GRADUATION © Harada Seira
.
Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi
.
Cover Image © Eulalie Fujioka
.
Warning: Slight AkaKuro, Possibly OOC, missed typo(s), nyerempet sho-ai
.
Ga suka jangan baca, oke?
.
.
.
Uniform
Berbicara mengenai Midorima Shintarou, mungkin ia adalah salah satu dari sekian banyak spesies homo sapiens yang telah diperlakukan tak adil oleh hukum fisika. Daya tarik bumi telah mengakibatkan pipi tirusnya jatuh sehingga bibir atasnya membentuk garis cembung. Hal itu berhasil menyiarkan satu kesan mengenainya: judes.
.
.
"Midorimacchi judes karena perhatian pada kami-ssu." –Kise Ryouta, 18 tahun, korban kejudesan Midorima.
.
.
Bibir Aomine Daiki berkerut sebal. "Apa pedulimu padaku, sih? Memangnya kau ibuku?"
Bukannya Midorima peduli pada Aomine, apalagi berniat menggantikan posisi ibu laki-laki tan tidak tahu aturan itu. Midorima yang notabene siswa teladan dan taat aturan hanya risih melihat gaya berpakaian Aomine Daiki. Bayangkan, dari pagi tadi saat pelajaran pertama dimulai ia sudah melihat baju seragam sekolah Aomine yang dikeluarkan. Midorima sudah menasehatinya untuk memasukkan bajunya, tetapi Aomine Daiki tak sudi diperintah makhluk tsundere macam Midorima.
Sebenarnya Midorima tidak pernah mempermasalahkan ini sebelumnya, tetapi entah kenapa belakangan kacamatanya semakin buram saja melihat penampilan Aomine yang urakan. Sekali lagi, bukannya Midorima peduli, ia hanya tidak terima jika rabunnya bertambah parah.
Midorima Shintarou berusaha menjaga pandangannya selama pelajaran berlangsung dan waktu istirahat untuk tidak melihat Aomine yang urakan, tetapi ketika pelajaran selesai dan bel pulang berbunyi mau tak mau ia harus melihat penampilan yang urakan itu lagi. Ia pulang lebih dulu agar tidak melihat Aomine tidak mungkin. Akashi akan memarahinya jika ia berani melakukan itu. Mereka harus pergi dan pulang sekolah bersama setiap hari, itu adalah aturan yang baru disahkan oleh Yang Mulia Akashi Seijuurou segera setelah mereka memasuki tahun ketiga dan mutlak disetujui semua pengikut kesayangannya. Mereka maklum saja karena Akashi memang hobinya membuat aturan sendiri dan menginginkan orang lain mengikutinya.
"Penampilanmu membuat mataku risih, Ahomine!"
"Kalau begitu kau tidak perlu melihatku! Apa susahnya, sih?"
Saran yang seharusnya bisa Midorima terima dan memang akan Midorima lakukan jika seminggu yang lalu Akashi tidak membuat aturan baru.
"Aku dan Tetsuya berjalan paling depan. Lalu Daiki dan Ryouta. Lalu Shintarou dan Atsushi. Satsuki di sebelah Daiki. Tidak ada penolakan."
Satu-satunya alasan masuk akal mengapa Akashi membuat aturan itu adalah karena akan sangat berbahaya jika mereka berjalan enam orang bergandengan. Mereka akan dikenakan sanksi oleh polisi karena mengganggu lalu lintas. Atau mungkin Akashi sedang berusaha meminimalisir kemungkinan mereka akan bertengkar di jalan raya karena memperebutkan siapa yang akan berjalan di sebelah Kuroko Tetsuya. Di satu sisi sudah pasti ada Akashi, yang mereka ributkan tentu saja sisi satunya. Jadi, Akashi sebagai the born leader membuat aturan itu supaya mereka bisa sampai di rumah dengan selamat sentosa.
.
Sentosa apanya-ssu? Aku tahu Akashicchi hanya modus. Lalu kenapa aku malah di sebelah Aominecchi-ssu? batin Kise nelangsa.
.
"Kau hanya perlu memasukkan baju seragammu, Ahomine! Apa susahnya, sih?"
.
.
Midorima Shintarou, 18 tahun, pendekar kerapian.
.
.
Perdebatan dua orang berbeda warna kulit yang semakin sengit itu sukses menghentikan langkah ringan Akashi Seijuurou dan Kuroko Tetsuya yang tadinya malas ambil pusing perihal kericuhan di belakang mereka. Akashi hanya berbalik dan melipat tangannya di dada, menonton saja, malas menanggapi. Sementara Kuroko Tetsuya hanya ikut-ikutan Akashi berbalik dan memang sepenuhnya tidak peduli, ia masih sibuk dengan vanilla milk shake jumbo-nya yang entah kenapa tidak habis-habis. Mungkin pembuat vanilla milk shake telah menemukan teknologi terbaru seperti vanilla milk shake yang dapat membelah diri dengan pembelahan Amitosis atau semacamnya. Kemajuan teknologi memang mengerikan.
Murasakibara sudah menonton sejak perdebatan dimulai sembari menghabiskan keripik kentangnya. Kise dan Momoi menonton dengan antusiasme berlebihan seperti menonton big match tinju. Tidak ada yang berusaha melerai. Orang-orang yang kebetulan melihat mungkin akan mengira Aomine Daiki adalah korban rasisme.
"Apa kau tidak bisa berubah sedikit saja di tahun ketiga ini, nodayo? Hanya tinggal beberapa bulan lagi kau memakai seragam ini, nanodayo. Apa kau tidak bisa sekali saja mengenakannya dengan benar, nodayo?" Midorima Shintarou naik pitam.
Syaraf-syaraf di wajah Aomine Daiki melemas, pun yang lain—kecuali Midorima Shintarou, dahinya masih berkerut-kerut serius.
Menghela napas berat, kemudian berujar pelan, "Terserah kau saja, nodayo. Aku mau pulang."
Terus berkicau juga tak ada gunanya jika menghadapi Aomine Daiki yang buta aturan, jadi Midorima memilih pulang saja dan agak menyesali tindakannya tadi. Sudah seharusnya ia tak memedulikan Aomine. Tetapi, mau bagaimana lagi, Midorima risih sungguhan, terlebih hanya Aomine yang seragamnya dikeluarkan diantara mereka bertujuh. Sebenarnya Kise juga pernah, hanya saja ia telah lebih dulu dibukakan pintu hatinya setelah Midorima Shintarou dengan suka rela menyeramahinya. Sedangkan Aomine, sepertinya pintu hatinya susah terbuka. Mungkin ia lupa meletakkan kuncinya dimana.
Kise Ryouta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tak lupa menyipitkan matanya sebelum berujar, agar lebih terkesan dramatis dan mirip pemeran antagonis. "Midorimacchi benar, terserah Aominecchi saja-ssu. Aku juga mau pulang-ssu."
"D-Dai-chan … aku— aku harus menyusul Ki-chan."
Momoi sebenarnya tak tega meninggalkan Aomine. Tetapi kalau seperti ini situasinya jelas Aomine yang salah dan ia tak boleh membela yang salah, teman masa kecil yang merangkap tetangga sebelah rumah sekali pun. Dunia ini kejam, kawan.
Akashi masih dengan gaya khasnya—melipat tangan di dada—mulai berbalik dan meninggalkan Aomine, disusul Kuroko. "Ayo, Tetsuya."
Bahkan seorang pemimpin tak sudi membela yang salah.
"Aomine-kun telah menyakiti perasaan Midorima-kun. Kau harus meminta maaf pada Midorima-kun."
"T-Tetsu … Tetsu, tunggu!"
"Mine-chin … gomen, aku juga harus pulang."
Bahkan Murasakibara yang asupannya hanya snack-snack buatan pabrik tahu apa yang harus ia lakukan: tinggalkan Aomine sendiri.
"Hoi, hoi …" Aomine bergumam pelan.
.
"Mereka benar-benar meninggalkanku."
.
"Apa aku sudah keterlaluan?"
.
"Hanya karena tidak ingin memasukkan baju seragam … mereka … meninggalkanku?"
.
"Menatap punggung mereka yang semakin menjauh, mengapa aku malah teringat saat kami terpecah?"
.
"Tetsu … apa perasaan seperti ini yang kau rasakan saat itu?"
.
"Che. Midorima brengsek."
.
Aomine Daiki, pembawaannya memang pongah, tetapi kalau sudah berbicara mengenai siapa yang paling menganggap sakral kata teman maka ia adalah jawabannya.
Secepat kilat ia memasukkan baju seragamnya lalu merapikannya, kemudian berlari menyusul teman-temannya yang sudah berjalan jauh di depannya. Formasi mereka tidak berubah rupanya.
Orang-orang bilang, jarak dapat menipu pandangan, lantas mungkin saja apa yang Aomine Daiki lihat tadi hanya sebuah ilusi—bahwa teman-temannya semakin jauh meninggalkannya, semakin jauh sampai tak bisa ia jangkau.
Bukannya Aomine sok dramatis, tetapi semenjak insiden perpecahan mereka, ia sering kali dihantui rasa takut akan terjadi perpecahan yang sama. Ia sungguh tak akan rela jika perpecahan yang kedua kalinya dipicu oleh permasalahan sepele: ia yang tak mau menuruti nasehat klasik Midorima Shintarou yang sensitif. Di sisi lain ia tak bisa membayangkan tawa sekeras apa yang akan menyentuh gendang telinganya jika orang-orang bertanya apa yang membuat mereka terpecah dan ia terpaksa menjawab, "Itu karena aku tak mau memasukkan baju seragamku."
Oasis di tengah padang pasir. Rupanya Aomine Daiki pandai menciptakan skenario menggelikan.
Apa pun itu, yang jelas sekarang ia sadar diri bahwa ia bersalah dan ia harus meminta maaf pada Midorima agar imajinasi-imajinasi liar tadi hilang dari kepalanya.
Sejatinya Aomine Daiki bukan pribadi yang hobi mengumbar kata maaf. Mungkin ini adalah maaf pertama yang ia ucapkan setulus hati. Nah, lihat, sedalam itu makna seorang teman bagi Aomine Daiki.
Aomine berhenti tepat dua langkah di belakang Midorima. Menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, kemudian berujar agak kaku, "Midorima, maaf."
Mungkin hanya hal sepele. Iya, hal sepele. Hal sepele yang berhasil memicu petir imajiner yang menyambar-nyambar di atas kepala Midorima Shintarou. Apa telinganya masih berfungsi dengan baik?
Enam pasang kaki di hadapan Aomine berhenti serempak sebelum akhirnya memutar kepala kompak, seperti robot yang telah diprogram.
Seruput, seruput. Wajah putih susu yang selalu datar itu ternodai semburat merah karena menahan tawa.
Berdehem keren, kemudian mengalihkan pandangan ke sembarang arah, tak sudi image cool-nya cacat hanya karena pemandangan langka.
Tanpa tedeng aling-aling tawa Kise Ryouta pecah, disusul Momoi Satsuki.
Kraus, kraus. Pandangan mata Murasakibara bergerak lambat memerhatikan Aomine Daiki dari ujung kepala sampai kaki. "Aku jadi teringat saat TK," ujarnya polos dengan mulut berisi.
Midorima mati-matian menahan tawa. Jadi, yang ia lakukan sama saja seperti Akashi, berdehem keren kemudian membenarkan letak kacamatanya. "Ahomine."
"Kenapa kalian malah menertawaiku?"
Tawa Kise Ryouta semakin tak terkendali.
"Kise! Berhenti menertawaiku!"
"Tidak mau-ssu," ujarnya yang kemudian memicu kekesalan Aomine.
"Berhenti, Kise!" Aomine mencapit leher Kise sementara yang dicapit berusaha melepaskan diri, masih dengan tawa yang belum mereda.
"Aduh, Aominecchi, lepaskan aku-ssu." Kise masih tertawa. "Aominecchi jangan dekat-dekat aku-ssu. Nanti orang-orang mengira kau temanku-ssu." Pelupuk mata Kise mulai berair.
Masih mencapit leher Kise, Aomine beralih pada Midorima yang pipinya masih merona karena menahan tawa. "Midorima brengsek, tadi kau yang menyuruhku untuk rapi. Sekarang aku sudah begini kenapa kau malah menertawaiku?!"
Beralih pada Akashi. "Oi, Akashi, lakukan sesuatu pada anak ini, dia menertawaiku— Akashi brengsek, bahkan kau juga menertawaiku!"
"Tetsu, katakan sesuatu!"
"Aomine-kun tampan."
"Jangan mengatakan aku tampan dengan wajah seperti itu!"
"Satsuki— oi, Satsuki, sepertinya kau bahagia sekali sampai tawamu tidak ada suaranya. Kemari, kemari biar kucapit kau seperti Kise!"
Momoi Satsuki berusaha keras untuk bersuara. Pelupuk matanya sudah berair seperti orang menangis. "Dai-chan— Aomine-kun," Momoi tertawa, "sakit, tahu!" Momoi tertawa lagi, "lepaskan aku, Aomine-kun!" Momoi mulai kesulitan mengendalikan tawanya.
Midorima membenarkan letak kacamatanya. "Ahomine, aku hanya memintamu memasukkan baju seragammu, nodayo. Kau tidak perlu menaikkan celanamu dan mengancing bagian paling atas kemejamu, nodayo."
Rupanya seperti itu rapi yang ada dalam kepala Aomine.
Cara kerja otak manusia memang unik. Mungkin pikiran bawah sadarnya secara spontan berniat menghibur teman-temannya yang dahinya semakin sering saja berkerut, mungkin juga karena kapasitas pikirannya tak sanggup menjangkau maksud Midorima. Apa pun itu, Aomine berharap ada hujan meteor sekarang juga.
.
.
.
Anxious
Kise Ryouta menjadi manusia paling pertama di sana yang berteriak girang melihat kemunculan Akashi Seijuurou, sementara Akashi Seijuurou tak menganggap ia ada. Ironis, memang. Namun ia sudah kebal dan menganggap ini cobaan karena ia terlalu tampan.
Akashi melipat tangannya di dada, lalu menoleh pada Kuroko Tetsuya, "Sesuatu penting apa, Tetsuya?"
Mereka semua sudah hapal dengan tabiat arogan level high alter ego Akashi, maka mereka tak lagi kaget jika Akashi yang itu muncul tanpa peringatan (saat mereka menelepon Akashi tadi jelas sekali Akashi masih memanggil Kuroko Tetsuya dengan nama depannya).
"Bersenang-senang, Akashi-kun," jawab Kuroko datar sembari mendribble bola basket di tangannya.
"Benar, Akashicchi! Kita harus bersenang-senang di akhir pekan-ssu!"
Menghela napas berat, Akashi merebut bola dari Kuroko kemudian mendribblenya menuju ring. "Three-on-three," ujarnya dengan suara parau.
Jika Akashi mengatakan three-on-three, maka Midorima dan Murasakibara ada di timnya. Itu adalah peraturan tak tertulis yang telah mereka anut sejak mereka masih berada di klub basket SMP Teikou.
Akashi Seijuurou melewati Kise Ryouta dengan mudah, kemudian melewati Aomine Daiki. Ia agak memperlambat irama permainannya saat berhadapan dengan Kuroko Tetsuya. Heterokromia bertemu biru muda, Akashi terlihat berbeda.
"Akashi-kun?"
Mengabaikan gumaman Kuroko Tetsuya yang kebetulan tertangkap indera rungunya, ia melewati Kuroko sama mudahnya dengan melewati Kise dan Aomine.
Akashi melirik Midorima yang telah bersiap-siap menerima operan darinya, kemudian melirik Murasakibara yang telah siaga di bawah ring jika three point milik Midorima meleset.
Lama.
Seharusnya ia mengoper bola pada Midorima, lalu Midorima akan mengoper pada Murasakibara jika merasa three point-nya akan gagal. Selanjutnya Murasakibara akan bertarung di bawah ring dengan Aomine. Seharusnya seperti itu jika Akashi tidak merasa napasnya semakin terasa panas dan tidak beraturan.
Three point dari Akashi.
Dunianya berputar beberapa detik sebelum ia berbalik dan mengangkat tangan kanannya ke udara, "defense!"
Kise Ryouta berlari menuju Akashi, berniat menanyakan mengapa Akashi mengenakan jaket sementara udara minggu pagi menjelang siang ini terasa panas dan seperti membakar kulit mulusnya. Namun ia mengurungkan niatnya karena merasa Akashi yang ini jauh lebih dingin dari sebelumnya.
Kise beralih menghampiri Aomine karena ia berasumsi Aomine mengetahui sesuatu.
"Aominecchi," Kise berujar sepelan mungkin.
Aomine menatap Kise malas, "Apa?"
"Akashicchi semakin seram saja, ya, ssu?"
"Kau sedang mengajakku bergosip, ya?"
"Ini bukan gosip Aominecchi. Lihat, lihat, itu-ssu." Kise menunjuk Akashi yang tengah bersiap-siap melakukan three point lagi dengan dagunya.
"Akurasi Akashicchi mengerikan-ssu, lebih mengerikan dari Midorimacchi-ssu," komentar Kise lagi.
Aomine mengangguk-angguk setuju karena ia baru saja melihat sendiri three point kedua dari Akashi Seijuurou yang tinggi badannya tak jauh berbeda dari Kuroko Tetsuya.
Mungkin benar jika ada yang menyatakan bahwa tingkat kecerdasan berbanding lurus dengan tindakan (Aomine Daiki telah membuktikannya). Speaker berjalan macam Kise Ryouta saja paham ada yang berbeda dengan Akashi hari ini. Bukan, bukan karena aura mistisnya. Jika berbicara kemistisan Akashi, dari hembusan napasnya saja Akashi sudah memancarkan kekuatan mistis. Di luar kenyataan itu, memang ada yang berbeda dengan Akashi hari ini, hanya saja tidak terdeteksi oleh radar Aomine yang mungkin kehabisan baterai.
"Akashi, kau bermain terlalu serius. Ini bukan winter cup. Santai saja."
Akashi menatap Aomine, horor, kemudian berujar dengan suaranya yang agak parau, "Sesuatu seperti ini yang kalian sebut penting?"
Tak ada jawaban. Akashi mengeratkan pelukannya pada bola basket, menahan geram.
Sedetik kemudian bola basket itu memantul beberapa kali sebelum akhirnya menggelinding dan berhenti di hadapan Kuroko Tetsuya. Akashi memasukkan kedua tangannya pada saku kiri dan kanan jaketnya. "Jika iya, aku menyesal telah membuang-buang waktuku di sini."
Akashi memang menyesal, menyesal dalam arti sesungguhnya. Ia menyesal telah termakan bualan teman-temannya. Ia menyesal telah keluar dari interior mewah mansionnya menuju lapangan basket untuk sesuatu yang ia pikir benar-benar penting karena Kuroko Tetsuya yang mengatakan padanya.
Akashi berlalu pergi. Keadaan mendadak kacau.
Mungkin mereka terlalu naif mengatakan bahwa mereka telah terbiasa dengan kepribadian aneh Akashi karena telah menghadapinya bertahun-tahun.
Naif, karena nyatanya ini kali pertama Akashi mengatakan ia menyesal telah bermain basket bersama mereka. Keanehan lain dari Akashi Seijuurou yang di luar jangkauan nalar mereka. Mungkin mereka perlu mempelajari banyak hal tentang kepribadian dengan melihat Hamlet dalam festival Shakespeare karena terlalu banyak yang tersembunyi dalam pribadi kedua Akashi.
Aomine Daiki memang sesumbarnya minta ampun, itu sudah menjadi rahasia umum, sama halnya dengan mulut berisik Kise Ryouta, wajah triplek Kuroko Tetsuya, tsundere akut Midorima Shintarou, kebiasaan memakan snack Murasakibara Atsushi dan kesadisan Akashi Seijuurou. Maka seharusnya itu bukan alasan mengapa Akashi lebih memilih pulang sekarang.
Tak ada yang berani mencegah Akashi pergi sebelum akhirnya Kuroko Tetsuya memberanikan diri untuk berlari menyusul Akashi. Ia tahu ada yang tidak beres dengan mantan kaptennya itu.
"Akashi-kun!"
Langkah lambat itu terhenti; Kuroko mendadak cemas.
Akashi Seijuurou dengan segala keabsloutannya yang telah diakui seisi sekolah berbalik menghadap Kuroko, tatapan matanya yang dingin sukses membuat Kuroko bertanya-tanya kapan terakhir kali ia dihadiahi tatapan seperti itu oleh Akashi.
"Apa ada hal penting yang ingin kau katakan, Tetsuya?"
Kuroko hanya diam.
"Jika tidak ada aku akan pulang."
Kuroko Tetsuya yang notabene adalah perencana fait accompli tingkat mahir pun bisa merasa kesulitan juga jika yang dihadapinya adalah Akashi kedua yang—kadang-kadang—labilnya melebihi remaja tingkat awal.
"Ada apa denganmu? Biasanya kau selalu bersemangat jika kami mengajakmu bermain basket."
Akashi Seijuurou maju selangkah; Kuroko Tetsuya mundur selangkah. "Bermain basket, katamu?"
"Eh?"
Dunia Kuroko Tetsuya gonjang-ganjing detik itu pula.
"Haruskah kuputar rekaman percakapan kita di telepon tadi?"
Iya, rekaman percakapan. Akashi selalu melakukan hal itu dengan alasan setiap tindakan memerlukan bukti akurat. Rekaman percakapan saat Kuroko—dipaksa—menelepon Akashi tadi tentu akan menjadi bukti akurat apakah benar mereka meminta Akashi datang untuk bermain basket.
Jawabannya adalah tidak. Aomine Daiki dan Kise Ryouta yang telah kehabisan akal karena Akashi terus menolak ajakan mereka akhirnya membuat semacam rencana yang selanjutnya disetujui oleh Midorima Shintarou dan Murasakibara Atsushi secara tidak sukarela. Rencananya sederhana saja; Akashi Seijuurou selalu memercayai Kuroko Tetsuya dan sejauh mereka berpikir waras, semenjak memasuki SMA tidak pernah sekali pun Akashi memperlakukan Kuroko Tetsuya dengan buruk, semisal memarahi atau membentak yang sudah menjadi hal biasa bagi Aomine dan Kise. Jadi begini, mereka—Aomine dan Kise—memohon dengan amat sangat agar Kuroko mau menelepon Akashi lalu mengatakan pada Akashi bahwa ada sesuatu yang penting agar Akashi datang, lalu mereka bisa bermain basket bersama Akashi. Akashi percaya saja karena sejauh estimasinya Kuroko adalah anak baik dan tidak pernah membohonginya. Namun, siapa sangka anak baik itu telah bersekongkol dengan dua rekan aktif dan dua rekan pasifnya. Akashi Seijuurou yang orang-orang bilang jelmaan iblis sebenarnya juga manusia yang bisa kapan saja terluka karena kepercayaannya ditelantarkan begitu saja, terlebih oleh Kuroko Tetsuya yang notabene selalu ia percaya.
"Aku kecewa padamu, Tetsuya."
Empat kata yang telah berhasil membuat dunia Kuroko Tetsuya mengalami turbulensi.
"Akashi-kun, tunggu! Aku bisa menjelaskan ini!"
Ini adalah kali pertama Akashi Seijuurou mengabaikan Kuroko Tetsuya, ia pun merasa berdosa karena biasanya bisikan kecil dari Kuroko Tetsuya saja ia dengarkan, apalagi teriakan. Namun, sekarang, kan, situasinya berbeda. Anggap saja sedang ada perang dingin antara Akashi Seijuurou dan Kuroko Tetsuya yang dipicu oleh dua makhluk berbeda warna kulit yang sekarang malah sibuk menonton adegan telenovela di antara mereka tanpa memberi sedikit pun dukungan moril yang sekiranya berguna.
Kise Ryouta menghampiri Kuroko Tetsuya ketika Akashi Seijuurou telah menghilang di balik pintu mobil mewah yang ternyata masih menunggunya dan berlalu pergi. Pria bersurai kuning cerah dengan senyum yang cerah dan masa depan yang juga sudah cerah itu menepuk pundak sahabat biru mudanya yang sedang mendung, seolah mengerti gundah yang tengah berkecamuk di dalam kepalanya, kemudian berujar, "Tak apa, Kurokocchi. Akashicchi tidak akan tahan berlama-lama marah dengan Kurokocchi."
Kemudian si kulit tan yang entah ada gerangan apa sepertinya menyadari ini juga kesalahannya berujar, "Maaf, Tetsu. Tapi aku juga yakin Akashi tidak mungkin berlama-lama marah padamu."
"Ini semua tentu saja karena kalian berdua, Kise, Ahomine. Kalau tidak karena hasutan kalian Akashi tidak mungkin marah."
"Jadi kau menyalahkanku, Midorima brengsek?!"
Oh, ralat pernyataan bahwa Aomine menyadari kesalahannya tadi. Sepertinya itu keliru.
"Tentu saja itu salahmu, Ahomine! Dan juga kau, Kise!"
"Aku tahu-ssu! Tapi ini juga karena persetujuan Midorimacchi, kan? Jadi, Midorimacchi juga bersalah-ssu!"
"Kise benar."
"Kenapa kalian jadi menyalahkanku?!"
"Nee … kalau Kurochin mau Akachin tidak marah lagi pada Kurochin, Kurochin hanya perlu mencium Akachin saja. Akachin, kan, menyukai Kurochin."
"Eh?"
Murasakibara Atsushi mengatakannya dengan ringan, seolah mengatakan ingin membeli maibou rasa jagung bakar kesukaannya, sementara Aomine, Kise, dan Midorima macam disambar petir.
"Tidak boleh!/Tidak boleh, nanodayo!/Tidak boleh-ssu!"
.
.
.
Kepala biru muda menyembul dari pintu kamar yang sedikit terbuka, Akashi Seijuurou tersedak liurnya sendiri.
"Tetsuya?"
Berkedip sekali, kemudian si surai baby blue bertanya dengan sorot mata yang lucu, "Boleh aku masuk?"
"Tidak."
Berkedip lagi, "Tetapi aku ingin masuk."
Kali ini Akashi Seijuurou yang berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk, tetapi tidak menyahut.
Lantas Kuroko Tetsuya masuk ke dalam kamar mewah Akashi Seijuurou setelah menutup kembali pintunya. Wajahnya datar, seperti biasa.
Sepuluh detik kurang lebih si surai baby blue telah berdiri di sebelah kasur king size Tuan Muda Akashi Seijuurou, detik itu pula Akashi Seijuurou menyembunyikan dirinya di balik selimut tebal, membuat Kuroko Tetsuya kembali berkedip-kedip bingung.
"Akashi-kun …"
Tidak ada tanda-tanda Akashi akan menyahut, lantas Kuroko Tetsuya mengulangi panggilannya dengan intonasi yang sama, "Akashi-kun …"
Tidak juga ada jawaban, Kuroko Tetsuya mulai dirundung cemas. Ia mencondongkan tubuh lebih dekat, menarik selimut tebal yang menutupi tubuh mantan kaptennya itu. Heterokromia bertemu biru muda.
"Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Lalu mengapa tidak membalas SMS-ku?"
"Tidak ingat."
"E-mail-ku?"
"Tidak ingat."
"Teleponku?"
"Tidak dengar."
Akashi Seijuurou, kali ini cara bicaranya singkat-singkat, seperti orang mengirim telegram, dan itu semakin membuat Kuroko Tetsuya ketar-ketir. Ia melihat kasus ini sebagai titik rawan yang serius. Atas dasar itu pula ia bersumpah tak akan mencari masalah lagi dengan Akashi—yang manapun itu.
Kuroko Tetsuya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Begitu."
Hening. Ia merasa tengah terjebak dalam situasi yang sangat pelik, lalu mengalami semacam turbulensi. Akhirnya, setelah perkara itu ditelentang-telungkupkan dalam kepalanya, diambillah sebuah keputusan, bahwa ia harus meminta maaf. Iya, meminta maaf. Setinggi apapun harga diri seorang Kuroko Tetsuya, ia tak pernah merasa rendah karena meminta maaf atas kesalahannya. Ia mengakui, peristiwa kemarin adalah kesalahannya meskipun jelas-jelas Aomine dan Kise jauh lebih bersalah. Kebenaran tidak dapat dikilah-kilahkan, pun kesalahan.
"Maaf."
Benar Kuroko Tetsuya merasa bersalah, namun karena ia adalah penganut paham kuudere dan tak pernah mengikuti kursus basa-basi, hanya satu kata itu yang bisa ia jadikan indikator rasa bersalah dan menyesalnya.
Dalam jeda percakapan, Akashi Seijuurou mencoba mendudukkan dirinya. Ekspresinya tak banyak berubah setelah mendengar—permohonan—maaf dari Kuroko Tetsuya.
"Kemari, Tetsuya," ujarnya dengan suara yang masih parau sembari mengisyaratkan agar Kuroko duduk di tepi tempat tidurnya. Berhubung Kuroko adalah anak penurut, jadi ia menurut saja.
"Kau tahu, Tetsuya, aku tak pernah menyukai kebohongan, apapun alasannya."
Kuroko Tetsuya mengangguk. Ia tahu dan ia menyesal telah berbohong dengan seorang Akashi Seijuurou yang instingnya nyaris sama dengan insting seorang ibu.
"Artinya apa?"
Selain penurut, Kuroko Tetsuya juga pintar, jadi ia mengangguk karena ia mengetahui jawaban dari pertanyaan Akashi. "Artinya aku bersalah."
"Dan yang bersalah?"
"Harus mendapatkan hukuman."
Sekali lagi, Kuroko Tetsuya adalah anak pintar, dan juga taat aturan.
Lantas Akashi Seijuurou mengisyaratkan agar Kuroko Tetsuya mendekat, lalu ia lebih mencondongkan tubuhnya. Senyum tengiknya tersungging-sungging.
Sementara Kuroko Tetsuya baru menyadari apa yang ingin dilakukan Akashi sedetik setelah Akashi memiringkan kepala merahnya. Ia tahu ia harus bergerak mundur, menghindar, atau apapun itu. Namun, setiap tarikan napasnya, setiap denyut pembuluh darahnya, menolak melakukan itu.
Sepasang pupil biru muda itu melebar saat si kepala merah semakin mengeleminasi jarak di antara mereka, kemudian terdengar hembusan napas lega sedetik setelah Akashi Seijuurou berujar 'bercanda' dengan ekspresi wajah yang tidak mendukung.
Selanjutnya Akashi Seijuurou menggerakkan tangannya untuk mengusap lembut surai biru muda itu, "Permintaan maaf diterima."
.
.
.
"Kurokocchi ke mana, sih, ssu? Cepat sekali menghilangnya-ssu. Padahal, kan, seharusnya kita bersama-sama menjenguk Akashicchi-ssu."
Berkicaulah Kise Ryouta macam burung Murai dicabuti bulunya.
"Berisik, Kise."
"Aku, kan, hanya bertanya-ssu."
"Tapi kau itu berisik, Kise. Bahkan saat kau hanya bertanya."
"Aominecchi hidoi-ssu!"
Aomine Daiki dan Kise Ryouta memang seharusnya dipisahkan dalam radius empat kilo meter agar tidak mengganggu ketentraman.
"Mungkin Tetsu-kun sudah lebih dulu ke sini," ujar Momoi yang selanjutnya diaminkan oleh Midorima sebagai yang paling waras di antara mereka.
"Kuro-chin ingin meminta maaf pada Aka-chin. Kise-chin dan Mine-chin juga Mido-chin seharusnya meminta maaf juga pada Aka-chin," Murasakibara berujar seolah ia yang paling benar, padahal ia juga ada di lokasi kejadian yang artinya ia juga bersalah dan harus meminta maaf juga.
Dahi Midorima berkerut-kerut mendengar penjelasan tidak akurat Murasakibara Atsushi. "Aku tidak melakukan apa-apa, nanodayo!"
"Tetapi Mido-chin juga ada di sana saat Aka-chin datang."
"Tetapi aku tidak ikut campur, nodayo!"
"Tetapi Mido-chin ada di sana. Itu artinya Mido-chin juga bersalah."
"Kau juga ada di sana!" ujar Midorima, Aomine, dan Kise kompak. Momoi berkedip-kedip takjub.
Murasakibara dengan ekspresi malasnya tersenyum-senyum malu. Ia lupa ia juga ada di sana.
Anak tangga terakhir, Midorima yang berperan sebagai pemimpin kali ini mengisyaratkan anak buahnya untuk diam karena mereka sudah dekat dengan kamar tidur Akashi. Mereka tak butuh panduan maid untuk mencari kamar Akashi karena mereka sudah hapal setiap belokan dalam mansion keluarga Akashi yang telah mereka anggap rumah kedua mereka meskipun tanpa restu si pemilik rumah.
Atas dasar telah menganggap rumah Akashi adalah rumah kedua mereka, Aomine langsung membuka pintu kamar Akashi tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Entah karena terlalu bersemangat atau karena terlalu merindukan Akashi Seijuurou, pintu itu mengayun di engselnya dan terbanting ke dinding di belakangnya. Aomine membukanya dengan energi berlebihan, bahkan ia sebagai pelaku yang membuka pintu itu juga merasa kaget.
Apa yang pertama kali menyapa indera penglihatan mereka selanjutnya jauh lebih mengagetkan dan terukir dalam benak mereka seperti adegan slow motion. Demi maibou rasa jagung bakar, jarak antara si kepala merah darah dan si kepala biru langit terlalu dekat.
Mereka terjebak dalam situasi pelik yang hanya bisa diselesaikan dengan pemungutan suara.
"Oh, kalian sudah datang?"
Suaranya rendah dan jernih tetapi tetap membuat lima jenius warna-warni yang mematung di depan pintu kamarnya merinding ngeri, terlebih ini adalah alter ego Akashi.
Midorima Shintarou mengembuskan napas berat yang selanjutnya diartikan oleh Akashi Seijuurou bahwa mantan wakil kaptennya itu ingin menyuarakan pendapat.
"Ingin mengatakan sesuatu, Shintarou?" ujar Akashi Seijuurou dengan ekspresi wajah yang mengisyaratkan kekuasaan seumur hidup, sementara Kuroko Tetsuya hanya menatap teman-temannya polos seperti tidak terjadi apa-apa. Sesungguhnya memang tidak terjadi apa-apa.
"K-kenapa … kau terlalu dekat dengan Kuroko, nanodayo?! Kau bisa menularkan flumu padanya!" ujar Midorima dengan ekspresi wajah yang berkerut-kerut serius, kemudian secepat ucapannya barusan ia menambahkan, "B-bukannya aku peduli atau apa, nodayo! Kalau Kuroko tertular, kami juga bisa tertular, nodayo!"
Ternyata Midorima masih menjadi penganut paham tsundere, padahal jelas-jelas ia mengkhawatirkan Kuroko Tetsuya.
"Aku sudah memerintahkan flu yang menyerangku agar tidak menyerang Tetsuya."
"A-apa?"
Skak mat. Midorima Shintarou kehabisan kata-kata.
"Selanjutnya Daiki. Apa yang ingin kau katakan? Kalau tidak ada, kau boleh pulang sekarang."
"Tentu saja ada! Aku tidak terima kau … kau … Tetsu … pokoknya aku tidak terima!"
"Tidak terima mengenai?"
"Kau … Tetsu …"
"Apa?"
Aomine dengan mudah telah dikalahkan oleh Akashi Seijuurou. Selanjutnya tentu saja Kise Ryouta yang juga tidak terima dengan apa yang baru saja menyapa sepasang mata sucinya.
"Ryouta?"
"Akashicchi hidoi-ssu! Kurokocchi … kenapa kau tega menodai kepolosan Kurokocchi-ssu?!" ujar Kise Ryouta dengan emosi meluap-luap sampai ingin menangis. "Kenapa-ssu?"
"Apa yang kau bicarakan, Kise-kun?"
Kali ini Kuroko Tetsuya yang buka mulut karena telinganya sudah panas mendengar ucapan-ucapan absurd teman-temannya.
"Akashi-kun tidak melakukan apa-apa padaku. Memangnya kalian pikir apa yang kami lakukan?"
"Tetsuya benar."
Kise Ryouta benar-benar ingin menangis karena ternyata Kuroko lebih membela Akashi, tentu saja.
"Kalian, kecuali Satsuki, juga harus dihukum," sambung Akashi.
Kise Ryouta benar-benar menangis. Sementara Aomine Daiki yang mengidolakan Mahatma Gandhi dan menjadikan Nelson Mandela sebagai sumber inspirasi, maju ke depan sebagai pembela kawan. Diktator macam alter ego Akashi harus dibuat bungkam oleh keadilan. Keadilan harus ditegakkan meskipun nyawa Kise Ryouta dijadikan taruhan.
"Hukuman apa yang kau maksud, Akashi? Memangnya salah jika kami mengajakmu menghabiskan akhir pekan bersama? Bukannya kita teman? Bukannya alasan kau membuat aturan ini-itu karena kita adalah teman? Kau menolak ajakanku dan Kise tanpa alasan. Kau datang ketika Tetsu yang memintamu. Lalu kau pergi begitu saja dengan alasan kami telah membohongimu. Kau tidak mengatakan pada kami bahwa kau sakit, Akashi. Kau pikir kami akan tetap memaksamu untuk bermain basket bersama kami jika kau sakit? Tentu saja tidak. Kau bahkan tidak mengatakan pada kami bahwa hari ini kau tidak bisa masuk sekolah. Kau tidak membalas SMS dan e-mail dari Tetsu, kau juga tidak menjawab telepon dari Tetsu. Kalau kami tidak menanyakan pada wali kelas mengapa kau tidak masuk mungkin kami juga tidak akan tahu kalau kau sakit. Kau tidak tahu bagaimana Tetsu mengkhawatirkanmu? Kau juga tidak tahu kami sangat mengkhawatirkanmu? Kau membuatku bingung, Akashi. Hanya perasaanku saja atau memang hanya kami yang menganggapmu teman sementara kau tidak?"
Aomine Daiki, pembawaannya memang pongah dan sesumbarnya minta ampun, tetapi jika ditanya siapa yang paling menganggap sakral kata teman maka ia adalah jawabannya.
"Aominecchi?"
Kise Ryouta dengan mata berkaca-kaca menatap kagum Aomine Daiki yang dengan sempurna menyampaikan apa yang selama ini sebenarnya ingin mereka tanyakan pada alter ego Akashi. Pun Momoi Satsuki, ia terkagum-kagum menatap Aomine Daiki meskipun masih shock dengan apa yang pertama kali menyapa indera penglihatannya tadi meskipun Kuroko Tetsuya telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada apa-apa.
Kelabu dan samar, Midorima Shintarou menangkap ekspresi kaget pada wajah yang sarat akan arogansi itu, hanya beberapa detik sebelum ekspresinya kembali seperti semula.
"Apa gunanya mempertanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?"
"Akashi-kun?"
Kalimat selanjutnya yang Akashi ucapkan telah berhasil membuat Kise Ryouta kehilangan kendalinya.
"Kalian temanku, tentu saja."
Manik haterokromia itu bicara lebih lantang dari mulutnya. Ia sungguh-sungguh, tanpa manipulasi kali ini.
Kise Ryouta berlari memeluk Akashi Seijuurou. Selanjutnya terdengar sumpah serapah yang tentu saja berasal dari si tuan rumah.
"Aku menyayangi Akashicchi-ssu!"
To be continued
.
.
.
A/N:
Pertama dari yang paling utama (?), saya mau mengkonfirmasi bahwasannya saya yang dulunya bernama Harada Kiyoshi telah berganti nama menjadi Harada Seira karena saya lelah dengan nama panggilan macho. Dilihat dari sudut manapun saya ini wanita tulen, jadi saya menginginkan nama yang feminine, alhasil saya berganti nama menjadi Harada Seira (omong-omong Seira di sini bukan Akashi versi perempuan, ya). Salam kenal! (?)
Selanjutnya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena selama beberapa bulan ini saya menghilang. Saya benar-benar mohon maaf. Mungkin sudah pada tahu kalau saya baru saja memulai hidup baru sebagai mahasiswi yang mengejar IP cumlaude. Jadi, saya mohon pengertiannya, saya sedang berusaha menyeimbangkan waktu untuk perkuliahan dan menulis. Bagaimanapun menjadi mahasiswi itu lebih sulit dibanding dengan menjadi siswi SMA, saya sudah merasakannya.
Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk pembaca yang masih bersedia menunggu kelanjutan fic saya yang tak seberapa ini. Terimakasih banyak! Dan untuk monyan (S Lucia) yang masih sudi ngebetain fic yang tak seberapa ini, nee-sama(?) mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Untuk para pembaca yang sudah menyempatkan mereview tulisan ini, saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Dan untuk para pembaca (lagi), sekali lagi saya mohon maaf atas update yang sangat lama ini, dan saya juga mohon maaf kalau chapter ketiga ini jelek. Bagaimanapun kritik dan saran sangat saya butuhkan, jadi mohon review-nya :')))
