"Hei. Aku mengganggu waktu tidurmu?"

"Tidak. Aku sudah bangun dari tadi. Kenapa? Sudah sampai?"

"Aku baru saja keluar dari hotel dan sekarang mau berangkat ke ferrovia."

Aku teringat bahwa kemarin sore, tepat setelah aku kembali ke hotel, Yuuma menelponku dan mengabarkan bahwa ia sedang berada di Marco Polo, baru saja turun dari pesawat yang akan membawanya ke daratan Mestre.

Perjalanan ke sana memakan banyak waktu. Yuuma tadinya ingin langsung berangkat ke Rialto Bridge, akan tetapi hari sudah petang. Seluruh transportasi menuju venice berhenti beroperasi di malam hari. Jadi, mau tak mau, ia menginap semalam di penginapan terdekat.

"Terdengar bagus. Kalau begitu, aku akan menjemputmu di halte stop vaporetto dekat Rialto Bridge. Oh, ya, dan jangan lupa beli kartu pas vaporetto untuk empatpuluh delapan jam. Beli yang tujuhpuluh dua jam jika kita memang ingin memperpanjang liburannya sampai tiga hari ke depan, itu akan menghemat biaya setiap kali kau naik vaporetto."

Tak ada jawaban dari seberang sambungan.

"Halo?" panggilku. "Ada orang di sana?"

"Ya, Luka. Kau … apa kau baik-baik saja?"

Tidak. Aku merasa sangat buruk. Aku bahkan berani bersumpah, tidak pernah merasa seburuk ini seumur hidupku. Maksudku, siapa juga yang tidak merasa demikian setelah mengetahui bahwa saudara kembarmu adalah seorang penyuka sesama jenis dan menyukai orang yang sama dengan dirimu? Siapa juga yang tidak merasa buruk saat mengetahui, bahwa saudara kembarmu memang terjun dari gedung resepsimu dengan sengaja. Dan tujuan di baliknya adalah, agar pernikahanmu batal—atau setidaknya, tertunda selama beberapa lama.

Luki berhasil mewujudkan keinginannya. Pernikahan kami memang tertunda. Dan aku frustasi karenanya.

Aku pun bertanya-tanya, apakah saudaraku itu sedang menari-nari bahagia di langit? Apakah dia tertawa cekikikan melihat aku sedih karena terpaksa menunda acara yang kutunggu seumur hidupku? Apakah … apakah dia puas melihatku dan Yuuma menangisi kepergiannya—aku bahkan kini menangisi realita!

Seandainya aku tahu, mengapa garis-garis hidup kami—aku, Yuuma dan Luki— bisa ditarik dengan cara yang rumit.

Akan tetapi, aku buru-buru menggeleng untuk menghilangkan seluruh pikiranku dan segera mengatakan, "Tentu. Aku baik-baik saja. Kenapa bertanya?"

"Entahlah. Suaramu terdengar berbeda."

Ah, ini pasti karena aku menangis semalaman setelah membaca dokumen di laptop Luki. Curahan hati Luki lepas semua melalui abjad-abjad yang tersusun begitu rapi hingga membentuk kumpulan realita. Mereka menyerangku, menghunjamku dari belakang hingga aku kesulitan mengambil napas.

Pada akhirnya, aku menangis. Walau aku tidak tahu pasti alasanku menangis. Apakah karena aku sedih, marah, kecewa, ataukah semuanya? Aku tidak terlalu paham.

"Apa kau sakit?" suara Yuuma terdengar tidak seringan biasanya. Aku bisa merasakan kecemasan bersembunyi di balik nada suara pria itu, dan itu membuatku refleks tersenyum tipis.

Setidaknya, di antara semua kekacauan ini, aku tahu satu hal. Yuuma mencintaiku.

"Kau kedengarannya mengkhawatirkanku." Aku membalas dengan nada mengayun, tanda main-main. "Hei, apa tidak bertemu beberapa hari telah membuat tingkat perhatianmu bertambah?"

"Apa yang kau katakan? Aku selalu mengkhawatirkanmu, tahu."

Itu adalah jawaban refleks, tapi aku bisa merasakan pipiku memanas. Yuuma dan perhatiannya yang spontan selalu sukses membuatku merasa berharga. Sangat berharga. Dan, sebagai wanita, aku merasa senang.

Bukankah semua orang juga akan merasa senang jika mendapat perhatian dari orang yang disayang?

"Terima kasih," jawabku tulus. "Tapi sungguh, aku tidak apa-apa."

"Kau yakin?"

"Seratus persen." Seratus persen bohong, maksudnya. Maaf. Aku belum bisa mengatakan ini padamu. "Mungkin hanya flu. Aku membuka jendela kamarku semalam."

"Dasar. Bagaimana aku bisa mencintai wanita yang nekat membuka jendela kamar hotelnya di malam musim gugur? Berhentilah membuatku cemas."

Aku terkekeh. Aku tahu Yuuma bermaksud memarahiku, tapi aku tidak dapat menahan geli di perutku. Perhatian Yuuma terasa hangat dan menyenangkan, asal kalian tahu. "Maafkan aku. Janji tidak akan kuulangi lagi."

"Hidungmu akan panjang seperti Pinokio jika ingkar, ya?"

"Jahatnya!"

Kami tertawa selama beberapa saat.

"Jadi, hubungi aku jika sudah naik vaporetto, oke?"

"Baiklah. Eh, Luka."

Aku, yang baru saja hendak menekan tombol merah di ponsel, buru-buru meletakkan kembali ponselku ke telinga. "Ada apa?"

"Kau tahu, aku baru saja dapat kursus kilat bahasa Italia."

"Oh, ya?" tanpa sadar, aku menjawab dengan tertarik.

"Tentu. Aku akan mengucapkan sesuau padamu dalam bahasa Italia."

"Coba, katakan."

"Significhi tutto per me. Ti voglio sempre avere al mio fianco."

Dan sambungan terputus.


"Significhi tutto per me. Ti voglio sempre avere al mio fianco."

You mean everything to me. I always want you by my side.


Tipuan yang Salah

SELESAI