Chapter 1 : Introducing

.

.

.

Di sebuah depan gedung yang didominasi oleh cat berwarna abu keperakan, berdiri seorang pemuda berambut pirang dengan warna iris mata senada dengan langit musim panas, biru cerah. Dia mengenakan kemeja putih yang di bagian saku di dadanya ada lambang sekolahnya, Aoto Gakuen, celana panjang berwarna hitam dan jas almamater sekolahnya yang juga berwarna hitam.

Sebuah bis berhenti di depannya.

"Oliver-kun! Matte yo!" teriak seorang gadis berambut hitam dengan kuncir dua pendek. Pendek dalam artian dua hal, pendek badan dan letak kunciran.

Yup, namanya Oliver. Nigaine Oliver.

"Oi, Yuki! Larimu lambat sekali! Buruan dikit, 'napa?!" balas Oliver kejam.

BUHG!

Gadis berkuncir dua dan mengenakan seragam yang berbeda dengan Oliver itu menendang pantat Oliver.

"Memangnya siapa yang menyuruhku menunggu persetujuan laporan misi? Kau-"

"AKH! BISNYA!" Yuki memotong ucapannya dan berteriak berbarengan dengan Mikuo.

Mereka berlari mengejar bis itu bersamaan.

.

.

.

Disclaimer : Vocaloid (c) Yamaha Corp., Crypton Future Media, AHS, etc.

Fanloid is their own developer's mine.

This story is MINE!

Warning : AU, OOC, child abusing (at flashback), typo(s), misstypo(s), crack, etc.

FOR EVENT MINOR CHARA PARADISE!

HAPPY READING!

.

.

.

Oliver sampai di sekolahnya setelah berjalan beberapa belas meter dari perhentian bis.

Baru sampai di gerbang dia mengeluarkan ponselnya, mencoloknya dengan earphone-nya, dan mulai mendengarkan lagu dengan volume suara yang lumayan tinggi.

Dia mulai melintasi halaman sekolah dan menaikkan satu tingkat volume suara musiknya lagi.

Kenapa?

"Aa, ohisashiburi desu, ne, Nigaine-kun? Tumben nggak ada luka di wajah sialanmu,"

"Inikah si Nigaine pembawa sial itu? Oi, hoi, sekarang dia mau membuka loker sepatunya."

Selagi siswa lain mengejeknya, Oliver hanya memutar matanya sambil membuka loker sepatunya.

Bau dupa menyeruak.

Di depan mata Oliver, ada sebuah dupa yang masih menyala dan foto dirinya.

Dia menghela nafas.

-Aku bosan dengan tindakan seperti ini.

Dia mencopot sebelah pin earphone-nya. Dia mengambil dupa tersebut dan membuang ke tempat sampah. Dia memasang earphone-nya kembali.

Dia mengganti sepatunya, melupakan bentuk kejahilan baru di pagi ini.

Tiba-tiba, kepala belakang Oliver mendapat sebuah tinjuan gratis di pagi hari.

PUK! Sebuah benda super tipis berwarna tosca berbentuk lingkaran jatuh dari mata kanan Oliver. Lensa kontaknya.

"Hei, kau kemanakan dupa itu?!"

Suara itu, suara yang paling dibencinya.

"Kalau aku buang memangnya kenapa?" jawab Oliver menantang sambil menutupi mata kanannya sementara tangan kirinya terlihat menyembunyikan sesuatu.

Pemuda berambut pirang sama sepertinya itu menarik tangan Oliver dan melihat lensa kontak yang kotor itu menempel (?) di telapak tangan Oliver.

Belum sempat Oliver merebut lensa kontaknya itu, pemuda berambut pirang itu sudah merebutnya duluan.

"Yohio, sialan, kembalikan benda itu! Sialan kau, datang liburan bikin masalah!"

"Ooh, lensa kontaknya copot," ledek pemuda berambut pirang bernama Yohio itu sambil menarik kedua sisi lensa itu. "Uh, bagaimana rasanya kalau benda ini kurusak? Ups, maksudnya, kurusak."

Yohio merobek lensa kontak itu.

Oliver melepaskan tangannya dari mata kanannya.

"Hei, kutunggu kau pulang sekolah, Yohio ouji-sama." ucap Oliver datar dan dingin.

Oliver meninggalkan loker sepatu dengan mata kanan tertutup.

.

.

.

(Oliver PoV)

.

.

Sial, ini masih pagi dan entah kesialan level berapa harus menimpaku kali ini. Aku mencopot earphone-ku dan menarik earphone-nya dari port di ponselku asal. Tidak ada musik terdengar, begitulah sistem ponselku yang bekerja jika aku mencopot earphone saat lagu masih berputar.

Aku berlari menuju toilet dan mencari kotak lensa kontakku di dalam ranselku. Setelah menemukannya, aku segera mengambil lensa kontak yang masih basah oleh cairan pelindungnya dengan ujung jari telunjukku. Aku membuka kelopak mata kananku dan melihat pantulan bayangan diriku di cermin, lebih tepatnya pada pantulan bayangan mata kananku sendiri.

Merah. Merah seperti darah.

Bola mata kananku memang berwarna merah. Berbeda dengan mata kananku yang berwarna biru.

Bola mata kutukan, lambang kegagalan keluargaku.

Aku mengerjap-ngerjap mataku supaya lensa kontak di mata kananku bisa menempel sesuai dengan irisku.

Bel masuk berbunyi dan aku segera bergegas menuju kelasku.

.

.

.

(Author's PoV)

.

.

.

Oliver duduk di kelas 2-D, kelas yang berisi siswa 'gagal'. Kelas yang berisi 30 siswa ini, tak cuma berisi anak-anak yang gagal dalam prestasi tapi juga anak-anak yang gagal dalam pergaulan rumah dan keluarga.

Singkat kata, kelas ini berisi siswa putus asa.

"Nigaine-kun, tolong bacakan paragraf selanjutnya." Avanna-sensei, guru sejarah, wali kelas mereka, meminta Oliver membaca paragraf lanjutan tentang perang di Edo-jidai itu.

Oliver mengusap matanya yang berat (astaga, sejarah itu mirip dengan bed-time story).

Meskipun sejarah adalah salah satu pelajaran yang sangat membosankan, seluruh siswa tetap memperhatikan pelajaran yang satu ini. Kenapa? Karena wali kelas mereka, Avanna-sensei adalah orang yang sangat memperjuangkan mereka.

Dia berdiri dan membaca kelanjutan ceritanya sampai Avanne-sensei mengatakan 'cukup'.

Sebelum dia duduk kembali di kursinya, dia melihat sekelompok siswa dengan pita merah dan sederetan huruf yang dibaca sebagai 'Komite Kedisiplinan Sekolah' di lengan kanan jas almamater mereka membawa masing-masing sebuah kapak atau palu besar.

BRAK! PRANG!

Mereka menghancurkan sebuah bangku.

"Nigaine-kun, silahkan duduk,"

Tanpa diminta Oliver pasti akan langsung duduk tapi untuk urusan yang satu ini, Oliver benar-benar tidak bisa duduk dan melihat...

... hasil kerja keras anak-anak terbelakang, anak-anak di kelasnya juga dirinya, sebulan lalu untuk membuat bangku taman di beberapa spot yang ditentukan sekolah dihancurkan begitu saja oleh anggota Komite Kedisiplinan yang diketuai, Yohio, kakaknya.

Shit.

Suara penghancuran terdengar lebih keras lagi. Seluruh murid di kelas 2-D mulai mendekati jendela yang terarah ke lapang sekolah.

"Anak-anak, kembali ke bangku kalian!" Avanna-sensei memukul papan tulis untuk menarik perhatian para siswa.

Terjadi keheningan sementara.

"Sensei," seorang gadis berambut merah muda berkepang dua angkat bicara, "bangku taman hasil kerja keras kita dihancurkan dan diganti dengan yang lebih bagus."

Manik zamrud milik Avanna-sensei melebar. Dia berjalan menuju jendela dan kedua tangannya membentuk sebuah tinju.

"Pelajaran kuhentikan sementara,"

30 pasang mata menatap Avanna-sensei. Avanna-sensei melempar bukunya ke mejanya di kelas.

"Utatane-kun, Nijikura-san, Nigaine-san ikut aku." suara Avanna-sensei terdengar menyeramkan.

Dia melangkah keluar kelas diekori oleh tiga orang muridnya.

"Sensei, apa yang akan kita lakukan?" Utatane Piko, sang ketua kelas, bertanya.

"Kalian hadapi anggota Komite Kedisplinan, sensei yang akan bertanggung jawab. Sementara sensei sendiri, akan membuat perhitungan dengan kepala sekolah," jawab Avanna-sensei tegas. "Jika ada perkelahian, lakukan saja. Ini namanya tindakan penghancuran harga diri kalian. Sekarang kalian pergi ke lapangan dan hentikan tindakan mereka!"

"Ha'i!"

Piko, Rana, dan Oliver pergi ke lapangan.

"Hentikan!" Rana berteriak. Gadis merah muda berkepang dua itu menarik kerah baju seorang siswa dari belakang.

"Nijikura-san ambil palunya," perintah Piko sambil merebut sebuah kapak dari salah satu anggota Komite.

-Sialan, anak kelas terbelakang pada bermunculan..

Oliver mendengar isi pikiran anggota Komite di depannya saat dia menatap anggota Komite tersebut.

"Lalu, memangnya kenapa jika anak kelas terbelakang bermunculan?" tanya Oliver dingin.

Shion Nigaito, nama anggota Komite yang ditatap Oliver, memucat. Bahunya melemas dan dia menatap Oliver takut.

-Bagaimana bisa?

"Kau penasaran kenapa aku bisa mendengarku 'suara'mu sepertinya tak perlu kujelaskan karena terlalu panjang," ucap Oliver dan Nigaito tambah pucat. "Dimana Yohio?"

"Di.. di.. sana! Di taman sekolah!" Nigaito menunjuk asal saking takutnya. "Jangan tatap aku! Kau membuat dadaku sesak!"

"Tsk," Oliver mendecak. "Kalau begitu jangan berpikir jika aku menatapmu."

Oliver berjalan cepat menuju taman sekolah.

"Kuharap aku tak pernah bertemu denganmu lagi!" teriak Nigaito.

Oliver berbalik dan menutup mata kanannya. "Selamat kau orang keseratus yang berharap tak bertemu denganku lagi!~ Besok kukirim sebuah piring dan payung cantik ke rumahmu!~"

Utatane Piko masih beradu mulut dengan salah satu koordinator Komite. Urat-urat di pelipisnya bermunculan, tanda dia benar-benar berada di limit emosinya.

"Piko, aku ke taman belakang!" Oliver berteriak meminta izin. Ketika dia berpapasan dengan Rana dan lawan bicaranya, Oliver membuka sedikit mata kanannya. "Rana-chan, sebaiknya kau segera memukul Tonio-san, dia sebentar lagi dia akan memukulmu."

Tonio membeku di tempat dan Rana mendaratkan tinjunya.

"Itu untuk bangku yang dibuat Luo-chan dan Mizki-chan!" teriak Rana ketika Tonio ambruk ke tanah.

-Jangan pernah remehkan kekuatan anak-anak terbelakang, ingat itu!

Oliver sampai di taman sekolah dan melihat Yohio yang hendak menghancurkan sebuah bangku.

BRAK! Bangku itu dihancurkan oleh Yohio dengan kapaknya.

"Nee, Oliver, kau ingatkan saat aku menghancurkan hasil kerja kerasmu?" ucap Yohio sambil menyeringai dan meletakkan kapaknya di bahu.

Dengan keringat yang melapisi wajah Yohio, dan jas almamater yang terlingkar di pinggang sementara pita 'Ketua Komite Kedisiplinan Sekolah' tersemat di lengan kemeja putihnya, Yohio mungkin akan terlihat keren.

Tetapi Oliver menutup mata kanannya, tak pernah sudi membiarkan mata kanannya melihat Yohio...

... atau sesuatu yang menyakitkan akan terdengar di kepalanya.

"Jika tidak, bagaimana?" tanya Oliver dengan nada menantang.

Oliver memang ingat soal kejadian itu. Yohio membuka memori lama Oliver.

.

.

.

(flashback)

.

.

.

Jam 7 malam, Oliver yang masih kelas 4 SD, baru pulang sekolah dengan membawa 3 buah kantung belanjaan di tangan kanan dan kirinya.

Dia merasa lelah. Hei, ketika dia baru sampai di gerbang sekolah, berniat untuk menunggu Yuki dan mengajaknya pulang bersama. Lalu tiba-tiba ibunya yang kebetulan menjemput kakak kembarnya, Yohio, mencegatnya dan menyodorkannya sebuah amplop tanpa berkata apa-apa.

"Kami pulang jam delapan. Kau harus ada di rumah sebelum kami kembali dan semua yang ada di daftar itu harus ada. Jika ada satu yang tidak kau beli maka kau akan tau akibatnya,"

Setelah itu, mereka berdua pergi, entah kemana.

Yah, Oliver tidak peduli mereka pergi kemana.

Oliver membuka amplop tersebut. Ada beberapa lembar uang dan selembar kertas berisi daftar kebutuhan sehari-hari yang mesti dipenuhi.

"Oliver-kun, ayo pulang!" Yuki meraih pergelangan tangan Oliver dan menariknya.

"Yu-Yuki, oi, jangan tarik tanganku!"

Yuki melepaskan borgolan tangannya dan nyengir kuda. "Kalau gitu ayo pulang! Ada anime yang harus kutonton!"

"Jangan bilang kalau Himitsu Keisatsu main lagi malam ini!?"

Yuki mengangguk cepat.

"Tapi aku harus ke supermarket," Oliver menghela nafas.

"Yah, sayang..." Yuki berkata dengan nada sedih. "Uhm, begini saja. Akan kurekamkan untukmu animenya!"

"Memangnya kau bisa?"

"Mudah saja, aku bisa minta Kiyo-nii untuk merekamnya. Televisiku sudah canggih tau." Yuki menggembungkan pipinya imut.

"Baiklah, terima kasih. Ah, aku harus buru-buru! Jaa nee~" Oliver melambaikan tangannya seraya berlari menuju jalan ke pusat kota.

"Jaa~" sahut Yuki sambil menarik tangan seorang gadis sebayanya. "Oh, Megpoid-san, ayo pulang bareng!"

.

.

.

.

Oliver mendapatkan semua yang ada di dalam daftar dan semua barang itu ditaruh dalam troli.

Sekarang sambil menunggu antrian di depannya terurai, Oliver berpikir bagaimana cara membawa semua barang itu.

Jika diseret, maka kantungnya pasti terkikis lalu sobek. Jika naik kendaraan, mana mungkin! Kembalian dari belanjaan ini hanya setara dengan sebatang ice cream.

"Halo, adik manis, sini biar aku hitung," sang pramuniaga mulai mengambil satu per satu barang di troli Oliver dan memindainya dengan barcode scanner.

Setelah proses pembayaran dan pengemasan barang belanjaan selesai, Oliver mengangkat satu per satu kantung belanjaannya.

"Hei, orang tuamu dimana? Biar kupanggilkan,"

Oliver menggerakkan matanya untuk menatap pramuniaga berambut hitam pendek itu.

-Orang tua macam apa yang membiarkan anak kecil belanja? Mereka itu bodoh, 'ya?

Oliver menekan pelipisnya. Fenomena suara yang tiba-tiba terdengar di dalam kepalanya benar-benar mengganggu.

"Err, ibuku sudah menunggu di parkiran di butik sana," jawab Oliver.

-Tuh 'kan, sudah kuduga! Orang tuanya bodoh!

Oliver mengerang pelan. Ini benar-benar tak lucu!

"Terima kasih. Sepertinya aku akan menghambat antriannya," Oliver membungkuk. "Nee-san benar soal orang tuaku. Mereka memang bodoh."

Pramuniaga berambut hitam itu kaget. Tapi sebelum dia bertanya, Oliver sudah pergi dengan kantong belanjaannya.

.

.

.

Oliver merasa tangannya akan putus ketika dia sampai rumah. Sekujur tangannya keram. Otot lengannya tegang semua.

'Akhirnya sampai,' gumam Oliver lesu.

Dia melepas satu kantung belanjaannya, mengambil kunci rumah cadangan di sakunya dan membuka pintu.

"Tadaima," ucapnya masih lemas. Dia melepas sepatunya dan menyeret ketiga kantung belanjaannya.

Dia menyeret belanjaannya sampai ke depan kulkas dan menjatuhkan dirinya saking lemasnya.

Dia membuka pintu kulkas dan mengambil satu botol teh miliknya yang disembunyikan di bawah tumpukan sayur yang tersisa.

Dia meninggalkan semua barang belanjaannya dan berjalan menuju kamarnya yang berada di dekat gudang.

Masa bodoh soal mandi. Dia benar-benar lelah.

Dia menghempaskan dirinya ke atas futon yang tadi pagi belum sempat diberesinya setelah melempar tasnya ke sudut ruangan.

Kakinya lemas dan kepalanya pening. Perutnya terus berbunyi, minta diisi, dan mata kanannya terasa sakit lagi.

Ah, berapa kali suara di dalam kepalanya terdengar hari ini?

Meskipun Oliver tidak menghitungnya, setidaknya Oliver yakin kalau dia cukup banyak mengalami fenomena super menyebalkan itu.

Pening di kepalanya semakin menjadi dan beberapa menit kemudian dia sudah terlelap di futon tipisnya.

.

.

.

.

Oliver segera terbangun ketika dia merasakan rambutnya dijambak sangat kuat.

"A-a-a! Lepaskan! Adu-aduh, lepaskan!" Oliver meronta.

Dengan posisi berlutut dan tangannya berusaha menggapai tangan lentik yang dia yakini sebagai tangan ibunya yang berada di belakangnya.

"Bukankah kubilang bahwa kau harus belanja?!"

Lola, ibu Oliver, melepas jenggutannya di rambut Oliver dan bertanya garang.

Oliver mengelus pucuk kepalanya yang dijenggut. "A-aku sudah belanja. Su-sudah dapat semua kok,"

Oliver tak pernah mau memandang ibunya. Terlalu menyakitkan jika suara itu didengarnya.

"Ooh, kalau begitu, kau ikut aku!" Lola menarik tangan Oliver lalu menendangnya agar anak itu turun dengan segera.

Lola tidak menggunakan perhitungan ketika menendang Oliver untuk segera menuruni tangga-

Lola memang kejam, ngapain dia harus menggunakan perhitungan jika hendak menyiksa anak sialnya?

Lola menendangnya ketika Oliver hendak melangkah sebelah kakinya untuk menuruni anak tangga.

Tak ayal, Oliver segera kehilangan keseimbangannya dan jatuh meluncur dan sesekali menabrak anak tangga. Secara tidak sadar, Oliver meletakkan sebelah tangannya ke anak tangga dan dengan gaya dorongan akibat terjatuh itu, Oliver berhasil melentingkan dirinya supaya berhenti meluncur.

Kepalanya berdenyut sakit. Lima kali tabrakan dengan anak tangga memang lumayan rasa sakitnya.

Dia merasakan tangan kanannya mati rasa saking sakitnya. Entah patah atau remuk, pokoknya Oliver sudah tidak bisa merasakan tangan kanannya.

"Lihat apa yang kau perbuat!" Lola berteriak dari ujung tangga.

Tangga tersebut memang langsung terhubung ke dapur.

Oliver menggenggam tangannya yang terasa mulai terasa sakit dan melihat ke arah dapur.

Iris azure itu membulat. Belanjaannya yang seingatnya masih terbungkus sempurna dalam kantung belanjaanya kini berantakan.

Sayuran bercecer kemana-mana. Daging-daging beku terserak di lantai dan barang-barang lain juga bernasib sama. Bahkan botol-botol saus dan kecap pecah.

"Aku tidak menyuruhmu untuk mengacak-acaknya, ingat?!"

Lola menuruni tangga dan menendang pipi Oliver.

Oliver meneteskan air matanya. Satu demi satu sampai terbentuk aliran air mata yang sangat deras.

Tanpa sengaja, Oliver menatap mata Lola.

-Anak tidak berguna! Anak sialan!

Oliver segera menunduk sebelum suara-suara itu memenuhi kepalanya.

"Bersihkan dalam waktu 10 menit atau aku akan memotong tanganmu!"

"Ha-ha'i," Oliver menjawab dan dia mulai merapikan dapur dengan sebelah tangannya.

.

.

.

Kini Oliver akan mengepel lantai. Setelah mengusahakan tangan kirinya untuk bisa memeras kain pel (tangan kanannya akan terasa sakit bila dia menggerakannya sedikkiittt saja). Dia akan mulai mengepel dengan sedikir bantuan bahunya untuk menahan ujung tongkat pel.

"Itu salahmu karena kau tak membelikan coklatku," tiba-tiba suara kakak kembarnya terdengar. Dengan malas, Oliver menghadapi Yohio.

-Kasihan sekali.. Kenapa dia masih hidup?

"Hei, aku tidak butuh belas kasihanmu, Yohio-sama." ucap Oliver setelah dia mendengar suara di kepalanya.

"Ka-kau bilang apa?!" Yohio benar-benar tak bisa menutupi kekagetannya.

-Bagaimana dia bisa membaca pikiranku?!

"Tidak usah bertanya, bagaimana aku bisa membacamu, tapi di daftar itu tidak ada coklat. Baca sendiri." Oliver melempar struk belanjaannya yang sebelumnya masih tersimpan di saku celananya.

Yohio mengambil struk belanjaan tersebut dan mulai membacanya.

Air mukanya menunjukkan sedikit rasa bersalah.

"Aku berterima kasih karena kau telah mematahkan tanganku," Oliver berkata sinis.

"Sama-sama," Yohio menjawab tak paham maksud sarkasme Oliver.

.

.

.

(Flashbask end)

.

.

.

Yohio menyeringai. "Waktu itu mata kananmu belum berubah merah." Yohio mengejek Oliver.

"Memangnya kenapa?" Oliver bertanya balik masih dengan nada dingin.

"Lepaskan lensa kontakmu," Yohio mengendurkan dasinya dan melepas jas almamaternya. "Kita selesai urusan kita tadi pagi disini. Ayo, maju!"

Yohio memasang ancang-ancang berkelahinya.

Oliver hanya membuka kancing jasnya dan mengendurkan dasi. Dia mengeluarkan kotak lensa kontaknya dan mencopot kontak lensa berwarna azure di matanya dan menyimpannya dalam kotak berisi air itu.

Oliver maju dan Yohio melepaskan sebuah tendangan memutar menuju leher Oliver.

Oliver menahan kaki Yohio dan memelintirnya.

"Kuperingatkan padamu, meski kita satu ayah beda ibu, aku memiliki nasib yang berbeda denganmu. Jadi, jangan macam-macam."

Oliver membanting Yohio dan Yohio segera membalas dengan memiting leher Oliver dengan lengannya.

"Kuperingatkan padamu jika aku tidak pernah kalah darimu. Aku. Selalu. Menang."

Saat itu juga, ponsel Oliver bergetar.

Oliver menyikut dada Yohio dan menendangnya.

Oliver mengangkat panggilan tersebut.

"Moshimoshi," sapa Oliver.

'Oliver-kun!' suara Yuki terdengar panik.

"Ada apa?" tanya Oliver kalem sementara sebelah tangannya mentamengi dirinya dari pukulan Yohio.

"Heh, sialan! Bisa kau diam! Lama-lama kau makin seperti bocah, 'ya?!" umpat Oliver pada Yohio.

'Lenka! Lenka-chan diculik lagi!' teriak Yuki panik di sambungan telepon.

"Ck, merepotkan saja," Oliver mendecak sebal. "Aku akan minta izin. Berdoalah, aku membawa ID card-ku. SMS aku jika ada perkembangan. Jaa."

Oliver memutus panggilan sepihak.

Oliver melepas sebuah tendangan menuju perut Yohio.

Dia membiarkan mata kanannya tak terlapisi kontak lensa, menyebabkan iris merah yang dianggap sebagai lambang kesialan itu mampu dilihat oleh Yohio dan sisa-sisa anggota Komite lainnya.

"Aku sedang tidak niat berantem, bukankah kubilang sepulang sekolah?" Oliver meraih kapak di sebelah Yohio. "Kuberi kau peringatan."

Yohio mengangkat kapak tersebut dan melemparnya.

DRAK! Kapak tersebut menancap pada pohon momiji dan menggugurkan daun-daunnya akibat hentakan kuat kapak tersebut untuk menancap di batang pohon.

"Atas nama seluruh siswa di kelas 2-D, aku hendak mengatakan bahwa kami mengecam kepemimpinanmu, Nigaine-sama."

Oliver membungkuk, bermaksud memberikan perilaku sinis pada anggota Komite, dan meninggalkan anggota-anggota Komite yang masih diam membuka.

"Ni-Nigaine-san?" gadis berambut merah yang menjabat sebagai sekretaris Komite Kedisplinan tersebut hendak membantu Yohio.

"Biarkan saja dia, Akaiko-chan," Yohio mengibaskan tangannya. "Lepaskan dia atau dia akan mengacak-acak psikisnya dengan luka psikisnya."

Akaiko melihat punggung Oliver yang terlihat semakin megecil.

"Luka psikis, eh?" Akaiko bertanya.

"Yup, luka psikis." Yohio mengulas segaris seringai di wajah tampannya.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

Author's Note :

Yo, BakArisa meluncurkan sebuah fanfic baru, masih tentang mystery (*digilas readers) dan child abusing (*dasar psikopat gila anak-anak (Arisa : *ketawa iblis)

Ini kira-kira akan menjadi two-shot atau three-shot :3

Fanfic ini didekasikan buat challenge event MINOR CHARA PARADISE (^o^)9

Kenapa Oliver nggak pake perban? Itu karena aku nggak sanggup ngebayangin masa depannya jika dia masih diperban.

Yang paling penting, AKU KESULITAN NGEBAYANGIN VERSI REMAJA DARI SEDERET KARAKTER SHOTA/LOLI DI ATAS! HUWEE TAT...

Udah, ah, kebanyakan bacot.

.

.

.

Mind to Review?! Bash, Flame/Blame are received!

.

.

.

Shintaro Arisa, out (^o^)7