Detective Conan / Case Closed

A SHINSHI FANFICTION

one-shot

DISCLAIMER : Aoyama Gosho

by Arashi Kachigawa

The Immortality of Love

.


.

.

hidup di dunia hanyalah sementara—

dan kita diutuskan sebagai mahkluk fana, menjalani segala ujian—

salah satunya aku—

tapi cinta tak termasuk—

karena itu adalah abadi—

Kuakui, aku sangat lemah..terlalu lemah.. bukan tegar seperti yang kalian bayangkan

.

"—tidak apa-apa, Shiho, menangislah sepuasnya." Seperti biasa, tangan yang diulurkannya mengusap pipiku yang cukup dingin. Lagi-lagi, aku meminjam dadanya untuk ke sekiannya.

.

Ruang gelap terisi dengan bayangan gelapku dan yang ada hanyalah kesedihan, kesedihan dan kesedihan..namun semuanya begitu terang begitu dia datang padaku…

.

Aku terlalu bergantung sama orang..Mencengkeram pakaian orang keras begitu kudapati bau yang menyiarkan segala penderitaanku selama di kurungan sana

.

"—Tidak, Shiho, buktinya kau selalu tegar ketika masih berada dalam kurungan organisasi, menyelesaikan APTX 4869 dan sekarang, menyelesaikan penawar racun itu sendirian demi kita."

.

Aku tidak ingin menunjukkan sikap asliku ke siapapun.. di balik sifat dinginku

.

Hanya dia yang berani memperlakukan seperti itu padaku

Dia datang padaku sembari tersenyum mengejek

Kemudian ia mendongakkan kepalaku yang sempat tertunduk menyesali perbuatan ini

Dan perlahan mulai mendekat dan sekarang hanya beberapa sentimeter wajah kita saling berhadapan

"—tunjukkan sikap aslimu ke aku, hanya seorang, bukan lainnya."

Aku tak bisa menghindarinya lagi,

Si muka yang penuh ekspresi, terlalu bertolak belakang denganku

juga kadang lucu jika dia kugoda

Namun tahukah kau sempat kusyukuri kalau kita sama-sama mengecil

Mengeksplorasi dunia sehingga tersimpan berbagai kenangan…

Hanya berdua saja di dunia ini…

dan dia mendaratkan ciuman ke bibirku nan kering dan pucat

"Menyebalkan." Ketusku.

"Kamu juga menyebalkan." Tersungging sebuah senyum penuh kemenangan di raut mukanya—gentian aku yang digoda olehnya..

"Lagi-lagi aku lari ke kamu." Helaan nafas yang berat terlontarkan begitu saja dari mulutku

Tetapi sekaligus rasa lega

"Tidak apa-apa. Aku selalu ada di sinimu."

karena didampingi pria gagah satu ini..

Kudekap erat tubuhnya, setelah air mataku diseka olehnya

"Aku berjanji aku akan melindungimu sebisa mungkin dalam hidupku."

.

{ Semuanya hanyalah kenangan yang telah berlalu,

Dan seiring waktu ke waktu

Penyesalanku semakin dalam }

.

"Shinichi…." Hanya tangan dia lah yang bisa kugenggam.. dingin…dingin sekali—tanpa sadar aku menumpakan air mataku dan tetesnya jatuh tepat di atas tangan nan dingin ini—

"Kenapa kamu harus menyusul kakak Akemi?" seruku dalam batin—sembari menundukkan kepalaku yang tak ingin menunjukkan wajah cengeng ini pada siapapun—

Pakaian hitam mengepungku, dan ini adalah suasana duka yang kualami bahkan bisa kubilang sangat tragis dalam hidupku, dan aku tak suka melihat mereka berkabung begitu saja—biarkan aku sendiri mengamati raut muka lelaki yang selama ini melindungiku

"Hei. Mana janjimu..? bodoh…"

Aku semakin tak menerima dengan semuanya.

Tak bisa.

Tidak bisa..tidak bisa.

Tetapi aku juga tidak ingin dia sedih melihatku cengeng begitu saja.

Aku ingin disentuh olehmu lagi—

Yang mendatangiku ketika aku berada dalam suasana seperti ini—

Suasana yang suram…

Aku ingin dicium olehmu lagi

Yang menghiburku… di dini hari setelah ketahuan berlinang butiran air olehnya

Semakin kukencangkan tanganku yang mengenggam tangan dingin ini. Ingin sekali kusalurkan kehangatanku meskipun aku tahu itu sangat mustahil…

Dan pada akhirnya—diakhiri oleh bangkitnya lututku setelah meletakkan sepaket bunga Lycoris Radiata; kenangan yang tertinggal…

Sebenarnya maksudku bukan meninggalkan kenangan begitu saja di depan dia.. namun ingin kutanamkan kenangan ini di antara kita

Tunggulah aku… kita akan melanjutkan kenangan kita lagi dan kita kembali mengeksplorasi dunia tanpa hambatan apapun jika yang ditentukan adalah fananya tubuh sendiri ini

Aku mempercepatkan langkahku meninggalkan keramaian gelap yang terlihat menaburkan berbagai variasi bunga dan artinya begitu mendalam meski kalah jika dibandingkan dengan makna oleh-olehku yang barusan kuletakkan. Gumpalan kabut akibat temperatur yang rendah pun kuhembuskan dari bibirku yang hampir kering dan mengakibatkan aku jadi rindu dengan ciuman hingga mencairkan saliva, hanya dari dia.

Meski tak peduli apa kata orang karena aku meletakkan makna bunga yang begitu kejam, justru aku merasa iba dengan mereka yang ilmu pengetahuannya tak sepadan dengan yang kumiliki.

Namun aku dibuat sangat dilema denganmu…

Hanya dua pilihan yaitu hidup dan berterimakasih dengan segala pengorbananmu…tetapi aku tak ingin kesepian dan aku benci kalau akan kesepian selamanya..

Atau, mati namun aku tak ingin melihat kesedihanmu…

Kukencangkan syalku, rajutan yang dibelikan olehnya ini, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi salju bahkan kemungkinan membentuk setinggi tiga puluh sentimeter nanti malam ini; oleh karena itu harus kugerakkan kakiku secara paksa, ke tempat penentuan takdir, semakin bulat tekadku untuk merobohkannya hanya demi satu orang; Shinichi Kudo.

"Shiho, kau cantik sekali.." gumamnya sembari mengerakkan tangannya yang menjelajahi dari ujung kaki sampai punggungku, memancing rasa ketertarikanku padanya.

"Bulan malam ini juga cantik sekali." Sahutku seraya memegang bunga lily dan rasa bahagiaku semakin melambung karena pada saat itu juga ia melamarku;

Yang akan mencapai puncak di mana mimpiku sebentar lagi tercapai, sebagai pengantin dengan memakai gaun putih kemudian menukar cincin platinum di tangan masing-masing,

namun itu takkan tercapai…bukan karena makna lily secara umum, namun secara harfiah.

Kucengkeram erat kambeli putih pucat begitu nafsu telah menguasai dia; yang membuat tubuhku telah bersatu secara utuh dengan dia.

Pada saat itulah satu-satunya malam yang sangat indah yang pernah kualami pada hidupku…

Sudah sampai, di sinilah..tempat penentuan takdir. Seperti biasanya, aku mulai merasakan sensasi gemetar dalam tubuhku, antara tak siap dan siap menerima resikonya..namun mau tak mau aku harus melaksanakannya.. hanya demi fiancée-ku.

Kuamati cincin platinum di jari manis kanan ini.. harusnya kita mengalami hidup dengan kebahagiaan yang setimpal sebagai balasan untuk penderitaan selama ini; dan berkat pikiran negatif barusan, langsung melonjak perasaan emosi yang kesal dan amarah ini, memaksa tubuhku masuk ke dalam bangunan tua itu dan dengan refleks tanganku langsung berayun begitu saja, ke arah seorang berjubah hitam dengan pisau lipat di tanganku.

Apa ini? Banyak bulu—tepatnya, dikatakan bulu ayam?—bertebaran di sekitarku.. dan nuansa yang terlalu terang, dikelilingi reruntuhan kuno layaknya berada di Roma, dan kuamati ujung kakiku sampai batas pandanganku yang kutunduk ini; kukenakan gaun putih layaknya pengantin yang telah lama kuimpikan. Tiba-tiba ada pria berjubah putih dengan dua ekor pakaiannya yang menjumbai dengan begitu elok; serta raut mukanya yang tenang, dan rambut yang telah tertata dengan rapi.

Kusiarkan raut muka bahagia yang tiada habis begitu mengenali sosok itu—Shinichi Kudo. Langsung saja kusuruh kaki ini untuk berlari menangkap sosok itu, dan lengannya yang selama ini menjelajahi tubuhku, meraih lenganku kemudian dikaitkan jemarinya dengan jemariku ini. Dada yang selama ini kugunakan untuk membenamkan di dalamnya hanya untuk melampiaskan seluruh rasa sedihku, sekarang bisa kusentuh lagi.. .Shinichi-ku.

Kita tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya dengan memeluk saja bisa mengucapkan apa yang telah dialami kita selama ini. Kukeluarkan butiran air ini dan kembali diseka oleh Shinichi. Kudongakkan kepalaku dan kujinjitkan kakiku karena tinggi badanku yang kalah sepadan dengannya, kudaratkan ciumanku sebagaimana ia mendaratkan ciuman padaku saat satu-satunya malam indah yang kualami di masa-masa sebagai mahkluk fana.

"Semestinya kamu jangan nekat berbuat seperti itu." Akhirnya sebuah kalimat yang dilontarkannya.

"Aku sudah membalaskan semuanya. Orang yang selama ini kubenci dan tak dapat kutahan nafsuku untuk mengurungnya dalam kegelapan selamanya, sebagai sumpah untuk kak Akemi dan kamu, Shinichi, sekarang sudah berkelana dalam kegelapan."

"Tetapi aku ingin kau melanjutkan hidupmu di dunia, bukan ke sini." Lirih Shinichi dengan menampilkan raut muka yang sedih.

Aku tersentak dan aku hanya bisa merapatkan mulutku. "Tetapi aku ingin bertemu denganmu. Aku tak dapat menahan rasa rindu yang takkan kau pahami ini."

"Aku memahami hal yang kau rasakan, karena kurasakan pula. Di sini, aku telah menunggu, menunggu dan menunggu, dengan berbagai rasa; gelisah, senang, bersyukur, dan sangat banyak, karena mengawasimu dari sini."

"Sekarang, giliran kita berkelana dalam dunia kita dan kita akan menjelajahi ke tempat yang tak pernah dikunjungi sebelumnya." Tambahnya sembari menyematkan helai rambut berwarna stoberi ini ke belakang telingaku dan kembali mendekap pinggangku sembari mendekatkan mukanya ke mukaku.

"Ya, kamu benar." Kulakukan hal yang sama pula, dan ia kembali menciumku ke sekiannya. Kemudian kita saling menggandeng tangan dan perlahan mulai meninggalkan suasana yang penuh dengan bunga Lily yang memenuhi reruntuhan kuno ini, dan kembali mengeksplorasi dunia berdua. Ya, hanya berdua dan itu bersifat abadi selamanya, bukan fana lagi.

.

They were always together

.

Now their life won't disturbed by everybody

Which their life are full of suffering

Now let them go

To make full happiness in their afterlife…

.

.

Iris biru wanita itu tak henti memandang dua nisan yang bersebelahan, dan ia meletakkan bunga Lathyrus odoratus; good bye—tak kuasa ia membendung air mata dan akhirnya tetesnya keluar berlinang di pipi pucat itu. Surai hitam sepinggang yang bergerak tak beraturan agak menganggu pandangan wanita itu, setelah disematkan rambutnya ke belakang, ia menyapu bersih debu yang telah menyelimuti nisan itu dan kemudian menyirami dengan air bersih tampaklah ukiran yang berbunyi ;

Here Lies

Shinichi Kudo and Shiho Miyano

Confession is always weakness. The grave soul keeps its own secrets, and takes its own punishment in silence.

"Itu kutipan terkenal. Perempuan berambut stoberi itu..memilihnya untuk menaruh di batu nisan ini?"

"Ya, dia yang memilih untuk diukirkan kutipan ini di batu nisan mereka berdua sebelum ajal menjemput dia." Disapu bersih lututnya yang ternodai dengan butiran debu sebagai tanda mereka bersiap untuk meninggalkan tempat keberadaan sahabat penting dalam hidup wanita itu.

Sembari menggandeng tangan seorang putri layaknya malaikat kecil baginya; serta lengannya didekap erat dengan lelaki yang bisa ditebak sebagai pendamping hidup wanita itu, perlahan mereka menghilang setelah angin hangat tiba-tiba mengenai mereka padahal saat itu adalah musim gugur yang temperaturnya rendah.

Benar, kan, cinta itu abadi?

kudekap erat dia dan tiap hari akan kita taburi berbagai bumbu cinta kita—


The End—