Disclaimer: Punya Masashi Kishimoto, saya hanya pinjam nama karakter saja.
BAB 1
Perjodohan
Sakura memerhatikannya lagi seperti biasa. Dan seperti biasa juga secara diam-diam. Memerhatikan cowok yang sedang berkutat dengan buku Fisika di mejanya, terlihat begitu serius hingga tak menghiraukan keributan di sekitarnya. Sesekali cowok itu mencoret-coret sesuatu di buku catatannya, mungkin menulis sebuah rumus. Hari ini memang ada ulangan Fisika pada jam sehabis istirahat nanti. Namun tampaknya hanya beberapa orang yang peduli dengan nilai mereka, termasuk cowok yang kini sedang diperhatikannya. Bukannya Sakura tak peduli, hanya saja ia sudah menyerah dengan rumus-rumus yang luar biasa rumit itu. Ia sudah belajar semampunya semalam. Kata guru-guru pun, otak itu jangan terlalu dipaksakan untuk berpikir jika memang sudah tidak sanggup, maka Sakura menutup bukunya dan kembali memerhatikan cowok itu seperti biasa.
Cowok itu bernama Uchiha Sasuke. Teman sekelas yang sudah disukai Sakura sejak mereka menjalani Ospek di sekolah baru mereka. Sakura sendiri tak mengerti mengapa ia menyukainya. Sasuke memang cakep dan pintar, tapi Sakura rasa bukan karena hal itu. Sakura hanya menyukainya karena dia adalah Sasuke. Namun ia tak pernah berpikir untuk menyatakan cintanya pada Sasuke. Sakura merasa lebih senang jika seperti ini, tak ada yang tahu tentang perasaannya, bahkan ketiga sahabatnya pun tak ada yang tahu. Selain itu, Sakura juga hanya seorang gadis biasa. Tidak terlalu cantik, tidak terlalu pintar, dan tidak populer. Sedangkan cewek-cewek yang naksir Sasuke itu kebanyakan anak-anak populer, ia merasa minder. Lagipula setahu Sakura, Sasuke hanya menyukai satu cewek, yaitu Karin sejak mereka SMP.
Mereka jarang berinteraksi satu sama lain jika di sekolah sehingga terlihat seperti tak saling kenal. Namun mereka sering mengirim pesan satu sama lain melalui SMS atau media sosial. Terkadang Sakura yang mengirim pesan padanya lebih dulu, kadang sebaliknya. Sakura juga sering bertanya padanya soal pelajaran, terutama Fisika, Matematika, dan Kimia karena Sasuke memang ahli dalam pelajaran itu. Sakura selalu bersemangat jika ada pesan masuk dari Sasuke, selalu berusaha untuk membalasnya dengan cepat. Sakura cukup senang hanya dengan interaksi seperti itu, meskipun mungkin Sasuke juga punya teman-teman cewek lain yang tak Sakura ketahui. Biarlah, cukup dekat dengannya pun aku senang, pikirnya sering kali.
Suasana kelas seketika hening ketika Yamato Sensei melewati ambang pintu. Sakura bisa merasakan ketegangan menyelimuti mereka, menunggu Yamato Sensei bersuara. Sakura nyaris bisa mendengar detak jantungnya sendiri saking tegangnya menjalani ulangan. Tenten di sampingnya sudah berkeringat meski cuaca dingin di awal bulan Desember. Sakura melirik Sasuke sebentar, cowok itu terlihat sangat tenang sambil membereskan buku-bukunya dan menyiapkan kertas untuk jawaban, lalu memainkan pulpen di tangannya sambil menunggu.
"Siapkan kertas dua lembar," kata Yamato Sensei. "Simpan buku catatan, buku cetak, ataupun segala contekan yang sudah kalian siapkan ke dalam tas. Saya ingin kalian mengisinya dengan jujur."
Sakura segera mengeluarkan kertas yang sudah disiapkannya dari laci mejanya. Pulpen dan pensil sudah siap, buku-bukunya semua dimasukkan ke dalam tas. Sakura cukup siap, namun ia tak yakin hasilnya akan memuaskan karena dia sangat lemah dalam pelajaran hitung-hitungan. Ia lebih suka pelajaran Biologi yang menjadi alasannya masuk program Sains.
Ulangan berlangsung hening selama setengah jam. Dengan suara gesekan kertas dibalik dan pulpen yang beradu dengan kertas menjadi musik yang mengalun, sesekali suara batuk-batuk dan helaan napas terdengar. Sakura baru saja menyelesaikan soal yang ke tiga. Ternyata sangat sulit, Sakura harus memutar otak, mengingat-ingat rumus-rumus dan contoh soal yang dikerjakannya semalam. Materi tentang Fluida belum ia pahami betul-betul.
Ia melirik Tenten yang kini sedang menjambak rambutnya sendiri saking frustrasinya. Sasuke di barisan depan memijit pelipisnya sendiri, wajahnya begitu serius yang menurut Sakura membuatnya semakin tampan. Beberapa anak mengusap-usap dahi mereka yang berkeringat dengan gusar. Sakura yakin dalam hati mereka memaki-maki Yamato Sensei yang tega memberi mereka soal sesulit ini.
Setelah satu jam berlalu, Sakura menghela napas lega karena ia telah selesai mengerjakan semua soal itu. Tenten sesekali memberi kode untuk meminta jawaban dari Sakura, namun setiap kali Tenten melakukan itu, Yamato Sensei langsung menegurnya secara tidak langsung yang seketika membuat Tenten ciut.
"Kerjakan soal sendiri-sendiri!"
Tak lama kemudian..
"Waktu habis!" kata Yamato Sensei. "Jangan ada yang menulis lagi dan kumpulkan sekarang!"
Akhirnya setelah satu setengah jam yang mengerikan, Sakura meletakkan kepalanya di atas meja. Merasa lemas setelah melewati satu setengah jam yang melelahkan. Tenten sama lemasnya hingga tak sanggup membuka matanya. Sakura melirik ke meja depan tempat Sasuke duduk. Ia sedang mendengarkan musik dengan earphone di telinganya.
"Tuh kan, kamu ngeliatin dia lagi," kata Tenten tiba-tiba yang membuat Sakura terlonjak.
"Hah? A-apa? Ngeliatin siapa?" kata Sakura agak gagap. "Aku nggak ngeliatin siapa-siapa."
"Bohong. Emang aku nggak tahu apa," kata Tenten. "Kamu suka sama Sasuke, kan? Ngaku deh,"
"Ssstt, jangan keras-keras!" bisik Sakura sambil melotot. Sudah tiada guna lagi berbohong. "Yeah, emangnya kenapa?"
"Nggak kenapa-napa sih. Cuma, kenapa kamu bohong sama kita?" kata Tenten. "Kita udah lama curiga sama kamu. Apalagi Ino, dia udah greget banget pengen nanya ke kamu, tapi kita larang."
"Maaf," kata Sakura. "Aku cuma mikir kalo hal ini nggak penting buat diomongin, toh nggak bakal bikin Sasuke balik suka sama aku, kan? Jadi, nggak usah dibesar-besarin lah."
Belum sempat Sakura berkedip, Tenten segera menepuk kepalanya dengan kertas, "Dasar, emang kamu pikir kita nggak mau bantuin kamu apa? Kita ini sahabat, harus saling bantu."
"Eh, jangan! Nggak usah!" kata Sakura segera sebelum kekacauan terjadi. Bukannya apa-apa, Sakura hanya tak mau hubungannya dengan Sasuke merenggang jika dia mengetahui tentang ini.
"Kenapa? Kamu udah bantuin Ino jadian sama Sai, terus gara-gara ide brilian kamu juga aku baikan lagi sama Neji. Jadi, kenapa kita harus mikir-mikir lagi buat bantuin kamu?" kata Tenten.
"Eh, beneran, nggak usah! Nggak apa-apa kok!" kata Sakura meyakinkan. "Aku lebih seneng kayak gini kok. Beneran deh!"
"Ya udah, terserah kamu deh. Kita nggak bisa maksa," kata Tenten. Sakura mengehela napas lega.
"Eh, beneran, kan, guru killer itu nggak masuk? (Sakura mengangguk) Bagus! Ayo, kita ke kantin!" kata Tenten lagi sambil menarik Sakura keluar kelas.
Guru killer yang Tenten maksud adalah Tsunade Sensei. Beliau merupakan guru Kimia sekaligus Ibunya Ino. Bukan tanpa alasan Tenten dan sebagian anak-anak memanggilnya guru killer, karena beliau memang sangat galak, apalagi jika ada yang tidak mengerjakan PR atau ada yang mengobrol saat pelajarannya. Sakura sering menegur Tenten jika dia memanggil Tsunade Sensei 'guru killer' karena tak sopan. Namun hari ini Sakura terlalu malas untuk menegurnya.
Hinata dan Ino menyambut mereka ketika mereka sampai kantin. Keadaan kantin tak sepi, tapi juga tak ramai. Apa guru-guru sedang bolos masal? Atau mereka yang sengaja membolos dari pelajaran? Entahlah.
"Hai!" kata Hinata. "Nggak ada guru nih?"
Tenten mengangguk, "Tsunade Oba-san kayaknya pingsan deh ngeliat nilai-nilai kita yang parah. Makanya dia nggak masuk hari ini," katanya. Mereka semua tertawa.
"Iya, bener. Tapi nggak pingsan juga sih, cuma geleng-geleng sambil mijit pelipisnya doang," kata Ino. "Oh ya, aku sempet diem-diem ngeliat nilai kalian."
"Berapa nilai gue?" kata Tenten penasaran. Tak biasanya ia antusias seperti ini, tapi ulangan Kimia minggu lalu, Tenten memang merasa lebih percaya diri berkat les privatnya dengan salah satu senior mereka yang jenius bernama Nara Shikamaru.
"Delapan lima. Kamu juga sama, Sakura-chan," kata Ino.
"Yes!" seru Tenten kegirangan sambil ber-high five dengan Sakura. Sakura senang karena hasil belajarnya tak sia-sia. Ia juga senang Tenten mengalami peningkatan.
"Oh ya, di kelas kalian juga ada yang dapet nilai seratus!" kata Ino. "Di kelas lain malah nggak ada."
"Siapa?" kata Sakura.
"Pasti Uchiha Sasuke," kata Tenten yang langsung disetujui Ino. "Tuh kan. Dia emang pinter banget sih. Pantes aja Sakura-chan suka."
Sakura langsung melotot mendengar kalimat terakhir itu. Tenten hanya menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum menggoda.
"Hah? Beneran? (Tenten mengangguk semangat) Tuh kan, prediksi aku bener," kata Hinata menggebu-gebu.
"Ssstt, jangan keras-keras, Hinata-chan!" kata Sakura.
"Emang kenapa sih kalo orang-orang tahu?" kata Hinata. "Kan biar dia sadar kalo kamu suka sama dia."
"Nggak kenapa-napa kok," kata Sakura. "Aku nggak mau kita jadi canggung gara-gara ini. Jadi, biarin aja nggak ada yang tahu."
"Iya, dia juga ngotot nggak mau kita bantuin," kata Tenten sambil mendengus.
"Hehe, udahlah, nggak apa-apa lagi. Kalian aja udah cukup kok. Nggak perlu ada pacar," kata Sakura tersenyum semanis mungkin.
"Sakura-chan, aku sayang kamu!" seru Ino dan Hinata sambil memeluk Sakura.
Sakura tak tahu apakah kata-kata itu tulus dari hatinya atau ia hanya mencoba untuk kuat. Karena kalau dipikir-pikir mana ada orang yang tak mau berpacaran dengan orang yang disukainya? Namun Sakura berpikir lagi bahwa cinta itu tak harus memiliki. Melihat orang yang kita cintai bahagia pun seharusnya sudah cukup. Apalagi sahabat-sahabatnya selalu ada untuknya, Sakura merasa tak membutuhkan apaa-apa lagi.
"Temari-nee mana?" tanya Sakura.
"Di kelas lah. Hari ini tiga jam Bahasa Inggris, tahu," kata Hinata. "Biasa, namanya juga anak kelas tiga. Sibuk banget."
"Kayaknya nanti juga dia gak bisa pulang bareng kita deh," kata Ino. "Dia ada les matematika."
Sakura menghela napas lesu. Intensitas pertemuan mereka dengan Temari semakin berkurang. Kesibukkan belajar menyita waktu mereka bertemu. Jadi, akhir-akhir ini mereka sering jalan bareng tanpa Temari.
Sakura mempunyai empat orang sahabat; Tenten, Ino, Hinata, dan Temari. Mereka bersahabat sejak SMP. Awalnya Sakura hanya bersahabat dengan Ino karena rumah mereka berdekatan dan mereka juga satu SD. Ketika masuk SMP, mereka bertemu Tenten, Hinata, dan Temari melalui kegiatan ekstrakurikuler mereka. Mereka saling cocok satu sama lain sehingga memutuskan untuk menjalin persahabatan yang erat hingga saat ini. Sakura, Ino, Hinata dan Tenten saat ini kelas dua SMA, dan Temari kelas tiga. Sakura sangat menyayangi mereka, begitupun sebaliknya. Sakura selalu berharap mereka terus bersama-sama hingga tua nanti.
Sakura bersama teman-temannya menunggu Sai yang sedang mengambil mobilnya di termpat parkir. Hari ini Ino berencana kencan dengan Sai sehingga Ino memintanya mengantar teman-temannya sekalian. Sakura yang sedang memainkan handphone-nya tersentak ketika mendengar suara klakson. Sakura mendapati Sasuke menyapanya dengan senyuman yang paling Sakura sukai.
"Duluan, ya!" kata Sasuke dengan senyuman dan lambaian tangannya. Walaupun Sakura sadar sapaannya itu tidak hanya untuk dirinya, melainkan Tenten juga. Namun tetap saja rasanya sungguh menyenangkan.
"Hati-hati!" balas Sakura. Tenten kembali menyunggingkan senyuman menggodanya ke arah Sakura setelah Sasuke menghilang dari pandangan. Di tambah Ino dan Hinata yang menyenggol-nyenggol bahunya yang membuat Sakura tambah malu dan sebal.
"Ciyee.. yang disapa sebelum pulang," kata Hinata menggoda.
"Ssstt, diem!" kata Sakura sebal. Mereka malah tertawa.
Sesaat kemudian, mobil sport milik Sai yang berwarna merah menyala datang menghampiri mereka. Keluarga Sai memang keluaraga konglomerat. Sai keluar dari kursi supir, lalu menghampiri Ino.
"Ayo," kata Sai.
Namun sebelum mereka semua masuk ke mobil, suara klakson kembali terdengar. Kali ini Uzumaki Naruto yang mengendarai motornya. Tak sengaja Sakura melirik ke arah Hinata yang kini wajahnya memerah tanpa sebab.
"Hoi, Sai!" kata Naruto. "Jadi nggak besok kita main futsal?"
"Jadi, dong!" kata Sai. "Jangan lupa jam empat!"
"Sip! Duluan, ya!" kata Naruto, lalu ia berpaling pada Hinata sambil tersenyum. "Duluan, Hinata-chan."
"Eh, i-iya," kata Hinata terlihat salah tingkah. Huh, bisa-bisanya dia ngegodain aku, padahal sendirinya juga lagi jatuh cinta –gerutu Sakura dalam hati.
"Ciyee.. yang disapa sebelum pulang," kata Sakura mengulangi kata-kata Hinata tadi setelah Naruto berlalu. Berniat balas dendam tentu saja.
"Sakura-chan!" kata Hinata merajuk dengan wajah makin memerah. Mereka semua tertawa.
"Andai ada Neji di sini, aku mau tahu gimana pendapat dia," kata Tenten.
"Tenten-chan, diem!" kata Hinata masih dengan nada merajuk sambil memasuki mobil dengan kesal. Mereka semua tertawa lagi.
Sakura tak diturunkan di depan rumah (ia yang meminta sendiri). Jarak dari rumah Sakura ke rumah Ino memang tak jauh sehingga ia bisa langsung melihat rumah Ino di ujung jalan. Sakura telah sampai di rumahnya. Rumah berbentuk kotak seperti model rumah-rumah di Inggris dengan kebun bunga yang cukup rindang di halamannya, dua buah mobil dan satu sepeda motor terparkir di sana. Yang bermerk Honda tentu saja milik Sang Ayah, Haruno Kizashi, namun Sakura tak mengenali mobil satunya yang bermerk Audi. Yah, mungkin itu tamu Ayah, pikirnya. Namun ia merasa familiar dengan motor itu, tapi tak ia ingat.
Sakura melepas sepatunya ketika memasuki pintu. Dari luar memang terlihat seperti rumah-rumah di Inggris, namun ketika masuk ke dalam, suasana Jepang-nya begitu terasa. Lantai kayu yang dipasang penghangat, meja-meja kecil, dan pintu geser yang khas. Ketika Sakura menggeser pintu yang terdapat di dalam untuk memasuki rumahnya, tamu-tamu pemilik mobil dan motor itu tengah duduk dengan segelas teh di depan mereka. Sakura tak bisa melihat mereka karena mereka membelakanginya.
"Sakura-chan, kamu udah pulang, sayang," kata Ibunya, Haruno Mebuki, menyambut Sakura. "Sini, duduk di sini."
Ibunya menarik Sakura untuk duduk di hadapan para tamunya itu. Seketika ia terperanjat melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Uchiha Sasuke. Sasuke pun terlihat kaget, namun tetap memasang raut datarnya. Sepertinya Sasuke langsung datang ke sini karena ia masih memakai seragam sekolah.
"Ayo, beri salam," kata Ibunya. Sakura merasa seperti anak TK yang diajari sopan santun.
"Ha-halo," kata Sakura agak kikuk sambil membungkuk hormat pada dua orang dewasa di hadapannya.
"Halo, Sakura-chan. Wah, kamu udah besar, ya. Udah berapa lama, ya, sejak terakhir kita ketemu?" kata laki-laki dewasa itu, lalu ia memutuskan menjawab pertanyaannya sendiri, "Ah, sebelas tahun kayaknya."
Sakura bingung harus bereaksi apa, maka ia hanya tersenyum canggung menanggapinya.
"Kamu masih inget Sasuke? Dulu kalian sering main bareng," kata wanita dewasa di sebelah laki-laki itu.
Sakura tak mengerti. Ingat Sasuke? Apa mereka pernah saling mengenal di masa lalu? Jadi, sebenarnya mereka ini siapa? –pikir Sakura penasaran. Melihat reaksi Sakura, wanita itu sepertinya mengerti.
"Jadi, kamu nggak inget sama sekali? (Sakura menggeleng, wanita itu tertawa pelan) Oke, oke, kami ingatkan. Dulu waktu kalian masih umur lima tahun, kalian sering main bareng. Di TK atau di rumah kami atau juga di rumah orang tua kamu."
"Maaf, Oba-san, tapi saya nggak inget sama sekali," kata Sakura tak enak hati.
"Nggak apa-apa, santai aja. Sasuke juga nggak inget sama kamu. Duh, anak muda jaman sekarang cepet pikun," kata wanita itu sambil tertawa.
"Ya udah, kalo gitu kayaknya kita harus memperkenalkan diri sekali lagi," kata laki-laki itu. "Aku Uchiha Fugaku, ini istriku Mikoto. Kami ini orang tua Sasuke, dan kami juga temen lama orang tua kamu waktu kuliah. Mendiang kakekmu dan kakek Sasuke juga teman karib."
Jadi, orang tua Sasuke yang Ayah maksud? –pikir Sakura. Sakura hanya tersenyum menanggapinya. Namun dalam hati ia merasa senang dan bangga karena keluarganya akrab dengan keluarga Sasuke. Merasa di atas angin karena belum tentu Uzumaki Karin atau cewek-cewek lain yang naksir Sasuke akrab dengan keluarganya.
"Kalian satu sekolah, kan?" tanya Ayahnya.
Sakura mengangguk, lalu berkata, "Kami juga sekelas."
"Wah, bagus kalo gitu. Berarti kalian udah akrab," kata Fugaku Oji-san.
Nggak akrab-akrab banget sih, pikir Sakura. Tapi Sakura masih penasaran mengapa mereka datang ke sini. Kalau hanya untuk berkunjung biasa, mengapa Sasuke juga dibawa? Dan mengapa mereka sepertinya menahannya dan Sasuke agar tidak pergi ke mana-mana? Sakura tak mengerti.
"Oke, sebaiknya kita bicarakan tujuan kami datang ke sini," kata Fugaku Oji-san setelah mereka semua berbasa-basi singkat. "Kami (tunjuknya pada dirinya sendiri, istrinya, dan kedua orang tua Sakura) membuat kesepakatan untuk menjodohkan kalian. Kami sudah membicarakan ini sejak kalian baru lahir."
Sakura dan Sasuke melotot serentak. Apa? Dijodohkan? Aku dan Sasuke? Dijodohkan? –pikirnya kaget setengah mati.
"Maaf kalo sangat mengejutkan, tapi kami nggak sembarangan menjodohkan kalian, ini juga amanat dari mendiang kakek kalian."
Sakura tak tahu harus bereaksi apa. Sasuke pun sama sepertinya, ia terlihat ingin berkata sesuatu, tapi tak jadi. Sakura sangat kaget, namun di sisi lain ada perasaan senang. Siapa sih yang tak senang dijodohkan dengan orang yang kita sukai? Namun Sakura menyadari dengan getir bahwa tampaknya Sasuke tak merasa begitu.
"Gimana, Sakura-chan? Sasuke-kun?" kata Ayahnya karena Sakura maupun Sasuke tak ada yang memberi tanggapan.
"Kalo itu amanat, ya aku nggak bisa nolak," gumam Sasuke. Sakura terkejut mendengarnya. Ia pikir Sasuke akan langsung menolaknya mentah-mentah.
"Sakura-chan?" tanya Ayahnya lagi.
"A-aku.. b-baiklah.. apa boleh buat," jawab Sakura pelan.
"Yeah, sudah kuduga mereka akan setuju, Kizashi-kun!" kata Fugaku Oji-san girang. "Ayo, kita tentukan tanggal pernikahannya!"
"Apa? Pernikahan?" sahut Sakura dan Sasuke bersamaan.
"Begitu amanat kakek kalian," kata Fugaku Oji-san terkekeh. "Memang sih terlalu cepet, tapi kayak yang udah kubilang tadi, itu amanat dari kakek kalian. Menikahkan kalian ketika kalian berumur enam belas tahun."
"Tapi–" gumam Sakura sebelum dipotong oleh Fugaku Oji-san.
"Gimana jika pas libur Natal nanti? Kita nggak perlu buat pesta yang meriah karena kalian, kan masih sekolah. Jadi, nggak perlu ada yang tahu."
-xx-
"Nggak nyangka kita bakalan kayak gini," kata Sakura setelah keheningan yang tak nyaman menyelimuti ketika ia dan Sasuke duduk di halaman belakang rumah Sakura. Orang tua mereka memaksa mereka mengobrol berdua di sana.
"Hn," gumam Sasuke sekenanya. Sakura semakin merasa tak nyaman karena sikap Sasuke, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
Perdebatan akan penentuan tanggal pernikahan mereka berlangsung cukup sengit. Akhirnya Ayahnya mengusulkan sehari sebelum Natal untuk melangsungkan ikrar pernikahan, mereka juga memilih halaman belakang rumah keluarga Uchiha sebagai tempat dilangsungkannya acara itu.
Sakura senang, tentu saja. Namun rasa jengah dan bersalah terasa lebih besar. Sasuke yang tak menunjukkan ketertarikan akan perjodohan ini yang membuat Sakura galau. Sakura takut apabila Sasuke jadi membencinya karena hal ini. Sasuke jelas tahu ini bukan salah Sakura, namun tak mungkin, kan Sasuke melampiaskannya pada orang tuanya dan orang tua Sakura, apalagi kakek-kakek mereka yang sudah meninggal, pastilah Sakura yang menjadi objek pelampiasannya. Menolak pun rasanya percuma, tanggal pernikahan mereka sudah ditentukan, dan Sakura tak bisa menolak amanat kakeknya yang sangat disayanginya.
Note: Ini fanfic Naruto pertama saya. Maaf kalo abal-abal. Sebenernya ini fanfic K-Pop RPF f(SHINee), tapi aku ganti chara-nya karena di ffn, kan dilarang pake chara RPF
Aku juga gak terlalu tahu banyak soal Naruto dan bahasa Jepang-nya. Jadi, maaf kalo aneh hehe. Maaf juga kalo OOC (duh, kebanyakan minta maaf kayak mpok Minah aja -_- /plakk/).
RnR ya ^^
