ganas."

"Bagaimana ini, Sas?" tanya Kiba merasa semakin bersalah. "Kita tidak punya kenalan wanita berambut pirang." Kiba semakin gusar melihat wajah Sasuke yang masih tanpa ekspresi saat ini.

"Jika adapun, kita tidak bisa menjamin jika gadis itu tidak jatuh cinta pada Sasuke." Sahut Neji.

"Kenapa tidak minta tolong kakakmu saja, Gaara?" tanya Kiba penuh semangat, sedangkan Shikamaru bergumam pelan, "merepotkan."

"Temari tinggal memakai lensa mata warna biru, dan sedikit berakting." Tambah Kiba lagi.

Gaara terdiam, ia mengernyit tidak yakin. "Entahlah, aku rasa itu bukan ide bagus." Katanya ragu. "Nee-san sangat licik, dia bisa menguras habis nyawa kita jika dia memiliki kartu mati kita." Gaara menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mengambil resiko. Kita cari jalan lain saja." Gaara merinding ngeri.

"Hanya Tuhan yang bisa membantuku," kata Sasuke pasrah.

"Tuhan, tolong pinjamkan salah satu malaikat-Mu yang berambut pirang dan bermata biru pada Sasuke." Doa Kiba. "Aku mohon..." Tambahnya lagi yang terdengar seperti rintihan penyesalan.

"Jika kita tidak bisa membawa seseorang untuk pura-pura menjadi kekasih Sasuke, dengan terpaksa kamu harus menyamar menjadi wanita, Kiba." Goda Neji dengan senyum lebar.

Kedua bola mata Kiba membulat sempurna, mulutnya terbuka lebar mendengar ucapan Neji yang baginya bagai angin segar. "Baiklah demi persahabatan kita, aku bersedia menyamar menjadi wanita." Kiba menggenggam kedua tangan Sasuke, matanya merefleksikan tekad membara.

"Tidak perlu," tolak Sasuke halus dan cepat, kemudian melepaskan genggaman tangan Kiba.

"Kenapa?" tanya Kiba tidak mengerti. Ia memiringkan kepala dan memasang wajah serius.

Gaara menghela napas panjang dan menepuk bahu Kiba ringan. "Lupakan ide gila itu, Kiba. Neji hanya bercanda."

"Tapi aku benar-benar siap jika harus menyamar menjadi wanita." Sahut Kiba berapi-api.

"Masalahnya, kami yang tidak siap." Ujar Shikamaru. Masih jelas diingatannya saat Kiba memerankan ibu tiri Cinderella di panggung sandiwara saat mereka SMP dulu, hasilnya benar-benar hancur.

"Tapi aku berpengalaman-" Kiba bersikukuh.

"Aku hanya bercanda, Kiba." Potong Neji ngeri. "Sasuke pasti bisa mendapatkan jalan keluar, jangan khawatir."

"Tapi aku benar-benar berpengalaman. Kalian tahu itu," Kiba menunduk dalam. Kedua tangannya saling bertautan di atas meja.

'Ya, dan membuat kami semua trauma.' Batin keempat temannya kompak.

.

.

.

Hari berlalu dengan cepat. Naruto kembali menginjakkan kaki di Tokyo. Narita airport begitu sibuk siang ini. Gadis itu memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan tersenyum kecil. Ia kembali menarik napas panjang dan dengan perlahan mengeluarkannya kembali. Setelah beberapa saat, ia pun berjalan menuju pintu kedatangan luar negeri. Tidak seperti penumpang lainnya yang disambut suka cita, Naruto hanya berjalan seorang diri tanpa ada sanak saudara yang menyambut kedatangannya.

Naruto mengambil telepon genggamnya dari dalam saku celana jeans belel selututya. Ia lalu menekan beberapa tombol nomor untuk menghubungi seseorang.

"Moshi-moshi?" sapa Naruto. Suara serak seorang pria pun menjawab panggilannya. "Aku sudah sampai, kita bertemu di lokasi saja." Kata Naruto. "Aku akan memberikan uang sewa setelah anda memberikan kunci apartemen padaku." Tambahnya setelah jeda yang cukup lama.

"Anda tidak percaya padaku?" tanya pria itu.

"Aku hanya berjaga-jaga," kilah Naruto membela diri.

"Baik, aku akan mengirim alamat apartement yang kujanjikan untuk kamu sewa. Ingat, aku mau dibayar full. Aku juga tidak menerima kartu kredit."

"Ha'i, wakatta!" seru Naruto. "Aku akan membayar full dan cash. Tolong kirim alamatnya padaku. Jaa..." Naruto pun mengakhiri sambungan telepon mereka. Beberapa saat ia menunggu, dan akhirnya pesan itu tiba. Apartement yang akan disewa Naruto berada di distrik Konoha, tempat kelahirannya. Naruto memberhentikan sebuah taksi dan supir pun melajukan kendaraannya menuju Konoha sesuai permintaan penumpangnya.

Naruto menikmati perjalanan yang memakan waktu hampir setengah jam. Hatinya membucah gembira karena bisa kembali. Tidak bisa dipungkiri jika ternyata rasa rindu itu tetaplah ada. Selesai membayar dan menurunkan barang bawaannya, Naruto melenggang masuk ke sebuah gedung apartement sederhana.

"Anda Senju-san?" tanya seorang pria berusia hampir tujuh puluh tahun. Mata pria itu menatap Naruto penuh selidik.

"Benar," jawab Naruto.

"Aku sudah menunggumu," lanjut pria itu lagi. "Kukira kamu lebih tua," tukas Danzo yang kini memperhatikan Naruto dari kaki hingga ujung rambut. Naruto berdeham, merasa risih karena diperhatikan secara intens oleh pria tua itu. "Aku Danzo."

"Senang bisa bertemu dengan anda, Danzo-san. Saya Naruto Senju." Naruto mencoba tersenyum ramah, sekedar basa-basi.

"Jadi, kamu membawa uang yang kamu janjikan?" tanya Danzo langsung pada pokok permasalahan.

"Tentu," Naruto mengambil sebuah amplop dari dalam tas tangannya. "Tapi sebelumnya, mana kunci kamar yang akan saya tempati?" Naruto menahan amplop uang itu ditangannya, masih enggan untuk menyerahkan pada Danzo yang kini sudah mengulurkan tangan kanannya.

Pria tua itu berdecak sebal dan merogoh saku celananya. Bunyi gemerincing terdengar saat ia mengeluarkan beberapa kunci dari dalam saku dan memilahnya. "Ini," Danzo menyerahkan sebuah kunci, lalu memasukkan kunci lainnya kembali ke dalam saku. Ia mengambil amplop dari tangan Naruto dengan mata berseri.

"Kamarmu nomor lima ratus lima. Dan ingat, kamu hanya menyewa selama tiga minggu. Jangan mengubah letak benda apapun yang berada di dalam apartement. Mengerti?" tanya Danzo yang menyerupai sebuah perintah. Danzo menghitung jumlah uang yang ada di dalam amplop dan tersenyum puas saat selesai menghitung. Sebuah senyum licik kini terukir di wajahnya yang keriput.

Naruto mengangguk semangat, "aku mengerti."

"Kamarmu ada di lantai lima," jelas Danzo. "Aku pergi, ingat apa yang kukatakan tadi, pergi setelah tiga minggu dan jangan mengubah apapun!"

"Aku mengerti," ulang Naruto. "Terima kasih anda sudah mau membantuku." Ia kembali tersenyum penuh terima kasih, sementara Danzo hanya mengangguk kecil dan berlalu pergi.

Naruto segera naik ke lantai lima dengan menggunakan lift. Tidak sulit untuk menemukan kamar yang dimaksud Danzo. Sebuah papan nama dari kayu terpasang di depan pintu bertuliskan 'Uchiha'."

Gadis itu memasukkan anak kunci dan membuka pintu, sedikit terkejut saat mendapati ruangan yang akan ditempati olehnya begitu rapih dan efisien. "Pantas saja Danzo-san melarangku untuk menyentuh apapun, pemilik kamar ini pasti termasuk tipe orang yang perfectionist." Gumam Naruto. Ia meletakkan tas tangannya di atas meja TV dan meletakkan kopernya di samping meja tersebut.

Naruto lalu beranjak menuju sebuah pintu, dia memutar knop pintu dan membukanya perlahan. Kamar berwarna broken white itu tertata rapih, sederhana namun terkesan maskulin. Ada sebuah tempat tidur, meja lampu di samping tempat tidur, sebuah lemari pakaian dan kursi di sudut ruangan. Ada juga sebuah lemari buku yang penuh dengan buku-buku bacaan berkualitas. Ia menyentuh ringan buku-buku itu dan mengambil salah satunya. Naruto membuka beberapa lembar pertama, membacanya sekilas lalu menutupnya dan mengembalikan buku itu ke tempatnya semula. "Sepertinya pemilik kamar ini sudah tua," gumamnya yang kemudian mulai mengendus-endus. "Tapi tidak ada bau orang tua," katanya lagi.

Dia mengangkat bahu acuh lalu bergerak untuk membuka jendela kamar, mengijinkan angin musim panas berhembus masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi gadis itu tersenyum lembut saat melihat keluar jendela. Tiupan angin membuatnya menguap ngantuk, sedangkan tempat tidur sederhana itu terlihat nyaman dan memanggilnya untuk tidur. Naruto menutup pintu kamar sebelum akhirnya menyerah dan terlelap di atas tempat tidur.

Di lain tempat, Sasuke bergegas untuk pulang. Pukul enam sore nanti dia masih ada kerja sambilan di sebuah cafe. Sejak pertengkaran hebatnya dengan Fugaku Uchiha satu tahun yang lalu, Sasuke memutuskan untuk keluar rumah dan hidup mandiri tanpa bantuan finansial ayahnya. Pertengkaran mereka terjadi setelah Fugaku memutuskan untuk menikah lagi. Penolakan keras Sasuke membuat pria paruh baya itu naik pitam hingga pertengkaran pun tak terelakkan.

Sasuke membuka pintu apartement lalu menutupnya pelan. Tas sekolahnya dilempar asal ke atas sofa. Ia berjalan ke arah dapur, mengeluarkan botol air putih dari dalam kulkas dan menuang isinya ke dalam gelas tinggi bening. Sasuke menenggak habis minumannya dan meletakkan gelas yang dipakainya ke bak cuci piring. Dilonggarkannya dasi yang masih dikenakannya dan ia pun beranjak menuju kamar tidur. Sasuke mengernyit bingung saat melihat ada seorang wanita berambut pirang tidur di tempat tidurnya saat ini. Ia pun kembali menutup pintu kamarnya. "Aku pasti berhalusinasi," katanya pelan sambil menggelelengkan kepala. "Ucapan Kiba ternyata benar-benar mempengaruhiku," tambahnya sambil memijit pelan keningnya yang berdenyut sakit.

Ia menghela napas panjang lalu kembali membuka pintu kamar dan sosok pirang itu masih ada di sana.

Sasuke menutup pintu lalu membukanya lagi, sosok itu pun masih ada. "Sepertinya aku salah masuk apartemen," racaunya. Sasuke mengambil tas sekolah dan bergegas keluar. Ia berdiri mematung membelakangi pintu, kepalanya bergerak, menoleh perlahan. Dibacanya dengan seksama papan pintu yang dengan jelas menuliskan marga keluarganya. "Aku tidak salah masuk, dan aku tidak berkhayal. Lalu wanita yang di dalam itu siapa?" tanyanya pada dirinya sendiri, ia pun bergegas masuk.

Sasuke membuka pintu kamarnya keras dan mulai membangunkan Naruto dengan cara menggoyang-goyang kaki gadis itu dengan menggunakan kakinya. "Woi, bangun!" perintah Sasuke keras. Naruto menggeliat dan bergumam tidak jelas.

"Five more minutes, please!" gumamnya. Naruto menyurukkan kepalanya semakin dalam ke bantal empuk milik Sasuke.

Sasuke berkedut semakin kesal, "kamu pikir aku ibumu?" teriak Sasuke keras. Kedua mata Naruto mengerjap, ia kembali menguap sebelum akhirnya dia sadar sepenuhnya. Kedua matanya membelalak saat melihat Sasuke berdiri menantang di depan pintu. "Who are you?" teriak Naruto keras sambil menunjuk ke arah Sasuke.

"Seharusnya aku yang bertanya, Dobe. Apa yang kamu lakukan di sini?"

"Tidur," jawab Naruto polos.

Sasuke berdesis menahan emosi. "Aku tahu kamu tidur-" ujar Sasuke yang kemudian terdiam cukup lama. "Sudah lupakan, kita ganti pertanyaannya, jadi kamu siapa?"

"Aku penyewa tempat ini untuk sementara."

"Apa? Bagaimana bisa kamu menyewa tempat yang masih ada penyewanya?"

"Jangan katakan jika kamu pemilik apartement ini." Kata Naruto dengan suara lemah.

"Ya," jawab Sasuke marah. "Jadi kamu sudah tahu siapa aku. Sekarang keluar dari rumahku!"

"Tidak bisa," tolak Naruto. Aku sudah membayar sewa untuk tiga minggu ke depan pada Danzo-san. Lagipula, seharusnya kamu kembali tiga minggu yang akan datang, kenapa sekarang kamu ada di sini?" katanya tidak terima.

"Danzo? Kamu bilang Danzo?" Sasuke menyipitkan mata, jelas terlihat kesal.

"Ya, Danzo-san." Jawab Naruto. "Aku sudah membayar sewa untuk tiga minggu. Dia mengatakan jika kamar ini ditinggal pemiliknya selama satu bulan, jadi aku bisa menempati tempat ini dengan beberapa syarat."

"Gila, kamu gila!" teriak Sasuke. "Atau bodoh?" ejek Sasuke sambil keluar kamar dan menghempaskan diri di atas sofa dengan keras. Naruto membuntutinya dari belakang, kepalanya menunduk, dia begitu gelisah saat ini.

"Tua bangka itu, lihat saja aku akan membuat perhitungan dengannya!" gerutu Sasuke.

"Sebenarnya, Danzo-san itu siapa?" tanya Naruto agak takut melihat ekspresi Sasuke yang mulai mengeluarkan aura gelap.

"Mantan butler di rumahku," Sasuke mengacak rambutnya frustasi. Danzo memang sering kali berbuat gila setelah kematian putra semata wayangnya dan acap kali Sasuke harus membantunya keluar dari masalah yang disebabkannya itu.

"Jadi bagaimana? Aku sudah tidak memiliki uang lagi untuk menyewa tempat lain. Sisa uangku hanya cukup untuk bekal hidup selama aku berada di kota ini."

"Hubungi keluargamu dan tinggallah bersama mereka!" usul Sasuke dingin.

"Aku tidak memiliki saudara di sini," sahut Naruto pelan, kepalanya semakin menunduk dalam.

"Kalau begitu hubungi keluargamu yang lain dan mintalah uang pada mereka!"

"Nenekku sulit untuk dihubungi, dia berada di Addis Ababa saat ini. Sedangkan kakak sepupuku, aku tidak tahu dia ada dimana." Jelas gadis itu, kedua tangannya saling bertaut dan terasa dingin.

Sasuke berdecak dan tersenyum mengejek. "Alasanmu benar-benar hebat, Dobe. Kamu pikir aku akan percaya?"

"Tapi itu benar, aku tidak berbohong."

"Pergilah, sebelum kesabaranku habis!"

"Tapi aku tidak punya tempat lain untuk tinggal. Tolong berbaik hatilah, aku akan mencoba agar tidak terlalu merepotkanmu. Please!" mohon Naruto dengan wajah memelas.

"Dobe, apa kamu sadar jika permintaanmu itu sangat berbahaya?"

"Maksudmu apa?" Naruto merengut bingung.

"Aku ini pria, pria dewasa." Sahut Sasuke menepuk dada pelan, dengan tenang dia menjelaskan. "Dan kamu, kamu seorang wanita-" Sasuke berdeham dan kembali bicara tanpa mampu menatap Naruto. "Yang cukup menarik," tambahnya pelan.

"Teme, aku tidak mengerti. Bisa kamu jelaskan secara singkat?"

Dahi Sasuke kembali berkedut kesal, dia berdesis dan menjawab dengan nada satu oktaf lebih tinggi. "Pria dan wanita dewasa yang tidak terikat pernikahan tidak boleh berada di dalam satu rumah yang sama. Bagaimana jika terjadi sesuatu?"

"Memangnya bisa terjadi apa?"

"Kamu benar-benar bodoh, sebenarnya berapa usiamu?" tanya Sasuke frustasi.

"Apa hubungan usiaku dengan semua ini?" Naruto semakin bingung. "Oktober nanti aku delapan belas tahun, puas?"

"Dengan usiamu sekarang, seharusnya kamu mengerti apa yang aku bicarakan saat ini. Aku pria sehat yang ada masanya membutuhkan hal-hal yang bersifat biologis. Dan kamu seorang wanita dewasa. Bagaimana jika sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi diantara kita?"

"Tidak mungkin, Teme!" balas Naruto yang mulai mengerti apa maksud pembicaraan Sasuke. "Aku tidak tertarik akan hal-hal seperti itu." Katanya yakin membuat Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

Sasuke mengayunkan sebelah tangan di udara sebelum menjawab cepat. "Pokoknya kamu tidak boleh tinggal di sini. Titik!"

"Kalau begitu, kembalikan uangku!" seru Naruto menengadahkan tangan.

"Aku tidak ada urusan denganmu." Jawab Sasuke santai. "Kalau mau ganti rugi, cari saja pria tua itu!" tambahnya. "Sekarang pergilah! Pergi!" usirnya lagi.

Naruto tidak banyak bicara lagi, dengan kesal dia mendorong koper dan membawa tas tangannya untuk keluar pergi dari apartemen milik Sasuke.

"Tunggu!" panggil Sasuke.

"Ya," jawab Naruto berbalik dengan antusias, berharap jika Sasuke berubah pikiran.

"Kembalikan kunci yang diberikan pria tua itu padaku!" katanya tegas membuyarkan kegembiraan Naruto yang semu. Naruto merogoh saku celananya dan meletakkan kunci itu di atas meja dengan keras.

.

.

.

Sasuke melepas napas lelah setelah Naruto pergi. Di luar hujan mulai turun dengan derasnya. "Apa dia akan baik-baik saja?" bisik Sasuke. "Ck, sudahlah untuk apa aku peduli?" katanya lagi. Sasuke pun segera bersiap untuk bekerja sore ini.

Lima belas menit kemudian, Sasuke turun. Ia bersiap membuka payung di genggamannya saat matanya menangkap sosok Naruto yang kini berjongkok di depan teras gedung. Hujan turun semakin deras, gadis itu menggigil. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri untuk mengusir dingin.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sasuke pelan. Sedikit luluh saat melihat tubuh Naruto menggigil kedinginan.

"Kamu buta? Aku tidak bisa kemana-mana karena hujan," dengus Naruto.

"Pakai jaket, Dobe. Hujan akan turun sepanjang waktu." Terang Sasuke.

"Aku tidak bawa jaket."

"Kamu benar-benar, Dobe!" ejek Sasuke.

Naruto berdiri menantang, air matanya turun saat menatap langsung bola mata oniks lawan bicaranya itu. "Ini musim panas, Teme. Aku tidak tahu jika di sini hujan turun selama satu bulan di musim panas."

Sasuke menghela napas dan mengacak rambutnya. Air mata Naruto meluluhkan pendiriannya. "Naiklah ke atas, tapi ingat jangan menyentuh barang-barangku!"

"Apa maksudmu?" Naruto mengerjapkan mata. Dengan cepat dia menghapus air matanya. Ia berharap jika pendengarannya tidak bermasalah saat ini.

"Kamu boleh tinggal di tempatku," jelas Sasuke. Naruto yang terlalu gembira langsung memeluk Sasuke erat. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih pada pemuda itu. Sasuke mengangguk dan melepaskan pelukan erat Naruto. "Ini kuncinya, jangan ijinkan orang asing masuk. Mengerti!"

"Ha'i," sahut Naruto gembira.

"Aku pulang jam sepuluh malam. Kamu boleh makan persediaan makananku, tapi jangan sentuh barang-barang pribadiku!"

"Aku mengerti, arigatou."

"Hn, aku pergi. Jaa..."

"Jaa... Hati-hati, Teme." Balas Naruto berteriak kencang sambil melambaikan tangan penuh semangat pada Sasuke yang kian menjauh pergi.

.

.

.

TBC

Glosarium :

1. Leotat : pakaian bahan lentur pas badan.

2. Barre : bar ballet untuk latihan dasar.

3. Plie : gerakan dasar ballet. Kedua tumit menempel, lutut ditekuk sedikit.

4. Audebra : satu kaki diangkat ke belakang.

5. Pointed shoe : sepatu ballet untuk kelas lebih tinggi. Ujung sepatunya keras hingga memungkinkan penari bisa berdiri di ujung jarinya/En Pointe.

Maaf, glosariumnya sederhana ^-^

Monggo direview :D

Jaa...