the Last 2%

a YunJae fanfiction presented by Cherry YunJae.

.

Jaejoong, Yunho, Changmin, Heechul, Luhan, Sooyoung, Go Ahra, and others.

YUNJAE.

T-M Rated.

Drama/Romance.

WARNING! GENDERSWITCH! Typos everywhere! Out of Character!

.

DON'T LIKE, DON'T READ! Told ya before!

.

.

[ © Sebuah remake dari novel milik Kim Rang dengan judul yang sama(2006), cerita sepenuhnya milik Kim Rang hanya beberapa yang saya ubah termasuk casts dan latar untuk keperluan cerita. ]

.

.

.

.

EPILOG.

.

.

.

Matahari baru saja mengintip saat Jaejoong membuka matanya.

Terjaga dari istirahatnya karena sadar pagi sudah tiba. Wanita itu menoleh ke belakang dan mendapati sosok suaminya yang masih tertidur lelap dengan lengan menahan pinggang rampingnya.

Jaejoong tersenyum.

Ia berbalik menatap wajah pria yang sudah menjadi suaminya selama dua puluh lima bulan itu.

Sesuai kesepakatan awal, Yunho dan Jaejoong tinggal di Korea di tahun pertama pernikahan mereka dan setelah itu, Yunho membawa istrinya itu untuk tinggal di Amerika.

Asing memang bagi Jaejoong. Tapi ia tenang jika Yunho tetap ada bersamanya.

Omong-omong soal Yunho, sepertinya direktur Walden Pictures ini masih betah bergulat dengan mimpinya. Jadi Jaejoong bebas memperhatikan wajah tenang suaminya itu.

Jaejoong sudah pernah bilang kalau Yunho selalu menawan bukan?

Dan itu yang sedang ia pikirkan saat ini, ia kembali bersyukur karena telah memiliki Yunho sebagai pendampingnya.

Dikecupnya bibir Yunho berkali-kali hingga pria itu terusik.

"Hei Direktur pemalas. Cepat bangun. Kau lupa ini hari apa?"

Yunho membuka matanya dengan susah payah dan menyunggingkan senyum saat melihat wajah Jaejoong.

"Pagi, tampan."

"Pagi. Beri aku satu ciuman lagi, dan aku akan bangun." pinta Yunho yang justru kini memperangkap tubuh Jaejoong dengan kedua lengannya.

"Ishh... Kau ini."

Jaejoong kembali mendaratkan satu ciuman ringan dan mengajak Yunho bangun.

"Cepatlah bangun, dan jangan terlambat."

Jaejoong beranjak terlebih dahulu menuju kamar mandi meninggalkan Yunho yang masih berusaha mengembalikan nyawanya.

.

.

.

Konferensi pers untuk film A Late Autumn diadakan. Dan seperti yang direncanakan, malam ini pun premiere juga diselenggarakan.

Setelah menggarap film tersebut selama lebih dari satu tahun, akhirnya diputuskan hari ini adalah hari besar peluncuran film pengganti Samak itu oleh Walden Pictures.

Saat tiba di sebuah ballroom hotel mewah, Jaejoong dan Yunho langsung menjadi sorotan dari ratusan wartawan yang datang.

Keduanya menjadi orang-orang berpengaruh di dunia perfilman kini disamping menjadi sepasang suami istri yang membuat orang lain iri.

Jaejoong menjabat sebagai salah satu Direktur Walden Pictures dan ikut membantu menjalankan bisnis bersama suaminya. Dan suatu kebanggaan sendiri ketika hari ini karya pertamanya akan diluncurkan.

Jaejoong gugup sebenarnya, apalagi ketika ia berada di balik meja dan berbicara untuk pers.

Tapi Yunho menggenggam tangannya dan meyakinkan bahwa ia bisa.

.

.

.

"Lalu?"

"Lalu apanya?"

"Apa yang Hangeng oppa lakukan setelah itu, unnie?"

"Tentu saja ia langsung memakanku."

Luhan, dan Sooyoung sedikit memekik mendengar itu.

Sementara Jaejoong tersenyum geli karena tingkah mereka.

Di acara besar ini tentu saja semua anggota keluarga Walden datang. Tak terkecuali tiga wanita eksentrik ini yang jauh-jauh datang dari tiga negara di Asia timur demi peluncuran perdana film Jaejoong sekaligus untuk berkumpul.

"Kau sendiri, Jaejoongie... Yunho biasanya mulai darimana? Bagian atas atau bawah?" tanya Heechul.

Jaejoong meringis saat dilempar pertanyaan seperti itu. "Ng... Tidak tentu. Dia memulai sesuka hati." jawabnya polos, mencoba tak memasukan unsur vulgar dalam jawabannya.

"Kita kan tidak tahu apakah suami kita melakukannya dengan cara yang sama karena mereka masih bersaudara. Jadi aku penasaran."

"Kalau Sehun, dia lebih suka memakan dari bagian bawah terlebih dulu dan menyisakan bagian atas sebagai penutup." sela Luhan.

Mereka langsung memandang gadis bermata rusa itu.

"Dia buru-buru sekali ya?" komentar Sooyoung.

"Bagaimanapun, kalau sudah bergairah, pasti siapapun akan bergerak cepat, unnie."

Mereka pun terkikik.

Sudah lama rasanya sejak saat terakhir keluarga besar Walden berkumpul. Seperti biasa, semuanya berkumpul sesuai gender, karena hal yang ingin dibicarakan tentu berbeda-beda.

Sudah hampir tiga belas bulan berlalu sejak Jaejoong meninggalkan korea dan berkali-kali ia merasa merindukan rumahnya disana, hanya saja ia tak mampu mengatakan hal itu pada kedua orangtua maupun saudara-saudaranya.

Ia bahkan rindu makanan Korea.

Setiap bicara dengan orangtuanya, Junsu, dan Changmin lewat telepon, ia berusaha supaya terlihat baik-baik saja.

Dengan kepribadian Jaejoong yang senang bertemu banyak orang dan berpemikiran terbuka, mereka memang menyangka Jaejoong bisa menyesuaikan diri dengan baik di Amerika. Hal itu memang benar, tapi hanya sementara.

Meski setiap hari ia bisa tidur dan terbangun di samping Yunho, ia masih belum terbiaaa dengan orang-orang asing yang ditemuinya.

Di usianya yang sekarang, rasanya sulit untuk mengulang kembali pelajaran bahasa inggris.

Ia hanya memakai beberapa kosa kata ringan untuk menunjang posisinya sebagai salah satu Direktur di Walden Pictures kini.

Ia berusaha keras untuk membuktikan kalau dirinya memang pantas menerima posisi itu. Tapi tidak mudah.

Jaejoong bersyukur, karena Yunho tak berubah. Meski sibuk, pria yang sudah beratatus suaminya itu selalu rela meluangkan waktu untuk mereka berdua. Seperti mengajaknya dinas ke luar negeri bersama—hitung-hitung bulan madu tambahan, atau sekedar jalan-jalan di kota.

Jaejoong bahkan merasa Yunho berusaha keras membantunya terbiasa dengan tempat tinggalnya kini. Tapi tetap saja Culture Shock tidak bisa dihindari, dan hal itu berpengaruh pada pola makan Jaejoong. Belakangan efeknya semakin terasa dan Jaejoong jadi mudah terkena penyakit.

Yunho yang melirik para wanita Walden tersenyum lega. Terutama saat melihat Jaejoong tersenyum dan tertawa. Tak salah ia memilih hari ini sebagai hari peluncuran film Jaejoong sekaligus hari reuni kecil Walden karena ia pikir kehadiran Sooyoung, Heechul dan Luhan bisa membuat Jaejoong lebih baik.

Wanita itu kembali menjadi dirinya sendiri yang ceria dan terlihat senang ketika dikelilingi oleh orang yang ia kenal dekat. Dan juga karena ia bisa kembali menggunakkan bahasa Korea dengan nyaman.

"Kami pernah melakukan sampai enam kali di malam hari." Sooyoung bercerita dengan bangga.

"Omo! Kau juga? Aku pernah sampai lima kali." respon Heechul.

"Aigoo... Kalian. Aku juga pernah tak bisa bangun karena melakukan enam kali itu." sahut Luhan kali ini.

Setelah itu, mereka melirik Jaejoong.

"Bagaimana denganmu? Ceritakan pada kami."

"Aku tidak tahu apakah ini hal yang boleh diceritakan atau tidak." Jaejoong tersenyum canggung.

"Aishh... Tenang saja. Ceritalah pada kami. Kau tidak perlu malu-malu." Heechul kini semakin memprovokasi Jaejoong.

Setelah berpikir sesaat, akhirnya Jaejoong membuka mulut.

"Kalian pasti shock. Karena... Yunho pernah melakukannya nyaris sampai dua puluh tiga jam.

"Omo!" Benar saja. Ketiganya mengeluarkan ekspresi kaget yang sama setelah mendengar hal itu.

"Serius? Kalian bercinta sampai dua puluh tiga jam? Astaga!"

"Unnie luar biasa."

Tentu saja mereka tak bisa menahan diri untuk segera menatap Yunho yang sedang duduk bersama suami-suami mereka sambil bertanya-tanya apakah Yunho itu manusia atau bukan.

"Bagaimana kau bisa bertahan?" tanya Sooyoung.

"Iya, apa unnie tidak apa-apa?"

"Tentu saja sakit. Selama satu minggu rasanya hanya perih dan badanku sakit-sakitan."

Tawa mereka pecah mendengarnya.

"Pantas saja Yunho dengan cepat 'mengisi'mu. Dia melakukannya tanpa perasaan. Lalu, apa kau masih sakit-sakitan?" tanya Sooyoung.

"Sudah lebih baik. Mungkin ini hanya karena aku rindu keluargaku dan Korea. Aku jadi seperti tidak bisa melakukan apa-apa karena terlalu rindu keluarga." Jaejoong tersenyum getir.

"Kau homesick rupanya. Aku tahu rasanya, karena aku juga merindukan keluargaku setelah pindah ke Jepang. Makan pun rasanya tidak enak dan hanya bisa menangis."

Jaejoong mengangguk.

"Betul. Itu yang ku rasakan."

"Mintalah pada Yunho untuk cuti dan pulang ke Korea sementara waktu."

"Kami memang berencana kesama liburan musim panas nanti."

"Bagus. Orangtuamu pasti sangat merindukanmu. Apalagi kau adalah maknae."

"Eii... Atau jangan-jangan unnie sakit karena yang dua puluh tiga jam itu?"

"Hahaha... Luhan benar. Apalagi kau pasti tak pernah bekerja sekeras itu."

Jaejoong tersenyum. "Bisa jadi."

Mereka terus saja menggoda Jaejoong sampai kemudian Yunho mendekati meja mereka.

"Premiere akan dimulai setengah jam lagi, kita berkumpul di gedung utama saja." Ajaknya yang segera disetujui para wanita Walden.

Dengan cepat, mereka menuju suami masing-masing. Sooyoung pun menggandeng Jinri sementara Heechul mendorong kereta bayinya.

Mereka berjalan di depan sementara Yunho sengaja mengajak Jaejoong berjalan di posisi paling belakang.

Sambil menggenggam erat tangan istrinya, ia tersenyum.

"Kau merasa lebih baik, sayang?"

Jaejoong membalasnya dengan senyuman juga.

"Sangat baik setelah bertemu mereka. Tapi tetap saja gugup untuk peluncuran film ini."

Yunho mengecup dahi Jaejoong dengan cepat.

"Jangan gugup. Aku yakin malam ini akan jadi malam yang luar biasa."

Jaejoong tersenyum dan berusaha percaya penuh pada ucapan Yunho.

Ya. Malam ini adalah malam yang sudah lama ia nanti.

.

.

.

Jaejoong pulang dengan rasa lelah yang cukup mengganggu.

Tapi jauh di dalam hati, ia sangat puas dan bangga dengan premiere filmnya yang disambut meriah oleh banyak kalangan.

Ia sangat senang terutama saat riuh tepuk tangan menggema di akhir film itu. Banyak juga komentar positif yang masuk ke homepage Walden Pictures setelah itu.

"Kau lelah, sayang?"

Jaejoong sedikit terkejut. Karena saat ia sibuk mem-flashback kejadian beberapa jam sebelumnya, Yunho justru muncul dari belakang dan mengecup pipi kanannya.

"Tidak. Aku senang."

"Selamat. Aku tahu kau yang terbaik."

Ya. Yunho tahu itu. Jelas saja, wajah Jaejoong begitu cerah sepanjang hari ini. Ia pasti benar-benar puas.

"Apa 'mereka' sudah tidur, Yun?"

"Sudah. Bibi Yoo bilang mereka sama sekali tidak ribut hari ini."

"Baguslah. Aku khawatir karena harus meninggalkan mereka di rumah."

Jaejoong pun beranjak menuju kamar di di ujung ruangan.

Kamar anak-anak mereka.

Anak-anak?

Ya. Nyatanya Jaejoong dan Yunho dipercaya untuk menjaga tiga malaikat kecil yang lahir di hari yang sama sebelum mereka berpindah ke Amerika.

Jaejoong masuk pelan ke kamar bercorak ceria itu dan melihat ketiga anaknya tidur dengan damai.

Jiwa keibuannya memaksa untuk sedikit mengganggu tiga malaikat itu dengan memberi mereka ciuman selamat malam.

Dimulai dari si sulung, Jung Daehan yang tidur dengan selimut putih menutupi sampai lehernya.

Lalu Jung Minguk yang selalu membuat Jaejoong gemas dengan kedua pipi bulatnya.

Dan terakhir, sang maknae, Jung Manse yang tidur dengan mulut terbuka.

Ketiganya adalah harta berharga yang ia dan Yunho dapat.

Dan tentu saja, nama Daehan Minguk Manse adalah salah satu pelampiasan Jaejoong atas kerinduannya pada Korea.

Ia sungguh ingin membawa ketiga anaknya pulang ke Korea untuk bertemu Kakek-Nenek serta Paman-pamannya.

"Sepertinya mereka sangat lelah."

Jaejoong menoleh dan mendapati Yunho ikut masuk ke kamar anak-anak mereka.

"Iya. Sangat damai."

Yunho segera memeluk istrinya.

"Abeoji dan Eomonim harus tahu kalau mereka sudah sangat besar."

Jaejoong mengangguk pelan.

"Musim panas nanti... Kita akan pulang. Kau harus bersabar, sayang."

Yunho mengelus lengan Jaejoong sambil mengecup bahunya.

Jaejoong tersenyum.

Yunho memang selalu tahu apa yang ada di pikirannya.

.

.

.

Setengah tahun kemudian, Musim panas 2015.

Rumah keluarga Kim ramai saat Yunho dan Jaejoong sampai pagi hari ini.

Ayah dengan tak sabar menyambut anak, menantu, sekaligus cucu-cucunya.

Keluarga Kim tak habis pikir bagaimana repotnya Jaejoong dan Yunho ketika harus menjaga Daehan, Minguk, dan Manse pulang ke Korea.

Apalagi setelah tahu bahwa keduanya tidak membawa salah satu baby sitter mereka dengan alasan ingin memakai momen ini sebagai liburan keluarga dengan menjaga ketiga anak mereka sendiri.

Para Jung kecil sangat menyukai kakeknya. Terlihat dari bagaimana ketiganya mencoba mengajak Ayah Jaejoong bermain meski mereka belum bisa berjalan.

Jaejoong ikut bahagia dengan momen ini.

Ia senang bisa kembali ke rumah yang ia rindukan.

"Yunho-yah... Mandilah dulu, Yoochun sudah selesai. Setelah itu kita harus makan."

"Baik, eomma."

Yunho beranjak. Saat menemukan Jaejoong yang membawa gelas teh, ia memberi kecupan ringan untuk istrinya itu.

Jaejoong pun berusaha mencubit Yunho karena tingkah tiba-tibanya itu.

.

.

.

Jaejoong keluar untuk mencari udara segar setelah makan malam. Sementara Yunho masih berbicara dengan Ayahnya, ia memutuskan untuk keluar rumah sendiri.

Perasaannya menjadi lebih baik ketika melihat langit malam. Meski mungkin sama saja, tapi karena ini di tanah kelahirannya sendiri, tentu saja Jaejoong merasa lebih tenang.

Dipejamkannya mata, suara Ayah dan kakak-kakaknya yang tertawa jadi terdengar jelas.

Ia harap keributan itu tidak membuat ketiga anaknya bangun.

"Kau tidak terlihat seperti wanita yang sudah melahirkan tiga anak, nona."

Jaejoong menoleh saat mendengar suara familiar itu. Matanya membulat.

"Changmin?"

Rautnya terkejut tapi kemudian ia berlari untuk memeluk sang sahabat baik.

"Changmin-ah! Aku merindukanmu."

"Ohya? Haruskah aku senang mendengarnya?"

"Ishh... Aku serius, bodoh."

Changmin terkekeh.

"Bercanda. Aku juga merindukanmu."

Jaejoong melepas pelukan erat itu dan menatap wajah Changmin.

Nyaris tak ada yang berubah. Hanya saja Changmin terlihat lebih kurus dan dengan rambut hitam itu, ia terlihat lebih dewasa—mengingat dulu rambut Changmin selalu berwarna madu.

"Mana suamimu?"

"Ada di dalam. Sedang sibuk berbincang dengan Ayah."

"Anak-anakmu?"

"Sudah tidur. Masuklah." Ajak Jaejoong.

Tapi Changmin tetap di posisinya dan menggeleng.

"Aku masih ada urusan. Besok pagi saja aku akan menyapa suami dan anak-anakmu."

Dahi Jaejoong mengernyit.

"Aku mencarimu sejak siang tadi, tapi Ahjussi bilang kau pergi. Sekarang pun kau sibuk? Aku kan tidak lama disini, kenapa tidak mau meluangkan sedikit waktu?"

Changmin sedikit meringis mendengarnya.

"Bukan begitu, Jaejoongie... Malam ini saja. Aku memang harus pergi. Kau ini berlebihan sekali. Kan sudah ku bilang besok aku akan bertemu keluargamu."

"Sebegitu sibuknya?"

Jaejoong mencebilkan bibirnya.

Sifat kekanakkannya kembali hanya karena berhadapan dengan Shim Changmin.

Sementara pria tinggi itu tertawa.

"Kalau begitu, masuklah. Tidak baik berlama-lama di luar. Terakhir ku dengar di sekitar sini ada siluman yang suka berkeliaran di malam hari."

"Serius?"

"Bohong. Haha... Sudah, masuk sana! Aku pergi dulu ya! Bye!"

Tanpa mempedulikan gerutuan Jaejoong, Changmin berlalu.

Wanita itu jadi penasaran. Apa yang membuat Changmin sibuk di malam hari seperti ini.

"Ya sudahlah."

Dengan sedikit berat hati, Jaejoong berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah.

.

.

.

Seorang wanita dengan dress putih selutut dibalut blazer biru berdiri di depan rumahnya.

Senyum tak henti menghiasi bibirnya.

Ia tampak cantik malam ini, dan ia harap orang yang ditunggunya juga berpikir seperti itu.

Berdiri lama tak melunturkan rasa senangnya ketika membayangkan apa gerangan yang akan terjadi di acara kencan malam ini.

Dan saat ia sibuk membayangkan hal-hal manis itu, sebuah suara langkah terdengar semakin dekat dan memaksanya menoleh pada sosok yang baru saja datang

"Maaf membuatmu menunggu. Apa aku datang terlalu lama, sunbae?"

Wanita itu tersenyum.

"Sama sekali tidak, Changmin-ah."

.

.

.

Hari ketujuh di liburan Yunho dan Jaejoong.

Mereka memutuskan untuk mampir ke Walden Korea untuk mengunjungi Ilwoo dan Sooyoung.

Mereka benar-benar senang saat bertemu dengan Yunho, Jaejoong dan si kembar tiga.

Mereka pun memutuskan untuk pergi ke restoran terdekat untuk makan siang dan berbincang lebih nyaman.

Tapi Jaejoong dikejutkan dengan Minguk yang tiba-tiba buang air.

"Aigoo... Minguk kami nakal, hm? Kalian duluan saja. Aku harus ke toilet."

"Baiklah, ku tunggu di restoran yang ada di depan kantor."

"Biar aku yang membawa Daehan dan Manse." tambah Sooyoung yang memang terlihat antusias menjaga anak-anaknya.

"Terima kasih."

Tak ingin membuang waktu, Jaejoong segera ke toilet dan membersihkan Minguk serta mengganti popoknya.

"Mma... Ummaa..."

"Sudah. Iya, umma tahu Minguk sudah lapar. Ayo."

Si kecil Minguk sempat menolak saat Jaejoong berusaha memakaikan popoknya tapi ia bernafas lega juga setelah berhasil mengorbankan sepuluh menit.

Saat keluar dari toilet dan berjalan di lorong kantor Walden Korea sambil menggendong Minguk, Jaejoong tak sengaja menabrak salah satu staf hingga dokumen yang ia bawa berantakan.

"Omo! Maafkan aku!"

Seperti terkejut mendengar suara Jaejoong, si stag perempuan itu segera mengangkat wajahnya.

Jaejoong pun ikut terkejut.

"Ahra?"

"Jaejoong?"

Jaejoong sama sekali tak tahu kenapa Ahra bisa disini.

Apa wanita itu masih bekerja di Walden Korea?

Saat Jaejoong sibuk bertanya-tanya, ia makin terkejut karena dihadiahi sebuah pelukan oleh orang yang ia kenal sebagai wanita licik itu.

"Senang melihatmu kembali. Aku... Ingin minta maaf."

Jaejoong bersyukur karena tangannya sedang digunakan untuk membawa Minguk, jadi ia tak perlu bingung harus membalas pelukan Ahra atau tidak.

"Ada... Apa?" tanya Jaejoong bingung.

Ahra melepas pelukannya.

"Aku minta maaf. Untuk semuanya. Pengkhianatan dan juga sakit hati yang kau terima. Aku sungguh-sungguh meminta maaf."

Jaejoong tak percaya dengan yang ia dengar.

Apa?

Apa ini benar-benar Go Ahra?

"Aku serius. Kau mungkin tidak percaya, tapi kumohon percayalah. Setengah tahun di penjara membuatku semakin menyesali semuanya. Kalau saja bukan kau dan Walden Korea yang menerima permintaan maafku, aku tidak tahu akan bagaimana lagi."

Jaejoong masih tak percaya dengan ucapan Ahra. Benarkah wanita itu menyesal?

"Aku tahu, kau meragukan ucapanku. Tak apa. Kau memang tahu bagaimana aku sebelumnya."

Ahra dengan wajah kecewa pun membereskan dokumen-dokumennya dan beranjak.

Jaejoong ada dalam dilema besar. Haruskah ia memaafkan wanita ini? Ia tak tahu apakah ucapannya itu tulus atau tidak.

Tapi melihat penampilan Ahra yang kini memang berbeda membuatnya sedikit luluh.

Hampir saja Ahra berlalu namun Jaejoong memanggilnya.

"A-Ahra."

Wanita yang kini berambut pendek itu menoleh.

"Aku... Memaafkanmu. Bagaimanapun... Kita tetap teman."

Bisa Jaejoong lihat senyum tipis terukir di wajah Ahra. Ya, tak ada salahnya memberi Ahra kesempatan untuk berubah dan memaafkannya.

"Terima kasih... Jaejoongie."

.

.

.

Banyak yang berubah ternyata.

Tapi Jaejoong bersyukur karena semua semakin baik.

Ayahnya benar. Apapun itu, semua pasti akan indah pada waktunya.

Dan ia benar-benar bersyukur telah bertemu Yunho di hari itu. Sungguh ia tak menyangka akan mendapatkan keluarga kecilnya dari pria itu.

"Ppa... ppa..."

"Nah... Habiskan makanannya dulu, Daehan-ah."

Yunho tak pernah mengeluh saat harus mengurus ketiga anaknya itu. Ia justru tampak lebih bersemangat jika sudah berurusan dengan mereka.

"Hoahh..."

"Omo. Manse sudah mengantuk?" tanya Jaejoong sambil mengusap kepala sang maknae.

"Jja... Setelah ini kalian harus tidur." tambah Jaejoong karena melihat makanan mereka sudah hampir habis.

Hari memang sudah semakin malam dan si kembar terlihat begitu lelah dan akhirnya Jaejoong harus memindahkan mereka ke atas kasur.

Ketiganya begitu lelah. Pasti karena bermain seharian dengan sepupu mereka—Jinri setelah lama tak bertemu.

Yunho ikut membantu Jaejoong membawa di sulung Daehan untuk tidur di atas ranjang yang luas itu.

Setelah yakin ketiganya tidur dengan nyaman, Jaejoong berinisiatif untuk mandi karena ia pun mulai mengantuk.

"Aku mandi dulu." ucapnya sebelum masuk ke kamar mandi.

Dimana anggota keluarga Jaejoong yang lain?

Jawabnya, saat ini Jaejoong dan Yunho belum kembali ke Chungnam. Saat ini mereka justru menginap di hotel.

Hotel tempat pertama kali mereka bertemu, Arizona.

Atas ide dari Yunho, Jaejoong pun menyetujuinya. Manis rasanya saat kenangan tentang pertama kali mereka bertemu dengan cara yang memalukan di tempat ini.

Meski bukan di kamar yang sama, tetap saja Jaejoong senang karena hotel itu kembali memutar berbagai kejadian yang tak bisa ia lupakan.

Baru saja Jaejoong selesai membuka bajunya ketika pintu kamar mandi di buka dan Yunho masuk tanpa menunggu protes dari istrinya itu.

"Ada perlu apa, tuan Jung?"

Yunho segera memeluk tubuh polos istrinya dan memberi ciuman-ciuman kecil di bahu telanjang Jaejoong.

"Aku ingin mandi bersama."

"Kenapa?" goda Jaejoong.

"Ehm... Menghemat waktu?"

Jaejoong terkekeh.

"Tidak mungkin. Mandi bersamamu pasti akan memakan waktu lama."

"Lalu kau mau menolak?"

"Tentu saja tidak, sayang." Jaejoong berinisiatif membuka ikat pinggang Yunho, membantu pria itu untuk ikut mandi bersamanya.

Jaejoong menyalakan shower saat tubuh keduanya sudah polos. Di bawah tetesan air itu, Jaejoong dan Yunho berciuman panjang dan saling menyerang.

"Ada mereka bertiga di ranjang, jadi mungkin melakukannya disini lebih baik." bisik Yunho sebelum menyatukan tubuh mereka tanpa peringatan.

"Ahh!"

Jaejoong harus merintih karena Yunho yang sedang tidak sabaran. Untungnya suara air meredam desah dan teriakan mereka. Jadi anak-anak mereka bisa tidur tenang.

Dan entah sampai berapa jam, Jaejoong dan Yunho terus bercinta di dalam kamar mandi. Yunho benar-benar tahu cara memanfaatkan kesempatan selagi mertua, dan anak-anaknya tidak ada.

"Yunhoo! Anghh!"

Tapi sepertinya tetap akan ada gangguan, karena ternyata si kecil Manse terbangun saat mendengar suara berisik dari kamar mandi.

"Mma... Huwee..."

Jaejoong melotot saat mendengar tangisan itu.

"Astaga! Manse!"

Dengan tidak berperikemanusiaan, ia melepas kejantanan Yunho dari dalam tubuhnya dan segera keluar dengan memakai handuk.

Yunho lebih tak percaya lagi karena Jaejoong meninggalkannya di saat-saat kritis seperti itu.

Direktur Walden Pictures itu mengerang frustasi dan akhirnya terpaksa menyelesaikan sendiri karena Jaejoong harus menidurkan anaknya.

Oh well... Sepertinya cerita lain dari keluarga kecil mereka akan terus berlanjut.

.

.

.

.

FIN

.

.

.

The Last 2% is officially END!

Maap banget buat epilog yang maksa... Niatnya mau bikin lebih alus.. tapi malah begini. *inosen.

Tapi epilog ini nulisnya bener-bener perjuangan banget di banding chapter-chapter sebelumnya T-T

Saya minjem Song triplets buat jadi anak-anak Yunho & Jaejoong karena ngegemesin banget. Ada yang suka mereka juga? :9

Makasih banget buat kalian semua yang setia baca & nunggu ff ini. Apalah aku tanpa kalian *tsah! :D especially buat Han Yoora yang bantu saya ngetik dan gak pernah absen nge-review juga XD

Maaf kalo epilognya malah ngerusak cerita dan terkesan maksa. Juga buat semua cacat yang saya bikin selama remake novel ini.

Baca juga proyek baru saya ~ (Un)Lucky Day yaa kalo berminat :D

And... See ya in the next fic!

.

.

.

Hugs and Kisses for u all, guys! :*

Sign,

Cherry YunJae.