Itachi boleh unggul dalam hampir segala hal. Tapi tidak dalam yang satu ini. Sasori bisa pastikan itu.Long shot Sasori berhasil di block oleh lelaki keturunan Uchiha itu. Kini, bola berada di bawah kendali Itachi. Tapi Sasori tak mau ambil pusing. Biarlah kawannya itu bersenang-senang sesaat. Toh, Sasori lebih tau siapa yang pada akhirnya akan memenangkan permainan. Itachi men Sasori lekas berlari mendekati ring. Ia melompat cukup tinggi dan sukses memasukkan bola ke dalam ring. Mulus dan tanpa kesulitan apa pun. Nah kan, sudah terbukti siapa yang lebih unggul dalam hal ini. Sasori mendarat dengan sempurna usai sukses mencetak gol. Ia mengalihkan tatapannya pada Itachi. "Kau masih saja payah, huh?" Ledeknya. "Asal kau tau saja, aku yang paling hebat di jurusanku," balas Itachi. Sasori terbahak. Entah Itachi sedang membual atau bagaimana. Namun ia tidak bisa membayangkan ada orang yang bermain basket lebih buruk dari kawannya itu. "Ya ya, terserah kau saja. Sana ambilkan minum. Aku haus," ujar Sasori sembari mengambil tempat duduk di tepi lapangan. Meski sempat menggerutu, Itachi akhirnya menuruti perkataan Sasori dan masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil minuman. Tak lama kemudian, putra sulung keluarga Uchiha itu telah kembali dengan dua kaleng soda. Ia melemparkan satu ke arah sang kawan. Susah payah Sasori menangkapnya. "Refleksmu buruk sekali," ledek Itachi sembari duduk di samping teman satu angkatannya semasa SMA tersebut. "Siapa peduli? Yang penting aku berhasil memenangkan pertandingan. Kau harus tepati janjimu ya. Kenalkan aku pada adik tingkatmu yang manis itu." "Hhh. Entahlah. Kudengar dia tidak berteman dengan sembarang pria." "Kudengar Uchiha pantang mengingkari janji mereka." Itachi kembali menggerutu sebelum menandaskan sodanya. Sedangkan Sasori lagi-lagi terbahak. Ia hampir lupa betapa menyenangkan rasanya bisa meledek seorang Itachi Uchiha. Sudah lumayan lama semenjak mereka terakhir kali bertemu. Selepas lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas, jalan hidup yang mereka tempuh bercabang. Itachi memilih untuk kuliah di fakultas kedokteran, sebagaimana yang selalu diimpikan oleh kedua orang tuanya. Sedangkan Sasori memilih untuk menuruti kata hatinya dan berakhir di jurusan manajemen bisnis. Meskipun sama-sama sibuk, namun keduanya selalu menyempatkan diri untuk bertemu apabila sedang senggang. Seperti sekarang ini. Main basket di pekarangan kediaman Itachi selalu menjadi pilihan yang terbaik. Yah, setidaknya bagi Sasori. Itachi juga tidak pernah menyatakan keberatan kok setiap kali Sasori ingin mampir. Selain itu, ada satu hal lain yang juga menjadi alasan mengapa mereka masih menjaga hubungan baik... Bunyi berderak datang dari pagar depan ketika seseorang berjalan melewatinya. Pemuda yang berperawakan hampir serupa dengan Itachi melangkah enteng memasuki pekarangan sembari menyampirkan ranselnya di salah satu bahu. "Yo! Yang dipanggil segera melangkah menuju sumber suara. Ia membungkukkan badannya sedikit kala tiba di hadapan Sasori. Tanpa senyuman atau pun sapaan. Ekspresinya datar layaknya papan. Usai menyampaikan 'salamnya', pemuda itu melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu rumah. "Waah, dasar tidak sopan! Bagaimana mungkin yang tadi itu ia sebut sebagai salam?" Ujar Itachi sembari menggelengkan kepalanya heran. Kadang ia tidak mengerti mengapa adiknya itu bisa bersikap sedemikian dingin, bahkan pada orang yang jelas-jelas merupakan kakak dari gadis yang ia kencani. "Setidaknya dia sudah berusaha. Itu lebih baik daripada melengos pergi seperti dulu." Sasori terkekeh. Tiba-tiba ia teringat akan kali pertamanya bertemu dengan Sasuke. Saat itu, ia tidak habis pikir mengapa Sakura-adiknya-sudi menjadi kekasih pemuda dingin seperti bungsu Uchiha tersebut. "Dia bisa bersikap manis pada adikmu, tapi tidak pada orang lain. Bagaimana menurutmu?" Tanya Itachi, berusaha mengorek opini dari sang kawan. "Kudengar, pria dingin pandai menyembunyikan emosi mereka. Tapi jika mereka sudah benar-benar menyukai seseorang, maka mereka akan selalu berusaha untuk menjaganya apa pun yang terjadi. Bagiku, selama ia tidak menyakiti Sakura, maka tidak masalah. Sakura juga tampaknya baik-baik saja sampai saat ini," jelas Sasori, lantas menghabiskan sodanya yang masih tersisa sedikit. "Tapi jika adikmu itu berani menggores hati Sakura sedikit saja, akan kupastikan dia berakhir seperti ini." Dengan tatapan menerawang, Sasori meremas kaleng sodanya hingga tak lagi berbentuk, lalu melemparkan rongsokan itu ke arah tempat sampah di sisi lain lapangan. Sayang sekali, bidikannya meleset dengan sangat menyedihkan. Lemparan kaleng lainnya menyusul sepersekian detik kemudian. Namun kali ini, bidikan si pelempar akurat mengenai sasaran. Itachi sukses memasukkan kalengnya ke dalam tempat sampah tersebut.
"Cih. Sistem koordinasimu payah sekali," komentar Itachi. "Terserah." Kemudian, tawa kedua sahabat itu pecah. Sudah lama sekali semenjak itu...
. . . My Lovely Doctor . Present by flavescens . Naruto © Masashi Kishimoto . Warning : OOC, Typo(s), Slight SasuHina, Update ngaret parah, dan kekurangan lainnya. . Haters never win and winners never hate. So, you better back off. If you DON'T LIKE, then DON'T READ! . Enjoy! 3 . . .
Itachi menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya sendiri sebelum kepanikan mengambil alih.
"Tenang," gumamnya pelan, bahkan cenderung tanpa sadar.
Hal pertama yang ia lakukan adalah menghubungi rumah sakit tempat ia bekerja untuk meminta pertolongan. Kemudian, barulah fokusnya beralih pada putra kelarga Namikaze yang kini tengah tertelungkup tak sadarkan diri. Dengan sigap, dokter muda itu memperbaiki posisi duduk Naruto agar kembali tegak menyender kursi. Batinnya sempat merutuk begitu menyadari kalau lelaki pirang itu tidak mengenakan sabuk pengaman. Dasar ceroboh!
Dari dalam tas kerjanya, Itachi mengeluarkan segulung perban. Ada pendarahan kecil di kepala Naruto yang harus segera ditangani. Ia tidak punya banyak waktu untuk membersihkan luka lelaki Namikaze itu dengan baik dan benar. Benaknya dihantui oleh fakta bahwa seorang korban lainnya tengah terbaring di luar sana, sehingga bertindak cepat adalah sebuah keharusan. Darah Naruto yang merembes keluar ia seka seadanya, kemudian bagian kulitnya yang terkoyak Itachi balut dengan perban. Dalam waktu kurang dari lima menit, ia telah selesai memberi Naruto pertolongan pertama. Setidaknya, pendarahannya dapat diminimalisir sampai ambulans tiba.
Keadaan sudah ramai ketika Itachi menginjakkan kakinya di luar mobil. Sirine mobil polisi terdengar dari kejauhan, bersatu padu dengan dengung percakapan kerumunan manusia di lajur kiri dan kanan jalan. Itachi mengedarkan pandangan netra gelapnya ke sekeliling. Tak perlu waktu lama hingga ia berhasil menemukan korban lainnya. Bersandar di salah satu tiang lampu jalan, adalah seorang gadis muda yang sudah tidak berdaya.
Naluri seorang dokter dengan cepat mengambil alih setiap pergerakan Itachi. Dengan menenteng tas kerjanya, Itachi pun berlari menuju sosok ringkih itu. Sebuah fakta baru turut terungkap seiring kian menipisnya jarak. Itachi berlutut di hadapan sang korban sembari menahan keterkejutan. Mungkinkah gadis ini adalah orang yang ia kenal?
"I-Itachi-nii…"
Jika saja situasinya tidaklah sedemikian genting, mungkin seulas senyum tipis telah terukir pada wajah rupawan Itachi kala gumaman kecil itu lolos dari bibir si gadis. Dugaannya benar. Gadis itu memang Sakura.
.
.
.
Sasuke kacau.
Begitu melihat tubuh Sakura terhempas di jalanan, kontrol dirinya seakan hilang total. Ia berlari keluar kafe, meninggalkan Hinata, mengabaikan bil pembayaran, juga sejumlah besar uang yang beberapa saat lalu dilemparkan Sakura ke atas meja. Hinata memanggil namanya dari belakang, namun untuk kali ini, Sasuke memilih untuk tidak peduli. Seorang pria mengumpat ke arahnya ketika ia tanpa sengaja mendepak pria tersebut dari jalannya. Namun sekali lagi, Sasuke enggan mengalihkan perhatiannya. Hanya ada satu pertanyaan yang kini menggelayuti benak sang dokter muda.
Apa Sakura baik-baik saja?
Jawaban atas pertanyaan itu akhirnya ia dapatkan ketika netra jelaganya menemukan sosok Sakura. Gadis itu duduk tak sadarkan diri pada sebuah tiang lampu jalan dengan darah yang menodai sebagian besar sisi kepalanya.
Jelas dia tidak baik-baik saja.
Menerobos kerumunan, Sasuke mendapati bahwa seseorang telah lebih dulu berada di sana untuk memberi Sakura pertolongan. Ada yang aneh pada orang itu. Semakin diperhatikan, semakin ia terlihat familiar. Hingga akhirnya, Sasuke sadar bahwa pria yang kini tengah membersihkan luka Sakura itu adalah kakaknya sendiri.
Alih-alih bereaksi, Sasuke hanya diam-enggan menyuarakan kekagetannya atas kehadiran Itachi yang tiba-tiba. Lagipula, sekarang itu bukan hal penting. Dan hal serupa nampaknya juga menjadi alasan mengapa Itachi tidak berkata apa-apa terkait kemunculan sang adik. Kini, mereka berdua tengah dihadapkan pada situasi genting, sehingga terlalu banyak bicara bukanlah keputusan yang baik.
Tanpa berpikir panjang lagi, Sasuke dengan cepat mengambil posisi di depan sosok gadis yang terluka parah di bagian kepalanya itu. Ia mengatensi kondisi tubuh Sakura dari ujung ke ujung. Untuk alasan tertentu, lelehan darah yang menggenang di sepanjang pipi tirus gadis itu membuat hati Sasuke terusik.
"Biar aku saja yang membawanya ke rumah sakit," ujarnya kemudian.
Itachi dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Ada kemungkinan tangannya patah. Dia tidak bisa sembarang dipindahkan. Lagipula, aku sudah panggil ambulans," jelas Itachi sembari melilitkan sisa perban yang ia punya di sekeliling kepala Sakura guna meredam pendarahan.
Sasuke lekas memperhatikan kondisi tangan kanan Sakura yang menjuntai lemas di sisi badannya. Tampak adanya dislokasi di sekitar persendian gadis itu.
"Kau punya majalah atau semacamnya tidak?" Tanya Itachi kemudian.
Tanpa harus dijelaskan pun Sasuke praktis mengerti mengapa Itachi menanyakan hal semacam itu di situasi gawat seperti sekarang. Ia bergegas bangkit dan berjalan ke arah mobilnya. Tak lama kemudian, lelaki itu kembali dengan sebuah makalah kesehatan di tangan.
"Sebalah kanan," titah Itachi singkat.
"Aku tau."
Dengan sigap, Sasuke melingkarkan makalah miliknya ke sekeliling bagian tangan Sakura yang tampak membiru. Menggunakan sabuk yang sebelumnya sudah ia tanggalkan, Sasuke mengikat makalah tersebut agar tetap berada di posisinya. Tepat setelah ia selesai membidai tangan kanan Sakura, sirine samar terdengar bersahut-sahutan di kejauhan. Dua buah ambulans bertuliskan UC Hospital tiba tak lama kemudian.
Sasuke mengernyitkan dahinya tatkala petugas medis mulai turun ke lokasi kejadian dari dalam kedua mobil ambulans. Untuk apa memanggil dua?
"Apa ada korban lain?"
Sang kakak menghela napas dalam, kemudian menjawab dengan berat.
"Naruto, sahabatmu itu, sekarang ada di mobilku. Dia juga terlibat kecelakaan, dan sekarang sedang tak sadarkan diri."
"Untuk apa Naruto datang ke sini?!"
"Sudahlah. Nanti saja aku jelaskan." Dengan itu, Itachi beranjak. Ia membantu para petugas medis mengungsikan Naruto dari dalam mobilnya. Beberapa dari mereka juga mulai menghampiri Sakura dengan sebuah strectcher. Sasuke membantu mengangkat tubuh lemah gadis itu ke atas stretcher, juga memasangkan alat bantu pernafasan.
"Bertahanlah."
Mata Sasuke tetap terpaku pada Sakura hingga sosok gadis yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu dimasukkan ke dalam ambulans. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk ikut masuk ke dalam, tetapi suara halus Hinata segera membuat Sasuke tersadar.
"Sasuke-kun," seru gadis itu lemah. Entah sejak kapan, Hinata sudah berdiri di belakanganya-Sasuke bahkan sama sekali tidak memperhatikan.
"Daijobu desu ka?"
Hinata menggelengkan kepalanya pelan. Dia pasti sangat terkejut akan peristiwa naas yang baru saja terjadi. Terkadang, menjadi saksi mata dari sebuah kecelakaan bukanlah hal yang dapat dengan mudah diterima oleh segelintir orang.
"Biar kupanggilkan taksi. Kau harus pulang sekarang."
"Tidak! Bagaimana pun, aku harus ke rumah sakit dan melihat kondisi-"
"A-a," Sebuah suara menginterupsi. Itachi telah berdiri tepat di belakang mereka berdua.
"Tidak ada satu pun dari kalian yang akan pergi ke rumah sakit sekarang. Sasuke, kau antarkan Hinata pulang. Pastikan dia aman sampai tujuan. Biar aku saja yang mengurus ini."
Sasuke bukan tipe adik yang gemar berontak. Meskipun keinginan untuk segera menyusul begitu besar, membantah titah Itachi bukanlah sesuatu yang ia kenal dalam kamus kehidupannya.
"Aku mengerti," ucap bungsu Uchiha itu pada akhirnya.
Ia menuntun Hinata menuju mobil, membereskan pembayaran di kafe, kemudian melaju menuju kediaman Hyuuga dengan perasaan asing dalam dadanya.
. . .
Hinata sudah terlalu lama berada dalam zona nyaman. Sehingga ia pun lupa, seperti apa rasanya ditinggalkan. Setidaknya sampai hari ini.
Ketika Sasuke berlari jauh di depannya untuk mencari sosok Sakura, perasaan yang telah lama ia kubur dalam-dalam itu seakan membuncah keluar. Selama ini, Sasuke selalu menghiraukan apa pun yang ia katakan. Namun tadi, panggilannya sudah bagaikan angin lalu. Jangankan respon berarti, menoleh pun lelaki itu enggan.
Pada akhirnya, ia berhasil menyusul Sasuke. Lelaki itu tengah membidai tangan Sakura ketika Hinata tiba di tempat. Begitu melihat keadaan Sakura dengan mata kepalanya sendiri, Hinata berusaha keras untuk menampik perasaannya. Gadis itu terluka parah. Darah menetes di sepanjang garis rahangnya. Di sekujur tubuhnya, terdapat luka lecet yang tentunya memerlukan waktu lama untuk pulih tanpa meninggalkan bekas. Wajar saja Sasuke bersikap demikian. Seandainya dia yang sekarang ada di posisi Sakura, Sasuke pasti juga akan panik bukan kepalang.
Ya, Hinata telah berusaha. Ia tidak ingin menjadi lebih egois setelah menawan Sasuke selama bertahun-tahun lamanya. Namun sekeras apa pun ia mencoba, perasaannya selalu berhasil mengambil alih. Ia benci mengakuinya, tapi Hinata tidak ingin Sasuke pergi menyusul Sakura. Setidaknya tidak tanpanya. Untunglah, Itachi datang dan menyarankan sesuatu yang lebih baik.
Di sinilah mereka sekarang. Duduk dalam diam selama perjalanan menuju tempat tinggalnya. Perubahan sikap Sasuke dapat Hinata lihat dengan jelas. Gadis Hyuuga itu mencuri pandang sesekali ke arah pria yang tengah mengemudi di sampingnya. Tatapan sepasang netra obsidian itu tampak lebih tajam dari biasanya. Tidak sekali pun Sasuke mengalihkan perhatiannya dari jalan raya di depan. Barang untuk menanyakan bagaimana keadaan Hinata sekarang.
Sekali lagi, Hinata enggan mengakuinya. Namun dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia mulai merasa khawatir akan kedatangan Sakura Haruno kembali dalam hidupnya.
. . .
"Oh. Itachi-kun? Kau kah itu?" Tanya Kushina begitu suara berat yang terdengar familiar menyahut sapaannya dari seberang sana.
Itachi pasti sedang berada di tengah keramaian. Suaranya bercampur aduk dengan percakapan lain dari lingkungan sekitar. Ia menjelaskan sesuatu dengan sangat cepat, bahkan cenderung tergesa-gesa, hingga Kushina tidak punya kesempatan untuk mencerna.
"T-tunggu sebentar. Siapa tadi katamu yang terlibat kecelakaan?"
Dan jawaban selanjutnya yang wanita itu terima membuat genggamannya pada gagang telepon terlepas begitu saja.
.
.
.
Berat.
Ia ingin bangun dari tidurnya. Namun, kelopak matanya terasa sangat berat untuk diangkat.
Secara perlahan, sistem saraf di sekujur tubuhnya mulai berfungsi kembali. Di saat itulah, ia bisa merasakan rasa sakit yang tidak main-main. Kepalanya berdenyut. Kulitnya terasa perih di mana-mana. Namun di atas itu semua, ia hampir tidak bisa menahan rasa sakit di sepanjang lengan kanannya. Keadaannya ini membuatnya ingin menjerit seadainya saja ia bisa.
Ruangan tempat ia berada terasa sangat dingin. Dan satu-satunya hal yang membuat ia merasa nyaman adalah kehangatan yang menjalar dari tangan kirinya. Seseorang tengah menggenggamnya erat sekarang.
Perlahan tapi pasti, kedua iris emerald milik gadis itu mulai tampak. Perlu beberapa waktu sampai ia bisa melihat dengan jelas keadaan di sekitarnya kini. Bibirnya yang tersembunyi di balik alat bantu pernapasan menunjukkan sedikit pergerakan, hendak berucap. Namun sebelum ia sempat berkata-kata, seseorang telah lebih dulu memanggil namanya.
"Sakura. Kau sudah sadar?"
Sakura menggulirkan pandangannya ke kiri. Adalah Sasori yang kini tengah duduk di sisi tempat tidurnya. Kekhawatiran terpancar jelas dari sepasang iris hazel milik sang kakak.
"Nii-san…" gumam Sakura lirih, hampir seperti berbisik.
Ah, Sakura jadi menyesal. Terakhir kali ia menatap mata itu, kemarahan adalah satu-satunya hal yang bisa ia lihat. Siapa sangka, Sasori masih begitu memedulikannya pasca pertengkaran hebat mereka minggu lalu. Sakura bahkan belum sempat mengajak kakaknya berbaikan.
"Aku segera kemari setelah mendengar kabar kecelakaan itu."
"Kau menunggu lama ya?"
"Tidak lama," Sasori mengusap telapak tangan Sakura yang berada dalam genggamannya, berusaha meyakinkan gadis itu akan kata-katanya. Meskipun pada kenyataannya, sudah hampir 3 jam Sasori duduk di sana.
"Bagaimana perasaanmu? Perlu kupanggilkan dokter?"
Sakura menggelengkan kepalanya.
"Tetaplah disini," bisik gadis Haruno itu. Matanya terpejam erat ketika kepalanya lagi-lagi terasa nyeri.
Sasori tersenyum getir. Hatinya sakit melihat luka-luka yang bertebaran di sekujur tubuh sang adik. Rasanya ia tidak keberatan jika harus bertukar posisi dengan Sakura. Namun hal yang seperti itu tidak mungkin bisa dilakukan. Rasa bersalahnya kian bertambah ketika harus mengatakan yang sejujurnya kepada Sakura.
"Maafkan aku ya. Aku sudah berusaha agar semua urusan kantor di cancel untuk hari ini saja. Tapi beberapa benar-benar tidak bisa di undur. Aku harus pergi sebentar lagi," jelas Sasori pelan-pelan. Dengan satu tangannya yang bebas, Sasori mulai mengelus lembut puncak kepala adiknya.
"Hmm." Sakura hanya menanggapinya dengan gumaman. Tidak berhak baginya untuk merasa kecewa. Sasori bisa menyempatkan diri untuk datang kesini dan menemaninya hingga siuman saja adalah sesuatu yang patut untuk disyukuri.
"Aku sudah mencoba untuk menguhubungi Kaa-san. Tapi belum juga berhasil. Sepertinya dia sedang sibuk dengan pekerjaan."
"Jangan," ucap Sakura cepat.
"Apa?"
"Jangan hubungi Kaa-san. Kumohon."
"Aku tidak mengerti. Kau mengalami kecelakaan, terluka parah, tapi ingin aku tidak menghubungi Kaa-san? Dia berhak tau, Sakura." Sasori berupaya sebisa mungkin untuk menekan nada bicaranya. Ia tidak ingin Sakura merasa seperti sedang dimarahi. Tidak lagi.
"Aku akan segera sembuh. Karena itu, tidak perlu menghubungi Kaa-san. Aku tidak ingin menambah beban pikirannya. S-sekali ini saja... kumohon dengarkan aku."
Melihat kesungguhan dari cara Sakura menatap dirinya, Sasori akhirnya luluh. Ia bisa mendebat adiknya kapan saja. Tapi tidak sekarang.
"Baiklah, tidak akan kulakukan."
Sakura menghela napasnya lega. Tidak sulit untuk meyakinkan Sasori dengan kondisinya yang seperti ini.
"Istiratlah. Jangan berpikir yang macam-macam dulu. Aku akan menemanimu sampai kau tidur," kata Sasori sembari terus mengelus puncak kepala sang adik.
Tidak lama berselang, Sakura telah kembali terlelap. Raut lelah yang terpancar dari wajah rupawan Sasori segera tergantikan oleh seulas senyum tulus begitu melihat Sakura damai dalam tidurnya. Perlahan tapi pasti, ia melepaskan tautan tangan mereka dan beranjak dari tempat duduknya.
"Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu dengan baik. Aku janji akan segera kembali."
Ia mengecup singkat dahi Sakura sebelum kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Putra sulung keluarga Haruno itu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia harus bergegas. Hanya ada waktu lima belas menit untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit sebelum meeting selanjutnya dimulai.
. . .
Itachi tidak menyangka kalau hari kepulangannya ke Konoha akan berakhir sebegitu merepotkan. Pasca kecelakaan, dokter muda itu tidak bisa langsung melaju ke rumah sakit. Ia diminta petugas kepolisian untuk bersaksi terlebih dahulu selaku korban yang turut terlibat, dan prosesnya memakan waktu yang tidak sebentar. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor polisi berikut tetek-bengek perihal ganti rugi, barulah Itachi bisa bebas berkeliaran. Tentu saja, rumah sakit adalah tempat pertama yang harus ia kunjungi-bukannya rumah seperti rencana awal.
Itachi memarkirkan mobilnya di basement, kemudian bergegas masuk ke dalam gedung UC Hospital. Penampilannya kacau sekali. Celananya penuh debu akibat berlutut terlalu lama di trotoar. Pakaiannya kumal dan tidak tertata dengan baik. Lengan kemejanya ia gulung hingga siku. Dengan noda darah yang masih tampak jelas di beberapa bagian, maka lengkaplah sudah kesemrawutan Itachi hari itu.
Namun terlepas dari kacaunya penampilan sang dokter muda, dia tetap terlihat memesona seperti biasa. Beberapa perawat wanita bahkan dengan cepat menghampirinya dan bertanya apakah ia baik-baik saja.
Lagipula, tidak ada waktu untuk ganti baju. Ia harus pastikan kalau kedua rekannya baik-baik saja, terutama si pirang itu. Kalau sampai Naruto kenapa-kenapa, Itachi tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana saat berhadapan dengan tuan dan nyonya Namikaze. Uchiha sulung itu hanya bisa berharap, semoga kedua orang tua Naruto belum kehilangan kepercayaan mereka. Bukan untuknya, tapi untuk gadis Hyuuga yang keselamatannya tengah Itachi perjuangkan. Bisa jadi anak mereka adalah satu-satunya kesempatan yang dimiliki Hinata untuk bisa segera lepas dari penyakitnya.
Pintu lift di depan Itachi perlahan terbuka, tetapi ia dengan cepat mengurungkan niatnya untuk masuk begitu melihat sosok pria yang berdiri di dalam sana.
"Yo!" Sapanya pada pria berstelan gelap tersebut. Rambut merahnya masih saja mencolok. Persis seperti yang Itachi ingat.
Sasori Haruno.
Teman lamanya itu melangkah keluar dari dalam lift, kemudian mengambil posisi tepat di hadapan Itachi.
"Terimakasih sudah menghubungi," ucapnya.
Itachi mengangguk.
"Tidak masalah."
Sasori tersenyum kaku. Kemudian tanpa banyak basa-basi lagi, ia melangkah pergi. Itachi mengikuti pergerakan pria itu selama beberapa saat. Mulutnya gatal ingin mengatakan sesuatu.
"Sasori!" Hingga akhirnya Itachi memutuskan untuk menyerukan nama sang kawan.
Sasori menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke belakang. Satu alisnya terangkat, mewakili pertanyaan yang terlalu enggan untuk ia suarakan.
"Lama tidak bertemu. Mampirlah kapan-kapan ke rumahku," seru Itachi. Masa bodoh respon macam apa yang akan ia dapat. Yang paling penting ia sudah berhasil mengatakannya sekaligus menghilangkan rasa janggal di hatinya.
"Aa."
Singkat. Padat. Namun Itachi tidak tahu harus mengartikannya seperti apa. Entah Sasori menyetujui, sekadar mengiyakan, atau bahkan hanya menganggap perkataannya sebagai angin lalu.
Dokter muda itu menghela napasnya jengkel. Terkadang, ia hanya tidak habis pikir dengan perubahan sikap Sasori yang sedemikian drastis. Ia tau Sasori itu kakak yang setia. Namun haruskah pertemanan mereka ikut rusak hanya karena adiknya dan adik Sasori punya riwayat asmara yang berakhir kurang menyenangkan?
Itachi membuang pemikirannya jauh-jauh dan bergegas masuk ke dalam lift. Makin dipikirkan, makin jengkel ia dibuat. Jengkel pada Sasori. Jengkel pada Sasuke.
Ah, benar juga. Omong-omong soal Sasuke, adiknya itu berhutang satu penjelasan pada Itachi-terkait kemunculannya yang tiba-tiba di sekitar area kecelakaan. Sejauh yang ia tau, Sasuke sudah lama tidak berhubungan dengan Sakura. Tidak lagi semenjak mereka putus. Sudah bertahun-tahun yang lalu.
Lantas, mengapa hari ini ia bisa berada di sana-tepat ketika kecelakaan itu menimpa Sakura? Apakah hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang Itachi lewatkan selama kepergiannya?
Lamunan putra sulung keluarga Uchiha itu buyar kala pintu lift terbuka, menandakan kalau ia telah tiba di lantai tujuan. Berdasarkan informasi dari salah seorang perawat, di lantai inilah Naruto dan Sakura dirawat. Itachi melangkah cepat menuju Unit Gawat Darurat terdekat. Untuk sementara, biarlah ia berasumsi kalau kemunculan Sasuke hanyalah kebetulan sampai adiknya itu sendiri yang datang dan menjelaskan. Yang terpenting adalah Itachi harus segera menemui Naruto dan Sakura.
"Itachi-kun," seru seseorang dari arah belakang.
Itachi kenal betul dengan suara lembut ini. Untuk alasan tertentu, mendadak ia gugup bukan main. Pria itu berbalik dan mendapati seorang wanita dewasa telah berdiri tepat menghadap ke arahnya.
"Oh. Baa-san," sapanya pada wanita yang tidak lain adalah nyonya Namikaze.
"Kau sudah melihat kondisi Naruto?" Tanya Kushina. Raut kesedihan masih tampak jelas pada wajah pucat wanita itu sekali pun ia telah berusaha untuk menyembunyikannya.
"Belum. Aku baru saja mau melakukannya," jawab Itachi apa adanya.
"Etto, sebenarnya... ruang rawat Naruto ada di sebelah sana." Kushina mengarahkan telunjuknya ke sisi lain koridor-berlawanan arah dengan yang sebelumnya Itachi susuri.
"Dia sedang bersama ayahnya sekarang," tambah Kushina sembari tersenyum.
"Ah, sepertinya aku membuat kesalahan. Kalau begitu, aku akan kesana segera. Terimakasih sudah memberi tahu."
"Tunggu sebentar." Kushina dengan sigap menahan bahu Itachi ketika pemuda itu bermaksud melewatinya.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
. . . TBC . . . Author's note :
Teruntuk kalian, flamer terhormat yang udah ada niatan buat ngasih saya flame.
Setiap saya update chapter baru, selalu ada aja flame masuk yang intinya tuh semua sama; "Ih Sakura murahan banget!"
Saya gak akan menampik pendapat kalian mengenai sikap Sakura yang emang berlebihan-you have rights to feel so. Lima chapter pertama saya tulis pas saya masih 13 (author's notenya aja masih manja-manja gitu yekan?). Such a young age to think about an appropriate manner of the adults to act in front of their ex. Karena emang setiap tindakan Sakura itu penting untuk mengembangkan plot, dan saya kurang mikirin pengembangan karakternya. My bad…
Anyway, itulah gunanya saya cantumkan warning OOC di awal. Dan makin kesini, saya makin mencoba untuk memperbaiki karakter Sakura. Saya bingungnya, ada aja yang dari chapter awal udah ngeflame terus masih lanjutin baca sampai chap 6-dengan masih ngasih flame. Like... seriously? Jadi lu doyan apa gimana sih bambankk? :v
Yang ngganggep fanfiksi ini jelek gegara saya masih bocah, saya gak masalah. Toh emang saya masih bocah (and i'm proud of that) :p
Senggaknya, bocah yang berani berkarya dan terus berusaha untuk berkembang itu lebih baik daripada flamer yang ngejulid dan sembunyi dibalik anon B)
Guys, nulis cerita sepanjang ini susah. Ratusan kali lipat lebih susah daripada ngetik review caci maki kalian itu. Kalo gak percaya, coba deh sekali-kali nulis. Buat cerita yang perfect baik dari segi plot maupun chara. You sure you can do it flawlessly? :)
Kritik membangun akan sangat saya apresiasi. Tunjuk kekurangan fanfiksi ini dan kasih saya solusi untuk memperbaikinya. That's what smart people would do :)
Itu aja sih yang mau saya bilang. Kalo ada para flamer yang merasa tersinggung dengan kata-kata saya, I'm so sorry...
Cause I'm not sorry :v
Makasih banyak buat yg udah follow ig dan mengingatkan saya kalau masih ada yg menunggu fanfiksi ini. You're the best! 3
Anyway, I'll see ya at the next chapter!
Salam hangat,
flavescens
