Disclaimer : Aoyama Gosho
.
Sometimes the hardest part isn't letting go but rather learning to start over.
- Nicole Sobon
.
Suara kukuk burung membangunkan Ai dari tidur. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali . Baru beberapa hari menginjakkan kaki ke Tokyo, Ai telah merasa sangat terbiasa dalam beradaptasi dengan kehidupan di Jepang. Mungkin karena dia pernah tinggal di Tokyo selama beberapa tahun atau karena pengaruh separuh darahnya yang didapatnya dari ayahnya…
Diliriknya jam weker, masih menunjukkan jam lima pagi lebih beberapa menit. Ai tak yakin bisa tidur lagi, jadi dia memilih untuk bangkit dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi. Ketika melewati cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya, Ai berhenti. Diperhatikan sosoknya sendiri, wajahnya yang hanya berubah sedikit selama bertahun-tahun dengan lekuk dan garis feminine. Dengan separuh darah British dari ibunya, Ai tau kalau dia terlihat begitu asing, baik di Jepang ataupun Amerika. Walau demikian, dia berhasil mengatasi masalah ras dan tekanan dalam pergaulan di Amerika karena masa-masanya sebagai Haibara Ai mengajarkannya banyak hal…
Tapi, kadang dia seperti tak mengenali dirinya sendiri. Seperti memiliki dua alter ego yang berada dalam kepalamu, yang mengatur tingkah laku dan emosi. Haibara Ai dan Miyano Shiho.
Bayangan Miyano Shiho telah pudar seiring waktu, masanya sebagai Haibara Ai telah melembutkan wataknya yang keras.
Dia dilahirkan sebagai anggota keluarga Miyano yang terakhir dan alih-alih malah hidup dengan identitas lain. Kepalanya sedikit pusing, Ai menelengkan pipinya sedikit. Ditatapnya pantulan wajahnya sekali lagi lalu kakinya benar-benar beranjak ke kamar mandi.
Setelah mandi air panas—ya, dia benci air dingin, tak terkecuali di musim panas juga, Ai turun ke bawah menuju dapur. Keadaan ruangan lantai bawah masih gelap karena matahari belum terbit sepenuhnya. Gadis itu berjalan pelan-pelan dan menyalakan lampu. Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia menyadari ada seseorang yang sedang duduk di lantai dapur.
"Kudo!" serunya tertahan. "Kau membuatku terkejut!"
Yang dipanggil hanya mengangkat wajahnya.
"Ada apa, Kudo?" tanya Ai dengan nada serius. Shinichi Kudo yang pernah dia kenal, walau hanya beberapa bulan—bukan pria mengenaskan yang berada di depannya sekarang. Bola mata biru Shinichi berkilauan, temaramnya sinar lampu membentuk bayangan di kontur wajah pria itu.
Karena sepertinya Shinichi tak berminat berbicara ataupun menjawab pertanyaan, Ai bergerak ke kulkas. Dia membukanya dan mengeluarkan puding yang dibuat kemarin malam, kemudian meletakkannya di atas meja melewati Shinichi yang masih duduk berselonjor di atas lantai dapur.
"Puding berlapis coklat tidak cocok dimakan waktu pagi, Haibara…." suara Shinichi terdengar parau dan serak.
Ai yang baru hendak menyuap potongan pertama, menghentikan gerakan tangannya. "Kau berminat?" tawarnya.
"Sejak kapan kau suka makan makanan yang manis-manis, Haibara?" tanya Shinichi heran.
"…siapa bilang aku suka makan makanan yang manis-manis."
Shinichi mengangkat alisnya, "Jadi kau membuatnya untuk Toshiro?"
"Hmm…." Ai tak menjawab karena dia asyik mengunyah pudingnya. Shinichi yang tiba-tiba merasa perutnya keroncongan, bangkit berdiri dan berjalan tersaruk-saruk ke gadis itu. Detektif itu masih mengenakan piayamanya. Dilihat dari wajahnya yang masih pucat dan ada garis-garis kelelahan tergurat, Ai yakin kalau pria itu tidak atau malah belum tidur seharian. Apa yang dilakukannya sambil duduk sendirian semalaman di tengah kegelapan? Apa yang dipikirkannya selama berjam-jam dalam kesepian?
Hati Ai terasa nyeri memikirkannya. Kepedihan pria itu menggores hatinya, membuatnya ingin memeluk Shinichi, membisikkan kata-kata padanya—kalau semuanya akan baik-baik saja…
Tapi dia tak punya keberanian untuk itu.
Ai tak ingin melangkahi batas persahabatan antara pria dan wanita. Dia merasa lebih baik berada di luar jangkauan emosi dan takkan pernah membiarkan dirinya terperangkap didalamnya. Lagipula dia telah memiliki seseorang lain di hatinya...
Shinichi yang menyadari kalau Ai sedang termenung, segera mengambil kesempatan dan merebut sendok yang dipegang gadis itu untuk mengambil sepotong puding.
"Hmm…." Detektif itu mengunyah dengan rakus, "…enak juga."
Ai tersenyum kecil, "Kau tak percaya dengan kemampuanku?"
Shinichi tak menjawab. Alih-alih dia malah asyik mengunyahnya dan menghapus sedikit ceceran coklat di bibirnya dengan puas. "Jangan dihabiskan karena aku membuatnya untuk Toshiro-kun. Dia semalam bilang padaku ingin makan puding coklat…" kata Ai sambil merebut sendok di tangan Shinichi. Pria itu terkekeh, katanya, "Wah, jika aku ingin memakan sesuatu… kau mau memasaknya untukku?"
"Tidak." Kata Ai pendek. Dia mengambil sisa puding itu dan meletakkannya kembali ke kulkas.
"Oi-oi, apa maksudnya dengan kata, "tidak"?"
"Tidak berarti tidak. Aku bukan juru masak pribadimu."
"Err… kau tak adil," gerutu Shinichi.
"Sejak kapan aku pernah adil?" tanya Ai balik. Dia kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa yang kau harapkan dari keadilan, Kudo-kun?" katanya lagi dengan nada serius.
Shinichi mengangkat wajahnya, menatap Ai lurus-lurus. "Keadilan?"
"Ya. Versi keadilanmu adalah setiap orang mendapat pembalasan yang setimpal atas segala kejahatan yang pernah dilakukannya."
"Aku tak mengerti apa arah dari pembicaraanmu, Haibara…" desis Shinichi tajam.
"Mantan anggota organisasi lain telah mendapat hukuman. Ada yang dipenjara ataupun mendapat hukuman mati. Aku tau kalau… kau yang memaksa Hakase untuk membujukku supaya tetap menjadi Haibara Ai…"
Shinichi tertegun. Ai melanjutkan kata-katanya, "…jika menurut versi keadilanmu, apa aku berhak untuk mendapat kesempatan kedua?"
"A—apa maksudnya Haibara…?" Shinichi ingin tertawa tapi melihat wajah Ai yang sangat serius, kata-kata yang telah berada di ujung bibirnya tertahan tak bisa keluar.
"Kau tau apa alasannya, Haibara? Kau yang paling kuinginkan untuk mendapatkan kebahagiaan, memperoleh cinta dan keluarga yang seutuhnya…" batin Shinichi. Alisnya berkerut. "Setiap orang berhak medapatkan kesempatan kedua, tak terkecuali kau," katanya dengan tenang.
"Dengan menggunakan nama alias dan hidup dalam kebohongan…"
Shinichi meraih lengan Ai dan sedikit menyentaknya, "Kebohongan? Kau ingin kembali menjadi Shiho Miyano? Atau… Sherry?"
"Aku hidup dengan tiga identitas yang berbeda. Sherry telah menjadi masa lalu, Shiho Miyano tertera permanen dan Haibara Ai seperti burung phoenix yang hidup kembali setelah terbakar dari api."
Tatapan Shinichi melembut, pegangan tangannya terlepas. "Siapapun dirimu, kau adalah Haibara Ai yang telah kukenal selama bertahun-tahun."
Ai terdiam sejenak, lalu katanya, "Apa kau pernah berpikir kalau Tuhan telah bersikap adil padamu?" dia berputar badan dan membelakangi Shinichi, pandangan matanya menerawang ke jendela, mengamati terbitnya matahari.
"…keadilan dengan merampas semuanya dariku? Apa itu yang kau maksud, Haibara?" Suara Shinichi bergetar—yang menyebabkan sekujur tubuh Ai merinding. Tindakan pria ini selalu pekat dengan emosi asing yang tak dia kenali. Ai tak ingin melibatkan diri karena dia tau kalau menggali terlalu banyak kenangan—tak bagus untuk kesehatan akalnya.
"Menurut Shakespeare, setiap bunga akan layu jika telah tiba masanya. Bunga mawar maupun melati masing-masing memiliki jangka waktu mekar yang berbeda, tapi suatu saat akan layu juga," tandas Ai dengan suaranya yang jernih.
"Aku tidak menghindari kematian, Haibara. Tapi orang yang paling penting bagiku—terengut begitu saja. Apa kau pikir itu adil, Haibara?" suara Shinichi melemah di ujung kata-katanya. Ai tak ingin menatap wajah pria itu pada saat-saat seperti ini, dia menyipitkan matanya memperhatikan gurat warna kuning kemerahan di langit.
"Haibara…" gumam Shinichi pelan yang akhirnya membuat gadis itu menyerah. Dia membalikkan badannya. Mata bertemu mata. Saat itu Ai baru menyadari kalau bola mata Shinichi yang kebiruan bisa menggelap karena emosi, karena dia telah terbiasa dengan cemerlangnya warna itu ketika pemiliknya sedang serius memecahkan kasus…
"Jadi…apa maumu?" tantang Ai.
Shinichi mendengus, "Apa mauku?"
"Katakan saja apa yang kau inginkan, jangan berputar-putar lagi."
Shinichi tak menjawab, dia malah memalingkan wajahnya.
"Kudo, jika kau tak ingin bicara lagi... aku pergi duluan."
Tak ada reaksi.
Ai menghela nafas dan memutar badannya.
"Tunggu!" suara Shinichi tajam menghentikan langkah Ai. Gadis itu menoleh, "Apa lagi, Ku—"
Ai tak bisa melanjutkan kata-katanya karena Shinichi telah memeluknya dengan begitu erat. Mendekapnya dengan segala perasaan frustasi yang tak sanggup dikatakannya terus terang. Gadis itu bisa merasakan nafas Shinichi yang hangat menerpa telinganya, bagaimana tangan pria itu membelai punggungnya tanpa sadar, dan membenamkan wajahnya pada rambut pirang stroberinya.
Shinichi yang telah lama tidak mengalami kontak fisik begitu dekat dengan wanita, merasakan jantungnya berdebar, ada rasa aneh seperti sesuatu berputar di dalam perutnya. Ai bukan orang lain baginya, gadis itu adalah sahabatnya yang terdekat, dan yang paling bisa memahaminya sekarang.
Dia ingin waktu berjalan lambat... dengan Ai di pelukannya, membuat hatinya terasa tenang dan nyaman. Bagaimana gadis ini bisa membuatnya merasa begitu? Sama seperti Ran dulu...
Ai memejamkan matanya, entah kenapa pelukan pria itu terasa begitu pas dengan tubuhnya... Mereka seperti saling melengkapi. Terasa ironis karena pada saat sekarang...
Shinichi mendehem sebentar, suara yang keluar dari mulutnya terdengar serak. Dia seperti susah mencari kata-kata untuk mengeluarkan apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. "Kau tau apa yang kuinginkan, Haibara...? Aku..."
"Otou-san!" suara anak-anak memecahkan keheningan. Shinichi dan Ai seperti terlonjak lalu segera melepaskan pelukan masing-masing. Toshiro berjalan menuju mereka sambil mengucek matanya. Tak mampu menghilangkan rasa kikuknya, Ai segera mundur dan hampir setengah berlari meninggalkan mereka.
Shinichi yang hendak memanggil Ai, akhirnya membatalkannya. Dia mengalihkan pandangannya pada Toshiro lalu mengacak-acak rambut putranya, "Pagi sekali kau bangun?"
Anak laki-laki itu tertawa riang, "Kau tau, Otou-san... aku tadi bermimpi kalau okaa-san masih ada dan sedang memasak masakan kesukaanku..."
.
.
.
Ai menutup pintu kamarnya hati-hati. Setelah mengatur nafasnya, gadis itu duduk di ranjangnya. Dia kelihatan berpikir sejenak, lalu mencari sesuatu di tas kecil yang selalu dibawanya.
Dibukanya ponsel Prada terbarunya, jemarinya menekan tombol no 2 pada fungsi speed-dial. Nomor 1 selalu untuk Hakase.
Setelah beberapa saat, terdengar nada sambung.
"Halo?"
"Ai? Kau sudah bangun?"
"Jadi kau pikir siapa yang sedang bicara saat ini?" tanya Ai sarkastik. Terdengar tawa di ujung telepon. Suara pria.
"Bukankah kau melarangku meneleponmu selama kau di Jepang? Kau tau kalau aku berkali-kali ingin meneleponmu, tapi aku berhenti sepersekian detik sebelum ada nada sambung."
"Huh. Aku baru beberapa hari di Tokyo dan kau sudah bersikap seperti pria posesif."
"Hahaha." Pria itu tertawa tergelak-gelak. Suaranya entah kenapa menenangkan hati Ai walau gadis itu tak pernah menunjukkannya ketika bersamanya. "Serius, Ai... aku merindukanmu..."
"..."
"Hey, bicaralah sesuatu. Aku ingin mendengar suaramu lebih lama..."
Ai tersenyum kecil, "Bagaimana kalau aku mulai menceritakan teorema pyhtagoras..."
"Ai..." erang pria itu.
Cahaya sinar matahari mulai menyeruak, menyinari ruang tidur yang ditempati Ai sekarang.
Gadis itu kemudian berdiri dan menutup tirai jendela.
"Ai..." panggil pria itu lagi, nada suaranya terdengar cemas. "Apa sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Ai?"
Gadis itu tak menjawab. Hanya desah nafasnya yang terdengar di ruangan itu.
"Ai..." ulang pria itu sekali lagi.
"Bagaimana kabar Hakase? Apa dia berhasil menemukan kotak biskuit yang kusimpan di balik lemari?" tanya Ai sambil mengalihkan pembicaraan. Terdengar hela nafas panjang dan suara pria itu kembali terdengar yang mengatakan kalau Hakase baik-baik saja. Pria itu juga menceritakan banyak hal, walau sepertinya konsentrasi Ai sedang terbagi dua.
.
.
.
Shinichi memperhatikan anak kesayangannya sedang menyantap puding coklat di atas meja dengan begitu lahapnya.
"Pudingnya enak, Toshiro?" tanya detektif itu. Yang ditanya mengangguk riang sambil mengunyah.
"Sama enaknya dengan buatan okaa-san dulu," katanya di sela-sela kunyahan.
Ran...
Detektif itu memejamkan matanya perlahan.
Perasaan bersalahnya menyergap tiba-tiba.
.
.
.
"Ai..." sahut pria itu ketika dia menyadari kalau Ai lebih banyak diam selama perbincangan mereka.
"Aku akan menerima cincin itu."
Terdengar hening sejenak, lalu suara pria itu terdengar bergetar, "Apa kau serius, Ai?"
"Menurutmu?" tanya Ai balik.
"Kau harus tau, Ai... Apa yang telah menjadi milikku, akan kupertahankan sekuat tenaga. Kau... Kau takkan bisa lari dariku lagi."
Ai tersenyum kecil, merasakan emosi yang terbelit pada kata pria itu.
"Seperti pria posesif lainnya, kau selalu merasa tidak percaya diri kalau menyangkut perasaan."
"Hey," pria itu menggerutu, "ini karena kau berulang kali menolak diriku..."
Senyuman Ai melebar, "Apa kegiatanmu telah selesai?"
"Ai."
"Ya?"
"Aku akan pergi ke Jepang sekarang. Penerbangan pertama."
"Hey!" protes Ai. "Kau tak perlu ke sini."
"Tidak. Aku ingin bertemu denganmu. Ingin sekali."
"Eh, tapi..." tapi pria itu memotong dengan cepat sebelum memutuskan pembicaraan, "sampai ketemu nanti, Ai."
Ai hanya mengangkat alisnya dan mematikan ponselnya. Wajahnya tak berekpresi tapi sepertinya ada sesuatu yang sedang berkecamuk dengan begitu hebatnya di dalam.
.
.
.
Untuk pertama kalinya dia merasa bersalah...
Berkhianat pada mendiang istrinya.
.
.
.
tbc
A/N : Berhubung hanya ini satunya2 dokumen yang berhasil di save di dalam ffn, maka untuk sementara ini saja yang diupload. Gw uda menulisnya hingga 1000an kata bulan lalu.
thanks atas reviewsnya pada chapter sebelumnya, alihitori7 - tentu saja akan ada adegan romantis antara dua tokoh utama. nantikan saja ya hehe. Guest - ini uda diupdate, carverwords19 - thanks. fic mu kapan diupdate juga? :) , darkcrowds - ini uda dilanjutkan, aida mizunari - apa gaya bahasa gw berat-berat ya hehe. betul sekali, fandom DC paling sepi padahal penjualan manganya no 2 setelah naruto. jadi iri sama fandom tetangga ;( . aihabaraakihabara49 - tebak saja siapa pria ketiganya. Bukan Mitsuhiko kok ;) , ichirukilover30 -- iya, ini lagi ngeusahain ramein fandom. kayaknya cuma gw doank yang aktif ;( , marutaro - thanks, ahmasasonko - thanks, ace - thanks, PureAi - komp gw rusak, semua chapter yang telah ditulis garis besar hilang, termasuk pics2 CoAi ;( , ai - tenang saja. Haibara Ai gak mungkin dapat sad ending. Gosho sensei sendiri udah menjanjikan happy ending, tapi kalo misalnya Ai mati karena lindungi Conan atau gimana, gw kirim email ke penerbitnya entar... haha. Mell Hinaga KUran - ini uda diupdate, fics-mu kapan nih? ;) , kiutemy - orang ketiganya gampang aja ketebak kalau rajin mengikuti manga scan hingga chapter terbaru fufufu :3 #hints , ayuussi - ini udah lanjut. thanks.
Sepertinya orang lebih menyukai fics From India with love dilanjutin. Tenang saja, gw udah mengira-ngira garis besarnya. Soalnya Sebastian udah ngotot minta jatah tampil sih hehe
Thanks for reading ^_^
