BoboiBoy © Animonsta
.
.
.
1. Penguntit.
Manik terbungkus dalam bingkai berwarna nila menilik setiap inci objek yang menjadi perebut kepopulerannya—itu beberapa menit yang lalu. Namun sekarang atensinya terfokus pada seorang gadis bernuansa kuning-biru. Senyuman yang terpatri diwajah gadis membuat Fang ingin mengabadikannya, membungkus hasilnya dalam pigura dan memajangnya di dinding kamar sebagai kenangan. Sayangnya itu hanya sebuah ekspektasi dalam angan-angan.
Menyedihkan bila karena itu ia terpuruk—tapi, tidak! Fang bukanlah orang yang mudah putus asa. Caranya menunjukkan afeksi bukan dengan ucapan maupun bualan. Ia hanya akan melihat, dan memperhatikan hingga suatu hari nanti akan ada waktu yang menjadikan jarak diantara dia dan Ying menjadi nol centimeter.
Ketika pikirannya bergelut bersama mimpi indah, tatapan mereka bertemu. Biru dengan coklat. Didetik selanjutnya, ia sudah melihat Ying berada dihadapannya, dengan wajah keheranan.
"Haiya, apa yang kau lakukan disini ? Oh jangan-jangan—"
"Tch," Fang mendengus. Bukan kesal, melainkan untuk menutupi ekspresi kagetnya dengan sebuah ketidaksukaan.
"Dasar anak sombong, penguntit whoo~!"
Hati Fang rasanya ditusuk seribu pedang halilintar. Kenapa acaranya harus terganggu karena pertemuan yang tidak disengaja. Tetapi, ia bersyukur. Karena, detik ini menjadi salah satu waktu yang membuat jarak diantara mereka terpotong—meski tidak sampai apa yang ia perkirakan.
2. Flu menular lho, hati-hati.
Jam sekolah habis. Waktunya untuk pulang—bagi sebagian orang. Lain halnya dengan BoboiBoy, Yaya, Gopal, dan Fang yang akan mengunjungi Ying. Gadis berdarah cina itu hari ini tidak bisa membuat presensi pada daftar hadir disekolah dikarenakan flu. Yaya bahkan tidak terlihat semangat ketika ujian matematika tadi berlangsung, dan Fang bersyukur dapat nilai yang terbagus kedua.
Hanya saja, setitik rasa bersalah menjadi pusat pemikirannya semenjak ia melangkah mengikuti kawak-kawan menjenguk Ying. Pantaskah ia berbahagia karena Ying tidak hadir hari ini ?
Lisan dapat berbohong, dengan mudah. Tetapi hatinya tidak dapat berbohong kalau ia merasa sedikit sepi, dan hampa. Ada kalanya Ying menjadi gadis yang benar-benar ramah karena tidak pernah absen untuk menyapanya setiap pagi. Fang terlalu menjaga harga diri. Ia segan untuk membalas sapaan ramah dari Ying—meskipun hatinya senang—dan opsi yang ia hanya berlalu, begitu saja.
Ketika mereka sampai didepan pintu rumah Ying, BoboiBoy membunyikan belnya. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Dengan menampakkan seekor penguin—kalau tidak salah namanya Popo. Fang keheranan, rumah Ying terlalu sepi.
Mereka masuk ke kamar Ying. Yaya yang pertama kali bertanya perihal mengenai mengapa ia sakit, dan mengapa ia sendiri—ralat, hanya bersama Popo.
Lima belas menit mereka habiskan. BoboiBoy, Yaya, dan Gopal pamit untuk pulang. Fang memilih untuk menetap, katanya ingin menjaga Ying.
Dan disinilah mereka, dibawah atap, diatas porselen, dalam keheningan.
"Kenapa ?"
Fang memutar bola matanya. "Aku 'kan sudah bilang ingin menjagamu,"
"Haiya, flu menular lho, kau ingin sakit seperti aku hee~?"
"Jangan harap aku akan peduli."
"Aku tidak akan peduli jika kau sakit,"
"Aku tidak butuh kepeduluanmu,"
Mereka berdua sama, keras kepala dan mengatakan hal yang bukan hati mereka inginkan.
3. Biru, langit itu indah—'tapi, warna matamu lebih indah'.
Matahari menampilkan senyuman cerah pada sosok yang terbagikan sinarnya. Biru membentang luas, tidak ada kapas putih yang terselip diantaranya, membuat pemuda dibalik bingkai nila itu merenung sejenak—teringat pada sosok dengan mata birunya yang indah.
Kedua tangannya tergerak, seakan-akan ingin meraih apa yang menjadi impiannya, namun tak ada yang tertangkap, bahkan angin pun tak sudi berada digenggamannya. Ketika buaian mimpi menjadikan hayalannya seakan menjadi nyata, membuat Fang tak menyadari eksistensi sosok lain yang ikut tertidur disampingnya—diatas balutan rumput berwarna hijau.
"Haiya, apa yang kau lakukan disitu ?"
Kedua matanya membola, secara tak sengaja—tanpa menunjukkan raut lain yang mencurigakan, ekspresinya kembali acuh tak acuh.
"Hanya melihat. Warna biru langit itu indah." Ia bangun dari tidurnya. Mata mereka bertemu. Fang terpaku.
'Tapi warna matamu lebih indah,'
.
.
.
.
Entah request dari siapa untuk siapa.
.
.
.
.
Mereka ada empat. Bukan hanya Taufan, Gempa, maupun Halilintar. Tetapi kehadiran Api membuat Fang tambah—dan semakin pusing saja. BoboiBoy menjadi lebih kuat, Fang tidak mau mengakuinya terlalu dalam—mereka rival. Hanya saja, BoboiBoy tetaplah BoboiBoy. Dan bila mereka terbagi menjadi empat, yang paling bijak hanyalah Gempa.
Termasuk dalam membagikan marshmallow. Yah, mungkin ini bukanlah nasib yang buruk—tapi terlalu malang untuk Fang alami. Pertaruhan sederhana yang ia lakukan membuatnya menghadapi ketiga BoboiBoy—beri pengecualian untuk Gempa yang dibuat Taufan pingsan dengan biskuit Yaya.
BoboiBoy Api tersenyum sombong, marshmallow yang dipegang Halilintar gosong karena api yang terlalu berlebihan. Untuk acara mendinginkan dan sumbat menyumbat, Taufan ahlinya.
"Chukuph—"
Setelah kejadian ini berlalu, Fang tidak mau ambil resiko ketika bertaruh. Ia tidak mau marshmallow berjumlah seratus masuk kedalamnya secara paksa—dan Fang tidak mau mengunyahnya, namun terpaksa, meskipun mulutnya harus menerima siksaan yang berat, namun hari ini ia telah belajar banyak untuk tidak mengerjai BoboiBoy saat bertarung atau bertaruh.
