"Apa maksudmu? Aku ya aku, Uzumaki Naruto," ucap Naruto menatap Ino bingung, "Ino, kau kenapa? "
Ino menggelengkan kepalanya lalu memijit dahinya berlahan.
"Aku tidak apa-apa," Ino menunjukkan senyumannya. Naruto menghela nafas lalu mengacak rambutnya gemas.
"Kau lapar, Ino?" tanya Naruto.
Ino mengganguk.
"Baiklah, kalau begitu biar aku ambilkan makan untukmu. Dan juga—," mata shappier itu menatap Ino dari dari atas kebawah. Berantakan. Ino menatap Naruto heran.
"—kau harus mandi, Ino-chan!kau tau, kau belum mandi selama seminggu ini," ucap Naruto sembari berjalan ke arah pintu kamar Ino.
BLAAM.
Pintu tertutup, Ino menatap kepergian Naruto. Ia menghela nafasnya berat. Yah, saat ini dilihat dari segi mana pun Naruto tetap terlihat seperti Naruto. Tapi bagi Ino, ada sesuatu yang berbeda dari Naruto. Apalagi ketika kedua mata mereka saling bertemu.
"Hah~," Ino menghela nafas untuk kesekian kalinya. Ia menatap pintu yang barusan Naruto lewati. Ino yakin memang ada yang aneh dengan Naruto. Ia sangat yakin tentang hal itu. Tapi entah apa itu.
Ino menggelengkan kepalanya.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Ino," tegurnya pada dirinya sendiri. Disamping itu ia tidak boleh berprasangka yang buruk-buruk terhadap pria yang ia cintai itu apalagi ia baru sadar dari pingsannya selama seminggu. Mengingat hal itu hati Ino menghangat sejenak. Tapi tunggu dulu...
"UAPPAA? SEMINGGUUUU?" teriak ia menyadari hal itu. Langsunglah ia bercermin di depan kaca.
"Oh tidak! Berarti tadi aku bertemu Naruto dalam keadaan seperti ini?" ungkapnya stres. Mungkin ini ungkapan yang berlebihan bagi orang yang baru tersadar dari pingsannya selama seminggu. Yah, tapi mau bagaimana lagi? Yang kita bicarakan saat ini adalah Yamanaka Ino, yang selalu cantik dan perfect secara penampilan, apa lagi ketika berhadapan dengan orang yang ia sukai.
Dan jadilah Ino langsung berlari ke kamar mandi untuk memperbaiki dirinya.
.
.
"Ino, ini makananmu," ucap Naruto masuk membawa nampan beserta piring dengan nasi penuh beserta lauk dan juga segelas air dan beberapa pil. Ia menggedarkan pandangannya ke segala arah mencari sosok yang ia cari. Nihil. Ino tak ada di ruangan itu, tapi Naruto yakin gadis itu tampaknya masih mandi karena terdengar shower yang masih menyala. Naruto berjalan meletakkan nampan di atas meja di samping kasur Ino. Lalu ia berjalan kearah pintu kamar mandi. Sejenak suara shower pun menghilang.
Tok. Tok. Tok
"Ino, kau masih di dalamkan?" tanya Naruto mengetok pintu. Beberapa menit kemudian tak ada jawaban dari sang empunya. Naruto mengenyitkan dahinya.
Tok. Tok. Tok
"Ino, kau tidak ap—,"
Ckrek.
Pintu terbuka menampilkan Ino yang hanya menggunakan handuk sebatas dada hingga setengah paha, saai ini kepalanya masih menatap kedalam kamar mandi. Ia belum sadar bahwa Naruto ada di depannya.
Glek.
Naruto menelan ludah melihat Ino. Menyadari ada hawa-hawa seseorang, Ino menatap ke depan. Ketika ia menatap ke depan, ia langsung membelalakan mata melihat Naruto di depannya. Saat ini, ia bisa melihat Naruto dengan blushing menghiasi wajahnya.
"KYAAAA~" teriak Ino.
"Naruto kau ngintip ya!" teriak Ino emosi. Mukanya memerah karana malu dan kesal.
"Ti-tidak, kok, a-aku baru saja masuk," ucap Naruto seketika bergedik ngeri.
"NARUUTOO! KAUU INI!" Ino berjalan mendekat ke arah Naruto.
"I-ino sa-sabar, Ino-chan~"
" Kau—ehh?!"
Seeet.
Ino terpeleset air dari sisa kamar mandi. Hap. Reflek Naruto menangkapnya.
Gyuuunt~
"NA-RU-TO!" bukannya berterima kasih, emosi Ino tambah memuncak. Keringat dingin keluar dari tubuh Naruto.
"Ue-he-he-he,"
"Apa yang kau sentuh, BAKA!" teriak Ino.
"A-aku ti-tidak sega-ja… sumpah!"
"DASAR PERVERT!"
PLAAKKKK.
.
DISCLAIMER: MASASHI KISHIMOTO
.
WHO ARE YOU?
by Sagita Naka
.
Main character: Ino Yamanaka, Sasuke Uchiha, Naruto Uzumaki, slight—Sakura Haruno
.
Oke ini prolog yang panjang bukan? :3
WARNING: apabila ada kesamaan cerita, percayalah saya hanya mengikuti apa yang di gambarkan di mimpi saya. Karena semua ide menulis saya berasal dari mimpi. DREAM COME TRUE bukan?/Banjiran typo dan EYD yang tak tepat/gaje/DLDR, please!
.
"Aduh, kau kasar sekali sih, Ino," ucap Naruto mengelus pipinya. Ia masuk lagi ke kamar Ino setelah gadis itu telah menggunakan pakaiannya.
"Siapa suruh kau masuk ke kamarku saat aku sedang mandi," ucap Ino berjalan cuek menghampiri makanan yang diantar Naruto tadi. Tapi walaupun cuek jantung Ino tetap tak berhenti berdetak kencang. Bagaimana ia bisa tenang kalo orang yang ia suka memegang bagian dari tubuhnya yang—ah, sudah lah jangan dipikirkan lagi.
"Itu juga salahmu tau! Siapa suruh keluar dengan keadaan begitu? Pake acara kepeleset lagi," gerutu Naruto masih dengan blushing di wajahnya.
Pertanyaan itu memunculkan perempatan di dahi Ino.
"Kau mau berhenti mengeluh dan membahas hal itu, atau kau ingin mendapatkan 'sesuatu' yang lebih? Hm?" ucap Ino dengan senyuman mematikannya. Seketika Naruto bergedik ngeri.
"Baiklah-baiklah, aku mengerti," ucap Naruto menghempaskan dirinya ke sofa kamar Ino. Ino menggelengkan kepalanya.
Setidaknya bukankah ini tingkah Naruto seperti biasanya. Bodoh, polos, dan apa adanya. Dan tiada hari tanpa memukulkan pukulan ringan kepada Naruto. Bahkan di hari pertama kebangkitannya(?) setelah pingsannya.
Ino tersenyum. Seketika perasaannya menghangat. Dengan begini ia jadi bisa menepis prasangkanya beberapa menit yang lalu. Dan melupakan kekesalannya beberapa saat. Ia pun mulai melahap makanan yang di bawakan Naruto tadi.
"Tou-san mana?" tanya sang gadis bak barbie itu tanpa beralih dari makanannya.
Naruto yang tadi memejamkan matanya lalu membuka matanya berlahan. Ia menatap Ino yang tak menatapnya, "Paman pergi sebentar, tadi ada panggilan dari kantor pusat. Tadi aku juga sudah menghubunginnya kalau kau sudah sadar, jadi mungkin sebentar lagi ia akan kemari,"
"Oh begitu," balas Ino singkat. Ia masih sibuk memasukkan makanan ke mulutnya.
Naruto mengenyitkan dahinya. Tampaknya gadis ini masih marah kepadanya.
Naruto bangkit dari tidurnya lalu duduk menatap Ino.
Gleb.
"He-hey?!" Ino kaget merasakan tangan Naruto yang mengenggam pergelangan tangannya yang hendak menyuapkan makanan ke mulutnya. Dan jarak mereka entah sejak kapan sudah menjadi sedekat ini. Jantung Ino yang tadi mulai tenang kembali berdetak tak keruan.
"Kau kira aku membawakan makan hanya untukmu saja, Ino? Aku juga mau tau," tangan Naruto mengarahkan tangan Ino ke arah mulutnya.
Hap.
Satu suapan masuk ke mulutnya. Lalu menelannya.
"Kau tau, gara-gara pukulanmu aku jadi lapar~," terang Naruto dengan senyuman yang lebar. Kini Naruto sudah duduk disampingnya. Melihat hal itu Ino hanya tersenyum maklum melihatnya.
"Dasar, kalau lapar kenapa tidak ambil makanan sendiri," kini Ino mulai melahap makanannya lagi.
"Ino-chan~, akkkkk...," Naruto kini membuka mulutnya lebar-lebar. Ino memutarkan kedua bola matanya. Hah, bocah ini kalau ada maunya aja memanggilnya dengan embel-embel '-chan'.
"Iya-iya nih," Ino pun menyendokkan makanan kepada Naruto. Naruto pun langsung melahapnya dengan senang.
.
.
Beberapa menit kemudian makan itu pun habis dilahap oleh mereka berdua.
"Nih," ucap Naruto sambil menyodorkan 3 buah jenis obat ke arah Ino. Ino mentap obat itu aneh.
"Obat apa itu?" tanya Ino mengamati obat itu. Dilihatnya 2 buah tablet berwarna merah dan kuning, serta 1 kabsul berwarna merah dan biru. Ia belum pernah melihat kapsul yang seperti itu sebelumnya. Yah, dia memang jarang sakit sih sebenanya. Tapi, warnanya itu menurutnya kurang pas saja.
"Hmm, ini obat untukmu agar staminamu terjaga saat kau siuman," jelas Naruto, "Yah, setidaknya itu yang perawat katakan."
Ino mengangguk lalu langsung melahap obat itu terburu-buru—entah karna apa.
"Uhuk-uhuk," Ino menutup mulutnya dengan punggung tangannya.
"Kau baik-baik saja, Ino?" tanya Naruto khawatir. Ia mengelus punggung Ino lembut. Ino mengganguk menjawab pertanyaan Naruto baik-baik saja. Naruto pun membantu membersihkan air yang masih ada di wajah sang gadis dihadapanya.
Sett.
Jari Naruto menyentuh bibir bawah Ino. Reflek Ino langsung menoleh ke arah Naruto. Dan langsung berhadapan dengan wajah Naruto.
'De-dekat sekali,' batin Ino. Ino langsung memejamkan matanya—malu menatap Naruto. Melihat reaksi aneh Ino pun Naruto masih membersihkan beberapa air yang berada di sudut bibir Ino. Lalu menyapu bibir itu dengan jari jempolnya.
Lembut.
Padangan Naruto kini hanya tertuju pada bibir pink itu.
"Err..." bibir Ino terbuka mengeluarkan suara aneh. Naruto tak mengerti dengan pasti. Yang ia tau ia sangat ingin menyentuh bibir itu. Melihat Ino yang memejamkan mata, ia pun ikut memejamkan mata lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Ino.
Sedikit lebih dekat.
Dekat.
Dan semakin dekat.
.
BRAKK.
"Hime, kau sudah sadar?" ucap Inoichi langsung masuk ke ruangan itu.
Sonrtak Ino dan Naruto langsung memisahkan diri, sedetik kemudian muncul semburan merah dari kedua wajah mereka. Melihat keanehan diantara mereka pun Inoichi mengerutkan dahinya—curiga.
"Kalian... kenapa?" tanya Inoichi penuh selidik. Ino yang langsung menyadarinya pun langsung berlari kearah sang ayah.
"Tou-san! Tou-san~, Ino kangen, Tou-san~," peluk Ino erat kepada ayahnya. Inoichi pun membalas pelukannya dan mengelus kepala saya barbie kesayangannya.
"Hah~ Tou-san senang kau baik-baik saja, Hime. Kau tau? Kau hampir membuat jantungan Tou-san seminggu ini, kau mau Tou-san cepat mati, hmm?" ucap Inoichi.
"Ah, Tou-san berlebihan. Lihat aku sekarang sudah sehat! Jangan mengatakan hal aneh, ah," kata Ino sedikit merajuk.
"Makanya jaga dirimu baik-baik, hmm?" Ino pun mengangguk sekaligus menghela nafas lega. Sepertinya ayahnya sudah tidak curiga lagi.
"Loh, Naruto? Kau mau kemana?" tanya Inoichi. Ino pun menoleh menatap Naruto. Naruto kini berjalan menuju ia dan ayahnya. Ia tersenyum.
"Aku ada urusan, Paman. Karna paman sudah di sini aku akan pergi sekarang," ucap Naruto lalu membungkuk memohon pamit. Inoichi menganggukkan kepalanya.
"Yah, terima kasih telah menjaga anakku," ucap Inoichi.
"Hehehe, aku selalu ada untukmu paman, apalagi untuk Ino," mendengar ucapan Naruto Ino mengeratkan pelukkannya kepada sang ayah. Inoichi tersenyum.
"Baiklah, paman pengang ucapanmu," Naruto mengganguk. Lalu berjalan melewati kedua Yamanaka tersebut. Seketika pandangannya berubah meredup. Sebelum ia keluar dari ruangan itu, ia berselisih dengan kedua orang tuanya—Minato dan Kushina.
"Kau mau kemana, Nak?" tanya Minato.
"Aku ada urusan sebentar, Tou-san," Naruto tak mengubris Minato dan Kushina yang menatapnya khawatir.
"Jangan terlalu lama, Naruto. Kau juga baru saja pulih," ucap Kushina melihat kepergian anaknya.
BLAM.
Pintu tertutup. Kushina menghela nafas. Minato mengelus punggung sang istri.
"Sudahlah, ia sudah besar, Kushina," ucap Minato.
"Tapi ia baru sadar dua hari yang lalu, sayang. Aku khawatir. Aku khawatir dia melakukan hal aneh. Kau tau kan anakmu itu seperti apa," gerutu Kushina kesal. Minato hanya tersenyum melihat sang istri.
Di sebuah pohon dekat hutan tampak seorang pria pirang dengan rambut berantakan sedang duduk bersandar. Ia menundukkan kepalanya. Lalu mengacak rambutnya kesal. Mata shappire-nya yang biasa di penuhi cahaya kini meredup.
"Sial, kenapa aku lepas kontrol!" ujarnya kesal. Sesaat terbayang menit-menit sebelumnya dimana ia masih bersama gadis pujaannya itu. Yah, gadis pujaannya—atau pujaan orang lain.
"Agrh. Kau tidak boleh lepas kendali lagi! Ingat kau ini adalah seorang U—aghhhhrg,"
BRAAK.
Ia memukul batang pohon itu hingga membekas, "Siaalll! Kenapa harus kau, Ino?"
"Agrrh, kau sunggu beruntung, Dobe,"
"Jadi, Naruto baru siuman dua hari yang lalu?" tanya Ino mendengar penuturan dari Kushina. Kushina mengganguk.
"Iya, ia menerima luka parah malam itu bahkan saat itu jantungnya sudah berdenyut pelan sekali," saat itu—saat itu Ino tau apa yang dimaksud Kushina. Pada saat itu Ino juga merasakan bahwa jantung Naruto sudah sangat lemah bahkan sudah sempat berhenti saat itu.
"Beberapa usaha telah kami lakukan, namun tidak ada yang berhasil. Namun suatu malam, bertepatan dengan 2 hari yang lalu. Bibi menemukan dia terduduk di kasurnya dengan pandangan kosong. Saat itu Bibi langsung menangis dan memeluknya dengan haru. Tapi ia malah bertanya, 'Siapa kau?' kepada bibi...
.
.
"Siapa kau?" tanya Naruto memandang tajam Kushina.
"Aku ibumu, Naruto. Aku Kushina. Kau ingat?" tanya Kushina khawatir.
"Agggrhh," ia meringis kesakitan memegang dadanya, "Ka-Kaa-san?"
"Iya, Naruto. Ini Kaa-san, tenanglah Kaa-san di sini. Kau akan baik-baik saja," Kushina memeluk Naruto lembut. Lalu mengelus punggungnya. Naruto pun terlihat tenang dan sakit pun berlahan tidak dirasakannya.
"Kaa-san," gumam Naruto. Lalu membalas pelukan ibunya.
.
.
"Yah, tapi kau lihat sekarang dia sudah baik-baik saja kan, Kushina," ujar Minato menenangkan istrinya.
"Tapi aku masih khawatir. Melihat kembali bagaimana dengan reaksinya waktu itu, aku takut, ia melupakan kita," ucap Kushina.
Sejenak hening menyeliputi ruangan itu. Seakan-akan semua bisa merasakan apa yang Kushina rasakan.
.
"Hah~," helaan nafas Ino memecahkan keheningan.
"Tenang saja, Bibi. Naruto tidak akan kenapa-kenapa, soalnya tadi saja waktu aku siuman aku juga bertanya kepada Naruto, 'Kau ini siapa?', tapi buktinya, lihat..." Ino merentangkan kedua tanganya seakan-akan menyuruh Kushina menatapnya, "sekarang aku baik-baik saja kan? Dan aku masih mengenal Tou-sanku."
Kushina tersenyum lalu menghela nafas, "Kau benar, Ino-chan. Terima kasih,"
"Hu'um," ucap Ino tersenyum. Inoichi mengelus kepala putrinya merasa bangga kepadanya.
"Ah, tapi bibi masih khawatir dengan seseorang lagi," lanjut Kushina.
"Maksudmu Uchiha itu?" ucap Inoichi. Ino reflek menatap ayahnya.
"Loh? Ada apa dengan Sasuke-kun, Tou-san?" tanya Ino.
"Loh? Naruto belum menceritakan kepadamu?"
Ino menggeleng.
"Jadi begini—,"
.
Besoknya Ino sudah kembali kesekolahannya. Walaupun sebenarnya ayahnya sudah memaksanya untuk istirahat satu hari lagi, gadis itu tetap bertekad untuk berangkat ke sekolah.
"Aku kangen Sakura, Tou-san,"
Yah, hanya dengan alasan seperti itu dia pun akhirnya bersekolah. Sebenarnya itu hanyalah alasannya saja, ia ingin melakukan sesuatu dan memastikan sesuatu. Dan jadi lah ia berjalan menuju sekolahannya.
"Apa Sasuke-kun, baik-baik saja ya?" gumamnya.
.
"Jadi begini—Sasuke Uchiha sejak tragedi malam itu ia belum juga siuman hingga sekarang," jelas Inoichi. Ino membelalakan matanya. Astaga, ia hampir lupa bahwa sebenarnya yang paling besar jasanya saat menyelamatkan nyawanya—selain Naruto, adalah Sasuke.
"Belum siuman?" ulang Ino. Inoichi mengganguk.
"Kau tau, Ino-chan? jurus yang ia gunakan malam itu hampir memakan habis semua energinya," mendengar itu Ino seketika merasa bersalah. Bagaimana pun saat itu ia benar-benar bisa begitu membantu. Entah bertempur bahkan mengobati Naruto atau pun Sasuke ia sama sekali tak becus.
Menyadari perubahan dari Ino, Kushina pun mendekat lalu mengelus kepalanya.
"Tapi kau tau, Ino-chan? berkat kau kini Sasuke bahkan Naruto berhasil bertahan hingga saat ini," ujar Kushina tersenyum.
"Berkat aku?" tanya Ino tak mengerti.
"Kau," Kushina menunjuk Ino,"kau memiliki kekuatan penyembuh yang besar, Ino. Sedetik sebelum bala bantuan datang menemukan kalian, mereka melihat ada cahaya hijau yang muncul dari tubuhmu, kemudian cahaya hijau itu merambat kepada Sasuke dan Naruto—cahaya itu menyelimuti mereka. Dan setelah mereka dibawa ke rumah sakit khusus dan di periksa, telah dideteksi bahwa terdapat cakra hijau di tubuh mereka yang berasal dari tubuhmu, dan itu sudah menolong 50% dari pengobatan yang dilakukan. Jadi tak heran, kalau sebenarnya kau lah yang paling telambat siuman dan kau juga yang paling membantu disini."
Mendengar hal itu entah mengapa hati ini Ino menjadi sejuk dan hangat, ia tersenyum.
"Syukurlah," ucapnya. Sejenak air mata keluar dari matanya berlahan.
"Tapi, bibi, kau salah. Bukan aku yang terlambat siuman, tapi… Sasuke,"
.
"HOOIII, INO-PIG!" teriak Sakura. Ino membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke belakang.
GLEB.
"Hei, Jidat! Berhentilah memelukku seperti itu! Kau ingin aku sekarat lagi!" gertak Ino. Sakura pun melepas pelukannya dengan cemberut di wajahnya.
"Kau ini! Aku mengkhawatirkamu, Pig! Kau sih lama sekali siumannya, " ujar Sakura kesal.
"Maaf-maaf, yang penting aku sudah sembuh kan?" ucap Ino memutarkan kedua bola matanya. Melihat sikap Ino, Sakura pun gemas dibuatnya. Tapi—
Greb.
"Ah, kau ini imut sekali, Ino," ujar Sakura memeluk Ino erat—lebih erat dari sebelumnya.
"He-he-hei, Le-lepp-as, Sa-ku-ra," melihat Ino yang terlihat kesusahan Sakura pun melepaskan pelukkannya.
"Hehehe, kena kau! Siapa suruh blagu," ucap Sakura. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke sekolah.
"Ah, kau tampaknya benar-benar ingin membunuh ku tampaknya," ujar Ino memegang lehernya. Lalu merapikan seragamnya yang berantakan.
"Siapa suruh kau begitu, hmm?" ucap Sakura menyenggol Ino.
"Iya-iya bawel,"
"Eh, ngaca diri, dong!" sahut Sakura tak terima, seketika Sakura terdiam.
"Ino," Ino yang masih membenarkan dasinya menoleh.
"Ada apa?" Sakura menunduk.
"Kemarin aku ke universitas Sasuke dan Naruto, tapi aku belum menemukan mereka, mereka belum sehat ya?" tanya Sakura. Sakura memang tak terlibat dalam kejadian malam itu. Tapi ia tau saat menjenguk Ino dan ayah Ino menceritakan hal yang terjadi ke pada Sakura—yah, walaupun ada beberapa sensor adegan dalam peperangan itu. Bagaimana pun Inoichi tetap menjaga privasi kalangannya.
"Ah, Naruto dia sudah pulih 2 hari yang lalu dan dia baik-baik saja sekarang. Sedangkan Sasuke…," Ino melirik ke Sakura sejenak. Kini tampak Sakura sedang menyimak dengan baik ucapanya. Ino pun menggelengkan kepalanya.
"Aku belum tau kabarnya baik-baik saja atau tidak. Yang pasti, saat ini dia belum pulih dan masih dirawat di rumah sakit," jelas Ino.
"APA?" teriak Sakura kaget. Ino menutup telinganya.
"Kalau kau mau, nanti sehabis sekolah aku akan ke universitas Naruto dan akan mengunjungi Sasuke. Kau mau ikut?" tanya Ino yang masih mengelus telinganya berlahan.
"MAUU! MAUU! MAUU!" ucap Sakura antusias.
"Iya, Jidat. Jangan berteriak, dong! Telingaku sakit, nih," eluh Ino.
"Hehehe, maaf-maaf," kata Sakura tersenyum. Ino yang melihatnya pun hanya ikut tersenyum.
"Permisi," sapa Ino kepada salah satu mahasiswa yang lewat.
"Ya?"
"Apa kau kenal Uzumaki Naruto?" tanya Ino sopan. Laki-laki itu menggeleng. "Baiklah, terima kasih."
.
"Permisi, apa kau mengenal Uzumaki Naruto?" tanya Sakura kepada gerombolan mahasiswi yang ada di depannya.
"Tidak," jawab mereka,
"Terima kasih." Sakura pun menghela nafasnya lalu menghampiri Ino.
"Bagaimana? Kau sudah melihatnya?" tanya Sakura. Ino menggeleng.
"Sial, sepertinya dia tidak terlalu populer di sini," ucap Ino.
"Ada apa, Ino? Sakura?" tanya Naruto tersenyum ceria yang tiba-tiba muncul dibelakang mereka.
"HUAAAA!" teriak kedua gadis itu bersamaan.
"Hei tenanglah. Tumben kalian kesini?" lanjutnya.
"Kau ini menyebalkan sekali, Naruto!" ucap Ino.
"Hehehe, maaf-maaf," ucap NAruto tanpa rasa bersalah.
"Jadi ada apa?"
"KAU ITU MENYEBALKAN!" NAruto membelalakan matanya. Kenapa pula Ino marah-marah kepadanya? Naruto yang melihat Ino langsung emosi pun menatap gadis itu heran.
"Kenapa kau tidak menceritakan apa yang terjadi kepada Sasuke kepadaku, hah?" bentak Ino kesal. Naruto membelalakan matanya lagi. Beberapa mahasiswa yang lewat sedikit menatap mereka heran.
"I-Ino tenanglah," bujuk Sakura.
"Oh jadi karena itu kau disini," bukan menceritakan apa yang terjadi, Naruto malah berjalan menjauhi mereka.
"HEII! MAU KEMANA KAU!" teriak Ino merasa diabaikan.
"NARUTO!" teriak Ino dan Sakura—yang mulai tak sabar.
"Ah, kalian ini ribut sekali. Malu tau!" kata Naruto. Reflek Ino dan Sakura menutup kedua mulutnya lalu menatap sekitar mereka. Sedetik kemudian mereka meminta maaf kepada orang-orang yang menatap mereka. Ino dan Sakura pun berjalan mendekati Naruto yang masih terus berjalan menjauhi mereka.
BRRUAAG.
"Aduh! Sakit, Ino! Sakura!" protes Naruto memegang kepalanya yang dipukul Ino dan Sakura berbarengan. Gila, bisa-bisa dia gegar otak gara-gara hal ini.
"Siapa suruh mengabaikan kami," kata Ino. Sakura pun mengangguk.
"Ck, kau mau menjenguk Sasuke kan?" jelas Naruto.
"Aku akan mengantar kalian," ucapnya lalu melirik ke arah Ino, "dan aku tidak akan menjelaskan apapun. Kau pasti sudah tau dari keluarga kita kan Ino?"
Ino pun mengganguk. Naruto pun melanjutkan perjalananya. Ino menghela nafas, lalu mengikuti di belakang Naruto.
"Tunggu!"
Naruto dan Ino berbalik menatap Sakura di belakang mereka.
"Aku mau beli bunga dulu, hehehe,"
CKREK.
Pintu kamar 405 terbuka berlahan. Ino dan Sakura masuk berlahan dipimpin oleh Naruto. Setelah masuk Ino dan Sakura langsung mencari sosok yang mereka cari.
"Sasuke-kun," ucap Sakura lalu berjalan mendahului Naruto dan Ino. Dilihatnya tubuh Sasuke yang tertidur di atas ranjang dengan berbagai selang tertempel di tubuhnya. Sakura langsung mendekatinya dengan tatapan sendu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Sakura, dilihatnya tangan Sasuke yang pucat. Sakura menyentuh tangan itu. Dingin. Refleks Sakura mengeratkan genggamnya ke tangan kanan Sasuke. Lalu ia meletakkan tangan itu kepipinya. Ia memejamkan matanya, berusaha menyalurkan rasa kehangatan kepada tangan dingin Sasuke. Melihat tingkah laku Sakura, Naruto mengenyitkan dahinya.
"Sakura… dia sudah lama menyukai Sasuke?" ucap Ino tiba-tiba.
"A-apa?" ucap Naruto kaget.
Ino mengenyitkan dahinya melihat reaksi Naruto—curiga.
"Semenjak awal penerimaan murid baru, Sakura sudah mulai menyukai Sasuke. Bahkan mungkin sekarang dia sudah sangat mencintainya karena kedekatan 'kita' berempat," jelas Ino. Naruto menatap Ino, kemudian dia melempar pandangnnya ke arah Sakura yang masih di posisi sebelumnya. Seketika pandangan Naruto meredup kembali.
"Oh, begitu," ujarnya. Ino menghela nafas. Seketika ia merasakan sesuatu yang bergemerutu di hatinya.
"Yah, sejak mengetahui perasaan Sakura itu, kau tau? Aku berlahan sudah merelakannya, Naruto," ucap Ino lembut.
"Siapa maksudmu?" ucap Naruto.
"Ya Sasuke lah, emang siapa lagi? Kamu?" sejenak muka Ino memerah mengatakan hal tersebut.
Sontak Naruto menoleh kaget kearah Ino.
"Kau menyukai…,"
"Sstt! Nanti Sakura dengar!" ucap Ino lalu menurunkan tanganya dari wajah Naruto.
"Kau ini kenapa, sih? Kau kan sudah tau dari dulu, bahkan kau yang mau mendekatkannya denganku—dulu, sih," jelas Ino dengan suara rendah. Naruto diam dia tidak merespon perkataan Ino.
Keheningan pun menyeliputi keduanya.
.
"Kenapa?"
.
"He?" gumam Ino bingung menatap Naruto, ketika ia mendengar pertanyaan Naruto.
"Kenapa kau merelakan Sasuke?" tanya Naruto menatap Ino. Tatapan itu. Tatapan yang sama seperti kemarin. Tatapan yang tidak pernah ia temukan di diri Naruto. Tapi Ino merasa, tatapan itu tak terasa asing baginya. Kesepian, kesedihan, amarah. Bercampur di mata shappire yang tak ia kenali saat ini.
Ino membuang mukanya—berusaha menghindari tatapan dalam itu.
"Itu bukan urusanmu, Naruto," ucap Naruto.
"Oh begitu," setelah itu Naruto berjalan ke sisi lain kamar bernuansa putih itu.
"Kau mau kemana?"
SREEET.
Syuung~
Angin sore masuk keruangan itu.
"Bukan kah di sini panas? Aku mau di balkon saja," ucap Naruto berjalan menuju balkon.
"Kau tidak mau mendekat dulu?" tanya Ino.
Tak ada jawaban Ino pun menghela nafas. Ia pun mendekat ke ranjang Sasuke. Dilihatnya saat ini Sakura sedang menata bunga yang ia bawa tadi sebelum ke rumah sakit.
"Aku mau ambil air dulu, Ino," kata Sakura. Ino mengangguk dan Sakura pun langsung ke kamar mandi. Kini hanya tinggal Ino disamping Sasuke.
Tit. Tiiit. Tit.
Bunyi alat pendeteksi jantung bagaikan musik di ruangan itu.
"Terima kasih telah melindungiku, Sasuke," gumam Ino. Seketika pandangannya meredup. Tangannya pun bergerak memegang tangan kiri Sasuke. Sebentar. Hanya sebentar saja ia menggenggam tangan itu.
"Ino," panggil Sakura yang sedang meletakkan vas bunga di meja samping Sasuke.
"Aku pulang duluan ya, tadi Kaa-san meneleponku," ucap Sakura. Ino mengganguk. Sakura pun meralih ke Naruto.
"Woi, Naruto!" Naruto pun menoleh ke arah Sakura. Tampaknya mereka sudah sangat akrab bukan?
"Aku pulang ya, titip Ino dan Sasuke!" ucapnya sambil mengedipkan matanya. Naruto memberi senyuman kearah Sakura lalu mengangguk.
"Serahkan saja padaku," ucapnya.
BLAAMM.
Pintu pun tertutup. Sosok Sakura pun hilang dari balik pintu. Naruto kembali menatap keluar. Tapi, dalam diam ia masih merasakan gerak gerik gadis yang berada di samping Sasuke itu.
.
'Kau tidak boleh, Ino!' ingatnya pada dirinya sendiri. Ino menatap wajah Sasuke. Seketika bayangan malam itu pun kembali terngiang di kepalanya.
"Aku akan membantumu pulih, Sasuke," tekad Ino. Dan ia pun menyentuh tangannya ke dahi Sasuke. Seketika cahaya kehijauan pun keluar dari tangannya.
Naruto yang di luar pun memerhatikan tindakan Ino. Ia mengigit bibir bawahnya.
"Dasar bodoh, kau malah melakukan itu kepadanya,"
Malamnya, Ino dan Naruto masih belum kembali ketugas mereka dengan alasan masa penyembuhan. Dan Ino pun membenarkan alasan itu. Saat ini ia masih butuh bersantai sebentar.
Kini Ino berbaring menatap langit-langit kamarnya. Pandangannya menerawang.
"Kenapa kau merelakan Sasuke?"
Pertanyan Naruto tergiang di kepalanya.
"Kenapa katamu? Tentu saja karna kau, Naruto," gumam Ino. Serentak dengan ucapannya itu hatinya bergemerutu kembali. Perasaan itu sungguh tak nyaman bagi Ino. Ino menghela nafasnya. Lalu menutup kedua matanya dengan lengannya.
Ia kembali mengingat keadaan Sasuke saat ia lihat. Pucat dan dingin. Andai saja tak ada alat pendeteksi jantung yang menunjukan Sasuke masih hidup—mungkin ia akan mengira Sasuke sudah tidak ada di dunia ini lagi. Bagi Ino, Sasuke—terlihat kosong. Tapi entah mengapa ada dorongan baginya untuk menyelamatkan Sasuke yang telah menyelamatkannya.
Hatinya seketika bergetar. Dan ia tak mengerti untuk kesekian kalinya.
"Ah, Ino. kau sudah merelakannya bukan?"
"Bagaimana perkembanganmu, Nak?" tanya sang ayah kepada anaknya. Mata merah sang ayah menatap sang anak tajam.
"Semua berjalan baik, Tou-san," jawab sang anak yang masih bersimpuh di hadapannya.
"Bagus, aku tau kau sangat bisa diandalkan," kata sang ayah menyeringai. Kemudian ia menatap anaknya itu dengan tatapan merendahkan.
"Kapan kau akan melepas tubuh itu?" tanya sang ayah dengan nada merendahkan.
Deg.
Sang anak mengeratkan genggaman tangannya pada lututnya. Akan tetapi tetap terlihat diwajahnya ketenangan tanpa ekspresi.
"Aku masih membutuhkan tubuh ini," jawabnya singkat.
"Kheh, jangan bilang kau tidak bisa menaklukan gadis itu dengan wujud aslimu? Cih, memalukan saja," genggam tangan sang anak pun semakin kencang.
"Tou-san lihat saja nanti," kepala anak itu terangkat menatap sang ayah. Mata shappier itu menatap ayahnya dengan penuh arti.
"Hei, jangan menatapku seperti itu! Ingat kau ini, 'Uchiha'! kau harus bisa mengendalikan emosimu," ucap sang ayah.
"Aku mengerti," katanya menundukkan kepala.
"Sudahlah, sekarang kau pergi! Aku tak kuasa melihat kau menggunakan raga musuh bebuyutan kita," ucap sang ayah. Sang anak pun berdiri, membungkuk dan meninggalkan sang ayah.
"Kheh, 'Uzumaki Naruto'? "
"Kau bilang tak mau merebut apa yang telah menjadi milik temanmu tapi kau malah merebutnya dengan menggunakan sosok temanmu sendiri," sang ayah menyeringai dan tersenyum miris.
"Kau Uchiha yang menyedihkan, Sasuke—anakku,"
.
.
TBC
Hollaaa~ Sagi muncul lagi dengan lanjutan Who Are You? Yah, sedikit bimbang mau mengganti nama judul fic ini ato enggak. Soalnya, tiba-tiba ada fic yang judulnya sama. Tapi tak apa lah yang penting isi cerita beda. Jadi buat yang judul ficnya sama dengan fic Sagi ini. Sagi harap tidak akan menimbulkan kesalahpahaman yah. Kalo ada yang bertanya kapan Sasu ngamilin Ino, itu masih lama akan terjadi, jadi doakan saja Sagi bisa melanjutkan fic ini cepat-cepat. Dan Sagi gak bakal bikin yang vulgar-vulgar. Tenang saja. huehhehehe
Oke, setelah hiatus berkepanjangan dan Sagi telah selesai ujian *horeee* kini Sagi telah memenuhi permintaan para readers *kalo ada* untuk di lanjutkan. Terimakasih yang udah RnR sebelumnya. Kalian adalah supporter terbesar bagi Sagi untuk meneruskan fic ini. Sagi harap masih ada yang mau RnR. Dan juga banyak dapat ripiu *ngarep* hueehhee—soalnya ripiuan kalian adalah semangatku teman~.
.
Oke, Review?
