Disclaimer: Big Hero 6 belongs to Marvel dan Disney. I only own this story.
Warning: AR, alive!Tadashi, fluffy(?), a lil bit of unnamed!OC, mungkin sedikit hint BL? Entahlah, mudah-mudahan lebih terasa brothership-nya dibanding BL-nya. Kalaupun masih kerasa BL, tolong maafkan insting fujo author. Orz
Credit untuk Orange Burst yang sudah membantu memilihkan judul. ^-^
Segala ketidaksinambungan antara judul dengan cerita dan cerita dengan canon, mohon dimaklumi. m(_ _)m
;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;-;
Closure
by
Li Chylee
xXx
Ini sudah ketiga kalinya.
Tadashi tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia bahkan tidak mengerti apa salahnya. Gadis yang baru saja dipacarinya selama satu minggu tiba-tiba memutuskan hubungan mereka. Ia kira ia sudah melakukan apa yang harus dilakukan oleh seorang pria terhadap kekasihnya. Menjemputnya sebelum berangkat kuliah, mentraktirnya makan siang, membelikannya sepatu yang gadis itu inginkan ... hell, ia bahkan mengirimkan sebuket bunga mawar merah yang mahal dengan kartu ucapan berisikan kata-kata manis, walaupun itu bukan benar-benar gayanya. Ia hanya tidak mau kehilangan pacarnya. Lagi. Apakah gadis-gadis zaman sekarang memang lebih menyukai tipe bad boy? Haruskah ia bersikap brengsek agar pacarnya tetap 'penasaran' dan tinggal di sisinya?
Dengan langkah gontai, Tadashi membuka pintu kamarnya setelah menjawab raut khawatir Bibi Cass dengan sebuah senyuman kecil dan ucapan "aku baik-baik saja". Ia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Bibi Cass tidak akan mengerti. Bibinya mungkin memang seorang wanita, tapi bahkan kadang sesama wanita pun tidak bisa mengerti jalan pikiran satu sama lain, termasuk menebak alasan pacar Tadashi memutuskan untuk meninggalkannya. Dan lagi, Tadashi tidak butuh kata-kata hiburan dan kue-kue manis untuk membuatnya merasa lebih baik. Tidak sekarang.
"Hai, Tadashi. Ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat baru saja diterpa badai dan tsunami di saat bersamaan."
Adiknya, Hiro, yang baru berusia 14 tahun namun telah lulus SMA dikarenakan intelegensinya yang jauh di atas rata-rata, bertanya dengan seringaian kecil. Sayangnya, Tadashi sedang tidak mood untuk bercanda.
"Hiro, menurutmu apa yang salah denganku?"
"Apa?"
"Apakah masalahnya terletak pada wajahku? Tubuhku? Atau kecerdasanku? Maksudku, aku tahu mungkin kecerdasanku hanya setengahnya dari kecerdasanmu, tapi tetap saja-" Tadashi mengakhiri keluhannya dengan erangan.
Hiro berkedip setelah ia menatap Tadashi dengan pandangan heran selama sepuluh detik.
"Kau baik-baik saja?" tanya pemuda kecil berambut gelap dan berantakan permanen itu.
"Aku tidak baik-baik saja!" seru Tadashi frustasi.
"Tenangkan dirimu, Tadashi. Mau gummy bear?" Hiro menawarkan dengan cengiran kuda.
"Setidaknya tawari aku makanan favoritku, Hiro," gumam Tadashi, namun tangannya tetap meraih beberapa buah gummy bear itu dan melahapnya.
"Kau tahu snack yang selalu ada di dekatku hanya gummy bear."
"Yah. Kau dan obsesi anehmu."
Hiro memutarkan bola matanya. Namun akhirnya bertanya, "Jadi, mau cerita padaku tentang masalahmu?"
"Dia meninggalkanku," ujar Tadashi dengan wajah muram. Ia tahu adiknya mengerti siapa yang ia maksud.
"Well, kalau begitu dia beruntung berhasil meninggalkanmu sebelum dia yang dicampakkan akibat kau terlalu sibuk dengan proyek ilmiahmu." Hiro mengangkat bahu, seolah tidak peduli sama sekali pada berita sedih kakaknya.
Mata Tadashi menyipit mendengar ucapan Hiro.
"Setidaknya berempatilah sedikit, Bonehead."
Cengiran Hiro kembali muncul ketika kakaknya memanggilnya dengan 'sebutan sayang' itu.
"Tadashi, kau tidak pantas bersedih hanya karena seorang gadis. Lagipula untuk apa seorang nerd sepertimu punya pacar?"
Tadashi mengernyit.
"Bukankah normal untuk seorang pemuda seumuranku untuk punya pacar?"
"Hanya karena itu normal, bukan berarti kau harus mempunyai pacar, kan?"
Tadashi kini mengangkat satu alisnya.
"Ayolah, Fred dan Wasabi saja kelihatannya tetap santai meski mereka single," ujar Hiro lagi, mencoba meyakinkan kakaknya.
"Itu karena Fred terlalu sibuk membaca komik dan Wasabi terlalu sibuk membuat semua benda miliknya berada pada tempatnya dan tidak bergeser se-mili pun!" kilah Tadashi.
Mendengar itu, Hiro terdiam selama beberapa saat. Wajahnya menunduk, dan dengan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya, ia berkata, "Kau pikir dulu kau tidak sibuk mengurusiku, Tadashi?"
Tadashi tersentak. Ia mendadak ingat bahwa ia memang sibuk mengurusi adik kecilnya, menghabiskan hampir dua puluh empat jam sehari mengkhawatirkan apakah adiknya itu akan terlibat masalah atau tidak, dan selalu datang untuk membereskan masalah itu setiap kekhawatirannya menjadi kenyataan. Tapi itu semua dulu, sebelum ia mulai dekat dengan beberapa gadis cantik di kampusnya.
"Kau tidak sadar kau sering mengabaikanku begitu kau mempunyai pacar, Tadashi?" ucap Hiro, masih menghindari kontak mata langsung.
Pemuda bertopi itu merasa seolah dadanya baru saja dihimpit oleh Baymax yang berbahan dasar beton.
"Hiro ..."
"Bukannya aku peduli, tapi aku sudah terlalu terbiasa mendengar ocehanmu dan ... rasanya aneh kalau tidak mendengarnya lagi. Kau bahkan tidak berkedip saat kemarin aku bilang mau taruhan di arena pertarungan robot."
Hiro akhirnya menatap lurus ke mata Tadashi, membuat pemuda itu merasakan gelenyar rasa bersalah saat melihat mata cokelat yang bening itu diliputi oleh kekecewaan.
"Uh ... intinya, kau kesepian?"
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Tadashi, dan ia hampir saja ingin melompat memeluk adiknya saat pipi Hiro dengan cepat berubah warna menjadi kemerahan.
"Shut up," Hiro memutuskan kontak mata itu dan berbalik untuk pura-pura melakukan sesuatu dengan komputernya.
"Aku tahu, aku tahu. Maafkan aku, Hiro." Tadashi melangkah mendekati adiknya, kemudian menepuk-nepuk kepalanya. Rambut yang berantakan itu entah mengapa justru terasa halus di kulit telapak tangannya. Tadashi baru sadar, sudah lama ia tidak melakukan hal ini pada adiknya.
"Jangan memperlakukanku seperti bocah," protes Hiro sambil menjauhkan tangan Tadashi dari rambutnya.
"Tapi siapa yang baru saja mengakui kalau kau adalah seorang bocah kesepian yang merindukan kakaknya?"
"Aku tidak mengakuinya," bantah Hiro dengan mata menyipit.
"Bukan berarti kau tidak merasakannya," ucap Tadashi sambil tersenyum lembut.
"Oh, diamlah," Hiro kembali mengalihkan perhatiannya pada komputernya. Jarinya dengan lincah menari di atas keyboard, seakan ia sedang mengerjakan hal yang sangat penting. Tadashi mendengus geli.
"Kau sungguh adik yang manis. Aku tidak akan pernah menukarmu dengan hal berharga apapun di dunia ini," gumam Tadashi. Ia tahu Hiro mendengarnya, dilihat dari pergerakan jemarinya yang mendadak kaku selama sepersekian detik, sebelum kembali bergerak dengan gerakan yang lebih brutal.
"Jadi, apa yang sedang kau kerjakan? Kelihatannya sangat penting," ujar Tadashi lagi sambil menatap wajah serius adiknya. Ia tidak mau repot-repot melihat monitor, menganggap paling-paling Hiro sedang merancang serangan terbaru megabot-nya.
"Memang penting," jawab Hiro singkat.
Ia mengklik tombol 'Send' di monitor dengan tangkas, kemudian mematikan komputernya.
"Nah, karena kau sudah tidak memiliki pacar yang menjengkelkan lagi, kurasa malam ini kau bebas untuk menemaniku membeli beberapa armor untuk megabot-ku," ujar Hiro dengan seringaian lebar.
"Armor? Serius? Kedengaran seperti permainan robotmu jadi mirip game RPG."
"Kuanggap kau setuju." Hiro bangkit dari kursinya kemudian menggenggam pergelangan tangan Tadashi, setengah menyeretnya untuk keluar dari kamar tersebut.
"Kita pergi sekarang?" tanya Tadashi, sadar bahwa pertanyaannya terdengar bodoh.
"Tidak, kita pergi tahun depan," jawab Hiro sarkastis. Namun ekspresi gembiranya tidak bisa ditutupi dengan nada sinisnya.
"Tunggu, kau melupakan jaketmu! Dan sarung tangan! Kupikir ramalan cuaca mengatakan kalau cuaca malam ini cukup dingin. Kau mungkin perlu memakai celana yang lebih panjang juga. Dan kaos kaki," celoteh Tadashi.
"Ya ampun, Tadashi. Perubahanmu dari kakak-yang-tak-mengacuhkan-adiknya-karena-baru-punya-pacar ke kakak-yang-terlalu-memedulikan-adiknya-sampai-terlihat-bodoh sangatlah ekstrim!" keluh Hiro.
Ketika sudah sampai lantai bawah, Bibi Cass menyapa mereka dengan senyum lebarnya.
"Kau mau keluar?" tanyanya pada Hiro.
"Ya, Bibi Cass. Aku perlu membeli sesuatu."
"Dengan Tadashi?"
"Dengan Tadashi," Hiro mengkonfirmasi, setengah kesal. Bukannya sudah jelas?
"Baguslah! Waktu Tadashi pulang tadi dia kelihatan kurang baik. Menghabiskan waktu dengan adik tersayangnya pasti bisa membuat dia lebih ceria!" Wanita langsing itu menepukkan tangannya dengan gembira.
Tadashi tersenyum tipis, mengakui betapa benarnya kata-kata Bibi Cass.
"Kalau begitu, kami pergi!" seru Hiro sambil membuka pintu. Ia melalui pintu itu dengan setengah berlari sambil menyeret kakaknya, tidak memedulikan angin dingin yang langsung menerpa wajahnya. Senyum lebar tersemat di wajah remaja tanggung itu.
'Dia pasti benar-benar merindukanku,' batin Tadashi. Ia merasakan kehangatan yang entah muncul dari mana melingkupi tubuhnya, membuatnya ingin terbang. Tapi karena ia jelas tak bisa terbang-teknologi canggih di kotanya masih belum mampu membuat manusia terbang tanpa alat-ia hanya bisa melangkahkan tungkainya dengan lebih cepat dan berlari melalui Hiro, membuat adiknya itu terpaku untuk sesaat sebelum berlari mengejar kakaknya dengan kakinya yang jauh lebih pendek, meneriakkan, "Kenapa kau tiba-tiba lari, Tadashi bodoh?!"
Tadashi hanya tertawa dan menoleh untuk melihat adiknya yang sedikit kepayahan berusaha mengejarnya, memelankan sedikit kecepatannya hanya untuk kembali melaju saat adiknya berjarak sangat dekat dengannya. Deru napas cepat ditambah omelan Hiro menjadi pemicu tawa di bibirnya, dan ia tidak pernah merasa sebahagia ini saat ia bersama mantan pacarnya. Tidak sekalipun.
Malam yang dingin itu dihabiskan kedua kakak-beradik itu dengan tawa, keringat, dan hangatnya persaudaraan. Sesuatu yang hampir Tadashi lupakan ketika ia teralihkan sesaat oleh kecantikan seorang gadis. Namun tidak lagi.
Seperti yang dikatakannya ... ia takkan pernah menukar Hiro dengan hal berharga apapun yang ada di dunia ini.
Fin
Omake:
"Ya ampun, pesan dari orang misterius ini lagi!" Seorang gadis berambut keriting pirang memekik frustasi sembari menatap layar ponselnya dengan horor. Ialah gadis yang mematahkan hati Tadashi hari itu. Well, tidak benar-benar mematahkannya, tentu saja, karena hati Tadashi tak pernah benar-benar berada dalam genggaman gadis itu.
"Orang misterius?" Sahabatnya yang tengah menginap di kamarnya malam itu untuk menghibur si Gadis Pirang yang baru saja putus menyahut.
"Orang misterius yang terus-menerus menerorku sejak aku berkencan dengan Tadashi!" pekiknya lagi. "Coba lihat apa pesannya kali ini. 'Kerja bagus. Kau membuat keputusan terbaik dalam hidupmu dengan memutuskan hubunganmu dengan Tadashi. Kau bisa mengucapkan selamat tinggal pada e-mail-mu yang dibanjiri spam, komputermu yang dimasukki virus ganas, dan semua gadget-mu yang mendadak error. Oh, dan lampu kamar mandimu yang terus menyala-dan-mati ratusan kali itu juga perbuatanku, kalau kau penasaran. Tapi mulai sekarang kehidupanmu akan kembali normal. Selamat. Dan jangan dekati Tadashi lagi. Dia milkku.'"
"Ya Tuhan, aku tidak menyangka Tadashi punya penggemar segila ini," komentar sang sahabat dengan wajah terkejut.
"Aku tahu. Maksudku, Tadashi memang tampan dan dia sangat macho dan memesona, tapi kalau berkencan dengannya berarti semua gadget milikku menjadi error, lebih baik aku tak usah mengenalnya!" Si Gadis Pirang itu menghela napas dengan dramatis. Tangannya memang bisa gatal kalau satu jam saja ia tidak menyentuh gadget-nya.
"Tapi siapa kira-kira penggemar misterius Tadashi?" tanya si Sahabat.
Kedua gadis itu bertatapan.
Mereka tak akan pernah tahu kalau orang yang mereka bicarakan adalah seorang remaja laki-laki berumur 14 tahun bernama Hiro Hamada, yang saat itu tengah berbagi canda tawa dengan Tadashi.