Falling for you?

DISCLAMER : MASASHI KISHIMOTO

.

.

Chapter 1. Lost in Wonderland

.

.

"Aaahhhh…"

Hinata mendesah pelan saat pria itu menghisap puncak payudaranya dengan kuat. Napasnya terasa berat, tubuhnya berkeringat dan otaknya tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Seluruh otot ditubuhnya terasa lemas. Ia hanya mampu berpegangan pada pundak kekar pria itu. Membiarkan dia berlaku sesukanya.

Tenggorokannya terasa kering, dan mulutnya menguarkan bau asing menyengat seperti…sake? ah, ia ingat. Meski samar, ia ingat sudah menenggak cairan itu. Makan malam yang diadakan para pengurus perpustakaan umum, dan perayaan setelahnya.

Mereka pergi ke karaoke setelah makan, minum lagi, bernyanyi, lalu minum lagi dan terus seperti itu hingga yang bisa ia ingat hanya minum dan bernyanyi. Lalu seseorang memeluknya dari belakang, membisikannya sesuatu yang tak bisa Hinata ingat, dan kemudian tangannya ditarik keluar.

Kepalanya pusing, tapi ia tak melawan saat orang itu mendorongnya memasuki ruangan yang tak berbeda jauh dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Hanya saja disini lebih sepi. Tak ada musik yang bergaung memekakan telinga. Lampunyapun tidak terlalu redup. Hinata menatap bingung pada lelaki yang mengajaknya kemari.

Apa yang akan mereka lakukan disini?

Ia semakin bingung saat lelaki itu mendekatinya dan mulai melepas blazer yang Hinata pakai. Disusul blouse putihnya lalu rok selutut yang ia pakai hingga hanya pakaian dalamnya saja yang tersisa. Ia benar-benar heran kenapa lelaki ini membantunya melepas pakaian. Hinata perempuan dewasa, ia bisa melakukan itu semua sendiri.

Tapi sebelum Hinata sempat protes, pria itu mendorongnya hingga terduduk di sofa. Tangannya yang panas mengelus paha Hinata penuh nafsu, bibirnya yang juga berbau alkohol menciumi setiap inci lehernya, membuat Hinata mengerang. Tubuhnya yang tak berdaya diangkat hingga duduk di pangkuan lelaki itu.

Dalam kebingungan, Hinata mulai menikmati sensasi dari sentuhan panas lelaki itu ditubuhnya. Usianya mungkin sudah 25 tahun, tapi ia sama-sekali tak pernah berhubungan dengan lelaki. Sekolah dan pekerjaan yang menyita waktu menjadi faktor utama.

Saat bibir mereka saling bersentuhan, suara berat yang benar-benar asing menginterupsi kegiatan mereka. Si lelaki yang terganggu menggeram saat melepas pagutan dibibir Hinata, namun tubuhnya mendadak kaku saat ia melihat sang pengganggu. Sementara Hinata, dengan kepala yang kembali terasa pusing, menyurukan kepalanya di pundak sang pria. Tak peduli pada tamu mereka.

"Na-Namikaze-san? Sedang apa anda disini?" tanya si lelaki dengan kalut. Tubuhnya yang terasa gemetar membuat Hinata penasaran. Dengan malas, ia memutar kepalanya yang pusing dan melihat orang yang dipanggil Namikaze itu.

Hal pertama yang diperhatikannya adalah rambut pirang berantakan, tubuh tinggi tegap dan kulit kecoklatan. Tapi yang paling memukau Hinata adalah matanya. Pria itu memiliki warna biru paling jernih yang pernah ia lihat. Dan ia benci itu.

Mata biru selalu sukses membuatnya teringat pada cinta pertamanya. Anak lelaki ceria yang jago olahraga. Hinata menyukai saat-saat dimana ia bisa melihat anak itu. Setiap kedatangannya selalu membawa keceriaan tersendiri bagi orang-orang disekitar. Ia mungkin tidak terlalu pintar di pelajaran akademis, tapi kemampuan olahraga-nya sangat menakjubkan. Hinata suka mengendap-endap dibalik semak hanya untuk melihat anak itu latihan lari jarak dekat.

Perlu beberapa minggu untuknya bisa berkenalan dan menjadi teman anak itu. Mungkin memang bukan teman dekat, tapi setidaknya Hinata sudah cukup puas saat anak itu menyapanya.

Moment itu menjadi saat paling membahagiakan bagi Hinata.

Ia yang bukan siapa-siapa dan selalu diremehkan, untuk pertama kalinya, mempunyai impian. Hinata memasuki beberapa klub disekolah agar bisa belajar berinteraksi sehingga, mungkin suatu saat, ia bisa dengan lancar berbincang dengan anak itu.

Ia belajar keras agar nilainya dikelas tidak turun sehingga ayahnya mengijinkan setiap kali Hinata ingin pergi menonton lomba yang diikuti anak itu. Ia bahkan belajar merajut untuk hadiah valentine.

Tapi ceritanya tak semuluk tokoh-tokoh dikomik cantik.

Entah datang dari mana, tapi kabar Hinata yang menyukai anak itu tersebar ke seluruh sekolah. Setiap melihat Hinata, sekelompok anak perempuan akan berkumpul lalu berbisik-bisik sambil terkikik geli. Sementara anak lelaki akan menggodanya.

Tapi itu tak seberapa dibandingkan sikap anak itu padanya.

Disaat teman-temannya meledek Hinata, anak itu juga ikut tertawa bersama mereka. Itu menyakitkan. Dan semua itu diperparah dengan kenyataan bahwa anak itu berpacaran dengan gadis yang tak lain adalah sahabat Hinata sendiri tak lama sejak kabar Hinata yang menyukainya tersebar.

Tak sekalipun anak itu menganggap serius perasaannya, ia bahkan tak lagi menyapa Hinata. Tingkahnya yang seakan mereka tak pernah saling kenal itu benar-benar menyakitkan.

Dan begitulah, masa sma yang kata orang indah, menjadi masa paling buruk yang pernah ia rasakan. Orang yang disukainya mengacuhkannya, sahabatnya menjadi pacar dari orang yang disukainya dan ikut menghindari Hinata, teman-temannya yang lain perlahan menjauh dengan alasan mereka tak lagi nyaman didekatnya, dan nilai pelajarannya terjun bebas. Ia dikurung dirumah sepanjang liburan musim panas. Belajar, belajar dan belajar.

Semua hal itu jelas mengubah pribadi Hinata.

Ia kini tak terlalu peduli pada masalah perasaan. Ia tak peduli tentang asmara, yang dipedulikannya hanyalah nilai pelajarannya dan sekolah. Hinata tak punya teman, tapi ia tak terlalu memusingkan hal itu lagi. Ia berkencan, tapi tak pernah berpacaran. Ia bahkan tak ingat nama orang yang menjadi ciuman pertamanya. Terkadang Hinata berpikir mengapa hal kecil seperti sakit hati mampu mengubah segala sesuatu.

Ya, hal kecil itulah yang mengubah hidupnya.

Dan sekarang, seseorang yang hampir sama berdiri didepannya.

"Perempuan itu," katanya sambil menunjuk Hinata dengan dagunya. "Apa dia kekasihmu?"

Si pria yang masih memeluknya terdiam sesaat, wajahnya semakin pucat.

"Bukan."

"Humm, boleh untukku?" tanya si pria asing dengan santai. Tangannya yang besar mencengkram lengan atas Hinata dan menariknya bangun dari pangkuan lelaki itu. "Pergilah, aku ingin menikmati wanitaku sendirian."

Hinata tak tahu apa yang sebetulnya sedang terjadi, sesaat ia di peluk dan di cium, lalu tiba-tiba ia dipaksa berdiri oleh seseorang yang benar-benar asing. Ia kebingungan. Dan kepalanya makin sakit saat digunakan untuk berpikir.

"Kau mabuk?" tanyanya saat mereka sudah benar-benar ditinggal sendiri. "Mulutmu bau alkohol."

Hinata masih diam bahkan saat pria itu mulai menggerayangi tubuhnya.

"Tapi aku lebih suka kau seperti ini." katanya lagi, kali ini dengan berani mendaratkan kecupan-kecupan kecil dibibir Hinata. "Mudah dikendalikan."

Dan kemudian ia memagut bibir Hinata kasar. Tangannya mengelus punggungnya, membuka pengait bra Hinata, dalam satu gerakan melepasnya hingga terbuka. Lidahnya yang menyerobot masuk mulai menjelajah, sementara tangannya sibuk menurunkan celana dalam Hinata. Saat ia sudah benar-benar telanjang, tubuhnya dibaringkan diatas meja. Dan lelaki itu berlutut diantara kedua kakinya yang terbuka lebar.

Jemarinya membelai bulu-bulu halus yang tumbuh disekitar kewanitaannya. Perbuatan itu membuat Hinata menahan napas, terlebih saat lelaki itu memutuskan bergerak lebih jauh. Jari-jarinya membuka lebar, naik turun dengan gerakan perlahan yang menyiksa.

Rasa asin darah terasa diujung lidahnya saat bibir bawah Hinata digigit terlalu kuat. Tubuhnya gemetar seakan menggigil. Dan jari-jari pria itu tak juga berhenti. Kali ini, dua jari memasukinya. Keluar masuk dengan gerakan perlahan. Sementara ibu jarinya memijat klitorisnya.

Ini pertama kalinya bagian yang paling tersembunyi itu diperlakukan seperti ini. Sebelumnya tak ada lelaki yang menyentuhnya di bawah sana. Hinata memang beberapa kali menjalin hubungan, tapi hubungan itu tak pernah sampai ke tahap yang lebih intim. Selalu ada hal yang membuat mereka memutuskan berpisah sebelum hal itu terjadi. Jika bukan karena si lelaki yang bosan dengan sikap pemalu Hinata, bisa dipastikan pekerjaan mereka yang menjadi hambatan.

Suara retsleting yang diturunkan mengaburkan pikirannya, saat membuka mata, ia melihat benda kebanggaan lelaki mengacung bangga didepannya. Besar dan tampak sangat keras. Perlahan benda itu digesekan, sedikit demi sedikit memasuki tubuhnya. Dan Hinata kembali merasa napasnya tercuri.

Tubuhnya terasa sangat penuh dan tidak nyaman, tapi pria itu tidak mau berhenti. Kedua tangannya justru menangkup payudara Hinata dan memijatnya kasar. Membuat rasa tak nyaman Hinata makin menjadi. Dan dalam satu hentakan kuat, tubuh mereka akhirnya menyatu. Jeritan kesakitan Hinata yang memenuhi ruangan berpadu dengan geraman kepuasan lelaki itu.

.

.

Hinata terbangun dengan perasaan bingung.

Ia tak pernah merasa selemas ini sepanjang hidupnya. Kepalanya sakit, tenggorokannya kering, tubuhnya kaku dan kakinya sulit digerakan. Sinar matahari yang menyorot langsung kematanya, membuat segala sesuatu menjadi dua kali lebih buruk.

Matanya kesulitan melihat, meski begitu, Hinata sangat yakin ia tidak sedang berada dikamarnya. Ia biasa tidur di futon dengan piyama bergambar teddy kesukaannya, bukan ranjang besar seperti ini dan hanya memakai kemeja kebesaran . Saat terbangun, dinding dari kayu yang akan pertama kali ia lihat, bukan dinding bercat putih bersih seperti ini.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Kepalanya yang sakit memaksanya berhenti berpikir dan mulai menjelajahi seluruh kamar mencari toilet. Dan saat akhirnya berhasil menemukan ruangan kecil itu, ia tak membuang waktu lagi untuk membuang seluruh isi perutnya.

Setelah sedikit tenang, ia memutuskan untuk membersihkan diri. Lalu ia akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

.

.

Ada setidaknya seratus panggilan tak terjawab dan tigapuluh pesan. Hampir semuanya datang dari teman kerjanya. Yang terbanyak datang dari Hiroshi. Entah apa yang membuat lelaki jadi begitu perhatian. Anehnya, saat temannya yang lain menanyakan keberadaan atau keadaan Hinata, Hiroshi justru minta maaf berkali-kali.

Apa maksudnya?

Tak mau ambil pusing, Hinata mulai memakai pakaiannya yang secara ajaib sudah dilaundry dan terlipat rapi. Isi tas dan dompetnya masih lengkap, tak ada yang hilang. Sepatunya sedikit lecet, tapi masih bisa digunakan.

Sekarang, setelah ia bersih dan rapi, Hinata memutuskan keluar dari kamar asing ini dan menghadapi apapun di balik pintu keluar itu.

.

.

Sayangnya, Meskipun ia sudah bertekad menghadapi apapun, tapi Hinata tak pernah siap menghadapi mantan cinta pertamanya.

Takdir ternyata bisa sangat kejam.

Dan sialnya, pria itu kini terlihat jauh lebih keren.

Rambutnya dipangkas rapi, kulitnya sekarang tidak terlalu gelap tapi tak mengurangi pesonanya, bahunya lebar dan tubuhnya tinggi tegap. Padahal dari dulu Hinata menyumpahinya jadi gendut dan jelek. Doa orang-orang teraniaya seharusnya mudah terkabul, kan? Jadi kenapa doa Hinata tidak berefek sama sekali?

Dan matanya… bagaimana bisa mata itu terlihat begitu jernih sekaligus begitu mengancam dalam waktu yang bersamaan?

"Naruto…kun?" panggil Hinata tak percaya. Lelaki itu masih menatapnya, tapi tidak ada kata yang terucap. Dan Hinata merasa dirinya kembali menjadi gadis remaja pemalu yang bahkan kesulitan mengucapkan salam. Menyedihkan.

"Kopi?" tawar lelaki itu tanpa mempedulikan kegugupan tamunya. Hinata ingin menolak, ia merasa tidak akan sanggup duduk berhadapan dengan orang yang sudah menghancurkan masa remajanya. Tapi kerongkongannya yang terasa kering membuatnya mengurungkan niat. Dengan canggung ia duduk di depan pria itu dan menghirup kopinya dengan ketenangan yang dipaksakan.

Jika tebakannya benar, maka tempat ini adalah tempat tinggal Naruto. Tapi hal itu tidak bisa menjelaskan keberadaan Hinata ditempat ini. Yang pasti, semalam Hinata mabuk.

Skenario yang paling masuk akal adalah ia bertemu lelaki itu, tapi karena tidak tahu tempat tinggalnya, maka Naruto terpaksa membawa Hinata kerumahnya. Hanya saja itu tidak menjelaskan tentang memar-memar dan linu yang ia derita.

Otaknya perlu dicuci.

Sambil memijat keningnya perlahan, Hinata kembali mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi pikirannya kosong. Ia hanya ingat pergi makan malam dengan teman-teman kerjanya untuk merayakan hari jadi perusahaan sekaligus diangkatnya kepala editor yang baru. Awalnya Hinata enggan pergi, mengingat ia hanya pegawai baru dibagian pengeditan. Tapi berhubung tempat makan-makannya dekat dengan apartement miliknya, ia memberanikan diri untuk datang. Lalu ada minuman sake yang disajikan sebagai teman makan. Tapi Hinata ingat ia tidak minum terlalu banyak. Dan kemudian mereka ke karaoke.

Disini tak banyak yang ia ingat. Hanya musik yang bergemuruh kencang, orang-orang yang bernyanyi dan tertawa. Lalu ada yang memaksanya minum sesuatu yang terasa pahit dan membuat tenggorokannya terbakar.

Kepalanya sakit.

Kemudian seseorang merangkulnya. Mengajaknya pergi.

Awalnya Hinata ragu, pandangannya buram dan musik yang terlalu keras makin membuat kepalanya sakit. Tapi ia yakin orang yang yang menarik tangannya adalah rekan sekantornya, Hiroshi. Sekarang ia tahu alasan lelaki itu meminta maaf.

Hinata menghirup kopinya lagi. Piring-piring berisi omelet, roti bakar, telur mata sapi dan waffle yang disodorkan padanya tak tersentuh. Rahangnya masih terasa kaku setelah muntah-muntah dan ia tak yakin perutnya sanggup mencerna makanan. Jadi untuk pagi ini, Hinata merasa melewatkan sarapan merupakan pilihan bijak.

Berbeda dengan Hinata yang depresi, Naruto justru terlihat sibuk membaca surat kabar pagi. Sesekali ia menghirup kopinya, lalu meraih selembar roti bakar dan memakannya sambil membaca. Tampaknya ia sudah lupa mempunyai tamu yang duduk didepannya.

Hinata kembali memejamkan mata dan menghirup udara dalam-dalam.

Kepalanya sekarang tak terlalu terasa sakit. Mungkin minuman berkafein seperti kopi bagus untuk menghilangkan mabuk. Tapi meskipun begitu, kejadian semalam masih terlihat kabur. Dan jika ia berkeras mengingat apa yang terjadi, kepalanya terasa seperti dihimpit beban berat.

Lalu perhatiannya kembali pada Naruto.

Pria itu telah sangat berubah. Dulu, meskipun ia sangat sakit hati pada tingkahnya, tapi toh tak menutup telinga Hinata dari berita tentang lelaki itu. Ia masih ingat dengan jelas kesedihan dan kelegaan saat mendengar Naruto pergi meninggalkan kota seminggu setelah kelulusan. Ia memang kembali dua bulan kemudian, tapi hanya untuk mengambil barang-barang dan mengunjungi kerabat. Hinata tak mendengar kabarnya lagi sejak hari itu. Ia tak tahu apa lelaki itu masih pacaran dengan sahabatnya? Apakah ia kuliah? Atau menjadi atlet seperti yang diinginkannya?

Hinata tak pernah tahu jawaban dari semua pertanyaan itu.

Teman-teman yang dikenal paling dekat dengan Naruto-pun tampak enggan membicarakan tentangnya. Alasannya, mereka tak lagi saling berhubungan. Tapi menurut selentingan yang Hinata dengar, Naruto sendiri yang memutus pertemanan mereka. Dan itu ada kaitannya dengan pacarnya. Katanya mereka bertengkar hebat, mengeluarkan kata-kata kejam, dan saling menguak aib masing-masing.

Hinata meragukan semua itu.

Mereka berdua- meski berat- tapi Hinata akui merupakan pasangan yang serasi. Mereka tak pernah bertengkar. Jikapun ribut, akan selesai pada hari itu juga. Si pria yang begitu mencintai kekasihnya akan mengalah, sementara si wanita akan mencoba mengerti dan tak pernah mendominasi. Hubungan mereka sangat akur.

Tapi melihat perubahan nyata pada diri Naruto membuatnya kembali ragu. Meski sudah pergi sangat lama, tak pernah ada kabar yang mengatakan Naruto punya pacar baru. Berita Naruto sedang dekat dengan perempuanpun rasanya tak pernah terdengar. Mungkin dia masih mencintai pacarnya yang dulu sehingga berat untuk pindah ke lain hati. Sementara penyebab mereka putus tak pernah ada yang tahu.

Kiba hanya berkata; sejak putus dari pacarnya, Naruto menjadi orang yang tak ingin ia dekati. Sampai detik inipun Hinata tak tahu apa maksudnya.

Menurutnya Naruto terlihat sama. Hanya penampilannya yang berubah dan sikapnya yang lebih kalem. Rambut lelaki itu kini lebih pendek, tapi tak membuatnya terlihat culun. Justru potongan rambutnya sekarang makin mempertegas struktur wajahnya. Bahunya yang lebar dan dadanya yang bidang tercetak jelas dibalik kaos hitam berlengan pendek yang ia pakai. Jarinya yang menjilati remah-remah roti yang menempel terlihat…

Tunggu dulu.

Kenapa tangannya terlihat sangat…familiar.

Lalu kilasan menakutkan tiba-tiba terbayang dikepalanya.

Hinata akhirnya ingat apa yang ia lakukan bersama Hiroshi. Mereka berada diruangan kecil dengan meja dan sofa yang diletakan didepan monitor berukuran standar. Hinata menduga mereka masih berada di tempat karaoke yang sama, hanya berbeda ruangan. Lalu lelaki itu menelanjanginya, dan Hinata tidak mencegahnya sama sekali. Mereka berpelukan, bibir saling bersentuhan dan…seseorang datang.

Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang setelah akhirnya menyadari siapa yang mengganggu mereka. Lalu ia ingat Hiroshi sempat bicara dengan lelaki itu dan kemudian…ia meninggalkannya!

Dan…dan…

oh tidak…

"Kau meniduriku." Tuduh Hinata geram. Dan ia makin marah saat Naruto hanya menatapnya dari balik surat kabar.

"Kau meniduriku!" Jerit Hinata lagi. Kali ini ia berdiri agar posisinya lebih tinggi dari pria itu. "Dan…dan kau bertingkah seakan tidak terjadi apapun? Aku tidak percaya ini."

Hinata segera merenggut tasnya dan berjalan pergi. Ia muak. Dan marah. Tak pernah ia merasa begitu…direndahkan! Sialnya, Naruto berhasil mencekal lengannya bahkan sebelum ia berhasil mencapai pintu keluar.

"Kau pikir kau mau kemana?"

"Lepaskan, atau aku akan menambah tuntutan untukmu." ucap Hinata berusaha setenang mungkin. Tapi cengkraman Naruto yang kuat dilengannya membuatnya gugup.

"Tuntutan?" tanya pria itu dengan nada mencemooh.

"Pemerkosaan dan kekerasan." kata Hinata dengan lantang. Tapi lelaki itu tampaknya tak terpengaruh sedikitpun dengan ancamannya barusan.

"Jadi kau sudah ingat saat ketika kita menikmati malam bersama?" tanyanya lagi. Tubuh Hinata didorong hingga terjatuh diatas karpet ruang tamu. "Kau ingat saat spermaku memenuhi rahimmu? God, itu saat yang paling menakjubkan."

"Aku bersyukur tidak mengingat bagian itu!"

Tapi jerit kemarahan Hinata justru dibalas senyuman manis yang membuat perempuan itu ketakutan.

"Bagus," gumam Naruto sambil membalikan tubuh Hinata yang memberontak marah sehingga punggungnya menghadap lelaki itu. "Aku tidak keberatan mengingatkanmu lagi."

Punggung Hinata ditekan kuat-kuat sehingga dada perempuan itu menempel ke karpet, sementara tangan kirinya masuk kedalam rok Hinata. Menarik celana dalam perempuan itu hingga lepas, ia sama sekali tak memperdulikan tubuh Hinata yang memberontak dibawahnya. Posisinya yang berlutut diantara kedua kaki perempuan itu memudahkan aksinya menggerayangi bagian sensitive yang kini terasa basah saat jarinya mencoba masuk.

"Jangan…" rintih Hinata pelan yang kembali diacuhkan pria itu.

"Aku bersikap baik padamu hanya karena aku tahu kau perlu waktu membiasakan diri setelah pengalaman pertamamu. Tapi aku salah," Hinata semakin menggigil ketakutan ketika mendengar bunyi resleting dari balik punggungnya. "Kau lebih menggairahkan saat menjerit kesakitan."

Tangis Hinata pecah saat Naruto memasukinya dalam satu hentakan kuat. Tubuhnya belum siap.

"Dan lebih nikmat." Naruto menggeram saat memulai iramanya yang kasar dan tak beraturan. Ia akan bergerak lambat namun melesak masuk sangat dalam lalu bergerak cepat seakan tak ada hari esok. Tak peduli Hinata suka atau tidak.

Dia jelas bukan Naruto yang dikenalnya dulu. Naruto yang membuatnya jatuh cinta bukan pria yang akan memaksa dan berbuat kasar padanya. Sementara pria yang kini memenuhi tubuhnya jelas bukan pria itu!

Dan Hinata semakin ngeri saat tubuhnya merespon diluar kehendaknya.

.

.

to be continue ^^