Previously on The Last Petals of Cherry Blossoms

"Dan kau Tuan! Jangan tersenyum-senyum mengerikan seperti tadi, anak-anak menyangka kalau kau kerasukan makhluk halus!" hardik Rukia dalam satu tarikan napas. Mukanya merah padam akibat emosi yang sudah tidak tertahankan lagi.

"Ne Sensei! Masih ingat aku?" tanya Ichigo dengan polosnya sembari mengarahkan jari telunjuk ke dirinya sendiri.

"Hahh? Memang siapa anda Tuan sok kenal? Berhentilah memanggilku Sensei!"

-O0O-

Seketika suasana di sana mendadak sunyi, Ichigo menatap tepat ke arah bola mata Rukia yang terlihat seperti berapi-api ... begitu juga sebaliknya dengan Rukia. Kenyataannya, Rukia tidak sedang bermain-main atau pun bercanda dengan perkataannya.

'Dia benar-benar tidak mengingatku.'

Tapi karena apa? Rukia tidak mungkin amnesia. Atau Rukia memang sengaja melupakan semua kepingan-kepingan memori di masa lalu demi menetralisir rasa sakit di hatinya? Rasa sakit akan kehilangan orang yang begitu berharga serta impian yang pupus begitu saja dan menguap bersama ke-putus asaan? Tapi Rukia yang Ichigo kenal bukanlah orang yang mudah putus asa seperti itu, dia seseorang yang paling ambisius akan cita-citanya sekalipun orang menganggapnya mustahil.

Yah, itu yang Ichigo tahu dulunya.

Dulunya. Bukankah setiap orang akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu?

Lalu Ichigo harus bersikap seperti apa pada Rukia yang tidak mengenalnya? Apakah harus mengawali semuanya dari awal dan melupakan semua momen mereka bersama dulu? Hey! Cara yang seperti itu rendahan sekali, tidak ada yang lain?

Ichigo merubah arah jari telunjuknya dari dirinya ke Rukia, membuat Rukia terkesiap seraya mengerjapkan mata keheranan. Ichigo yakin cara yang dia pilih ini pasti cukup ampuh, khusus untuk Rukia seorang.

"The Last Petals of Cherry Blossoms," ucap Ichigo yakin sambil tersenyum.

Awalnya Rukia membelalakkan matanya kaget, tapi ekspresi tersebut langsung diubahnya menjadi tersenyum kecil—lebih tepatnya terseyum miris.

"Apa yang kau bicarakan? Ini musim dingin, jika ingin melihat bunga sakura tunggulah dia mekar dengan sempurna di musim semi."

Baiklah, Ichigo langsung disconnect dan sebentar lagi pikirannya akan mengalami korsleting.

.

.

.

.

~...::The Last Petals of Cherry Blossoms::...~

Disclaimer : I do not own Bleach, Bleach belong to Kubo Tite

WARNING!
AU, OOC, typo(s), Misstypos,
Bahasa yang campur aduk, Jalan cerita semau Author, Ide pasaran dan klise (maybe?), Author newbie, D.L.L, D.S.B


Chapter 5 : Let Tomorrow be Different


Life is a mixture of sunshine and rain, teardrops and laughter, pleasure and pain.
Just remember, there was never a cloud that the sun couldn't shine through.

.

.

.

.

If you don't like, don't read! Simple as that ^.^

Bisa dibilang Rukia sekarang mulai jengah menghadapi makhluk aneh di depannya ini yang kelihatan seperti orang putus harapan. Lihat mukanya! Rukia memang tahu siapa orang ini—pianis berbakat yang dilihatnya saat menghadiri acara di gedung kompetisi pianis dengan permainan yang begitu memukau—tapi bukan berarti dia mengenalnya 'kan? Tidak hanya nama yang terdengar asing baginya, tapi wajahnya juga.

"Kenapa kau kelihatan kecewa begitu? Ada yang salah? ... Hinamori, tolong ambil alih anak-anak sebentar, kelihatannya kami harus menyelesaikan masalah ini di luar," pinta Rukia.

"Enak saja! Ini jam pelajarannmu! Dan kalian ingin berbicara di luar berduaan saja?! Itu tidak adil Rukia!"

"Oh ayolah, kenapa kau begitu keberatan? Yuzu saja tidak protes."

"Terserah kau saja!"

Setelah perdebatan kecil itu berakhir, Rukia segera mengajak Ichigo keluar ruangan. Ralat—dia menyeret Ichigo dengan memegang jaketnya dan Ichigo tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan sama sekali. Saat keduanya sampai di halaman gedung, Rukia melepaskan pegangannya lalu berjongkok—memainkan tumpukan salju, membentuknya menjadi bola-bola yang biasa digunakan untuk perang bola salju. Untuk apa Rukia melakukan hal kekanakan itu? Jawabannya hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.
Ichigo memerhatikannya dalam diam, sibuk memikirkan pertanyaan yang akan diucapkan di saat seperti ini, mulutnya sudah terbuka dan siap meluncurkan kata-kata tapi kembali ditutupnya karena merasa kalau pertanyaan itu kurang pas.

"Tujuanku membawamu ke sini agar kau bisa leluasa bertanya apa pun padaku, ehh nyatanya kau jadi orang bisu. Apakah udara dingin di sini membuat mulutmu membeku?"

Menangkap adanya kalimat sindiran dari Rukia, Ichigo langsung tersadar dari lamunannya. Menatap punggung Rukia yang sedang berjongkok dengan sengit—di dalam hatinya dia tertawa bahagia karena sifat Rukia yang satu ini ternyata juga belum berubah, ahh Ichigo lagi-lagi bernostalgia.

"Setidaknya udara dingin di sini lebih mendingan daripada perkataanmu itu. Kusarankan, jika ingin berbicara dengan seseorang bawalah dia ke tempat yang lebih hangat serta dijamu dengan minuman yang hangat pula, lebih sopan bukan?" ujar Ichigo, bermaksud membalas perkataan Rukia tempo lalu.

Rukia tahu ini! Dia tahu ini! Orang berambut menyala ini seenak dengkul meniru gaya bicaranya tanpa merasa bersalah sedikit pun? Benar-benar tidak bisa dimaafkan. Karena sudah dibakar emosi yang meluap-luap, dengan gemas Rukia segera membalikkan badannya sesaat setelahnya melemparkan satu bola salju kepada Ichigo yang tengah sibuk menahan tawa.

"Untuk apa aku melakukan itu?! Kenal saja tidak, keluarga bukan, pacar juga bukan. Jadi jangan sok akrab denganku!" sembur Rukia tajam.

Melihat perlakuan Rukia yang tadi membuat Ichigo terdiam dan mengubah mimik wajahnya serius. Di sinilah dia harus memulainya, ya! Memang harus. Dengan memusatkan perhatian penuh pada Rukia, perlahan tapi pasti ... Ichigo memulai perkataannya yang bisa saja membuatnya kembali dihadiahkan dengan lemparan bola salju kedua.

"Tapi aku mengenalmu dengan baik."

"Benarkah? Kalau kau mengenalku dengan baik, kenapa aku tidak mengenalmu?"

"Itu juga yang ingin kutanyakan."

Udara di musim dingin bertiup di antara mereka berdua menciptakan sensasi yang lebih dingin dari sebelumnya. Keduanya saling tatap-menatap hingga Ichigo yang lebih dulu memutuskan kontak mata—memilih menatap ke arah mana saja asalkan jangan sepasang mata violet itu.

"Kuchiki Rukia ... umur 23 tahun, adik dari seorang pianis ternama seantero Jepang. Sering disebut-sebut sebagai Hisana Nigou karena permainan piano dan wajah yang sama persis bagai pinang dibelah dua. Sudah mendalami dunia musik sejak berumur 4 tahun, tidak hanya itu ... bahkan di umurnya yang ke-sepuluh tahun dia pernah menjadi salah satu pemimpin orkestra dengan permainan pianonya.

"Dan satu lagi, sangat sensitif terhadap orang yang berbuat seenaknya pada piano. Bahkan dia akan memarahi habis-habisan si pelaku sampai jera," dikte Ichigo tanpa jeda. Sengaja agar Rukia tidak bisa memotong atau pun memprotes apa yang dikatakannya.

Ingin rasanya Rukia mencibir, namun setelah dipikir kembali itu semua percuma karena memang yang dikatakan Ichigo benar. Alhasil ... Rukia hanya menundukkan wajahnya, dia sudah tidak tahan lagi jika ada seseorang yang berani mengungkit hal tentang kakaknya. Bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kata pianis selalu saja dihindarinya, sungguh menyakitkan bila dia harus terjun kembali ke dunia pianis. Dia sudah muak dengan kehidupannya yang seperti ini, berlari tanpa arah tujuan, membawa perbekalan saja tidak.

"Kau pasti membaca artikel dari majalah lama dan internet, benar?" lirih Rukia.

"Jangan membodohiku! Kau itu paling tidak suka untuk diwawancarai dan menolak mentah-mentah jika ada orang yang ingin menulis data pribadi tentang dirimu. Yang ada pada mereka hanyalah informasi tentang kakakmu, alamat rumahmu, dan prestasi-prestasi gemilang yang pernah kau raih sebagai pianis termuda," tandas Ichigo.

Checkmate! Ternyata pria ini benar-benar mengetahui keseluruhan tentangnya. Oh Tuhan, Rukia merasa menjadi orang paling memalukan di dunia sebab tidak bisa mengingat apa pun tentang orang ini. Cukup sudah, Rukia tidak mau lebih malu dari ini.

Rukia yang menunduk terus-terusan membuat Ichigo penasaran dengan apa yang dilakukannya sehingga betah dengan pose seperti itu. Ide untuk menjahili Rukia pun timbul, Ichigo membalas lemparan bola salju Rukia tepat mengenai kepalanya. Bukan Rukia namanya jika dia tidak bereaksi sama sekali.

"Apa-apaan kau ini?! Jangan melempar itu ke kepalaku, dingin dasar bodoh!" kata Rukia seraya membersihkan kepalanya.

"Itu balasan untukmu karena tidak bisa mengingatku ditambah kau sudah menghiraukanku."

'Orang ini benar-benar tidak sopan.'

Rukia ingin melahapnya hidup-hidup! Mencuci mulutnya dengan air keras, mengecat rambutnya menjadi warna hitam—ahh jangan itu, lebih baik kalau botak saja. Mungkin dengan kepala yang tidak ditumbuhi sehelai rambut bisa membuatnya berpikir lebih jernih. Rambutnya begitu silau!

Sementara itu ... tidak jauh dari halaman tempat Ichigo dan Rukia berdiri. Hinamori meremas-remas syalnya sebagai pelampian emosi sementara Yuzu memerhatikannya dengan tidak mengeluarkan sepatah kata.

"Rukia tidak adil! Pasti dia sedang mengatakan sesuatu yang tabu pada kakakmu, benar-benar merusak pemandangan. Aku tidak terima!"

"Apakah Hinamori-san menyukai Ichi-nii?" tanya Yuzu.

"Errr bukan perasaan seperti itu, aku hanya mengaguminya sebagai idola kok. Aku sudah punya pacar dan tidak akan berkhianat. Tunggu! Kenapa Yuzu bertanya?"

Yuzu mengedikkan bahunya berkata, "Begini ... walaupun Hinamori-san menyukai Ichi-nii, tetap saja aku memilih dan mendukung Rukia-nee yang akan bersama Ichi-nii, bukan dirimu," seloroh Yuzu acuh tak acuh kemudian berlalu meninggalkan Hinamori yang sudah mematung akibat mendengar kata-kata 'cerdik' versi Yuzu—yang sangat membekas di hati.

.

.

.


-O0O-

.

.

.

Suara dari jam dinding besar terdengar di ruang santai Rukia. Malam ini pun, dia asyik dengan novel The Secret Garden setelah puas membaca novel sebelumnya. Sebuah novel klasik karya Frances Hodgson Burnett tentang seorang gadis yatim piatu yang menemukan petualangan seru di kebun pamannya. Novel ini sebenarnya sudah sangat lama tersimpan di lemarinya, terlalu malas untuk membaca ini karena setiap kali dia membaca ada saja yang menginterupsi.

Playlistnya sudah memutar sekitar seperempat bagian daftar lagu di sana. Ketika sebuah alunan lembut dari piano—berasal dari playlist—mengetuk gendang telinganya, Rukia melotot horror ke playlistnya dan segera menekan tombol volume untuk memperkecil suara. Jika Rukia mendengarkan lagu ini, ingatan-ingatan yang seharusnya tidak diingat muncul kembali. Kakak perempuannya, tidak pernah absen membuat kepala Rukia berdenyut-denyut.

"Sensei ... aku sebenarnya ingin mengatakan ini padamu. Sensei terlalu memaksakan diri untuk melupakan musik yang sebenarnya sudah menjadi bagian dari hidup sensei. Lihat? Sudah berapa tahun sensei menghilang tanpa kabar sejak setelah tiga bulan kematian Kuchiki Hisana, mengurung diri dari dunia luar. Pasti sensei sendri merasakannya 'kan? kehidupan sensei begitu monoton tanpa warna. Aku tidak peduli sensei masih mengingatku atau tidak, yang jelas setelah aku pindah dari Kyoto ... aku mencarimu begitu mendengar kabar kalau kau tidak lagi muncul di dunia musik. Menyedihkan! Seperti itulah dirimu."

"... sialan."

Diam-diam Rukia mengumpat dengan suara kecil. Kata-kata orang asing itu—yang mengaku dirinya adalah murid Rukia—masih terasa sangat segar di ingatannya.

Sensei? Murid? Kyoto? Arghh! Rukia benar-benar tidak mahir dalam bermain tebak-tebakan. Memang benar kalau Kyoto adalah tempat kelahirannya dan di sanalah dia tinggal dulu. Tapi apa hubungannya antara orang asing itu dengan Kyoto?

Ruangan bawah ... mungkin Rukia bisa menemukan sesuatu untuk ini.

Rukia beranjak dari sofa dan pergi ke sudut ruangan di mana itu terdapat penyekat ruangan bermotif padang bunga lavender. Sekilas, orang mungkin akan menganggap kalau penyekat itu hanyalah sebagai hiasan belaka tanpa fungsi karena diletakkan tepat di sudut ruangan. Tapi Rukia—sang tuan rumah—lebih mengetahuinya daripada siapa pun, dia menyembunyikan sesuatu di sana.

Rukia menyapukan kedua tangannya pada penyekat itu. Terlihat agak sedikit ragu untuk membuka rahasia yang tersimpan rapat di balik penyekat. Sebut saja Hinamori dan pelayan rumah yang tinggal se-atap dengannya, tidak ada yang mengetahui sesuatu yang disimpan Rukia di tempat ini.

"Nee-san? Bagaimana dengan permainan Mozartku? Terlalu buruk ya?"

"Hushh jangan pesimis begitu! Permainan Rukia-chan bagus kok!"

Rukia menggeleng secepat kilat berusaha mengenyahkan suara bisikan di telinganya. Jangan lagi! Suara itu selalu saja mengusiknya ketika dia hendak menggeser penyekat ini. Ketika penyekat sudah sepenuhnya tergeser, terdapat sebuah pintu—tidak terlalu besar—yang telah dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat menyatu dengan dinding.

Gelap.

Itulah pemandangan yang pertama kali menyapa indra penglihatan Rukia saat membuka pintu. Rukia mencoba mencari-cari sesuatu seperti tombol lampu untuk menyinari penglihatannya. Setelah lampu menyala, terlihat oleh Rukia sebuah tangga menurun terbuat dari marmer mengkilap. Lebar tangga itu seukuran dengan satu depa lengan miliknya, tidak besar. Satu per satu anak tangga dilalui Rukia mengantarkannya sampai di dasar lantai yang tidak kalah mengkilapnya.

Yang paling mengejutkan dari semuanya. Ruangan ini terlihat seperti gedung opera mewah tapi dalam skala yang lebih kecil dan tidak ada kursi penonton. Dindingnya berwarna ke-emasan tampak harmonis dipadankan dengan hijau juga chandelier kristal putih. Tergantung beberapa bingkai foto di dinding, Rukia memerhatikan setiap foto tersebut, mulai dari foto dirinya yang masih kecil tersenyum lebar memegang sebuket bunga mawar ungu seolah-olah meyerahkan buket itu kepada orang yang memotretnya. Ada juga foto dirinya berumur 7 tahun yang dibalut dengan gaun biru langit selutut lengkap dengan selembar sertifikat ditangannya. Dan dari sekian banyak foto dirinya hanya satu yang paling dijaga Rukia, foto kakak perempuannya yang tersenyum manis sambil merangkulkan sebelah tangannya ke pundak Rukia yang sedang memegang piala emas besar. Melihat itu saja membuat Rukia terenyuh.

Kini perhatian Rukia beralih pada sebuah piano hitam yang terletak di tengah-tengah ruangan, lantai tempat piano itu berada dibuat sedikit lebih tinggi dari lantai lainnya. Sebelum menuju ke sana lebih dulu Rukia menghampiri lemari dan sedikit mengubrak-abrik isi dalamnya untuk mendapat sebuah map merah polos berisikan partitur-partitur lagu. Rukia benar-benar merawat tempat ini, terbukti dengan lantainya yang mengkilap bak lantai dansa begitu juga dengan semua barang-barang klasik di sini. Ruangan yang belum dijamah siapa pun selain dirinya.

Bagaimana ruangan seperti ini bisa ada? Apalagi pintu jalan masuknya bisa dibilang sangatlah kecil untuk ruangan semewah ini. Itu karena Rukia membayar mahal si 'tukang pembuat rumah' agar dibuatkan sebuah ruangan khusus.

Rukia duduk di bangku piano, mulai membuka map dan meneliti lembaran-lembaran setiap judul yang tertera di partitur lagu.

"warmes Kerzenlicht," gumam Rukia membaca sebaris judul, merasa ada sesuatu yang sangat penting pada partitur ini.

Alisnya mengeryit. Ohh Rukia tahu lagu ini ... lagu ciptaannya yang kedua. Kalau Rukia tidak salah ingat, lagu ini diciptakannya karena dia ingin melakukan duet piano dengan seseorang.

Dan orang itu ... berambut nyentrik.

Rukia memanggilnya, ORANG ASING!

Nahh itu dia! Orang keras kepala yang dia ajari untuk bermain piano pada saat Rukia berumur 14 tahun.

"Astaga! Jadi, si 'orang asing' yang berlagak sombong tidak ingin memberi tahu namanya dulu ... ternyata dia?" Rukia menghela napas panjang kemudian menabrakkan kepalanya ke piano. Apakah dia sedang dipermainkan oleh takdir? Atau malah dia yang sedang bermain-main dengan takdir? Entahlah ... semuanya terasa begitu rumit.

"Tapi dia berubah begitu banyak, sampai-sampai aku tak mengenali wajahnya. Bukan! Bukan semuanya salahku, salahnya sendiri tidak memberi tahu namanya saat itu—'kan membuatku sulit untuk mengingatnya. Asal kau tahu orang asing! Aku benar-benar ingin membuat kepalamu menjadi plontos seketika! Telah sekian lamanya kau tidak pernah mengabariku keadaanmu, itu membuatku marah!" jeritan Rukia sudah lepas diiringi dengan entakan kakinya yang menghujam lantai bertubi-tubi—Nona Kuchiki Rukia lepas kendali.

Tenang saja, suara jeritan mengerikan itu tidak akan terdengar oleh siapa pun. Menjeritlah sesuka hatimu, lepaskan semuanya, kemudian selesai, cara yang sangat mudah untuk melepas penat.

Karena ruangan ini kedap suara.

.

.

.

.

~The End~
(Bercanda cyinn!)

.

.

.

.
~To Be Continued~


A/N :

Ehemm!
Iya ... halo? Saya masih hidup kok XD chapter ini updatenya lebih ngaret dari sebelumnya karena saya lagi ikut test selama seminggu, jadi lebih fokus untuk *uhuk*belajar*uhuk* doa'kan saya supaya mendapat hasil test yang memuaskan ya?

apakah ada yang aneh dari cara penulisan saya? Chapter ini diketik dengan spontan! Dan di sini Rukia udah tahu siapa Ichigo, karena memang bukan itu sih konflik utama mereka berdua—intinya saya males buat konflik yang terlalu ngejelimet. Oh iya! warmez Kerzenlicht itu bahasa Jerman yang artinya 'cahaya lilin yang hangat', kalau udah ada yang tahu baguslah :D

Di chapter depan bakalan bahas tentang masa kecil Rukia, awal mula dari cerita ini (yeay! ini bagian yang paling saya tunggu untuk diketik) kalau masih ada yang kurang ngerti, tanyakan aja ^-^

Balasan Review : (for anonymous and no-login, buat yang login dibalas melalui PM ^.*)

Learn: Gak papa kok! Udah ninggalin jejak aja sangat berarti :) makasih atas sukanya, sengaja buat sifat Rukia yang jutek kayak gini tuh karena author sangat merindukan Rukia yang ada di anime. Hohoho sudah pasti Rukia, Hisana 'kan orangnya kalem dan feminin.
Terima kasih juga atas semangatnya! Ini udah diupdate, hope you like it! XD

Fadhilla-Illa: Ahh jangan salahkan saya! Salahkan si abang Ichi yang playboy cap badak! Bukan salah saya! Bukan! Bukan! *dilempar sepatu*
udah cukup, chapter ini full IchiRuki kok! Walaupun tidak semanis yang kau kira.
ini udah update wong! Semoga suka!

Guest: Sayangnya tunangan Orihime bukan si Grimmy karena Grimmy milikku seorang! #dihajar massa
Grimmy cuma numpang lewat doang, gak banyak ngambil peran, maaf ya? Soalnya fic untuk Grimmy ada di fic author yang lain (tapi belum dipublish)
yang ngarang lagu emang Rukia, kalau masalah itu akan dibahas nanti-nanti :) makasih udah RnR ya!

angel88est: Gak usah bayar deh, khusus buat kamu saya kasih gratis XD
iyaaa superman itu keren ya! #ditusuk. Ok ... ini udah lanjut. Hahaha sinyal 3G? Saya pernah ngalamin itu! (galau, gundah, gulana)

Special Thanks
Yang pastinya kepada semua yang sudah menyempatkan membaca, fave, serta alert fic ini.
Apalagi yang udah me-review dan koreksinya … I'm really very grateful to you.

Review kalian itu motivasi saya dalam membuat fic ini lho, berharga banget!

Sign,
Classie