You're Just Fine By: AquaIta

Disclaimer: Masashi Kishimoto Rate: T+ (for now)

Warning: Older-younger relationship, mental disorder in children, abnormal love infatuation, OOC, IC, male relationsip, mention of abuse, typos (maybe), maaf jika ada sebutan kasar penyakit tertentu, dll.

Pairing: SasuNaru, NaruSasu.

Summary: Naruto, seorang ANBU. Sasuke, anak kecil yang selamat dari insiden pembantaian Uchiha. Siapa sangka, melihat pembunuhan massal di depan matanya akan membuat Uchiha muda yang awalnya jenius itu menjadi… keterbelakangan mental? "Dia menjadi labil, tidak mau bicara, dan terlihat seperti orang idiot—bukan idiot sepertimu, Naruto—maksudku, benar-benar idiot." Dan Naruto harus mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan normalnya karena Sasuke menjadi terobsesi padanya.

.

.

.

Langit itu seolah terbakar.

Maafkan aku dan ketidakmampuanku untuk memilih kata. Tapi yang benar saja, langit itu benar-benar seperti terbakar.

Bahkan orang yang tidak terlalu pintar sepertiku tahu bahwa langit malam itu harusnya bewarna hitam gelap, bukannya merah menyala seperti ini.

Dan terkutuklah Uchiha satu itu yang memutuskan untuk membakar seluruh area perumahannya dengan menggunakan Katon.

Yang benar saja.

"Kitsune! Apa yang kau lakukan disana?! Bantu aku untuk mengevakuasi para Uchiha!" terdengar suara seseorang meneriakiku yang hanya berdiri di depan gerbang perumahan Uchiha.

Aku mengangkat sebelah alis. "Tidak perlu. Mereka pasti sudah menjadi abu sekarang, Ketua."

"Jangan berkata seperti itu, Idiot! Pasti ada satu atau dua orang yang selamat!"

"Dan semua orang mengatakan aku bodoh," gumamku kesal. "Ada yang masih hidup di lautan api seperti ini. Ha, siapa yang bodoh sekarang?"

Aku berusaha peduli, sungguh. Namun aku tidak sebaik yang orang lain pikirkan. Aku juga bisa membenci, dan aku benci klan Uchiha. Aku juga bisa tidak memaafkan, dan sampai kadal bertelur musang pun aku tidak akan memaafkan mereka.

Lalu pandanganku tertuju pada tulisan meliuk yang menghiasi gerbang Uchiha. Menghela napas, aku berusaha menggali kembali kepedulianku terhadap klan ini yang sudah lama hilang.

Pada akhirnya aku tetap berlari bersama ANBU yang lain. Mungkin, mungkin, ada yang masih hidup.

.

.

.
Sai, dengan kode Root—walau Naruto ingin sekali mengganti kode namanya menjadi Hentai atau Ecchi atau apapun yang lebih cocok dengan sifat mesumnya—menunjuk sebuah ruangan besar yang terlalap api. Naruto mengangguk, berlari kearah ruangan yang dimaksud, nyaris menginjak seorang wanita yang tergeletak di dekat pintunya.

"Maaf Nona, permisi… Ya, jika kau bisa minggir sedikit…"

"Berhenti main-main, Kitsune. Kau tahu dia sudah tidak bisa bergerak." Sahut Root yang sedari tadi mengawasi Naruto.

"Sedikit sopan santun tidak akan membunuhmu, Baby." Timpal Naruto tidak peduli. "Dan omong-omong, yang ada di ruangan ini juga sudah mati semua." Sambungnya lagi tanpa melirik ke ruangan tersebut dua kali. Berterima kasihlah pada kemampuannya untuk mendeteksi cakra dengan sangat akurat.

"Kalau begitu coba yang disana," tunjuk Root tak sabaran, menjentikkan jarinya ke pintu ruang bawah tanah dekat gelimpangan mayat Uchiha.

Naruto melirik sejenak. "Negatif."

Root menghela napas panjang. "Kalau begitu kuubah strategi. Apa ada yang masih hidup?"

Naruto terdiam. Ada, batinnya lirih. Ada.

Dia bisa merasakannya. Cakra yang samar. Tipis. Namun masih hidup.

Ya, jika mereka menyelamatkannya paling lama 5 menit dari sekarang.

"Well?"

Lalu Naruto teringat bagaimana para Uchiha menatapnya mencela dari balik kelopak mereka. Ia ingat bagaimana ia berusaha memaafkan, berusaha peduli, ketika mereka sama sekali tidak meliriknya ketika dia masih bocah dulu.

"Tidak."

Root mengangkat sebelah alisnya apatis.

"Mereka semua mati, Root." Bisik Naruto, berusaha mengabaikan gejolak aneh di perutnya. "Mereka sudah tidak ada lagi."

Root menatap Naruto. Lama. Pandangan yang mengisyaratkan dia tahu sesuatu, namun memutuskan untuk menyiksa jiwa-jiwa malang dalam perasaan bersalah.

"Begitu."

Oh, Naruto benci nada itu.

Lalu tiba-tiba ia menggambar sesuatu di perkamennya. Seekor naga. Jelek, berkumis, dan terlihat berlendir dengan tinta hitam seram yang menetes-netes.

"A-apa yang kau lakukan?"

Naga itu meliuk keluar, semakin lama semakin membesar. Jika saja Naruto dihadapkan dalam situasi yang berbeda, dia pasti sudah menertawai Sai yang dengan percaya dirinya menciptakan jutsu seperti itu sedangkan ia menggambar naga seperti terong.

Namun tidak, dia sama sekali tidak bisa tertawa. Terlebih ketika naga itu mulai… berpusar?

Oh, tidak.

"Kau tidak akan melakukannya." Bisik Naruto panik. Jutsu baru Sai, Haiyoutei. Jutsu yang cukup simpel. Dia hanya akan menggambar seperti biasa dan voila, binatang tersebut akan berpusar dan menjadi black hole yang memakan benda sekelilingnya dalam radius yang sesuai dengan ukuran binatang yang dia gambar.

Oke saja kalau dia menggambar anjing pudel atau hello kitty, mungkin yang terserap dalam black hole itu hanya 200-300 meter. Tapi ini naga.

Naga hitam, buruk rupa, dan benar-benar… besar.

"Kau tidak bisa menghilangkan barang bukti dan tempat kejadian, Root! Tim investigasi membutuhkannya untuk menyelidiki kasus ini!" seru Naruto kalap. Semuanya akan lenyap dalam jutsu Sai, dan hanya akan menjadi hiasan di gulungan miliknya sebelum Sai mengeluarkannya kembali.

Dan orang itu masih ada disana…

"Justru Kitsune, aku akan mempertahankan barang bukti," ucap Root kalem. Naruto ingin sekali mencolok rasengan ke mulutnya. "Jutsu ini akan mencegah mayat-mayat membusuk dan korosi pada bangunan menyedihkan ini. Tempat kejadian akan tetap seperti baru saja terjadi, dan tidak akan ada pembusukan yang menghambat investigasi."

"Dan kenapa—" Naruto menyipitkan mata curiga. "Jutsumu itu bisa melakukan hal sehebat itu?"

Bibir Root terangkat sedikit ke atas, seolah sudah bisa menduga pertanyaan Naruto. "Kau tahu apa yang membuat korosi dan bahan organik membusuk?"

Bagus Sai. Jika kau sepintar itu, tentu kau ingat bahwa Naruto itu seorang idiot.

"Hah?"

"Udara, Kitsune. Udara." Seringai itu semakin terkembang bak layangan. "Tanpa udara, pembusukan tidak akan terjadi."

Naruto memasang wajah datar. "Oksigen, maksudmu."

Naga itu meraung mengerikan.

"Kau sangat pintar, Kitsune." Desis Root dingin. "Well, jika kau bisa menyingkir? Cukup banyak yang harus aku, ah, hilangkan disini. Dan kau tentunya tidak ingin terserap ke dimensi yang tanpa oksigen."

Entah mengapa cara Sai menyebut oksigen terdengar seperti…

Naruto menelan ludah. Ia bisa merasakan cakra itu semakin melemah, hanya terasa seperti hembusan angin di musim kering. Samar sekali.

Namun ia masih hidup.

Tapi jika naga sialan ini ikut menyerap orang itu juga…

Naruto membulatkan tekad. Persetan dengan perlakuan buruk Uchiha terhadapnya. Ia tahu dari dulu kalau dia orang baik, dan orang baik itu tidak akan meninggalkan seorang yang sedang sekarat dikubur hidup-hidup dalam perut naga dan menjadi hiasan dinding Sai.

"Setengah jam setelah kita keluar dari sini, Root, aku akan membunuhmu."

Lalu Naruto melesat pergi, meninggalkan Sai yang tersenyum tipis.

.

.

.

Naruto menemukannya.

Seorang anak kecil tergeletak tak sadarkan diri di dekat sumur tua, paling ujung dari perumahan Uchiha yang membara.

Namun anehnya anak tersebut terlihat baik-baik saja, tidak ada efek kebakaran yang menyentuh kulitnya, seakan-akan ia dilindungi oleh kekkai tidak terlihat.

Dan ternyata ia benar-benar dilindungi oleh kekkai yang kuat, mementalkan apa saja yang berpotensi menggores tubuh sang bocah.

Naruto melepas kekkai itu tanpa hambatan yang berarti. Dia menjadi ANBU bukan tanpa alasan. Yeah, sok sedikit kanan kiri tidak akan menyakiti siapapun, kan?

"Huu… hu…"

Hah, anak ini masih sempat menangis. Padahal tidak sadar. Uchiha benar-benar hebat.

"Huuu… huu…"

Naruto yang sedang menggendong anak tersebut mengerutkan kening. Jujur saja, dia selama ini tinggal sendiri dan otomatis, pengalamannya dengan anak kecil itu nol besar.

Tapi masa bodoh, yang penting dia harus membawa anak ini secepatnya ke rumah sakit. Naruto punya firasat buruk tentang bocah yang berada dalam gendongannya. Walaupun anak ini tidak terluka, namun dari raut wajah dan tangisannya mengingatkannya pada dirinya sendiri. Cara dia menangis persis sama dengannya dulu.

Dan percayalah, apapun atas nama 'persis dengan dirinya dulu', bukanlah hal yang bagus.

"Aku tidak tahu kau akan menggendong orang mati dengan tergesa-gesa seperti itu, Kitsune."

Naruto melirik ke belakang dan nyaris melemparkan apapun yang bisa ia lempar ke kepala Root sebelum ia sadar bahwa satu-satunya yang bisa ia lempar sekarang adalah bocah yang berada dalam dekapannya.

"Aku masih tetap akan membunuhmu." desis Naruto kesal. Naga setengah terong itu tidak tampak dimanapun. Sai sialan, mempermainkannya seperti itu.

Root tersenyum miring di belakang Naruto. Mengibarkan gulungannya, ia menggambar sebuah elang besar dan menarik kerah baju Naruto.

"Naiklah, akan jauh lebih cepat."

Naruto menatap Root sejenak sebelum melompat ke punggung sang elang. Mengerutkan hidungnya, ia menatap kepala elang jadi-jadian yang membawanya terbang membelah angin.

'Dan sekarang ia menggambar burung setengah anak tikus.' Batinnya jijik.

Karena hanya Sai yang akan menggambar elang tanpa bulu.

.

.

.

"Kau, bocah menyebalkan yang tidak tahu kapan harus menggunakan kepalamu, baru saja nyaris meninggalkan keturunan terakhir Uchiha dalam api!"

Naruto langsung memasang wajah terluka.

"Tapi Baa-chan, aku tidak melakukan hal yang salah! Kenapa—"

"Kau mengobrol dulu dengan Sai sebelum menyelamatkan Sasuke, Kutu Kasur! Apa kau tahu saat kau membawanya kesini, laju pernapasannya begitu lambat?!"

"Dia dilindungi oleh kekkai!"

"Kekkai tidak menyediakan oksigen untuk bernapas di tengah api! Kau pikir kekkai itu apa, hah?! Gelembung yang bisa berfotosintesis?!"

Naruto kicep.

Karena apapun yang ia katakan, pasti ujung-ujungnya salah juga.

Ingat peraturan pertama Konoha: Hokage tidak pernah salah. Peraturan kedua: Jika Hokage berbuat salah, kembali ke peraturan pertama.

Sebenarnya hanya ketika rezim Tsunade saja peraturan ini berlaku. Dasar nenek sihir.

"Baik, baik. Aku minta maaf. Aku rela di-skors selama 2 bulan dari ANBU. Lebih dari itu juga tidak apa-apa." Sahut Naruto mengangkat bahu. Tsunade yang mendengarnya melempar gulungan jutsu ke kepala Naruto.

"Hukumanmu akan jauh lebih baik dari itu, Naruto." desis Tsunade murka. "Keturunan Uchiha terakhir nyaris mati karena kecerobohanmu."

Naruto menatap dingin Tsunade. "Aku membenci klan Uchiha," bisiknya. "Kenapa aku harus peduli?"

Seketika itu juga mata Tsunade melunak. Ia tahu bahwa kualitas benci yang dirasakan Naruto jauh lebih rendah dari kebanyakan orang. Pemuda pirang itu terlalu baik, hingga kebencian yang ia rasakan masih mampu membuatnya menolong satu-satunya korban selamat klan Uchiha.

Hidup Naruto tidak pernah mudah, bahkan hingga sekarang. Terlahir sebagai jinchuuriki dan dalam keadaan yatim piatu membuatnya tidak memiliki banyak pilihan. Klan Uchiha merupakan klan yang mampu mengontrol Kyuubi dalam tubuh Naruto, dan sejak ia bisa mengingat, ia telah dijadikan semacam objek latihan para Uchiha untuk meningkatkan kontrol sharingan mereka.

Percayalah, memiliki monster yang meraung di dalam tubuhmu karena dipermainkan terus-menerus sebagai bahan latihan itu sangat menyiksa.

"Aku tahu, Naruto," ucap Tsunade perlahan. "Tapi tolong bertanggung jawablah sebagai seorang ANBU. Singkirkan perasaan personalmu, dan lakukan misi dengan baik. Terkadang, satu salah langkah yang kau ambil, satu menit yang kau lewatkan, itu semua dapat menentukan hidup dan mati seseorang."

Naruto memutar bola matanya. Yeah, katakan itu pada Uchiha ketika mereka mempermainkannya dulu.

"Oke, oke, kau menang Baa-chan. Sekarang bisakah aku keluar dan pergi me—"

"Hokage-sama."

Suara Shizune menginterupsi pembicaraan hangat mereka. Wajah Shizune berkeringat, dan hidungnya berkerut ketika ia berbicara lagi.

"Uchiha Sasuke sudah sadar."

Thank God, batin Naruto sarkastis. Ujung matanya melirik Tsunade yang tersenyum lega.

"Tapi—"

Senyuman kecil Tsunade menghilang seketika. Bertahun-tahun pengalaman dalam dunia persilatan memberinya pelajaran bahwa kata 'tapi' merupakan sinyal dari masalah yang lebih besar.

"—ia terlihat sedikit berbeda dari biasanya."

Please, Naruto memutar bola matanya malas. Jika ada orang yang keluarganya dibantai oleh kakak sendiri dan nyaris mati terbakar kemudian dia bersikap biasa saja, maka orang itu tidak beres.

"Bawa aku kesana—dan Naruto," kepala Naruto menukik cepat. "Kau ikut denganku."

"Tapi—"

"Sekarang."

Naruto mengumpat.

.

.

.

Ruangan itu baunya menjijikkan. Aroma pinus sementara ini musim panas, yang benar saja. Bau obat-obatan menguar begitu mereka membuka pintu. Nuansa putih langsung menyapa matanya, membuat Naruto menyipitkan matanya. Ada apa sebenarnya dengan rumah sakit dan warna putih?

"Bagaimana keadaanmu, Sasuke?" tanya Tsunade mencoba bersikap ramah. Naruto yang mengikutinya di belakang mengerutkan dahi. Kata 'ramah' dan 'Tsunade' tidak akan pernah cocok berada dalam satu kalimat.

Perlahan sang subjek yang menjadi perhatian menoleh ke arah mereka. Anak itu tampan, sangat. Rambut gelap dengan mata yang lebih gelap lagi. Kulit putih yang membuat gorden dengan warna serupa yang berkibar di belakangnya tampak pucat.

Anak yang dipanggil Sasuke itu terdiam menatap Tsunade. Mata gelapnya tidak bisa dibaca. Untuk sesaat kesunyian mendominasi, hingga tiba-tiba Sasuke berteriak nyaring.

"GAAAHHHH!"

Refleks Tsunade dan Shizune melompat menjauh. Naruto tanpa sadar berada dalam posisi menyerang. Hell, pertama anak itu baik-baik saja lalu kenapa mengamuk seperti ini?

Sasuke menatap nyalang ketiganya. Kuku mencengkram selimut yang dipakainya sebelum menyibakkan selimut itu dan membungkus dirinya sendiri.

"KHAAAA!"

Lalu dengan gerakan secepat kilat, ia turun dari tempat tidurnya dan berguling ke sudut ruangan.

Kemudian sunyi.

Tsunade mengedipkan matanya. Sekali. Dua kali. Sunyi lagi.

"Apa yang terjadi padanya?" suara Naruto menggema di ruangan luas itu. Mata langitnya menatap waspada Sasuke yang memutar kepala ke arahnya begitu cepat hingga Naruto bersumpah mendengar leher anak itu berderak.

Sasuke menatapnya intens. Tatapannya mengerikan, dengan seluruh tubuh dan wajahnya tertutup selimut, kecuali kedua matanya. Bocah itu bernapas cepat, mencengkram selimutnya hingga berkerut.

Tsunade yang sudah pulih dari syoknya menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ia dengar. "Shizune, ambilkan obat bius."

Tubuh Sasuke tersentak hebat saat Shizune tergesa keluar ruangan. Mata elangnya menatap tajam punggung Shizune, menggeram ketika langkah wanita itu terdengar terlalu keras untuk telinganya.

Kemudian ia menatap Naruto lagi.

Yang ditatap langsung merasa risih. Kenapa dengan bocah ini? Apa ia kerasukan arwah gentayangan Uchiha?

"Na… Na…"

Naruto terkesiap. Sasuke baru saja berbicara—atau lebih tepatnya mencoba berbicara—diantara sumpalan selimut di sekitar mulutnya. Belum hilang kekagetan Naruto, perlahan Sasuke menyeret pantatnya ke arah sang ANBU pelan, matanya tidak pernah meninggalkan Naruto sekalipun.

"Na… Na… Na…" gumamnya tidak jelas. Mata hitamnya berkilau jenaka.
Lalu secepat hal itu terjadi, secepat itu pula ia diam.

Perubahan sikapnya begitu drastis hingga tanpa sadar Naruto terpana sejenak. Wajah anak itu kembali statis, menatapnya tajam bagai buaya menanti mangsa.

Tsunade yang melihat sikap Sasuke mencoba mendekat. Sepertinya… sepertinya ia tahu apa yang sedang terjadi.

Uchiha Sasuke, bocah jenius kebanggaan Akademi…

Oh, sial.

"Sasuke?"

Jeritan nyaring terlepas dari bibir Sasuke. Secepat kilat ia berguling menjauhi Tsunade, membuatnya tampak seperti guling yang menggelinding. Setelah ia sampai di kaki ranjangnya, barulah ia berhenti.

Naruto mengamati dengan takjub bagaimana Sasuke perlahan melepaskan diri dari selimutnya. Kemudian bocah 11 tahun itu merayap naik ke ranjangnya, duduk sejenak, lalu memeluk lututnya sendiri.

Wow, pikir Naruto. Wow.

Sunyi kembali melanda. Baik Tsunade atau Naruto tidak ada yang berani berbicara. Mereka hanya menatap sosok rapuh yang tengah memandang kosong vas bunga di seberang ruangan.

Pintu kamar berderit terbuka, lalu tampaklah sosok Shizune yang mengenggam nierbekken berisi jarum suntik dan obat penenang. Sasuke yang awalnya bersikap statis, perlahan menoleh ke arah mereka, sangat perlahan hingga membuat bulu kuduk Naruto merinding.

Tsunade menunggu.

Dan ketika mata Sasuke menangkap kilat kecil jarum di tangan Shizune—hal itu terjadi.

Sasuke meraung. Seketika tubuhnya mengejang, lalu sepersekian detik kemudian bangkit dan berlari menerjang Shizune.

"GAAHHH! PERGI! PERGIII!"

Shizune menjerit ketika Sasuke menindihnya dan menjambak rambutnya. "Sasuke! Hentikan! AH! JANGAN MENJAMBAKKU!"

Tsunade bereaksi cepat. Ia mengambil jarum yang terlepas dari tangan Shizune, menghampiri Sasuke yang masih menggila, dan menyuntikkan cairan penenang di bagian leher Sasuke.

Efeknya spontan. Gerakan Sasuke langsung terhenti. Namun Tsunade tidak bodoh, obat penenang dosis tinggi pun baru berpengaruh paling cepat 2 menit kemudian, tidak mungkin Sasuke menghentikan aksi brutalnya karena terpengaruh obat.

Naruto yang masih terpaku merinding ngeri ketika Sasuke menoleh ke arahnya dan menatapnya. Lama. Was-was tentang apa yang akan Sasuke lakukan selanjutnya, tanpa sadar Naruto meraih kunai di saku celananya.

Sasuke mengikuti gerakan tangan Naruto dengan intens. Lalu ketika ia menyadari bahwa Naruto tidak bermaksud menyerangnya, ia kembali menabrakkan matanya ke mata langit Naruto.

Kemudian ia menangis.

"Huuu… hu… huuu…" isaknya pelan. Tubuhnya menarik diri dari Shizune dan merangkak ke arah Naruto. "Hu… hiks, huuu…" tangisnya semakin keras. Ia semakin mendekati Naruto yang membatu menatap Sasuke.

Tidak sekalipun kontak mata mereka terlepas, dan Naruto tidak berniat sekalipun menolehkan matanya kearah lain. Ia terus menatap Sasuke yang merangkak mendekatinya dengan linangan air mata.

"Kau takut?"

Naruto tidak percaya apa yang baru saja ia katakan. Ia mengucapkan hal itu tanpa sadar. Tangisan Sasuke saat ini, persis sama dengan tangisannya saat Naruto menyelamatkannya semalam.

Sasuke menangis semakin keras.

Kaki Naruto seolah bergerak sendiri. Ia berjalan mendekati Sasuke yang tergugu di lantai, menangis seperti balita yang kehilangan ibunya—faktanya, ia benar-benar kehilangan ibunya.

"Jangan takut," Naruto mendengar suaranya sendiri berbicara. "Jangan takut."
Naruto terus berbisik, berbisik pada Sasuke yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Wajah pucatnya kini memerah dan ingus meleleh di hidungnya. Naruto pernah melihat pemandangan ini sebelumnya, jauh bertahun-tahun yang lalu.

Saat ia bercermin di kamarnya yang sempit dan menemukan seorang anak kecil disana.

Naruto berani bersumpah, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Namun ia menemukan dirinya mengulurkan tangan, mengusap air mata yang meleleh di wajah Sasuke lembut. Mengangkat anak itu ke pangkuannya, mengusap punggungnya dengan canggung.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Sasuke," bisik Naruto di telinga Sasuke yang mendadak mengejang. Tangisannya berhenti total.

Perubahan sikap yang tiba-tiba seperti ini benar-benar mengerikan.

"Aku tidak akan menyakitimu," bisik Naruto lagi, mengamati mata Sasuke mulai memberat. Sepertinya obat penenangnya mulai bekerja. "Kau tidak sendiri."

Sepertinya, itu adalah kata-kata yang paling ditunggu Sasuke. Tubuhnya yang kejang melemas. Rona mukanya tak lagi memerah, dan matanya semakin meredup. Namun tangannya yang tak seberapa dibandingkan tangan Naruto mencengkram bajunya kuat, menolaknya untuk melepaskan diri.

"Na… Na…"

Dan saat itu, saat itu, Naruto mengerti.

Bahwa sedari tadi, sejak awal, Sasuke berusaha memanggilnya.

.

.

.

Inoichi dan Ibiki baru selesai memeriksa alam bawah sadar Sasuke, menatap nanar sang Uchiha yang tertidur lelap, lalu berganti menatap Naruto yang risih dipandangi dengan tatapan penuh kasihan seperti itu.

"Naruto…" panggil Ibiki pelan. "Kau ingat dulu orang-orang selalu mengatakan padamu bahwa kau itu tukang cari masalah?"

Oh, tentu saja ia ingat. Dan ia tidak pernah lebih bangga dari titelnya itu dibandingkan yang lain.

"Well, sepertinya kami salah." Gumam Inoichi, menghela napas berat.

"Sepertinya masalah lah yang selalu mencarimu, Naruto."

.

.

.
Hai hai… Ita balik lagi dengan fic yang baru nih. Udah lama mendekam di otak sih, cuma baru kesampean sekarang. Ini fic bakal naik rate sesuai dengan perkembangan cerita, jd be aware! Muahaaha… oke, cukup bacotnya. As always, read and review!