"Jadi… kau memutuskan wanita yang sudah susah payah kujadikan denganmu?" Suara itu terdengar kecewa bercampur kesal, sama dengan ekspresi yang ditunjukkan sang pemilik suara, Keigo Asano. Sudah sejak tadi ia menunggu di depan pintu dengan dua tangan terlipat di depan dada.

Ichigo menarik napas panjang sambil menutup pintu ruang kerjanya. Ditatapnya pria yang lebih pendek darinya itu dengan bibir tertutup rapat, sebelum akhirnya ia berlalu pergi.

"Hei!" seru Keigo. "Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?!"

Ichigo tak menghentikan langkahnya. Ia bahkan bersikap seolah-olah tidak mendengar seruan Keigo. Keigo menggeram, ia mensejajarkan langkahnya dengan Ichigo.

"Ini sudah yang ketujuh kalinya aku menjodohkanmu dengan teman-teman wanitaku, dan ujungnya selalu berakhir dengan kau memutuskan hubungan. Apa kau tahu bagaimana nasibku begitu teman-teman wanitaku datang kepadaku setelah kau memutuskan mereka? Mereka meluapkan amarah mereka, menangis histeris, bahkan sampai mencakariku!" Keigo menarik napas panjang, setelah ia mengatakan hal itu dalam satu napas. "Aku tidak mengerti. Padahal teman-teman wanitaku itu nyaris sempurna luar dan dalam. Sebenarnya kau ini ingin menjalin hubungan dengan wanita yang seperti apa sih?"

Keduanya berhenti di depan pintu lift yang masih tertutup. Ichigo masih bungkam. Dan hal itu membuat Keigo semakin bertambah kesal. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak menonjok Ichigo, jika saja ia tidak ingat pria itu pemegang sabuk hitam karate.

"Ada satu hal yang baru bisa kukatakan padamu sekarang…" Ichigo akhirnya berkata tanpa menoleh. Kedua matanya tertuju pada angka digital di atas pintu lift. Dan tepat begitu pintu lift di depan mereka terbuka, ia kembali melanjutkan, "Aku lebih tertarik dengan sesama jenis."

Keigo mematung. Kedua matanya membelalak dan ia ternganga. Akhirnya ia tahu alasan kenapa Ichigo memutuskan para wanita itu. Masih dengan posisi berdiri mematung, Keigo melihat Ichigo memasuki lift, dan balik menatapnya. Meninggalkannya dengan kondisi yang masih mematung di posisinya.

.

.


Semua karakter yang dipakai dalam fanfiksi ini bukanlah milik saya. Mereka adalah milik Tite Kubo. Namun karya fanfiksi ini adalah sepenuhnya milik saya.

.

Alternate Universe

T-rated

7k+ words

Drama/Humor

Oneshot

.

~a IchiHitsu story~

.

Peringatan: fanfiksi ini bertema Boys Love dan Pedophilia; yang mengumbarkan cerita tentang hubungan antara pria dewasa dan anak kecil. Possible Out Of Characters. Tidak menerima apresiasi negatif atas semua hal yang sudah saya peringatkan.

.

Terinspirasi dari film 'Journey to the center of the earth', dan komik Nodame Cantabile vol. 5 karya Tomoko Ninomiya. Ada beberapa scene dan dialog yang saya ambil dari situ.

.

Jeanne's present…

.

#

.

7 Days With My Little Cousin


.

.

Tawa Ichigo akhirnya meledak begitu sekarang ia sudah di dalam mobil Ascari A10 warna putih yang dikemudikannya. Tidak menyangka kalau kebohongannya tadi akan dengan mudahnya dipercayai oleh Keigo. Dengan begini, ia yakin Keigo tidak akan pernah lagi menjodohkannya dengan para wanita yang tidak disukainya. Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin mengatakan kebohongannya tadi pada Keigo, tapi temannya itu selalu kabur di saat ia akan mengatakannya. Akhirnya, hal itu baru tersampaikan hari ini!

Tawa Ichigo akhirnya mereda dan berhenti begitu ponselnya berdering. Tanpa menoleh dari jalanan di depannya, ia merogoh saku celana bagian depan, mengeluarkan benda yang terus berdering-dering itu.

"Retsu neesan?" Kedua alis Ichigo terangkat kaget begitu ia melihat nama istri kakak sepupunya di layar. Ibu jarinya segera menggeser telepon hijau kecil di layar, kemudian ia menempelkannya di telinga. "Halo?"

/"Halo, Ichigo. Kau di mana sekarang?"/

"Di jalan pulang. Ada apa, Neesan?"

/"Oh, syukurlah. Kami sebentar lagi akan sampai di apartemenmu,"/ Retsu menarik napas panjang, sebelum ia melanjutkan, /"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."/

"Baiklah. Aku akan secepatnya sampai!"

Pembicaraan lewat telepon itu berakhir. Ichigo meletakkan kembali ponselnya di saku celananya. Kemudian ia menginjak gas dalam-dalam, membuat mobilnya melaju di jalanan.

.

.

Mobil yang dikemudikan Ichigo masuk di basement apartemennya, dan mencari tempat parkir. Setelah mematikan mesin mobil dan meraih tas kerjanya, ia membuka pintu di samping. Ichigo nyaris terlonjak begitu pundaknya ditepuk seseorang dari belakang.

"Retsu neesan, kau mengagetkanku," kata Ichigo, begitu ia tahu siapa yang menepuk pundaknya.

Retsu tertawa kecil, "Maaf. Tadi aku melihat mobilmu lewat di depan mobilku. Makanya aku buru-buru turun dari mobil dan menghampirimu."

"Di mana kalian memarkir mobil kalian?" tanya Ichigo sambil berjalan beriringan dengan Retsu. Jari telunjuk Retsu menunjuk mobil BMW hitam yang terparkir delapan meter dari mereka. "Juushirou niisan menunggu di dalam mobil, ya?"

Retsu terdiam sejenak, sebelum ia menjawab, "Aku kemari tidak dengan dia. Aku datang dengan putraku."

"Oh!" Ichigo mengangguk. Tidak menyadari kalau wajah wanita di sampingnya tiba-tiba muram karena pertanyaannya tadi. Begitu keduanya berhenti di depan mobil Retsu, wanita itu mendekati pintu depan di samping pengemudi.

"Sayang, ayo turun. Beri salam untuk Paman Ichigo," kata Retsu, sembari membuka pintu mobil.

"Aku tidak mau!" seru sosok kecil yang duduk di dalam mobil itu. Kedua matanya tidak menoleh dari PSP yang sejak tadi dimainkannya.

"Sayang, jangan begitu. Ayo turun. Jika tidak Kaasan akan menyita PSP-mu itu."

Sosok kecil itu mendengus, "Baiklah, baiklah, Okaasan!" Ia menekan tombol pause, dan akhirnya melangkah turun.

Ichigo yang sejak tadi menahan tawa geli di bibir seketika tertegun begitu melihat sosok kecil yang keluar dari mobil. Wajah manis itu menekuk dengan bibir mengerucut.

Retsu mendorong pundak putranya dengan kedua tangannya dari belakang. Dan begitu jarak mereka hanya setengah meter, ia menghentikan dorongannya. "Nah, ayo beri salam pada Paman Ichigo."

"Hai, Paman. Aku Toushiro." Nada suara itu sangat ketus, namun terdengar manis di telinga Ichigo.

Ichigo menatap bocah di depannya tak berkedip. "Kau sudah sebesar ini ya, Toushiro. Padahal terakhir aku bertemu denganmu masih bayi."

Kedua tangan besar Ichigo menangkup kedua pipi Toushiro. Bisa ia rasakan kedua pipi itu sangat lembut. Toushiro melotot. Seketika kedua tangannya terulur, dan ia mendorong tubuh Ichigo hingga pria itu termundur beberapa langkah.

"Toushiro! Jangan seperti itu pada Pamanmu!" sentak Retsu. Toushiro mendengus. Bocah itu melipat kedua tangannya di depan dada sambil memalingkan wajahnya.

"Tidak apa-apa, Neesan," kata Ichigo dengan bibir tersenyum. "Tapi aku kaget, Toushiro sudah sebesar ini." Pandangan Ichigo kembali pada Toushiro. "Berapa umurmu sekarang, Toushiro?" tanyanya.

"Toushiro…" suara Retsu terdengar mengintimidasi begitu Toushiro sengaja tak menjawab pertanyaan Ichigo.

Toushiro menggerutu dalam hati. "Tiga belas tahun!" jawabnya akhirnya, tentu dengan suara ketus.

Ichigo tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Ia menoleh dan menatap Retsu. "Ayo ke apartemenku. Bukannya ada yang ingin Neesan bicarakan, kan?"

Retsu mengangguk. Kemudian meraih salah satu tangan Toushiro untuk berjalan bersamanya.

.

.

"Neesan akan bercerai dengan Juushirou nii?" Ichigo tak bisa menutupi rasa kagetnya. Wanita itu langsung menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Pelankan suaramu. Aku tidak mau Toushiro mendengarnya."

Ichigo mengangguk. Untung saja saat ini mereka berbicara di dalam dapur, dan Toushiro sedang memainkan PSP-nya di ruang tamu.

"Sudah hampir setahun Juushirou tidak pulang di rumah kami di Beijing. Dia memang masih mengirimkan uang di rekeningku. Toushiro selalu menanyakan kenapa otousan-nya itu tidak ada di rumah, tapi suatu hari ia sudah tidak pernah menanyakannya lagi…" Retsu menarik napas panjang. Ekspresi wajahnya tampak sedih. "Akhirnya, aku tahu kenapa Juushirou sudah tidak pernah pulang lagi di rumah kami begitu menerima sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal. Pesan itu menuliskan sebuah alamat hotel di Jepang, dan kalimat 'Jika ingin tahu apa yang sedang dilakukan suamimu, datang ke hotel itu'."

Jalan pikiran Ichigo sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Retsu selanjutnya. Tapi ia memilih diam mendengarkan.

"Juushirou bersama seorang wanita yang kukenal sebagai sekertarisnya di kantornya di Beijing…" suara Retsu bergetar, "Mereka berdua saja di dalam kamar hotel." Dan air matanya yang sudah mengumpul di kedua pelupuk matanya akhirnya meleleh jatuh. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya, meredam isak tangisnya yang keluar.

Kedua tangan Ichigo mengepal kuat di bawah meja. Jika saja Juushirou ada di depannya saat ini, pasti sudah dilayangkannya pukulan. Kenapa kakak sepupunya itu bisa dengan bodohnya berselingkuh dengan wanita lain padahal ada wanita yang sangat mencintainya sedang menunggu di rumah?

Tangis Retsu akhirnya mereda. Ia menghapus sisa air matanya dengan punggung tangan. Kemudian ia menatap Ichigo. "Besok aku akan kembali ke Beijing dan mengurus surat perceraian," katanya, dengan suara tersendat-sendat. "Karena itu, bisakah aku meminta tolong padamu agar menjaga Toushiro di sini selama seminggu? Aku tidak mau membawa Toushiro kembali ke Beijing, dan juga karena aku belum siap memberi tahunya tentang masalah perceraian ini."

Ichigo terdiam. Dia tahu, Retsu melakukan hal ini untuk kebaikan Toushiro. Bocah itu masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan kedua orangtuanya. "Oke, Neesan. Aku akan menjaga Toushiro."

"Arigato, Ichigo." Retsu tersenyum.

.

.

"Toushiro, selama kau di sini dengarkan perkataan Paman Ichigo. Kaasan hanya seminggu di Beijing untuk mengurus sesuatu. Jangan nakal, ya!" pesan Retsu, begitu ia akan berpamitan pergi. Wajahnya merendah untuk mengecup dahi dan kedua pipi putranya. Kemudian ia membawa Toushiro ke dalam pelukannya.

"Okaasan, aku bukan anak kecil!" seru Toushiro begitu kedua matanya menangkap senyum geli di bibir Ichigo. Retsu melepaskan pelukannya dan mencubit gemas pipi putranya.

"Kau ini masih anak kecil. Umurmu baru tiga belas tahun, Toushiro!"

Toushiro mendengus sambil memalingkan wajahnya.

"Ichigo," Retsu menoleh dan menatap Ichigo, "Neesan pergi, ya?"

"Ah, biar kuantar sampai di basement bawah."

Toushiro langsung balik badan, berniat meneruskan game di PSP-nya. Retsu dan Ichigo yang melihat itu saling berpandangan, sebelum akhirnya tersenyum.

"Benarkah Toushiro tidak apa-apa kutitipkan di apartemenmu?" tanya Retsu tiba-tiba begitu sekarang mereka menunggu di depan pintu lift yang masih menutup. Ichigo menoleh dengan dua alis terangkat. Baru saja bibirnya terbuka untuk menjawab, Retsu kembali melanjutkan, "Bagaimana kalau nanti pacarmu datang ke apartemenmu dan melihat Toushiro?"

Ichigo tertawa. "Tidak apa-apa, Neesan. Aku belum punya pacar."

"Eh?" kedua mata Retsu membulat, "Kenapa? Padahal kau ini tampan dan juga seorang direktur."

Ichigo kembali tertawa, sembari memasuki lift. "Aku belum bertemu dengan wanita yang tepat. Dan lagi, aku masih ingin menikmati masa bujangku."

Retsu mengangguk-angguk. "Jangan lama-lama menikmati masa bujangmu. Umurmu sudah hampir tiga puluh tahun, kan?"

"Masih dua puluh sembilan tahun kok!" sahut Ichigo cepat.

"Tahun depan sudah tiga puluh tahun, kan!" Retsu menjitak kepala Ichigo dengan gemas. Ichigo cengengesan.

"Neesan, begitu kau dan Juushirou nii sudah resmi bercerai nanti, aku pasti akan mendatangi si bodoh itu dan menghajarnya habis-habisan!"

Retsu menggelengkan kepalanya, "Baiklah, jangan sungkan-sungkan." Lalu keduanya tertawa bersama.

Pintu lift akhirnya terbuka, dan keduanya melangkah keluar. Ichigo masih berdiri di posisinya begitu mobil yang dikemudikan Retsu akhirnya bergerak, dan menuju pintu basement. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan, ia berbalik menuju lift.

.

.

Sambil bersenandung, Ichigo membuka pintu apartemennya dan melangkah masuk. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah hampir jam tujuh. Langkah kaki Ichigo berhenti begitu ia melihat Toushiro sedang membaca majalah. Ide untuk menjahili keponakan kecilnya itu tiba-tiba datang. Dengan langkah mengendap-endap, Ichigo mendekati Toushiro dari belakang. Tepat begitu kedua tangannya sudah terangkat di udara, Ichigo sontak membelalak begitu melihat majalah apa yang dibaca Toushiro.

"WUAAA!"

Teriakan Ichigo seketika membuat Toushiro terlonjak kaget, dan melempar majalah yang dibacanya.

"Aduuuh… dari mana kau mendapat majalah ini, Toushiro?" tanya Ichigo sambil membungkuk untuk mengambil majalah yang jatuh di lantai.

"Ada di bawah meja itu!" dengus Toushiro, sembari menunjuk meja kaca di depannya. Ichigo langsung menepuk dahinya. Ternyata ini karena salahnya sendiri yang meletakkan majalah Playboy di bawah meja itu.

"Majalah ini masih belum bisa dilihat olehmu," Ichigo memperingatkan sambil menyembunyikan majalah itu di belakang punggungnya. "Kau masih anak kecil."

Toushiro memutar kedua bola matanya dengan malas, " Aku sudah melihatnya, Paman."

Entah kenapa kali ini Ichigo merasa tertohok begitu bocah manis di depannya ini memanggilnya dengan sebutan 'Paman'. Tanpa sadar Ichigo meraba-raba wajahnya. Dia tidak setua itu, kan? Masih belum ada keriput di wajah tampannya, kan?

"Toushiro… jangan panggil aku dengan sebutan 'Paman'. Panggil saja Ichigo niisan, oke?"

"Tapi Paman sudah berumur tiga puluh tahun, kata okaasan."

"Niisan masih berumur dua puluh sembilan tahun, Toushiro."

"Tapi sudah terlihat tua di mataku."

Ichigo terhenyak. Rasanya ia ingin duduk berjongkok di sudut dinding sambil mengorek-gorek lantai dengan jari telunjuknya.

"Aku lapar, Paman," Ichigo mengangkat wajahnya begitu mendengar suara Toushiro yang setengah memelas. "Tadi aku sudah melihat isi lemari es, Paman. Kosong, tidak ada apa-apa, kecuali botol-botol air mineral."

Ichigo tersenyum, "Baiklah, pakai jaketmu. Kita akan makan di luar, dan setelah itu kita akan mampir di supermarket untuk mengisi lemari es yang kosong itu!"

.

.

Mobil Ichigo berhenti di lahan parkir sebuah supermarket. Setelah mematikan mesin mobil, ia melangkah keluar diikuti Toushiro. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan supermarket.

"Kita ke bagian daging dan sayur-sayuran dulu, ya?" kata Ichigo sambil menarik salah satu troli besar.

"Memang Paman bisa memasak?" Toushiro bertanya tanpa menoleh dari PSP yang sedang dimainkannya.

"Tentu saja!" Ichigo menepuk-nepuk dadanya yang dibuat membusung.

"Uh-huh?" Toushiro menatap Ichigo dengan satu alis terangkat. Masih belum percaya dengan kemampuan memasak Ichigo.

"Jika kau masih belum percaya, besok pagi akan kubuatkan sarapan pagi!"

"Ah, paling Paman hanya membuat roti bakar. Itu kan mudah. Aku saja bisa membuatnya sendiri," kata Toushiro sambil menatap kembali layar PSP-nya.

"Hei, hei, sarapan pagi yang akan kubuatkan itu nasi goreng Beijing. Kebetulan dulu aku pernah diajari oleh temanku dari Cina."

Toushiro kembali menatap Ichigo dengan satu alis terangkat. "Lalu? Apa masakan Paman sudah terjamin tidak akan membuat perutku sakit?"

Ichigo menggeram gemas. "Tentu saja!"

"Oh, kalau begitu untuk jaga-jaga lebih baik aku juga mencari obat sakit perut." Langkah kaki Toushiro yang sudah akan berbelok ke bagian obat-obat langsung terhenti begitu Ichigo menarik pergelangan tangannya.

"Nanti saja kita ke bagian obat-obatan!" Dirangkulnya pundak kecil Toushiro dengan satu lengannya, sementara tangannya yang lain mendorong troli.

Toushiro mendengus, sembari melepaskan rangkulan Ichigo. Ia berjalan di depan sambil kembali memainkan PSP-nya.

Langkah kaki keduanya berhenti di salah satu konter yang menjual daging. Setelah terdiam sesaat, jari telunjuk Ichigo menunjuk daging di dalam kaca yang dipilihnya. Begitu daging yang sudah dimasukkan di dalam tas plastik bening itu diulurkan padanya, Ichigo meletakkannya di dalam trolinya. Ia kembali mendorong trolinya, kali ini ke bagian sayur-sayuran.

"Nah, tinggal membeli buah-buahan dan cemilan untukmu." Ia menatap Toushiro yang masih asyik memainkan PSP. Troli yang didorong Ichigo tiba-tiba berhenti. Toushiro akhirnya menoleh dan menatap pria itu. "Kau tidak ingin naik ke atas troli seperti anak kecil itu, Toushiro?" Dagu Ichigo menunjuk seorang pria yang sedang mendorong troli yang dinaiki anak laki-lakinya—yang berumur lima tahun—sambil menjerit-jerit senang.

Toushiro melotot dan kembali menatap Ichigo, "Apa? Apa Paman sudah lupa umurku?"

Ichigo terkekeh-kekeh. Namun kekehannya langsung berhenti begitu Toushiro melangkah pergi dengan wajah kesal. Dengan panik, Ichigo langsung meraih pergelangan tangan bocah itu. "Maaf, Paman hanya bercanda. Jangan marah, ya?"

Toushiro masih memalingkan wajahnya ke arah lain. Dagunya bahkan terangkat tinggi.

"Maaf…" Ichigo memasang wajah bersalah. "Ah, bagaimana sebagai permintaan maaf, kau bisa meminta sesuatu pada Paman. Bagaimana?" Kedua alisnya terangkat dengan bibir tersenyum lembut.

Toushiro akhirnya menoleh. "Benar?" Ichigo mengangguk-angguk. "Kalau begitu aku ingin…" Bibir itu tiba-tiba menyeringai. Ia menggerakkan jari telunjuknya agar Ichigo merendahkan tubuhnya. Dan begitu bocah itu selesai membisikkan permintaannya, mendadak wajah Ichigo memucat.

.

.

Mobil Ascari A10 milik Ichigo melaju kencang di jalanan. Hal itu bukan karena sang pemilik mobil sedang terburu-buru atau dikejar oleh waktu. Melainkan—

"HAHAHAHA! Yeah! Akhirnya aku bisa mengemudikan mobil!"

—karena yang membawanya adalah seorang bocah berwajah manis yang masih (sangat) labil.

"Toushiro, pelankan mobil ini! Pelankan!" Ichigo yang duduk di jok depan samping pengemudi mencengkram pinggiran jok yang didudukinya dengan wajah tegang dan pucat.

"Apa, Paman? Ditambah lagi kecepatannya? Oke!" Toushiro menginjak gas lebih kuat, membuat mobil itu semakin melesat di jalanan. "WUHUUU! KEREEEN!"

"WUAAAAA!" teriak Ichigo histeris. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai menetes turun dari dahinya. Jika ia tahu akan seperti ini kejadiannya, ia tidak akan mau mengizinkan keponakan kecilnya ini membawa mobilnya!

Bencana yang didapat Ichigo ternyata masih ada. Sebuah mobil polisi yang sedang parkir di pinggir jalan melihat mobilnya yang melaju di atas batas kecepatan rata-rata. Sambil menyalakan sirine, mobil polisi itu akhirnya mengejar mobil Ichigo.

"Keren! Ini seperti game GTA yang kumainkan di playstation!" seru Toushiro. "Kalau aku menabrak orang pasti mobil polisinya akan bertambah!"

Ichigo membelalak. "Ini tidak keren! Cepat hentikan mobil ini, Toushiro!"

Toushiro memutar kedua bola matanya, "Baiklah!" Kakinya menginjak rem mendadak, membuat mobil itu berhenti dengan ban yang berdecit nyaring.

Ichigo langsung membuka sabuk pengaman, "Cepat pindah posisi! Cepat, cepat!"

Toushiro mendengus, sembari melakukan perintah Ichigo dengan ogah-ogahan. Tepat begitu mereka sudah bertukar posisi, kaca jendela di samping Ichigo diketuk dari luar. Ichigo menurunkan kaca jendelanya.

"Selamat malam, Pak." Ichigo tersenyum canggung.

"Selamat malam, Anda sudah melanggar lalu lintas. Tolong keluarkan SIM dan STNK-nya?" Tangan kanan polisi itu terulur ke arah Ichigo.

Ichigo meringis dalam hati. Dibukanya dashboard dan mengambil SIM serta STNK-nya, kemudian diulurkannya ke arah sang polisi. Polisi itu tampak sibuk menuliskan sesuatu, sebelum akhirnya ia membungkuk sambil memberikan kertas tilang.

"Silahkan datang ke persidangan untuk bisa mengambil kembali SIM dan STNK Anda," kata polisi itu dengan suara tegas. Pandangan polisi itu tiba-tiba beralih ke Toushiro.

"Ah, dia keponakanku," ucap Ichigo, sebelum polisi itu bertanya.

"Konbanwa," Toushiro tersenyum manis. "Aku tadi sudah memperingatkan Pamanku ini untuk membawa mobilnya pelan-pelan. Tapi Pamanku ini tidak mau mendengarkanku."

Ichigo menarik napas tercekat dengan wajah horor. Tidak menyangka Toushiro akan melimpahkan semua kesalahan yang dibuatnya tadi kepadanya. Polisi itu menggeleng-geleng sambil menatap Ichigo.

"Saya harap Anda tidak membawa mobil seperti tadi, Tuan. Selamat malam."

Begitu polisi itu sudah berjalan pergi, Ichigo langsung berbalik menatap Toushiro.

"Aku kan hanya anak kecil, Paman~" kata Toushiro sambil memainkan kedua jari telunjuknya di depan dada, dan memasang wajah menggemaskan seperti anak kucing.

Bibir Ichigo yang terbuka kembali mengatup. Omelannya kembali tertelan karena melihat tingkah Toushiro yang tiba-tiba manis.

.

.

"Sudah gosok gigimu?" Ichigo bertanya sambil berdiri di ambang pintu. Menatap sosok Toushiro yang sudah duduk menyandar di atas tempat tidur.

"Sudah, Paman," jawab Toushiro tanpa menoleh dari PSP-nya.

"Benarkah? Bagaimana aku tahu kau tidak berbohong?"

Toushiro mendengus, ditekannya tombol pause. Kemudian ditatapnya Ichigo. "Paman cerewet! Aku sudah menggosok gigi! Ini buktinya!" Toushiro memamerkan gigi putihnya yang berjejer rapi. Ichigo menahan senyum geli.

"Baiklah. Kau yakin tidak mau tidur dengan Paman? Kau tidak takut tidur sendiri di kamar ini?"

"Aku bukan anak kecil!"

"Mau Paman bacakan dongeng sebelum tidur?"

"Aku bukan anak perempuan, Paman!"

Tapi wajah manismu tak kalah manis dari anak perempuan, batin Ichigo dalam hati sambil menggulum senyum.

"Kalau begitu, berhenti bermain game di PSP-mu itu," langkah kaki Ichigo berjalan mendekat ke arah tempat tidur Toushiro. Ia berhenti di samping tempat tidur sambil berkacak pinggang. "Atau Paman akan menelepon ibumu."

Toushiro mendengus, lalu mengerucutkan bibirnya. Dimatikan PSP-nya dan meletakkannya di atas meja nakas di samping tempat tidur. Kemudian ia membuat posisi duduknya menjadi tidur terlentang. Ichigo tersenyum sambil menarik selimut tebal sebatas dada Toushiro.

"Mimpi indah, Toushiro." Wajahnya merendah dan mengecup dahi bocah manis itu. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Tepat begitu ia akan mematikan tombol lampu, suara Toushiro terdengar memanggilnya.

"Paman!" Ichigo menoleh dengan dua alis terangkat. "Mimpi indah juga."

.

.

Pagi itu Ichigo terbangun karena jam digital di atas meja nakasnya berdering. Tangan Ichigo terulur untuk mematikan jam digital itu, sembari bangun dari posisi tidurnya. Ia menguap lebar sambil merentangkan kedua lengannya ke atas. Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya sambil meregangkan otot-ototnya yang kaku, Ichigo merangkak turun dari atas tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi di sudut kamarnya. Begitu ia sudah berdiri di depan wastafel dan menyalakan kran air, Ichigo mengangkat wajahnya dan seketika ia menjerit histeris.

"Hiiiii…!" Ichigo termundur dengan kedua mata nyaris keluar. Wajahnya saat ini penuh dengan coretan spidol hitam; salah satu matanya dibuat lingkaran hitam seperti panda, di salah satu pipinya dibuat gambar tengkorak kecil, terakhir ada kumis dan cambang!

Setelah hampir beberapa menit ternganga menatap wajahnya sendiri, Ichigo akhirnya langsung membasuh wajahnya. Ia tahu siapa oknum yang sudah membuat wajahnya seperti ini.

"Toushiro!" Ichigo membuka pintu kamar Toushiro dengan sedikit kasar. "Paman tahu kau yang mencoret-coret wajah Paman saat tertidur, kan?" Didekatinya tempat tidur Toushiro dan menyingkap selimut tebal itu. Tak ada Toushiro di sana! Hanya bantal-bantal yang disusun menyerupai sebuah tubuh. Kedua mata Ichigo menangkap selembar kertas yang tertempel di salah satu bantal. Ada sebaris kalimat di kertas itu.

'Aku bersembunyi.'

Ichigo terperangah, sebelum ia tergelak. "Baiklah. Paman akan menemukanmu dan menghukummu!" Pandangan Ichigo mengedar ke sekeliling kamar Toushiro. Kedua matanya kembali menangkap selembar kertas lagi tertempel di kaca meja rias.

'Jika sampai setengah jam berlalu Paman masih belum bisa menemukanku, Paman harus berteriak mengaku kalah!'

"Eww… ternyata ada waktunya," Ichigo menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Baiklaaah… Paman akan mulai mencarimu sebelum waktu bermain perak umpet ini berakhir!"

Suara gong dalam imajinasi Ichigo dipukul, menandakan permainan dimulai. Ichigo mulai menggeledah isi kamar itu dengan gerakan cepat dan gesit. Di dalam lemari, tidak ada. Di bawah kolong tempat tidur, tidak ada. Di dalam kamar mandi, tidak ada. Ichigo akhirnya berjalan keluar dari kamar. Begitu ia sudah berdiri di luar, pandangannya beredar ke sekeliling apartemennya.

Dia tidak mungkin keluar dari apartemen ini, karena tidak tahu password-ku, kata Ichigo dalam hati. Langkah kaki Ichigo memasuki dapur dan mencari sudut yang bisa dijadikan tempat persembunyian bocah itu.

Ichigo berdiri di tengah ruang tamu dengan kedua tangan menopang di pinggangnya. Diliriknya jam yang menempel di dinding, sudah lewat dua puluh menit, tinggal tersisa sepuluh menit! Di mana lagi dia harus mencari bocah itu? Tidak mungkin bocah itu melompat dari balkonnya. Apartemennya ini terletak di lantai 20!

Sekali lagi Ichigo menyisir setiap sudut di apartemennya untuk mencari bocah itu. Dan ia akhirnya menyerah begitu jawabannya masih sama, nihil! Ichigo menarik napas panjang sambil menatap jam yang beberapa menit lagi sudah hampir tiga puluh menit.

"Baiklah, Paman mengaku kalah. Kau bisa keluar sekarang!" seru Ichigo akhirnya, setengah tidak rela karena tidak berhasil menemukan keponakan kecilnya itu.

Cklek!

Begitu mendengar pintu apartemennya terbuka dari luar, Ichigo segera melangkah setengah berlari. Ia terperangah begitu melihat Toushiro melangkah masuk dengan senyuman kemenangan yang tercetak di bibirnya.

"Kau… bagaimana bisa tahu password apartemen Paman?" Ichigo bertanya dengan suara sedikit tercekat.

Toushiro berjalan melewati Ichigo dengan bibir yang masih tersenyum penuh kemenangan. "Itu… ra-ha-si-a." Ia sengaja mengeja kata terakhir, lalu terkekeh-kekeh.

Tiba-tiba Ichigo menghampiri bocah itu dan mengangkat tubuhnya dari belakang. Dibawanya Toushiro ke arah sofa panjang dan meletakkannya. "Ini hukuman karena sudah mencoret-coret wajah Paman!" Kedua tangan Ichigo menggelitik tubuh kecil di bawahnya dengan penuh semangat.

"Hyaaa! Hentikan, Paman! Geli! Geliii! Hyaaaaa!" Toushiro menjerit-jerit sambil berusaha menghentikan tangan Ichigo yang menggelitik kedua sisi pinggangnya. Ichigo terkekeh senang, tidak berniat menghentikan hukumannya. "Paman, geliii! Hentikaaan!"

"Minta maaf dulu dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu!"

"Maaf… aku janji tidak akan mengulanginya lagi!"

Ichigo mengangguk puas sambil menghentikan gelitikannya. Napas Toushiro terengah-engah. Bahkan ada setitik air mata di kedua sudut matanya. Ichigo jadi merasa kasihan. Kedua tangannya terulur dan menarik Toushiro dalam pelukannya.

"Maafkan, Paman, ya?" Dielusnya punggung Toushiro dengan lembut sambil mengecup puncak kepala bocah manis itu. Toushiro mengangguk, sebelum ia mendongak.

"Paman, aku lapar."

.

.

Bibir Ichigo tak henti-hentinya tersenyum begitu ia turun dari mobil, dan melangkah menuju pintu depan gedung kantornya. Para karyawannya yang melihat mood direktur mereka yang sedang baik itu bertanya satu dengan yang lain. Biasanya Ichigo akan masuk ke kantornya dengan wajah datar. Jadi, begitu para karyawannya melihat wajah direktur mereka berseri-seri hari ini, pasti ada sesuatu yang terjadi!

Ichigo membuka pintu ruang kerjanya, dan melangkah masuk. Diletakkannya tas kerjanya di atas meja, kemudian ia menghempaskan dirinya di kursi. Tangan kanannya terangkat dan mengelus pipinya. Bayangan saat Toushiro memberinya kecupan kecil di pipinya tadi saat ia berpamitan pergi ke kantor kembali terputar. Ah, keponakan kecilnya itu benar-benar manis!

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu dari luar seketika menarik Ichigo dari lamunannya. Ia berdehem pelan untuk mengembalikan imej berwibawanya, sebelum berkata, "Masuk!"

Seorang wanita melangkah masuk dengan tumpukan kertas di tangannya, "Direktur, ini dokumen-dokumen penting yang harus ditandatangani hari ini." Dengan tergopoh-gopoh, wanita itu mendekati meja Ichigo dan meletakkannya.

"Buatkan kopi untukku," kata Ichigo, sembari membuka laci meja kerjanya dan mengambil kacamata bacanya.

"Ha'i, Direktur!" jawab wanita itu, sebelum ia berbalik keluar.

Begitu pintu tertutup dari luar, Ichigo mulai membaca salah satu dokumen di depannya, sebelum ditandatanganinya.

.

.

Jari telunjuk Ichigo dengan tidak sabar mengisi password di alat yang tertempel di samping pintu apartemennya. Begitu pintu terbuka, ia melangkah masuk sambil berteriak memanggil Toushiro.

"Toushiro, Paman sudah pulang!"

Kedua kening Ichigo mengerut begitu telinganya tidak menangkap suara sahutan. Langkah kakinya berhenti begitu melihat sosok Toushiro yang sedang tertidur di sofa panjang. Televisi berlayar lebar di depannya terus menyala, bungkusan snack, dan minuman kaleng kosong bertebaran di atas meja. Ichigo tersenyum sambil mendekati keponakan kecilnya itu. Telapak tangan Ichigo membelai lembut rambut Toushiro dan turun ke pipi putih itu. Wajah manis ini benar-benar menggemaskan saat sedang tertidur.

"BAA!" seru Toushiro tiba-tiba.

"WUAAA!" Ichigo terlonjak kaget sambil memegang dadanya. Nyaris saja jantungnya copot. "Hei, dasar bocah nakal! Jadi kau hanya pura-pura tidur, ya?"

Toushiro cengar cengir, sembari bangun dari posisi tidurnya. Kedua tangan Ichigo langsung terulur, mencubit kedua pipi Toushiro dengan gemas.

"Paman… yepaaas!" Kedua tangan Toushiro berusaha menyingkirkan kedua tangan Ichigo dari pipinya. Ichigo terkekeh sambil melepaskan cubitannya, kemudian dikecupnya kedua pipi Toushiro.

"Nah, ayo kita buat makan malam sama-sama!"

.

.

Ichigo menopang dagunya dengan satu lengannya di atas meja sambil menatap Toushiro yang duduk di seberang meja. Bibirnya yang sejak tadi tersenyum memperhatikan Toushiro tak kunjung memudar. Toushiro masih menunduk sambil memutar-mutar spaghetti di piringnya dengan garpu di tangannya, kemudian ia menyuapkannya ke dalam mulutnya. Saus tampak terlihat belepotan di sekitar bibir Toushiro. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Ichigo dengan pipi menggembung karena masih mengunyah spaghettinya.

Ichigo terkekeh pelan. Dituangkannya air ke dalam gelas Toushiro yang kosong, dan meletakkannya di samping piring bocah itu. "Bagaimana? Spaghetti buatan Paman enak, kan?"

Toushiro mengangguk-angguk, lalu mengacungkan jari jempolnya ke arah Ichigo. Ichigo kembali terkekeh. Ia mencondongkan tubuhnya dan mengacak-acak puncak kepala Toushiro.

Sendawa kecil keluar dari bibir Toushiro begitu ia selesai meneguk air dari gelasnya. Diangkatnya piring dan gelas kotor di depannya diikuti Ichigo, kemudian keduanya mulai mencuci piring-piring kotor.

"Tadi siang aku masuk ke kamar mandi di kamar Paman," Toushiro memulai celotehannya. "Kamar mandi Paman keren ada jaguci seperti yang pernah kulihat di televisi!"

"Bagaimana kalau malam ini kita berdua berendam di jaguci itu?" Ichigo tersenyum dengan dua alis terangkat. "Kau mau?"

Toushiro menoleh dengan kedua mata berbinar-binar, "Mau!" serunya girang.

.

.

Ichigo menahan napasnya begitu ia melihat Toushiro melepaskan bathrobe yang dipakainya, lalu ikut masuk ke dalam jaguci. Kedua matanya tak berkedip menatap kulit seputih salju tanpa cacat di depannya. Tiba-tiba ia merasa sesuatu di antara selangkangannya mulai bereaksi.

'Aku lebih tertarik dengan sesama jenis.'

Ichigo tersentak begitu kalimatnya yang tempo hari pernah dikatakannya pada Keigo tiba-tiba berbisik keluar. Oh, tidak… ia tidak mungkin mendapat buah simalakama dari perkataan bohongnya! Tidak mungkin!

Untuk kedua kalinya Ichigo kembali tersentak begitu kedua matanya menangkap Toushiro berenang mendekatinya. Bocah manis itu berhenti di depannya sambil meringis.

"Paman, ayo kita main!"

Ichigo membelalak begitu merasakan miliknya semakin bereaksi melihat sosok manis di depannya dalam jarak yang sangat dekat. "Ma-main?" tanyanya dengan suara tergagap-gagap.

Toushiro mengangguk, "Ya. Kita main siapa yang bisa bertahan lama menahan napasnya dalam air di jaguci ini! Bagaimana?"

Kedua mata Ichigo terpejam. Ia merutuki dirinya sambil mengelus-elus junior-nya agar kembali tertidur. Bisa gawat jika Toushiro melihat miliknya berdiri tegak!

"Paman?" Toushiro melambaikan tangannya di depan wajah Ichigo. Pria itu akhirnya membuka mata dan menatapnya.

Tahan dirimu, Ichigo! Toushiro bukan pelampiasan! Dia itu keponakan kecilmu! Ichigo memperingatkan dirinya sendiri dalam hati. Mati-matian ia menahan libidonya yang meletup-letup karena sosok manis di depannya. Ichigo menarik napas lega begitu ia berhasil mengendalikan dirinya.

"Baiklah. Ayo kita main," jawabnya akhirnya.

Toushiro tersenyum lebar. "Aku akan mulai menghitung…" ketiga jarinya terangkat di samping wajahnya, "Satu… dua… tiga!"

Dan dua kepala di atas permukaan air itu tiba-tiba melesat masuk ke dalam air nyaris bersamaan.

.

.

"Kau pasti bercanda soal 'Kau menyukai sesama jenis' tempo hari itu, kan?" Keigo masuk ke dalam ruang kerja Ichigo tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Ichigo meletakkan dokumen yang sedang dibacanya, dan menatap Keigo dengan dua alis terangkat. Agak kaget begitu melihat pria itu baru datang mengacau setelah tiga hari berlalu, padahal biasanya hampir setiap hari ia datang untuk menganggu. "Jawab dengan jujur, Kurosaki Ichigo!" Kedua telapak tangannya menggebrak meja, menatap Ichigo dengan pandangan menunggu.

Ichigo menarik napas panjang. Dilepaskannya kacamatanya, sebelum ia berkata, "Aku berkata jujur." Ia tidak bisa bilang kalau kebohongannya sendiri pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan. Sekarang, ia tertarik pada sesama jenis; pada keponakannya sendiri!

"Ti-tidak mungkin!" Keigo termundur dengan wajah horor. "TIDAK MUNGKIIIN!" pekiknya histeris. Ichigo menutup telinganya dengan kedua tangannya.

"Berisik! Cepat keluar dari ruanganku kalau kau hanya menjerit-jerit seperti wanita yang kehilangan keperawanannya!"

"APA?!"

"HEI!" Ichigo kehabisan kesabaran. Disambarnya gagang telepon di atas meja kerjanya. Jari telunjuknya yang sudah terulur menekan tombol darurat sontak berhenti, dan ia menatap Keigo. "Keluar sekarang atau kupanggil security untuk menyeretmu keluar?"

Kedua mata Keigo membelalak. Bibirnya yang sudah terbuka kembali mengatup begitu Ichigo menunjuk pintu dengan dua alis terangkat tinggi. Keigo akhirnya memilih opsi pertama; ia berbalik dan menuju pintu.

"Aku masih belum percaya kau seorang gay!" seru Keigo, sebelum ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Ichigo menghembuskan napasnya lewat mulut begitu Keigo sudah menghilang dari pandangannya. Disandarkan punggungnya di kursi yang didudukinya, sembari memijat batang hidungnya. Sejenak, ia merilekskan pikirannya yang tegang karena beradu mulut dengan Keigo tadi. Hingga akhirnya terdengar ketukan dari pintu dari luar.

"Masuk!"

Pintu terbuka dan sekertarisnya berdiri di ambang pintu. "Direktur, rapat akan segera dimulai."

Ichigo mengangguk. Sang sekertaris kembali menutup pintu dari luar. Ichigo menarik napas panjang berulang-ulang kali, sebelum akhirnya ia berdiri dari kursi.

.

.

Toushiro menekan tombol pause di PSP-nya, kemudian ia mendongak menatap jam yang menempel di dinding. Sudah jam sembilan malam lewat dan Ichigo belum juga pulang. Diletakkannya PSP-nya di sampingnya, sembari meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Setelah mendapat nama Ichigo di kontak, ia menekan tombol memanggil dan menempelkannya di telinga.

Kedua kening Toushiro mengerut begitu nomor yang dihubunginya tidak aktif. Kembali ia mencoba menelepon, dan mendapat jawaban yang sama dari sang operator. Dilemparnya ponselnya di atas meja, lalu ia melipat kedua tangan di depan dada.

"Kenapa Paman belum pulang jam begini? Padahal ia selalu pulang jam lima sore!" Toushiro berkata pada dirinya sendiri. Ia mendengus sambil berdiri dari sofa yang didudukinya. Berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan yang masih terlipat di depan dada, kali ini ditambah dengan bibir mengerucut cemberut.

Toushiro tiba-tiba berhenti begitu perutnya berbunyi. Ia kelaparan, dan Ichigo belum juga pulang!

"Paman bodoh!" teriak Toushiro kesal, sembari berjalan menghentak-hentak menuju dapur. Mungkin lebih baik ia mengisi perutnya dengan mie instan, daripada ia mati kelaparan.

Sementara itu, di waktu yang sama namun berbeda tempat…

Ichigo memukul stir mobilnya dengan wajah kesal. Sejak tadi kemacetan parah yang terjadi di jalan tol yang dilewatinya tak kunjung teratasi. Diliriknya jam digital di dashboard mobilnya yang menunjukkan jam sembilan lewat. Ia sudah sangat terlambat pulang ke apartemennya karena rapat tadi yang berlangsung selama tiga jam!

"Sialan!" Ichigo melempar ponselnya yang sudah mati total karena kehabisan baterei sejak ia keluar dari basement kantornya. Toushiro pasti sudah meneleponnya. Bagaimana ia bisa mengabari keponakan kecilnya itu kalau ponselnya ini tak bisa digunakan? Dan kemacetan parah ini akan berlangsung sangat lama. Ugh!

.

.

Jam setengah 12 malam, saat mobil Ichigo akhirnya memasuki basement apartemennya. Ia melangkah keluar dari mobil, dan melangkah terburu-buru menuju lift. Napas Ichigo sedikit terengah begitu ia sudah berada di dalam lift yang membawanya ke lantai 20. Ichigo menghela napas lega begitu pintu besi di depannya akhirnya terbuka. Ia kembali melangkah terburu-buru menuju apartemennya. Begitu ia memasukkan password dan pintu akhirnya terbuka, seketika Ichigo mematung di ambang pintu. Sosok Toushiro duduk tak jauh dari pintu. Bocah itu menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut yang dipeluknya sambil menangis terisak-isak.

"Toushiro? Hei, kenapa kau menangis?" tanya Ichigo dengan suara khawatir.

Toushiro mengangkat wajahnya. Kedua matanya tampak sembap dan memerah akibat terus menangis. "Paman bodoooh!" pekiknya, sembari berdiri.

"Maaf…" Ichigo berhenti di depan Toushiro dan menangkup kedua pipi itu dengan tangannya. "Ada rapat penting di kantor Paman selama tiga jam. Begitu pulang Paman terjebak macet parah di jalan tol yang Paman lewati. Ponsel Paman juga kehabisan baterei, makanya Paman tidak bisa mengabari Toushiro kalau Paman akan pulang terlambat," jelasnya. "Toushiro mau memaafkan Paman, kan?"

Toushiro terdiam sambil menatap kedua mata Ichigo. Lama dipandanginya Ichigo yang memasang wajah bersalah dan memelas, sebelum akhirnya ia mengangguk. Ichigo menghela napas lega dalam hati. Dituntunnya Toushiro menuju sofa panjang yang ada di ruang tamu. "Toushiro sudah makan?" tanyanya, sembari melepas jas dan dasinya.

Toushiro mengangguk, "Aku makan mie instan tadi."

Ichigo meringis. "Maaf… Paman akan membuatkan makan malam sekarang."

"Tidak… tidak usah," Toushiro menggelengkan kepalanya sambil menghapus sisa air mata di kedua pipinya dengan punggung tangannya. "Aku sudah kenyang."

Ichigo semakin merasa bersalah di dalam hatinya karena sudah membuat keponakan kecilnya ini memakan makanan darurat jika tidak ada makanan sama sekali.

"Toushiro menangis karena takut sendirian di apartemen Paman ini, ya?" Ichigo bertanya dengan lembut. Tangan kanannya mengelus-elus puncak kepala Toushiro. Toushiro mengangguk dengan bibir mengerucut. "Kenapa Toushiro tidak menelepon ibu Toushiro agar bisa menemani Toushiro mengobrol sampai Paman pulang?"

Toushiro terdiam. Tiba-tiba ia menundukkan wajahnya. "Aku… tidak mau membuat okaasan khawatir," katanya lirih.

"Kenapa?" Kedua alis Ichigo terangkat. Agak kaget.

"Okaasan sudah cukup terbebani dengan perceraiannya dengan otousan. Karena itu aku tidak mau membuat okaasan semakin terbebani…"

Ichigo membelalak. Kaget mendengar penuturan dari bibir Toushiro. "Bagaimana—kau bisa tahu tentang permasalahan yang terjadi di antara kedua orangtuamu, Toushiro?"

Bocah di depannya tiba-tiba mengangkat wajahnya. Sorot matanya menunjukkan luapan amarah yang sudah lama ditahannya. "Karena akulah yang mengirimkan pesan di nomor okaasan agar mendatangi hotel otousan menginap!" serunya dengan suara meninggi. "Saat masih di Beijing, aku selalu menanyakan keberadaan otousan dari okaasan, dan jawaban okaasan selalu saja 'otousan sedang sibuk dengan pekerjaannya makanya tidak sempat pulang ke rumah'. Awalnya aku percaya, tapi begitu sudah hampir setahun otousan tak juga pulang, aku mulai mencarinya. Otousan tak ada di Beijing begitu kutanyakan salah satu karyawan di kantornya. Katanya otousan sedang ada di Jepang, makanya aku terbang ke Jepang, dan aku menemukan otousan di hotel yang ada di Jepang. Otousan ada di dalam salah satu kamar di hotel itu, bersama dengan sekertarisnya. Mereka ada di atas tempat tidur tanpa memakai pakaian. Dan—"

Perkataan Toushiro terhenti begitu Ichigo membekap mulutnya tiba-tiba. "Lewatkan saja bagian yang layak disensor itu. Aku akan menanyakannya nanti bagaimana kau bisa melihatnya!"

Toushiro mengangguk begitu Ichigo menurunkan tangannya dari mulutnya. "Aku langsung terbang kembali ke Beijing. Begitu aku sampai di rumah untuk memberi tahu okaasan semua yang kulihat, okaasan lebih dulu mengomeliku karena mengetahui aku membolos sekolah dari wali kelasku. Akhirnya aku tidak ada kesempatan memberi tahu okaasan, dan memilih cara menyampaikannya lewat pesan dari nomor telepon baru yang kubeli."

Jeda itu digunakan Ichigo untuk bertanya. "Dari mana kau mendapatkan uang untuk terbang bolak-balik Beijing-Jepang? Dan nomor telepon baru yang kau beli itu?"

"Aku menggunakan black card yang diberikan otousan padaku secara diam-diam saat ulang tahunku tahun lalu."

Ichigo bengong. Tidak menyangka bocah di depannya ini bisa menggunakan benda idaman para shopaholic itu dengan sangat baik.

"Okaasan selalu mengatakan ia percaya pada otousan, tanpa menyadari kalau otousan sudah berselingkuh di belakangnya. Jika aku tidak memberi tahunya lewat pesan itu, mungkin sampai sekarang ia masih mempercayai semua perkataan otousan!" Air mata Toushiro sudah kembali mengumpul di kedua pelupuk matanya. Ia kembali berkata sambil terisak, "Hiks—aku sebenarnya tidak mau mereka bercerai. Tapi, karena otousan sudah menyakiti hati okaasan—hiks… mungkin memang lebih baik mereka bercerai saja!" Tangis Toushiro akhirnya pecah.

Ichigo tercekat, sebelum ia menarik tubuh kecil yang rapuh itu dalam pelukannya. Dibiarkannya Toushiro terus menangis, meluapkan semua beban yang selama ini disimpannya rapat-rapat.

Sejujurnya Ichigo tak bisa menutupi rasa terkejutnya begitu mendengar setiap perkataan Toushiro tadi. Tak menyangka keponakannya yang masih berumur 13 tahun ini bisa berpikir dan bertindak layaknya orang dewasa. Padahal pada masa-masa seperti ini Toushiro masih belum layak mengalami masa transisi yang menuntunnya ke arah kedewasaan. Ia masih terlalu muda untuk mengetahui semua hal yang terjadi di sekitarnya.

Ichigo menarik napas panjang sambil mengelus-elus belakang kepala Toushiro. "Menangislah sepuasnya. Karena Paman akan terus berada di sampingmu."

.

.

"Bagaimana kalau hari ini kita pergi ke taman bermain?" Ichigo berkata dengan dua alis terangkat begitu keesokan paginya keduanya duduk saling berhadapan di meja makan.

Toushiro yang baru saja akan menuangkan susu ke dalam mangkuk serealnya sontak menoleh. "Memang Paman tidak ke kantor?"

Ichigo menggeleng sambil tersenyum, "Paman akan libur untuk hari ini dan menemanimu bermain sepuasnya di taman bermain. Toushiro mau, kan?"

"Tentu saja, mau!" sahut Toushiro cepat. Ia mengaduk-aduk serealnya, sebelum dilahapnya dengan penuh semangat.

.

.

Suara dari setiap permainan yang ada di taman bermain itu bercampur jadi satu dengan seruan serta teriakan para pengunjung begitu Ichigo dan Toushiro melangkah masuk. Kedua mata Toushiro memandang takjub semua permainan yang ada di depan matanya. Sementara Ichigo, tak melepaskan genggaman tangannya dari Toushiro. Terlalu banyak pengunjung di tempat bermain terbesar di Jepang ini, makanya ia tak ingin Toushiro tersesat.

"Paman, aku mau naik yang itu!" Toushiro menunjuk-nunjuk jet coaster yang berputar-putar di rel spiral yang dilewatinya.

Ichigo menelan ludah dengan wajah horor. Oh, tidak… ia yakin setelah turun dari jet coaster itu pasti akan muntah-muntah. "Kita naik yang lain saja, ya? Lihat, antriannya masih panjang begitu," kata Ichigo, sembari menunjuk antrian yang memang masih panjang,

"Tidak mau! Mau naik yang itu dulu!" Toushiro bersikeras sambil menghentakkan kedua kakinya.

"Tapi, Toushiro—" Ichigo tak sempat menyelesaikan kalimatnya begitu dilihatnya Toushiro memasang wajah ingin menangis. "Ugh… baiklah. Kita naik itu. Jangan menangis, ya?" Ia akhirnya mengalah.

Toushiro mengangguk. Ditariknya lengan Ichigo agar menuju antrian dengan bibir menahan seringaian. Tak menyangka akting memasang wajah ingin menangisnya tadi benar-benar ampuh membuat Ichigo mengalah!

Antrian mereka sedikit demi sedikit maju. Ichigo terus berdoa dalam hati agar Toushiro menyerah karena menunggu terlalu lama, dan mengajaknya naik permainan yang lain. Sayang, doa Ichigo tidak terkabul begitu mereka akhirnya duduk di jet coaster. Dan lagi, mereka mendapat tempat duduk bagian terdepan! Benar-benar kursi maut!

Jet coaster itu mulai berjalan. Ichigo mulai panik di dalam hati, tapi tidak ditunjukkannya di depan Toushiro. Benda itu mulai bergerak naik ke tanjakan tinggi pertama, berhenti sesaat, sebelum akhirnya melesat dengan kecepatan tak terduga. Saat itu Ichigo seperti merasa jiwanya melayang-layang keluar.

.

.

"Paman, setelah ini kita bermain yang itu, ya?" Jari telunjuk Toushiro menunjuk permainan go-cart yang tak jauh dari tempat makan siang mereka. Ichigo menoleh sekilas, sebelum ia kembali menyandarkan dahinya di atas meja.

"Baiklah. Tapi biarkan Paman beristirahat sebentar dulu di sini, ya? Paman capek."

Toushiro mengangguk-angguk sambil menyeruput minuman dingin dari gelasnya. Kedua matanya terus mengedar ke sekeliling sambil menyuapkan kentang goreng ke dalam mulutnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya sedang berjalan digandeng kedua ayah dan ibunya di kedua sisi. Ichigo yang baru saja mengangkat wajahnya langsung menatap ke arah pandang yang sama dengan Toushiro. Ia kembali menatap Toushiro yang masih belum menoleh dari keluarga kecil itu.

"Nah, ayo! Kita bermain go-cart itu!" Ichigo berdiri dari kursinya tiba-tiba sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Toushiro. "Ayo!"

Toushiro menerima uluran tangan Ichigo dengan bibir tersenyum manis. "Ayo!"

.

.

Langit sudah berubah jadi gelap dan ditaburi bintang-bintang begitu mobil Ichigo keluar dari parkiran. Toushiro menyalakan PSP-nya untuk melanjutkan permainan di dunia dua dimensinya. Pandangan mata Ichigo sesekali beralih dari jalan di depannya ke samping kanannya untuk melirik Toushiro.

15 menit berlalu, dan kedua mata Toushiro sayup-sayup mulai terpejam. Akhirnya ia tertidur karena tak bisa menahan rasa lelahnya. Ichigo menoleh begitu telinganya tidak mendengar suara-suara dari PSP yang dimainkan Toushiro. Dan begitu melihat keponakannya sudah tertidur, tanpa sadar sebuah senyum melengkung di bibirnya.

Jam sepuluh tepat, begitu mobil Ichigo akhirnya sampai di basement apartemennya. Ia mematikan mesin mobil dan melangkah keluar. Kemudian memutari mobilnya dari depan dan menuju pintu depan di samping pengemudi. Dibukanya pintu dan membawa Toushiro dalam gendongannya.

Begitu sampai di dalam apartemennya, Ichigo langsung menuju kamar Toushiro dan meletakkan tubuh kecil itu dengan hati-hati agar tidak terbangun. Dilepaskannya jaket dan sepatu dari kedua kaki Toushiro, sebelum ditariknya selimut hingga sebatas dada. Kedua mata Ichigo tak menoleh dari wajah manis yang sedang tertidur itu. Tangan kanannya terulur dan membelai pipi Toushiro dengan lembut. Ibu jarinya tiba-tiba bergerak sendiri untuk mengelus bibir merah kecil Toushiro. Kali ini Ichigo tak bisa menahan dirinya begitu wajahnya merendah, dan mengecup bibir Toushiro. Ichigo menarik bibirnya sambil menatap wajah manis yang hanya sejengkal dengan wajahnya. Napas Ichigo mulai memburu. Untuk kedua kalinya, ia kembali menempelkan bibirnya pada bibir Toushiro.

.

.

"Apa Toushiro berbuat nakal dan tidak mau mendengarkanmu?" tanya Retsu begitu Ichigo baru saja membuka pintu. Hari ini wanita itu datang ke apartemen Ichigo untuk menjemput Toushiro.

"Aku tidak berbuat nakal, Okaasan!" sahut Toushiro yang baru keluar dari kamar. Ia berlari ke arah ibunya dan memeluknya erat. "Aku kan anak baik. Benarkan Paman?" Ia menoleh dan menatap Ichigo, kemudian mengedipkan sebelah matanya. Mengisyaratkan agar Ichigo membenarkan perkataannya.

Ichigo tersenyum geli, "Ya, benar."

"Benarkah?" Kedua mata Retsu menyipit curiga. Toushiro mengangguk-angguk sambil memasang wajah polos. Retsu akhirnya percaya. "Baiklah. Kau sudah membereskan kopermu, kan?"

"Sudah!" sahut Toushiro cepat, kemudian melepaskan pelukan ibunya dan berlari ke kamar.

Tak lama kemudian, bocah itu sudah kembali dengan koper berukuran kecil yang ditariknya. Ichigo masih terdiam di posisinya begitu keponakan kecilnya itu berjalan melewatinya. Entah kenapa dia tidak mau Toushiro pergi dari sini.

"Ayo, pamitan pada Paman Ichigo sebelum kita pergi!"

Toushiro berbalik dan mendongak dengan bibir tersenyum, "Sampai jumpa lagi, Paman!" Tangan kanannya melambai-lambai ke arah Ichigo. Ichigo tersenyum dengan terpaksa sambil membalas lambaian itu.

"Ichigo, kami pergi ya? Arigato sudah menjaga Toushiro selama seminggu ini." Retsu mengangguk ke arah Ichigo, lalu meraih salah satu tangan Toushiro. Mengajak putra satu-satunya itu untuk pergi.

Ichigo terus memandangi kedua sosok itu dari ambang pintu apartemennya. Keponakan kecilnya itu tampak asyik bercerita pada ibunya yang sesekali tertawa renyah. Menarik napas berat, Ichigo berbalik dan menutup pintu apartemennya. Ia berjalan gontai ke arah sofa panjang di ruang tamu, dan menghempaskan tubuhnya. Sekarang, apartemennya ini kembali sunyi lagi tanpa kehadiran Toushiro. Punggung lengannya menutup kedua matanya, mengenang kembali kenangannya bersama Toushiro selama seminggu ini. Hingga bel apartemennya berbunyi.

"Siapa lagi yang datang?" Ichigo berdecak, sembari bangun dari posisi tidurnya. Ia berjalan menuju pintu sambil menebak-nebak siapa yang datang; mungkin Keigo atau para mantannya. Kalau yang datang makhluk-makhluk seperti itu, ia akan segera mengusirnya!

Pintu dibuka dan raut wajah Ichigo berubah kaget. Kedua matanya membulat begitu melihat Toushiro berdiri sambil memainkan kedua jari telunjuknya di depan dada.

"Aku sudah meminta okaasan agar bisa seminggu lagi tinggal di sini, Paman~" katanya sambil cengar cengir.

Kedua tangan Ichigo langsung terulur dan mengangkat tubuh kecil Toushiro ke udara. "Kalau begitu siapkan dirimu, karena seminggu ini kita akan terus bermain!"

"Bermain apa, Paman?" Toushiro penasaran.

Ichigo tersenyum penuh makna. Dikecupnya sekilas salah satu pipi Toushiro, "Itu… ra-ha-si-a~" ia meniru kalimat Toushiro tempo hari. Toushiro mengerucutkan bibirnya.

Tiba-tiba tangan Toushiro mengambil sesuatu dari saku jaketnya. "Sebelum pergi tadi aku diam-diam mengambil ini dari laci di kamar Paman," ditunjukkannya sebuah kondom yang masih tersegel plastik di depan wajah Ichigo. "Ini apa, Paman? Permen karet baru, ya?"

Ichigo ternganga, sebelum ia menjawab, "Itu bukan permen karet. Itu…" Ichigo sengaja menggantung kalimatnya. Bibirnya tiba-tiba menyeringai, "Kau harus Paman 'hukum'!"

"Tidak! Jangan gelitiki aku lagiii!"

.

.

.


Selesai