Chapter 8. Angel sin

.

.

Sore ini terlalu damai untuk diusik.

Terlalu jelita.

Terlalu cantik.

Angin bertiup pelan, menggasak dedaunan, memainkan helaian-helaian rambut. Membuai. Mengantarkan rasa romantis yang muram.

Anak-anak kecil berlari riang, saling berkejaran di sisi jalan. Berpesta dalam keceriaan yang tidak dibuat-buat.

Sungguh. Kedamaian itu bukan perkara rumit.

Seharusnya begitu…

Hinata menggigit bibir bawahnya dengan pikiran semrawut.

Dari sekian skenario paling tidak beruntung yang bisa dipikirkannya, ia tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi. Makan siang dengan…Ia melirik pada orang-orang yang berbagi meja dengannya, Sakura, Sasuke dan Naruto. Lalu mulai mengeluh dalam hati. Lagi.

"Jadi," ujar Sasuke yang duduk di depannya. "Kalian menikah."

Dan lucunya, meskipun ia mengatakannya dengan casual, Hinata masih merasa itu sebuah pertanyaan dibanding pernyataan.

Dan ya, jika berada di posisinya, ia pun akan melakukan hal yang sama. Diliriknya Naruto yang duduk di sebelahnya. Benar, tanpa keraguan.

"Kami bahkan tidak menerima undangan," keluh Sakura. "Padahal kami kan temanmu."

"Yang lain juga tidak," timpal Naruto tenang.

"Jadi bukan hanya kami."

"Bukan."

Dan mereka kembali makan dalam suasana hening yang kikuk.

Oh, bagaimana semua ini bisa terjadi?

Well…Sederhananya, semua ini berawal dari sebuah ketidak-beruntungan Ino yang jatuh dari tangga saat ingin menghindari tetangganya. Kakinya terkilir karena itu. Hinata tidak mempertanyakan kebenaran fakta ini karena ia tahu tetangga brengsek memang membuat hidup serasa di neraka.

Tapi di lain pihak, Naruto merasa berhak membawanya pergi makan siang selama Ino cuti. Yang membawa mereka bertemu Sakura dan Sasuke. Hinata sempat curiga ada unsur kesengajaan disini, tapi memilih mengabaikannya.

"Apa kau tidak suka makananmu?"

Hinata mengangkat kepala dan menyadari perhatian semua orang sedang tertuju padanya.

"Maaf?"

"Kau makan sedikit sekali," sahut Naruto memperhatikan dan Hinata bisa merasakan ketidaksukaan lelaki itu. Ia melirik ke arah di piringnya yang memang hampir tidak tersentuh.

"Aku tidak begitu lapar," katanya lalu memandang Naruto. "Aku…kurasa aku perlu ke belakang sebentar," lanjutnya sambil meletakkan serbetnya ke samping dan buru-buru mendorong kursinya ke belakang.

Mungkin ia sudah bersikap tidak sopan, tapi makan dengan suasana canggung seperti itu membuat perutnya tidak nyaman.

Baru saat ia berada dalam toilet dan bisa sedikit lebih tenang, ia menyadari sesuatu selama makan siang itu. Hinata memang tidak terlalu yakin, tapi kedua pasangan itu, Sasuke dan Sakura, entah kenapa terasa saling menjaga jarak.

Dahinya sedikit berkerut. Sasuke langsing dan berpenampilan menarik, khas pengusaha muda yang sukses. Dan jika rumor tentang mereka benar, maka pernikahan tampaknya kelanjutan yang wajar. Hanya saja, Hinata tidak merasakan kemesraan dari pasangan yang terjalin selama bertahun-tahun.

Saat datang tadi, Sasuke tidak menggandeng tangan Sakura atau berusaha mendekatkan diri dengan perempuan itu. Dan Hinata memperhatikan bahwa Sakura sangat sering tidak menatap kekasihnya.

Ada masalah disana.

Menggeleng pelan, ia mengenyahkan pikiran itu. Bukan urusannya. Ia harus berhenti mencampuri urusan orang, batinnya gemas.

Pintu toilet terbuka, Hinata menatap dari balik cermin dan mengamati Sakura yang berjalan mendekat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya penuh perhatian.

"Ya."

Ia ber-hum pelan sambil meletakkan tasnya di pinggir wastafel.

"Jadi," ucap Sakura sambil memeriksa lipstiknya. "Aku tidak melihatmu melakukan pemeriksaan lagi." Hinata mengangguk kaku. "Karena pertemuan terakhir kita?"

"Ya."

"Masih marah?" tanyanya lagi.

Hinata menganggak bahu. "Aku hanya tidak mau bertemu denganmu."

"Aku mengerti. Aku juga tidak mau bertemu lagi denganmu." Lalu dengan nada dibuat menyesal ia menambahkan. "Tapi sepertinya Naruto belum menemukan dokter pengganti, jadi untuk saat ini, kita terjebak satu sama lain."

Hinata mengangguk lagi. "Kurasa."

Mereka sama-sama terdiam beberapa saat sampai kemudian Sakura berkata, "Jadwalku penuh sampai seminggu ke depan, pastikan kau-"

"Aku tidak akan datang," sela Hinata cepat.

"Apa?"

"Aku tidak akan datang," ulangnya lagi. "Kita sama-sama tidak nyaman dan kurasa itu alasan yang cukup untuk tidak menemuimu."

"Begitu? Apa Naruto tahu?"

"He will."

Sakura mengangguk.

"Kalau begitu sampai bertemu minggu depan," sahutnya tenang. Hinata mengangkat sebelah alisnya. Terang-terangan merasa curiga.

"Naruto mempercayaiku," kata Sakura seolah-olah itu menjelaskan semuanya. "Hal yang tidak bisa ia lakukan pada sembarang orang."

"Aku mengerti," balas Hinata. Tentu ia sangat paham. Naruto dan kepercayaan sangat sulit disandingkan. Hanya sedikit orang yang dipercaya lelaki itu. Itu juga alasan yang membuat pergaulan Hinata terbatas. Tapi mendengarnya langsung dari perempuan ini membuatnya kesal. "Jika ini membuatmu lebih baik, hidupku tidak didikte olehnya." Lalu dengan getir menambahkan. "Dan kau."

Untuk sesaat, Sakura terperangah. Dari caranya menatap Hinata, ia seolah-olah baru pertama kali melihat perempuan itu.

"Kau itu tidak tahu apapun, ya?" ucapnya takjub.

"Maaf?"

Sakura mendengus, dan Hinata -untuk kesekian kali- merasa tersinggung.

"Apa kau tahu yang orang-orang bilang tentangmu?" tanyanya. Dan tanpa menunggu jawaban, ia berkata lagi dengan kalimat yang seolah sudah dihapalkannya di luar kepala. "Putri sulung Hiasi Hyuuga, yang selama ini selalu dibanggakan, hamil di luar nikah. Diusir dari keluarga Hyuuga. Tidak lagi dianggap anak oleh Hiashi. Ya, yang itu. Benar-benar memalukan."

Sakura lalu mengangkat satu alisnya dengan gaya menantang.

"Katakan, kalau Naruto tidak menikahimu, bisa kau bayangkan apa yang terjadi?" lanjutnya. "Kupastikan keadaanmu tidak akan sebagus ini. Jadi tolong lebih tahu diri."

Berusaha keras menunjukkan sikap tak acuh yang sama sekali tidak dirasakannya, Hinata menatap perempuan itu dan berkata, "Apa kau mengguruiku?"

"Mungkin," sahutnya dan menambahkan sebelum pergi meninggalkan Hinata di sana. "Aku tidak peduli padamu, tapi aku peduli pada anak dalam perutmu seperti Naruto. Dan sama seperti Naruto, tidak ada yang peduli pendapatmu. Jadi dengarkan apa yang ia katakan dan bersikaplah sedikit berterimakasih."

Ia menunggu sampai mendengar pintu di tutup sebelum menghapus ekspresi tenang dari wajahnya. Rasa kesal dan tidak percaya menyiram benaknya dan secara refleks membasuh wajahnya dengan air dingin.

"Tidak tahu apapun?" bisik Hinata muak. Apa yang perempuan itu tahu sampai berani… Oh ya tuhan, ini menyebalkan.

Ia bertanya-tanya dalam hati, apa mencekik leher seseorang masuk kategori kriminal? Sambil agak meringis Hinata harus mengakui bahwa ia tidak mau tahu. Tapi prospek menghajar Sakura sampai mati terasa menyenangkan.

Mungkin ada buku peraturan yang melarang dan memperbolehkan kekerasan dalam semua kondisi? Ia harus mencoba mencarinya untuk inspirasi sebelum praktek.

Dan dari mana pikiran itu berasal?

Merasa kesal dan marah, Hinata keluar dari bilik kecil itu dan hampir menabrak seseorang saat akan kembali ke mejanya.

"Maaf aku-"

"Hinata?"

Hinata mendongak dan ia tidak bisa menahan senyum saat melihat siapa yang ada di depannya saat ini. "Kiba."

"Ya, aku," sahutnya hangat. "Tidak menyangka bisa melihatmu di sini dan…" Pandangannya meneliti perempuan itu dengan cermat. "Eum…kau…agak gemukan ya."

Hinata meringis. "Aku banyak makan." Untuk dua orang, imbuhnya dalam hati.

"Bagus untukmu," balas Kiba sungguh-sungguh. "Perempuan kurus itu merepotkan," keluhnya sambil melirik ke bagian dalam restaurant, jelas sedang mengacu pada seseorang. "Hanya mau pesan salad. Tidak mau yang lain. Terlalu berlemak, katanya. Yah, aku tidak peduli. Tapi dia mulai aneh saat aku makan daging panggang dan sup tulang. Bilang aku kanibal atau semacamnya." Ia tampak merenung sebentar sebelum menyimpulkan. "Dia tidak normal."

Hinata tertawa pelan.

Mereka bicara lagi selama beberapa saat dan dia merasa senang bisa bicara dengan seseorang di luar lingkup pergaulan Naruto.

Bicara dengan orang seperti Kiba membuatnya rileks, karena pria itu tidak membuat Hinata merasa harus memikirkan ucapannya dulu sebelum merespon. Ia tidak harus menjaga ucapannya, tidak harus berhati-hati. Dan memang sulit bersikap formal pada seseorang seperti Kiba. Seseorang yang hangat dan santai.

Dia benar-benar lupa tentang 'teman' makan siangnya dan Naruto sampai ia merasa seseorang menaruh tangannya di pinggang Hinata.

"Hinata," sapanya hangat lalu menyapa Kiba dengan sopan. Tapi yang membuat Hinata merasa tidak nyaman adalah kenyataan bahwa lelaki itu sedang tersenyum padanya. Senyuman yang kelihatannya hampir menandingi senyuman hangat Kiba yang membuatnya tidak berbahaya dan mudah di dekati.

Untungnya, Hinata sudah cukup lama tinggal dengan pria itu sehingga ia tahu Naruto tidak seperti apa yang terlihat. Bahkan Hinata cukup yakin pria itu sedang tidak senang. Hatinya sedikit mencelos. 'Tidak senang' selalu menggambarkan suasana hati Naruto akhir-akhir ini.

Diliriknya Kiba, dan merasa heran saat temannya itu kelihatannya cukup terguncang. Pastinya bukan karena Naruto, kan? Mereka sudah saling tahu dan…oh, tentu saja karena Naruto. Hinata memejamkan matanya erat. Merasa bersalah tidak menceritakan semuanya lebih cepat pada pria itu.

"Ku-kurasa kita harus kembali," kata Hinata menyarankan. Dengan begitu, ia berharap bisa menjauhkan Kiba agar tidak berinteraksi lebih banyak dengan Naruto. Pria itu sedang marah, dan ia tidak ingin teman baiknya menjadi pelampiasan. "Sasuke dan Sakura sedang menunggu, kan?" lanjutnya, mengabaikan Kiba yang sekarang terlihat shock mendengar nama kedua orang itu.

Mereka akan bicara banyak saat bertemu lagi.

Naruto mengangguk. "Benar." Perhatiannya kemudian beralih pada Kiba. "Inuzuka-san.."

"Ah, ya. Aku juga, eum, harus kembali ke mejaku." Lelaki itu menatap Hinata. "Kita harus mengobrol lagi kapan-kapan," komentarnya. Lalu ekspresinya terlihat senang dan bersemangat. "Dan Shino. Kita harus mengajaknya juga. Bagaimana kalau besok? Kita bisa bertemu di-"

"She can't," sela Naruto cepat. Nada suaranya kasar dan tajam. "Ya, kan, Hinata?"

Tidak mempercayai suaranya, Hinata mengangguk patuh.

Melihat itu, Naruto tersenyum. Sedikit lebih tulus sekarang.

Kiba mengusap belakang kepalanya dengan canggung. "Kalau begitu, mungkin lain kali?" tanyanya penuh harap yang kembali disela Naruto.

"Mungkin." Ia meletakkan tangannya di lengan perempuan itu dan -secara harfiah- menyeretnya pergi.

Tapi sebelum pergi, Hinata sempat tersenyum dan melambaikan tangannya pada Kiba. Cengkraman di lengannya makin kuat saat ia melakukan itu.

Tidak mau sampai terseret, ia mempercepat langkahnya.

"Aku tidak merencanakan bertemu Kiba," katanya memulai. Pegangan Naruto pada lengannya membuat langkah Hinata melambat dan perempuan itu terpaksa menyamakan langkah santai lelaki itu. "Kami hanya tidak sengaja bertemu."

"Aku tahu."

Dahi Hinata mengernyit. Ia tidak yakin Naruto jujur. Ia ingin bertanya lagi, tapi memutuskan mengunci mulutnya rapat-rapat saat mereka sudah berada di bagian dalam restoran. Hinata mengedarkan pandangannya dan menyadari bahwa ia tidak melihat 'tamu' mereka. "Sasuke dan Sakura…"

"Pergi."

"Oh." Ia diam sejenak. "Bukan karena aku, kan?"

Naruto menghela napas. "Sasuke ada rapat dalam dua puluh menit, dan Sakura harus kembali ke klinik, yang mengingatkanku, kau belum menemuinya akhir-akhir ini."

Hinata mengernyitkan hidungnya tak suka. "Karena aku tidak mau."

Naruto tidak bertanya lagi. Ia menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Hinata duduk. Salah satu sikap gentlemen yang masih membuat Hinata terkejut. Dan dengan sedikit terlambat ia menyadari mereka duduk di meja yang berbeda.

Pelayan restoran memilih saat itu untuk membagikan menu yang tidak ia butuhkan, karena lagi-lagi, Naruto yang memilih. Kelihatannya dia tidak mempercayai kemampuan Hinata dalam memilih makanan. Itu, atau ia hanya tidak suka melihat Hinata makan udang beku dan tiram mentah -menu pertama yang ia pilih.

"Tapi kita baru saja makan," protesnya dengan cemberut. "Aku tidak mau makin gendut."

Naruto mendengus. "Salah. Aku yang baru saja makan." Lalu mulai memesan.

Hinata memperhatikan -saat memesan makanan, lagi- Naruto terlihat lebih santai. Beberapa saat lalu, lelaki itu kelihatan menahan diri. Serius dan sopan seperti biasa, tapi disaat yang bersamaan juga terasa menjaga jarak. Mungkin makan bersama Sasuke dan Sakura mempengaruhi suasana hatinya sebanyak yang Hinata rasakan.

"Dan… kenapa aku makan ikan kukus?" tanya Hinata sambil menunduk pada piring yang baru saja diletakkan pelayan restoran. Bibirnya mengerucut kesal. Naruto baru saja memesan ikan yang besar sekali untuk dirinya sendiri, sementara pria itu hanya minum secangkir kopi.

"Tidak suka?"

"Aku suka," sahutnya. "Tapi bagaimana kalau aku tidak suka? Bagaimana kalau aku alergi?"

"Kau alergi?"

"Tidak."

"Benci ikan?"

"Tidak."

"Kalau begitu makan."

Tidak mau membuat lelaki itu lebih kesal, Hinata menusuk ikan itu dengan sumpit dan mulai makan.

"Ini enak," komentar Hinata. Naruto mengangguk. "Bagus."

"Tapi aku lebih suka memesan makananku sendiri," katanya lagi.

"Dan apa," tanya lelaki itu lembut. "Yang akan kau pesan?"

"Tiram," balasnya sambil merenung. "Kelihatannya enak."

"Itu mentah."

"Segar."

"Tetap saja mentah."

"Tapi enak."

Naruto mengusap mukanya. "Kita tidak akan makan di sini lagi," gumamnya pelan.

Diam-diam Hinata tersenyum.

Makan siang berdua dengan Naruto ternyata tidak buruk juga.

.

.

.

Ada ketegangan dalam perjalanan mereka menuju rumah sakit tempat Sakura bekerja. Untuk saat ini. Ia sudah mendapat kontrak kerja baru, di tempat baru dan siap untuk pindah dalam sebulan ke depan. Hal ini juga merupakan salah satu dari rencana yang ia buat ketika memutuskan bicara dengan Sasuke.

Ia butuh sebuah akhir untuk memulai sebuah awal.

Sasuke meliriknya sekilas. "Ada yang mengganggumu?" tanyanya.

Sakura menghembuskan napas. Ia sedikit ragu, tapi tetap berniat mengkonfrontir pria itu. "Beberapa kurasa. Ya."

"Termasuk perempuan itu?"

Dahinya sedikit mengernyit bingung. "Yang mana?"

"Yang jadi istri Naruto," katanya. Ekspresinya masih sama datarnya seperti biasa saat kemudian berkata, "Dia membuatmu tidak senang."

Sakura meringis. "Benar. Dia membuatku tidak nyaman," akunya. "Dengan semua rumor yang kudengar, dan sikapnya yang cuek, aku tidak bisa menahan diri. Maksudku, dia bahkan tidak menyadari perhatian Naruto!"

Sasuke ber-hn pelan. Ia tidak membantah atau menampik kalimatnya, dan Sakura kembali merasa kecewa. Bertahun-tahun. Dan pria ini masih sama datarnya seperti saat pertama bertemu. Itu juga yang membuatnya memutuskan ini. Ia bosan dengan keadaan mereka. Bosan dengan interaksi yang…seadanya.

"Aku tidak membenci Hinata," Kata Sakura lagi. "Tapi melihatnya serba tidak tahu membuatku kesal." Ia berdecak pelan. "Aku iri padanya."

Lelaki itu menoleh sebelum kembali mengalihkan perhatiannya ke depan.

"Sasuke," panggil Sakura pelan. "Aku… selama bertahun-tahun, selalu tahu aku menyukaimu. Sejak sekolah dasar, sejak pertama bertemu, selalu menyukaimu." Ia menatapnya dengan canggung. "Selama bertahun-tahun juga aku selalu tahu apa yang bisa kuberikan dan kudapat dari hubungan ini. Selalu."

Sakura menggigit bibir bawahnya, dan kemuraman meliputi wajahnya. "Tapi hubungan ini…apa masih layak dipertahankan?" tanyanya sambil mengawasi pria itu, memperhatikan setiap ekspresi yang tergambar di wajahnya. Ia ingin, untuk sekali saja, pria itu mau membuka diri padanya. Ia ingin mengerti dirinya.

Tapi ia kembali harus merasa kecewa.

Wajah lelaki itu kaku, membuatnya kesulitan membaca ekspresinya. Sakura mendesah.

"Aku pikir, sudah saatnya kita tidak saling bertemu lagi."

Pria itu tidak berkata apapun sampai ia menghentikan kendaraannya tidak jauh dari halaman rumah sakit.

Sasuke menoleh menatapnya dan berpikir sejenak. Kemudian katanya, "Ini maumu?"

Sakura mengangkat bahu. Ia hampir menangis, dan sedang berusaha bersikap tidak peduli. "Ya."

Sasuke mengangguk. dan Sakura menyadari bahwa itu jawabannya. Ia tidak keberatan mengakhiri hubungan mereka. Tidak keberatan melepas Sakura.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Ia sudah melakukannya. Bicara dengan Sasuke dan memperjelas hubungan mereka.

Sakura hanya tidak siap dengan rasa sakit yang ia rasakan saat ini.

.

.

.

Naruto selalu merasa setiap senja selalu indah. Selalu luar biasa. Di ufuk barat matahari mulai terbenam. Sisa sinarnya menyelinap di balik badai awan, membekas di langit, menciptakan bias warna yang menakjubkan.

Ia mengamati senja yang luar biasa itu di balik kaca kamar hotel. Terus memperhatikan sampai langit yang berwarna merah muda memudar menjadi kelabu.

"Yuuki-kun," Panggil seseorang di belakangnya. Naruto menoleh. "Kemari," ajak perempuan itu manja sambil menepuk-nepuk ranjang dengan tak sabar.

Ia mungkin sudah mabuk, pikirnya. Beberapa pemabuk memang bisa sangat tidak sopan. Memaksa dan menuntut. Membuatnya jijik.

Perempuan itu -yang merasa diabaikan- cemberut. Tangannya meraih ke meja samping dan meneguk minumannya banyak-banyak. Mungkin ini gelasnya yang keempat atau kelima sejak mereka meninggalkan pub.

Setelah gelasnya kosong, perempuan itu menyeringai senang. Ia mencoba meletakkan gelasnya, namun gagal. Gelas itu hancur berantakan ketika ia menjatuhkannya. Perempuan itu mengamati pecahan kaca dengan penuh minat. Tapi setelah beberapa saat ia memutuskan bahwa itu tidak penting.

Dengan terhuyung-huyung ia berjalan ke arah Naruto. Pandangannya tak fokus. Jujur saja, keadaannya terlihat menyedihkan. Tapi sepertinya alkohol membuat perempuan itu berpikir ia dalam penampilan terbaiknya, dan mulai meracaukan kalimat tak jelas.

Naruto mendengus.

Hanya beberapa langkah lagi sampai perempuan itu bisa menyentuhnya saat tiba-tiba ia berhenti dan mencengkram dadanya lalu jatuh tersungkur.

Ia berusaha berlutut, tapi terjatuh lagi. wajahnya kian pucat. Napasnya terengah dan terdengar tidak wajar. ia menggeliat. menjerit dengan napas tercekik.

"To-tolong.." Ia terbatuk, tangannya memegang leher dengan protektif. "A-aku…tolong.."

Dengan sekuat tenaga ia mengangkat tangannya, berusaha meraih pria itu.

Naruto berbalik.

Langit sudah lebih gelap sekarang. Beberapa bintang kecil terlihat berkelap-kelip. Disusul yang lain tak lama kemudian. Seperti berlian yang bertaburan.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa mendengar tubuh itu mendarat di lantai dengan suara keras. Diikuti rontaan dan bisikan lirih napas terakhir.

Ia kematian memang selalu menakutkan, terutama jika hal itu datang secara tidak terduga.

Baru saat tidak terdengar apapun lagi, Naruto mau menatap perempuan itu lagi.

Shikamaru masuk ke dalam kamar setelah mengetuk sekali dan melihat seseorang tergolek di lantai. Ia mengangkat sebelah alisnya, lalu setelah beberapa detik, mengangkat bahu.

"Empat jam dua puluh delapan menit," komentarnya. "Apa tidak terlalu lama?"

Naruto tersenyum agak jahat. "Tidak."

"Baiklah," kata lelaki itu. Sedikit tidak peduli. Ia pikir, racun yang memakan waktu lama bereaksi terlalu beresiko. Dan sedikit tidak manusiawi. Tapi selama bukan dia yang keracunan, ia bisa sedikit bertenggang rasa. "Mau pergi makan malam."

Naruto berdecak pelan. "Tidak kali ini."

"Oh?"

"Aku harus belanja," jelasnya dengan nada datar. "Hinata mau kaki sapi."

Shikamaru menatapnya tak yakin. Kaki sapi? Untuk apa?

Berusaha mempertahankan raut mukanya tetap tenang, ia mengangguk. Tapi memilih tidak berkomentar. Dalam pikirannya, Naruto yang aneh tidak berbeda dengan orang waras.

Dan apa yang lebih baik dari kewarasan?

.

.

.

Di hari minggu pagi, Hinata duduk di sebuah kafe, memandangi segelas susu yang dipesankan untuknya. Ia tidak mengatakan keberatan, tapi wajahnya menggambarkan rasa tidak suka.

"Aku merasa tersinggung," kata Hinata menyuarakan masalahnya.

Kiba yang duduk di depannya terkekeh pelan. "Susu bagus untukmu." Tapi kemudian wajahnya berubah serius. "Aku masih tidak percaya kau menikah dengannya."

Hinata mengangguk. "Aku juga."

"Dan dia tidak keberatan kita bertemu?" tanyanya curiga. "Karena terakhir kali melihatnya, dia seperti ingin menata ulang wajahku."

"Eum…itu…" Hinata mulai bergerak tak nyaman di kursinya.

"Dia tidak tahu," kata Kiba menyadari dengan ngeri. Hinata yang sejak tadi tidak nyaman, mulai merasa bersalah. Semua ini idenya. Dan ia akan benar-benar menyesal jika temannya ini mendapat masalah.

Bukan berarti Ino -atau siapapun yang dipilih Naruto untuk bersosialisasi dengannya- mengerikan. Sama sekali bukan. Tapi bersama orang asing berbeda dengan saat bersama teman-temanmu.

Ino, Shikamaru, bahkan Sakura, cukup baik untuknya. Tapi mereka kadang membuatnya merasa tidak aman. Seberapa keras pun ia mencoba, Hinata masih menganggap mereka orang asing. Orang-orang yang sengaja dipilih.

Tak jarang ia berpikir, seandainya ia bukan istri Naruto, apa mereka masih mau bicara dengannya? Dan Hinata punya dugaan kuat jawabannya adalah tidak.

Di sisi lain, Kiba adalah temannya. Seseorang yang ada di dekatnya karena dirinya.

Jadi saat mereka secara tidak sengaja bertemu lagi seminggu kemudian, Hinata tanpa ragu mengajak Kiba menemuinya untuk makan siang dengan Shino. Hanya mereka bertiga. Seperti dulu.

Dan di sana, ia menceritakan semuanya. Kehamilan, Takumi, rumah…semua yang bisa ia ceritakan.

Tapi sekarang, Hinata mulai cemas.

"Naruto sedang di kantor, ia tidak akan pulang sebelum makan malam. Dan Ino berjanji akan tutup mulut," katanya mencoba mencari alasan. "Dia tidak akan tahu."

"Mungkin," sahut Kiba terdengar tak yakin. Shino yang duduk di sebelahnya mengangguk setuju.

"Resiko ketahuannya cukup besar. Kenapa? Karena kita berada di tempat umum. Dan sangat dekat dengan jendela." Tunjuknya pada orang-orang yang melintas dari balik kaca. "Kita harus cari tempat yang lebih tersembunyi dari ini."

"Atau, Hinata bisa minta ijin pada suaminya," imbuh Kiba. Hinata meringis.

"Aku tidak yakin itu ide bagus, Kiba."

"Kenapa tidak?"

"Karena Naruto tidak menyukaimu," jawabnya makin tak enak hati. Shino mengangguk lagi, "Bisa dimengerti."

Kiba menggerutu.

"Ini tidak adil. Kami temanmu. Tentunya dia suka mengundang temannya ke rumah, kan? Dia tidak punya hak melarangmu bertemu kami."

Hinata mengerutkan kening, kembali mengingat-ingat tentang kesehariannya. Lalu dengan kecewa menggelengkan kepala. "Dia tidak pernah mengundang temannya mampir."

"Tidak?" seru Kiba kaget. "Sama sekali?"

Hinata mengangguk.

"Kupikir, Naruto orang yang sangat mementingkan privasi," katanya setengah merenung. "Selain Shikamaru dan Ino, tidak ada lagi yang datang ke rumah."

"Hanya mereka berdua?" tanya Shino penasaran.

"Mhmm. Ino datang karena dia pengurus rumah dan baru pulang saat Naruto kembali dari kantor. Sementara Shikamaru… ia rekan kerjanya, kurasa."

"Dengan kata lain, dia menahanmu." Kiba menyimpulkan.

"Tidak, aku-"

"Dia tidak membiarkanmu keluar rumah," sela Kiba tajam. "Dan jika pun kau keluar rumah, kau hanya pergi ke tempat-tempat dengan orang-orang yang ia setujui." Jari-jarinya bergemeretak di atas meja. "Tapi kenapa?"

Hinata menggigit bibirnya tidak yakin. Ia juga tidak tahu. Selama ini ia tidak pernah mempertanyakan tindakan Naruto. Ia tinggal di rumah itu karena tidak punya tempat lain. Semua makanan dan pakaian yang didapat, dirasakannya sebagai sesuatu yang wajar. Jadi kenapa sekarang ia merasa tidak enak.

Dan Hinata masih belum mengatakan kemungkinan lelaki itu akan mendepaknya setelah ia melahirkan.

Itu detail lain yang tidak ingin dipikirkan Hinata.

"Itu tidak penting," kata Hinata akhirnya.

"Hinata, mengetahui motivasi seseorang melakukan sesuatu selalu penting," balas Kiba. "Hal itu membuat kita tahu apa yang akan dilakukannya."

"Kiba benar." Shino menyetujui. "Mengetahui alasan Naruto akan membuat kita lebih mengerti lelaki itu."

"Mungkin," sahut Hinata lelah. Tapi mungkin juga tidak, bisiknya dalam hati.

Perhatiannya teralih saat seseorang -yang duduk beberapa meja dari tempat mereka- melambai padanya. Hinata mengeluh.

"Aku harus pergi," pamitnya penuh sesal. Shino yang melirik ke arah yang sama bertanya pelan. "Siapa?"

"Itu Ino," jawabnya tersenyum kecut. "Kurasa dia baru selesai belanja."

"Dia tidak bawa belanjaan," gumam Kiba, juga memperhatikan perempuan yang masih tersenyum pada mereka.

"Ino biasa menaruh belanjaannya di taksi." Ia lalu berdiri dan menatap keduanya dengan canggung. "Eum..bye?"

Kiba mendengus. "Seriuosly?"

Hinata mengangkat bahu. Tapi ia tak bisa menahan diri untuk tersenyum. "Aku payah saat pamitan," akunya.

"Kami tahu."

"Yah, kalau begitu sampai nanti?"

Mereka berdua mengangguk. "Sampai nanti."

Hinata tersenyum, lalu berjalan meninggalkan mereka. Ino menggandeng lengannya saat meninggalkan kafe.

"Temanmu kelihatannya baik," komentarnya tulus. Hinata mengangguk setuju. Senang perempuan itu menganggap teman-temannya oke. Ia juga memperhatikan, setelah kakinya terkilir, Ino mulai jarang memakai hak tinggi.

"Aku tidak mau jatuh lagi kalau lari." Begitu alasannya saat Hinata menanyakan keabsenan benda itu. Yang kalau dipikir-pikir agak kurang logis. Menurutnya, kalau hanya untuk menghindar, dibandingkan mengganti tipe sepatu, lebih baik pindah tempat tinggal ,kan? Ia mulai penasaran pada tetangga Ino itu.

"Jadi kenapa bertemu diam-diam?" tanya Ino lagi. Hinata sedikit menurunkan bahunya murung.

"Naruto tidak suka mereka."

Ino mulai tertarik. "Tidak suka?"

Hinata mengangguk lagi. Ia tidak yakin tentang alasannya, tapi kalau bicara tentang Naruto, Hinata menduga ini karena teman-temannya tidak mencapai standar pria itu.

Dalam perjalanan pulang ia berpikir, bertentangan dengan apa yang ia yakini, Sakura benar. Ia tidak tahu apapun.

.

.

"Ini enak," komentar Ino saat mencicipi coklat yang dibelikan Kiba tadi siang. Mereka sedang duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.

Hinata tersenyum. Ia tidak lagi merasa bersalah pada pertemuan rahasia mereka selama beberapa hari ini. Setidaknya tidak lagi. Sudah tiga atau empat kali mereka bertemu, Hinata bahkan sempat mengantar Shino ke bandara saat lelaki itu harus pergi mengerjakan penelitiannya di hutan-hutan. Tempat yang ia yakini sebagai sarang favorite para serangga.

Dan selama itu, tak sekali pun Naruto menaruh perhatian kemana ia pergi.

Itu juga sebabnya mengapa Hinata merasa tidak perlu khawatir.

"Apa itu?" tanya Naruto pada Ino saat Hinata duduk di sampingnya.

"Coklat," jawab Ino cepat. "Mau?"

Mata pria itu menyipit sedikit, tanda ia merasa tidak suka. "Tidak, terimakasih. Kupikir coklat menggemukkan."

"Aku akan ke gym setelah ini." Ino menggerundel pelan. Ia mengambil satu lagi.

"Malam-malam begini?" tanya Hinata bingung sambil melihat keluar. Udara menjadi sedikit lebih dingin saat tadi turun hujan. Ia hanya tidak bisa membayangkan dari semua hal, Ino mau pergi berolahraga saat jalanan becek begini.

"Tak ada pengorbanan yang terlalu berat untuk cantik," katanya dengan khidmat. Naruto mendengus. "Yah, benar," gumamnya yang membuat gadis itu mendelik kesal.

"Aku tidak meminta pendapatmu."

Hinata menggeleng. Ia tidak pernah yakin bisa berhenti merasa takjub. Dari sekian banyak perempuan yang ia lihat bersama Naruto, hanya Ino yang bisa bersikap galak seperti ini.

Teman, ia menyadari sedikit terkesima. Mereka teman.

"Omong-omong, Sakura bilang dia sudah pindah," kata Ino lagi sambil menjilati tangannya. "Aku tidak tahu detailnya, tapi dia bilang dia sudah bekerja di tempat lain semingguan ini. Tempatnya aku belum yakin, tapi aku tetap bisa membuat janji temu, kalau kau mau."

Hinata berpikir sebentar.

"Aku masih tidak ingin bertemu dengannya," gumam Hinata tanpa dendam. Tapi ia tahu lebih baik. Perempuan itu salah satu teman yang dipercayai Naruto. Jika lelaki itu saja bisa melakukannya, ia juga bisa. Dan mungkin dengan begitu, ia punya lebih banyak kesempatan menikam perempuan itu.

Hinata menggeleng. Ia tidak tahu dirinya bisa berpikir sadis.

"Tapi kurasa, kita bisa menemuinya," lanjutnya kemudian. Ino mengangguk sedikit merasa puas.

"Aku akan meneleponnya malam ini."

Dan dengan itu ia tahu mereka sudah baikan. Atau sebaik yang bisa mereka lakukan.

"Apa seburuk itu?" tanya Naruto kemudian. Hinata melirik pria itu sekilas, merasa dilema.

"Tidak, tidak terlalu."

"Kami hanya…kau tahu, sedikit salah paham," tambah Ino mulai tidak nyaman. Bagaimanapun sikap Sakura dipicu rumor buruk tentang mereka. Jadi ia tidak yakin bisa menjelaskan dengan baik hal itu padanya.

Untungnya, Naruto tidak memperpanjang masalah itu. Ia memeriksa arlojinya dan merutuk pelan.

"Aku terlambat," gerutunya dan berdiri. Hinata memperhatikannya pergi dan berpaling pada Ino. Mereka saling bertatapan dengan tak paham. Ino mengangkat bahunya sedikit.

"Gila kerja," komentarnya.

Hinata setuju. Sejak kembali masuk kantor, Naruto jadi lebih sering lembur. Sibuk mengurus ini itu. Pernah sekali ia mengintip ke ruang kerjanya dan mendapati tumpukan map berisi dokumen -yang kelihatannya penting sekali- siap ditanda tangani. Sejak itu ia tak pernah lagi ke sana karena takut merusak sesuatu.

Tak lama kemudian Naruto kembali menghampirinya lalu membungkuk dan mencium sisi kepalanya sekilas. Ia melempar beberapa komentar pada Ino yang mulai sibuk menyiapkan makan malam sebelum pergi.

Tekanan pada kening Hinata terasa hangat dan singkat. Ia menyentuh bagian yang disentuh pria itu. Tindakan yang sederhana itu sedikit membuat wajahnya menghangat bersamaan dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Ia memejamkan matanya.

Perasaan ini terasa asing. Tapi ia tidak membencinya.

Tak ada yang memperhatikan bahwa pria itu memegang sebuah bungkusan, tersembunyi di balik punggungnya. Tak ada juga yang menyadari saat ia meletakkannya di meja dan menukar bungkusan tersebut.

Mereka baru menyadari kecerobohannya saat Ino mendadak pingsan dalam salah satu sesi yoga dan Hinata dilarikan ke rumah sakit.

.

Pintu berderit terbuka.

Hinata terbangun dengan kepala berdenyut dan mulut kering. Ia memiringkan kepalanya hati-hati dan mengeluh pelan. Kepalanya masih pusing.

Bantal yang ia pakai berbau detergent dan ruangan ini terlalu terang bahkan ketika ia masih memejamkan mata.

Dan ia berbaring diam di sana dengan denyutan di kepalanya yang tak juga mereda.

Beberapa saat kemudian, setelah yakin tidak bisa tidur lagi, Hinata membuka matanya pelan-pelan. Lalu menyadari seseorang berdiri di dekat ranjangnya.

Ternyata Naruto, batinnya sedikit lega. Lelaki itu tampak serapi biasanya. Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya lagi. Kepalanya benar-benar sakit. Ia ingin memijat keningnya, namun tertahan saat sadar tangannya sedang diinfus. Ia mendongak dengan tatapan bertanya.

"Kau di rumah sakit," kata lelaki itu. "Keracunan."

Dahi Hinata mengernyit, ia tidak ingat bagian itu.

"Aku…" suaranya masih lemah dan agak tertelan. "Berapa lama…di sini?"

"Beberapa jam," sahutnya. Lalu setelah beberapa saat melanjutkan, "Inuzuka dalam pemeriksaan sekarang."

"Ke-kenapa?"

"Ada racun dimakananmu yang kata Ino diberikan Inuzuka. Dia sedang ditanyai sekarang."

Hinata tercengang. Kiba tidak akan mungkin meracuninya. Tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya saat menyadari ada nada puas dalam suara pria itu. Naluri membuat Hinata beringsut menjauh.

Tidak, batin Hinata, dunia seperti bisikan lirih di benaknya. Jangan temannya.

Dan ia tahu dia tahu.

Naruto meletakkan tangannya di dahi Hinata, menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah perempuan itu. Lalu mengusap kepalanya lembut.

"Itu hanya pemeriksaan rutin. Dia tidak akan mati hanya karena satu atau dua pemeriksaan," kata Naruto menenangkan, suaranya tenang dan dalam.

Hinata memejamkan matanya rapat-rapat. kepalanya terkulai di bantal. Ia tidak ingin mendengar lagi.

Naruto masih menatapnya. Mata biru itu terlihat hangat dan penuh perhatian.

"Ini tidak akan terjadi," bisiknya saat Hinata kembali menatap pria itu. "Jika dia tahu tempatnya."

"Dia teman," protesnya lemah.

"tidak lagi." Naruto terdiam sesaat lalu menunduk dan mengecup kening Hinata sekilas.

"Go to sleep."

Dia berdiri di sana, memerhatikan perempuan itu kembali memejamkan mata dengan terpaksa. Lalu berbalik dan membuka pintu setelah yakin ia tertidur.

.

.

"Bagaimana dia?" tanya Shikamaru saat melihat Naruto muncul dan menghampirinya.

"Baik," kata Naruto. "Dia sedang tidur sekarang.

Shikamaru mengusap belakang kepalanya, tidak yakin apa yang harus dikatakan. Ia mendesah pelan. "Secara pribadi, kupikir kau mengerikan." Ia berpikir sejenak. "Ya, sangat, sangat mengerikan."

Naruto mengusap hidungnya. "Terimakasih?"

Itu bukan pujian, mereka berdua tahu itu. Shikamaru mengangkat bahu. Ia masih tak percaya Naruto bisa meracuni istrinya sendiri. Tidak, tunggu. Ia bisa percaya Naruto sanggup melakukannya. Tapi yang sedang hamil? Ia tak percaya lelaki itu tega.

"Dia bisa mati," katanya setelah beberapa saat. Tiba-tiba merasa bersalah.

Berbeda dengan racun uji coba pada perempuan di hotel itu, dosis racun yang ada dalam saluran pencernaan Hinata jauh lebih rendah. Tidak membahayakan, tapi efeknya tetap tidak menyenangkan. Ia hanya bersyukur racunnya belum tersebar ke pembuluh darah atau mereka akan kehilangan si jabang bayi.

"Mereka hidup," sahut Naruto tak acuh.

Shikamaru mendesah lagi. "Ya, tentu," gerutunya. Ia memeriksa sesuatu dari sakunya. "Daftar yang kau minta."

Naruto mengambil kertas itu dan membaca baris pertama.

"Tentang telepon itu."

Shikamaru mengangguk. "Aku memeriksa semua sumber. Beberapa saling berhubungan, sisanya hanya informasi tambahan. Kurasa kau harus tahu."

Naruto meneliti kata-kata yang tertulis dalam kertas itu dengan seksama. Tidak mengabaikan satu detail pun. Lalu ia bergumam telah kecolongan mengusiknya. "Aku tidak ingat mencari masalah dengan yang satu ini."

Shikamaru berdecak. "Tenang saja, aku bahkan tidak ingat siapa saja yang kau jadikan masalah."

Naruto mendengus dan memasukkan kertas itu ke dalam sakunya. "Biar kuurus ini," katanya. Shikamaru mengangguk dan memperhatikan dalam diam saat pria itu berjalan pergi.

Ia melirik arlojinya sekilas, sudah lewat tengah malam, ia kembali menatap ke arah dimana sosok Naruto kian mengecil sebelum akhirnya hilang dari pandangan.

Naruto…

Shikamaru tak pernah yakin, siapa yang lebih beruntung diantara Eimi, Sakura, dan Hinata. Sama tidak yakinnya ketika ia ditanya, diantara mereka, kepada siapa Naruto lebih mencondongkan hati.

Kadang-kadang ia merasa Sakura-lah yang beruntung karena bisa dengan mudah membuat Naruto jatuh cinta. Kadang ia malah merasa Eimi yang beruntung sempat memiliki pria itu. Tapi seringkali, ia merasa kasihan pada Hinata karena menikah dengannya.

Dalam lingkaran hidup mereka yang tak beraturan, Naruto lebih tak beraturan.

Lama berteman dengannya membuat Shikamaru merasa mengenali setiap jengkal diri lelaki itu, tahu semua kebiasaannya, tapi tidak isi kepalanya. Hal itu pula yang membuatnya mengawasi Hinata. Ia tidak tahu motif apa yang membuat Naruto menikahi perempuan itu dan mulai merasa khawatir.

Orang-orang mungkin menganggap Hinata beruntung, berbagi nama dengan Naruto membuatnya secara otomatis diperlakukan istimewa, tapi Shikamaru tahu dengan baik. Keberuntungan tidak pernah bersanding baik dengan Naruto.

Namun hari ini, saat duduk sendirian di ruang tunggu, Shikamaru tahu. Naruto berubah.

Di kemudian hari, ia tahu penyebabnya. Dan hal itu membuatnya takut.

.

To Be Continued

.

.

A/N; Yeeeyyyy update! maaf baru bisa update sekarang, RL menyita waktuku.

But well, this is it. My new chapter, say hello to reader. Reader, say hello to my new chapter.

Anw, menuruti saran, saya hanya mengetik 'yang penting' saja, jadi kalau ada yang aneh, holeplot atau semacamnya, anggap itu bagian 'tidak penting' yang dihilangkan.

And thanks for reviewing!

.

.

***side story***

.

.

Shikamaru memukul-mukul pelan bahunya pelan, agak pegal setelah duduk tegak seharian. Ia sedang di halaman sekolah sekarang. Duduk di bawah pohon sambil menatap anak-anak lain yang menjerit dan berlarian, memainkan permainan bodoh lain yang tidak bisa ia mengerti maksudnya.

"Shikamaru-kun."

Shikamaru mendongak, dahinya berkerut melihat Kakashi berdiri di sana. Tersenyum bodoh seperti biasa.

"Yo!"

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. Kemudian merasa ngeri sendiri saat memikirkan kemungkinan Kakashi bekerja di sini. "Aku akan pindah sekolah."

"Maa, Shikamaru-kun," Keluh Kakashi sambil pura-pura terluka. "Kau menyakiti perasaanku."

Shikamaru mendengus.

"Jadi ada apa?"

Kakashi tersenyum lagi. "Shikamaru-kun, kau tahu cara membuat bayi?"

"Ha?"

"Itu mudah sekali sebenarnya," lanjut lelaki itu tidak jelas. "Hanya membutuhkan seorang lelaki dan seorang perempuan. Aku punya koleksi video tentang prosesnya jika kau mau."

"Tidak, terimakasih."

"Baik, sampai dimana tadi, oh ya. Saat prosesnya benar, laki-laki punya sperma, yang akan bergerak cepat ke dalam rahim dan membuahi induk telur. Jika induk telur berhasil terbuahi, kita mendapat bayi."

"Aku merasa tercerahkan," kata Shikamaru datar. Kakashi tersenyum bodoh lagi.

"Tentu saja, aku guru yang baik."

"Benar."

Mereka terdiam lagi.

"Kau yakin tidak mau melihat prosesnya?"

"Tidak!" Lalu memijat keningnya lelah. "Kenapa tiba-tiba?"

"Ah, Aku sedang kencan dengan Shizune," aku Kakashi malu-malu. Yang Shikamaru pikir tidak nyambung sama sekali. "Dan ku pikir pelajaran sex harus dimulai sejak dini. Lalu aku ingat kamu."

Shikamaru menatap lelaki itu lagi. Entah mengapa merasa jauh tersinggung sekarang.

"Kau minta ijin untuk sex dengan Shizune? Padaku?"

Kakashi mengangkat bahu. "Dia perawat sekolah."

"Benar."

"Jadi…"

"Aku tidak peduli."

"Baik."

Lalu dia pergi. Hanya seperti itu.

Shikamaru menghela napas. Masa mudanya diisi orang-orang aneh.

Selebihnya, semuanya berjalan normal lagi. Senormal rasa bosan yang ia rasakan.

Dan di hari yang membosankan menjadi saat yang tepat bagi Shikamaru untuk mencoba tidur. Ini seperti hukum alam bagi keluarga Nara. Dan hampir semua orang tahu hal ini kecuali-

"Lihat, lihat! Aku dapat ini dari tempat nenek Tsunade."

-Naruto.

Shikamaru mendesah. Saat Naruto datang, sudah bisa dipastikan ia tidak bisa beristirahat dengan tenang. Ini pun sebenarnya bisa dikatakan sebagai hukum alam. Jadi dengan ogah-ogahan, ia beranjak duduk dan melihat apa yang sedang dipamerkan teman pirangnya.

Janin.

Naruto sedang memamerkan janin.

"Bagus, kan?"

"..."

"Namanya Alien-chan," lanjut Naruto dengan bangga. Janinnya masih disodorkan ke wajah Shikamaru yang sedang mati-matian menata hati. "Sudah lama aku ingin bertemu alien, dan Alien-chan lumayan mirip dengan gambar alien di tv, jadi cocok. Ya, kan? Ya,kan?"

"Errr…Darimana kau dapat benda itu?"

"Tempat nenek Tsunade," jawab Naruto. "Alien-chan ada di rak."

"Dan kau mengambilnya? Semudah itu?"

"Mhmm."

Dahi Shikamaru mengernyit. Apa ini perilaku wajar anak-anak? Mungkin ia harus sedikit memberi penjelasan. Benar. Sudah saatnya Shikamaru bertindak seperti seorang Nara.

"Naruto," kata Shikamaru dengan suara yang diusahakan seserius mungkin. "Itu…janin." Lalu saat melihat sorot inosen dari Naruto, ia kembali menambahkan. "Bayi, itu bayi. Dalam tabung."

"Ya?"

"Bayi dalam tabung, kau mengerti, kan? Ada bayi, maksudku janin, yang mati. Itu mati, kan? Beneran mati? Okay, jadi ada janin mati dalam tabung."

"…"

"…"

"Kau tidak mengerti?" Naruto menggeleng, dan Shikamaru mulai merasa histeris. "Ini pelajaran moral dasar, kau tidak bisa seenaknya menjadikan bayi, maksudku janin, sebagai…eum...Alien-chan itu apamu?"

"Koleksi pribadi."

"Benar. Kau tidak bisa menjadikan janin mati sebagai koleksi pribadi!"

"Kenapa tidak?" tanya Naruto benar-benar heran. "Alien-chan kan lucu."

Okay, mungkin Shikamaru belum siap bertindak seperti seorang Nara. Tekanan moral ini terlalu berat.

"Dia imut," komentarnya mati rasa.

"Terimakasih."

"Boleh aku tidur sekarang?'

"Tentu," sahut Naruto sambil kembali mengamati wadah kaca di tangannya dengan takjub sementara Shikamaru berbaring.

Diantara kesadarannya, ia sedikit curiga tentang hubungan kedatangan Kakashi dan koleksi Naruto tapi mengabaikannya. Batinnya lelah.

Tidak ada yang menduga, dari kejadian inilah persahabatan antara dua anak lelaki -yang saat itu masih cukup normal- terjalin.