Marriage Kazekage

Ishikawa Natsumi

Naruto : Masashi Kishimoto


Suara berat langkah kaki memenuhi lorong sepi gedung Kazekage Suna. Seorang laki-laki tegap dengan guci pasir di punggungnya melangkah memasuki ruang kerjanya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh pagi waktu setempat, tetapi pemimpin desa terbesar di negara angin itu sudah nampak siap mengemban tugasnya. Dibelakangnya berdiri dua orang yang paling dipercaya olehnya.

"Gaara, setidaknya sempatkanlah dirimu untuk sarapan. Bagaimana kau bisa bekerja jika kau tidak makan?" wanita berkucir empat itu meletakan makanan yang sudah dibungkusnya dengan rapi.

"Hn," adik bungsunya itu malah bergumam tak jelas. Tangannya sudah sibuk menulis sesuatu setelah ia membaca satu berkas dengan cepat.

"Aku akan menemui tetua. Sebaiknya kau makan dulu, Gaara." lelaki bertato ungu di wajahnya berlalu pergi sementara si wanita masih menatap adik bungsunya cemas.

Wanita berambut pirang itu menghela napas pasrah, "Kalau kau sakit, siapa yang akan mengurusi pekerjaanmu?" terpaksa ia gunakan lagi alasan ini untuk memaksa adik sekaligus atasanya untuk makan. Jika sudah menyangkut pekerjaan, baru orang itu mau menyentuh makanannya.

Gerakan tangannya berhenti. Ia letakkan kuas bertinta itu di tempatnya, lalu ia geser duduknya hingga tepat berada di hadapan makanannya. Kini tangannya beralih membuka kain pembungkus kotak makan itu. Satu set bento lengkap tersaji di hadapannya.

"Aku akan kembali untuk membawanya. Aku dipanggil para tetua sama seperti Kankurou." Setelah berkata begitu, si wanita pirang keluar ruangan. Meninggalkan pemuda berambut merah itu seorang diri dengan makanannya.

Sabaku Gaara, melanjutkan makannya dalam diam. Meski dalam pikirannya menerka-nerka, apa lagi yang akan dilakukan para tetua dengan memanggil kedua kakaknya?

~#~#~#~

"Terima kasih atas kedatangan kalian kemari." Salah satu tetua petinggi Suna berucap lirih kepada kedua kakak sang Kazekage.

Kankurou, kakak kedua dari Kazekage, memutar bola matanya bosan. Jika para tetua sudah memanggilnya seperti ini, pasti ada yang direncanakan. Dan biasanya itu hal yang merepotkan.

"Tidak masalah. Sebenarnya ada apa?" Temari mengambil alih pembicaraan. Jika Kankurou yang bicara, bisa terjadi keributan di ruang petinggi Suna ini.

"Apa kalian mau teh?" tanya satu-satunya nenek-nenek di ruangan ini.

"Tidak perlu, langsung ke intinya saja." pinta Temari. Sekian detik setelahnya ia menyesal bicara seperti itu.

Raut ramah yang sudah dibuat-buat oleh seluruh tetua tadi berubah menjadi serius. Suasana cerah yang tadi dirasakan kedua orang yang baru bergabung dengan mereka berubah menjadi tegang. Hal yang buruk akan terjadi.

"Kami memikirkan, sudah waktunya Kazekage-sama mencari seorang istri." Tanpa aba-aba seorang kakek yang duduk di seberang Kankurou berucap. Seolah perkara itu adalah hal yang mudah dilakukan.

Mendengar kakek-kakek itu bicara dengan seenaknya dalam menentukan masa depan adiknya dan juga bicara seakan hal itu tidak berarti apa-apa, Temari tak kuasa menahan emosinya, "Apa maksudmu?! Kau pikir bisa dengan mudahnya menentukan jalan hidup Gaara?!"

Kakek itu masih saja tenang menghadapi emosi Temari yang sudah memuncak, ia hanya memejamkan matanya sekilas, "Kuharap kau bisa tenang sedikit Nona Temari, kau sedang berada di ruang empat Kaze."

Seorang tetua dengan sebelah wajah tertutup kain angkat suara, "Kami sudah memikirkannya sejak berbulan-bulan yang lalu. Kita sedang membutuhkan ikatan diplomatik yang kuat dengan desa Konoha."

Perepatan siku di kepala Temari bertambah, "Kau pikir pernikahan adikku hanya untuk ikatan diplomatik saja?!" wanita pirang itu menggebrak meja dengan penuh emosi. Kalau saja Kankurou tidak menahannya, pasti Temari sudah mengambil kipasnya sekarang.

Setelah berhasil mendudukan Temari di kursinya lagi, Kankurou berdiri, "Tak bisakah kalian memikirkannya lagi? Gaara bukan tipe yang ingin menikah muda. Apalagi dengan alasan diplomatik." Tak disangka adik pertama Temari bisa bicara setenang itu.

"Kami sudah memikirkannya sejak lama, dan inilah saatnya. Tidak lama lagi Kazekage-sama genap berusia dua puluh tahun. Usia yang cukup bagi seorang laki-laki untuk menikah." Ucap nenek tadi setelah menyesap tehnya dengan tenang.

Kankurou berdecak, "Jadi, hanya ini yang ingin kalian katakan pada kami? Kalian tahu 'kan jika semua keputusannya ada di tangan Gaara?" ia kembali duduk sambil bersedekap.

"Ya kami tahu. Kalian kami panggil untuk berjaga-jaga. Jika sampai Kazekage-sama menolak, kalian yang harus meyakinkannya." Jelas kakek yang pertama.

Temari dan Kankurou hanya bisa menggertakkan rahangnya kuat-kuat. Meskipun mereka adalah kakak dari Kazekage Suna, tapi mereka tidak memiliki kewenangan untuk membantah perintah tetua. Bagaimana pun merekalah yang sesungguhnya berkuasa.

~#~#~#~

Setelah kedua kakaknya dipanggil, giliran Gaara yang menghadiri pertemuan dengan para tetua. Meski ia tak ingin, tapi ia tetap harus melakukannya. Terlebih hal ini pasti berkaitan dengan kepentingan desa. Kedua tangannya terulur untuk membuka kedua pintu ruang empat kaze. Dengan yakin, ia mendorongnya hingga nampaklah para tetua yang sudah duduk di meja bundar.

"Selamat pagi, Kazekage-sama." Sapa para tetua itu dengan bungkukan hormat. Tak ada Temari juga Kankurou di dalam sana. Sepertinya mereka sudah pergi.

"Hn," hanya itu balasan darinya untuk para tetua yang membungkuk hormat padanya. Ia menggeser tempat duduk di kepala meja lalau duduk dengan tenang.

"Apa Anda ingin teh?" tawar satu-satunya nenek dalam ruangan itu. Wajahnya yang penuh keriput menampakkan senyum ramah yang mencurigakan.

"Tidak, bisakah kita mulai?" tolaknya tegas. Ia tak ingin berlama-lama berada di ruangan ini. Karena setelah ia keluar dari sini hal buruk pasti terjadi.

"Baiklah kalau begitu," jeda yang ganjil terselip diantara kata-kata kakek tua itu, "Maksud kami memanggilmu kemari adalah untuk membicarakan pernikahanmu."

Gaara tak sedikit pun menampakkan ekspresinya. Ini benar-benar kabar buruk.

"Anda tidak keberatan?" tanya kakek yang tadi sudah mengutarakan maksudnya.

Gaara memang tidak berekspresi, hanya saja ia sedikit terguncang. Ia pejamkan matanya sesaat sambil menautkan jemarinya. Begitu bola mata hijaunya nampak kembali, ia berucap, "Kenapa?" satu kata tanya itu membuat semuanya bingung.

Meski begitu, sepertinya mantan guru sang Kazekage, Baki, mengerti maksud Gaara, "Saat ini kita membutuhkan ikatan diplomatik yang kuat dengan desa Konoha. Dengan begitu tidak akan ada yang menyerang desa Suna, begitu juga dengan desa Konoha." Jelas kakek itu.

Nenek yang tadi menawarkan teh angkat suara untuk memperkuat argumen, "Selain itu, hal ini juga bisa menjadi perjanjian gencatan senjata antara dua desa."

Gaara menaikkan tangannya hingga menopang wajahnya, "Aliansi kita dengan desa Konoha tidak selemah itu sampai akan menodongkan senjata." Komentarnya singkat.

"Benar," timpal kakek yang sedari tadi diam, "Tapi desa lain tidak akan menganggapnya sebagai aliansi desa Suna jika tak ada ikatan nyata antara kedua desa." Tambahnya meyakinkan.

Kazekage termuda itu memejamkan matanya lagi, "Apakah desa Konoha sudah menyetujui ikatan ini?" tanyanya menekan. Ia tahu bagaimanapun ia tak bisa mendebat tetua. Ia kalah jumlah.

"Itu tugas Anda sebagai Kazekage desa ini." jawab seorang kakek bersuara serak.

Ia turunkan tangannya sampai di atas meja, ia pasrahkan semuanya pada takdir, "Tidak ada tenggat waktu?" tanyanya lagi. Jika para tetua meminta sesuatu, pasti akan ada tenggat waktu yang diberikan. Daripada tiba-tiba ia ditarik pulang ke Suna kemudian dijodohkan dengan perempuan yang tidak dikenalnya, lebih baik ia menanyakannya sekarang.

"Kuharap Anda menemukan pilihan Anda secepatnya." Gaara sedikit merileks, tapi ia kembali menegang ketika mendengar kelanjutan ucapan Kakek itu, "Kami akan mengambil alih pekerjaan Kazekage-sama selama Anda berada di Konoha. Jika sampai peringatan hari jadi desa Suna Anda masih belum menemukannya, kami akan mencarikannya untuk Anda."

Gaara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangannya mengepal, menahan emosi yang kian memuncak. Jika tenggat waktunya sampai peringatan hari jadi desa Suna yang bersamaan dengan ulang tahunnya, itu berarti waktunya hanya tersisa sebulan lagi. Ia harus segera pergi ke Konoha.

~#~#~#~

Pria berambut perak mencuat sedang menyesap tehnya dengan tenang. Disela-sela ia melaksanakan tugasnya sebagai Hokage ke-6, Hatake Kakashi selalu menyempatkan dirinya untuk istirahat sejenak. Ia tak seperti Kazekage desa Suna yang masih muda, dirinya sudah cukup berumur dan seringkali merasa letih.

Pintu ruangan Hokage terbuka, menampilkan sesosok laki-laki berambut nanas dengan mata malas, "Ada surat pribadi untukmu." Ucap pemuda itu santai.

Cepat-cepat ia gunakan maskernya lagi, "Surat pribadi?" tanyanya penasaran. Mata sayunya sedikit membuka.

"Ya, dikirim dari Suna. Sepertinya ada yang ingin Kazekage bicarakan padamu secara pribadi." Hipotesa putra tunggal keluarga Nara itu sudah terbukti keakuratannya. Tapi sepertinya hipotesanya kali ini bisa dibuat oleh siapa pun.

Kakashi membuka surat itu, tertulis segel yang hanya bisa dibuka oleh para Kage, 'Sepertinya hal ini sangat rahasia.' Pikirannya berkecamuk sekarang. Akankah perang shinobi yang baru saja selesai itu akan kembali pecah?

"Nampaknya itu surat yang sangat rahasia ya?" celetuk Shikamaru dengan malas. Ia masih berdiri di sana sampai Kakashi menyuruhnya keluar. Orang yang dipercaya Kakashi menjadi tangan kanannya itu memperhatikan segala perubahan di mata Hokagenya sedari tadi.

Kakashi mengangguk singkat, "Ya, terima kasih suratnya. Kau boleh pergi." Tangannya bergerak cepat membuka segel.

Tiba-tiba muncul sebuah gulungan lagi. Sang rokudaime mengernyit sebentar, tapi tak lama tangannya memungut gulungan tersebut. Dibukanya gulungan itu dan dibacanya dengan teliti. Ia juga tak melewatkan titik terkecil dari sebuah huruf. Kakashi terkesiap begitu sampai ke topik inti.

'Kazekage akan ke Konoha untuk mencari istri? Kenapa Sunagakure sampai mau bersusah payah melakukan semua itu?' Ia masih tak habis pikir dengan usul para tetua Desa Suna. 'Apa mereka masih belum sepenuhnya percaya pada Konoha?' pikirnya lagi.

Baru selangkah Shikamaru keluar dari gedung Hokage, Kakashi sudah memanggilnya lagi dari jendela, "Shikamaru! Cepat kemari!"

Dengan malas pemuda berambut nanas itu berbalik sambil menguap, "Hah~ mendokusai." Gumamnya.

Reaksi yang sama juga terjadi pada Shikamaru setelah ia membaca surat dari Gaara, "Kenapa tetua Sunagakure menuntut hal seperti ini dari Kazekagenya?" tanyanya entah pada siapa.

Kakashi merasa hanya dirinya dan pemuda itu yang ada di ruangan ini, ia menjawab, "Entahlah. Apa mungkin mereka masih berlum percaya aliansinya dengan kita?"

Shikamaru menoleh, masih dengan alis mengernyit, "Kurasa bukan karena hal itu. Sepertinya para tetua Suna punya rencana lain dari hal ini." sekali lagi ia membaca surat dari Gaara. "Kalau memang tujuannya hanya untuk mengikat kita, kenapa tidak mereka tidak langsung menjodohkan Gaara dengan gadis yang mereka pilih? Kenapa Gaara harus repot-repot kemari?"

Pria bermasker itu termangu. Ia juga memikirkan hal yang sama, hal itulah yang ingin ia diskusikan dengan Shikamaru. Ia sampai memberitahu hal ini pada orang lain padahal Gaara sudah meminta untuk dirahasiakan. Tapi hasilnya nihil. Shikamaru si ahli strategi pun tak bisa memahami jalan pikiran para tetua Suna.

"Apa yang mereka dapatkan dari hal ini?" tanya Shikamaru lagi. Di tengah musim semi yang sejuk ini, udara di luar begitu menggodanya untuk tidur di atas rerumputan Hutan Nara sambil memandang langit biru. Tapi permasalahan Kazekage ini menahannya untuk tetap berada di gedung Hokage.

"Itulah yang ingin kutanyakan padamu. Tapi sepertinya percuma saja aku memanggilmu." Kakashi menghela napas pasrah, "Kau boleh pergi." Matanya kembali menelusuri kata demi kata yang tertulis dalam gulungan itu.

"Tapi kemungkinan besar hal ini menyangkut keamanan desa dan Kazekage-sama yang sedang terancam. Dan ancaman itu akan dilaksanakan sebulan lagi." Tutur Shikamaru setelah berpikir beberapa lama.

Hokage ke-6 itu terdiam sambil menatap Shikamaru, 'Benar juga. Bukankah desa-desa kecil di sekitar Sunagakure sering menyerang mereka akhir-akhir ini?' sedikit titik terang ia temukan setelah mebicarakannya dengan Shikamaru. Pantas Shikamaru diberi julukan si ahli strategi.

"Lalu apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam sang Hokage. Sebenarnya itu sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri. Tapi Shikamaru malah menjawabnya.

"Dari yang sudah kubaca tadi, tujuan Gaara mengirimimu surat pribadi adalah untuk meminta tolong padamu. Ia ingin kau mencarikan calon-calon yang sesuai untuknya." Jawab si pemuda berambut nanas itu.

Kakashi mengalihkan pandangannya lagi pada Shikamaru, "Calon-calon yang sesuai?" tanyanya bingung. Ia adalah seorang Hokage, dan ia belum menikah. Bagaimana ia bisa tahu calon-calon yang sesuai untuk dijadikan seorang istri Kazekage? Para tetua Sunagakure itu memang merepotkan.

Shikamaru menaikan sebelah alisnya, "Yah, kau juga tahu kriteria yang dicari para orang tua untuk anaknya. Misalnya, yang berasal dari keluarga terhormat, berperilaku baik, berdedikasi tinggi, tidak akan mempermalukan keluarga, hal semacam itulah." Jelasnya panjang. Biasanya ia malas bicara sepanjang itu, tapi segala hal merepotkan yang berkaitan dengan Kazekage itu mengharuskannya seperti itu.

Pria bermasker itu mengangguk-angguk kecil. Ia tahu siapa orangnya. Tak banyak gadis di Konoha yang memenuhi kriteria seperti itu yang belum menikah. Ditambah lagi gadis itu bisa memperkuat ikatan aliansi Konohagakure dengan Sunagakure.

To Be Continue...

~#~#~#~

A/N: Maafkan saya karena membuat fic yang abal-abal ini _ mohon dimaklum karna saya masih newbie disini (lamanya jadi silent reader sih, hehe *PLAK). Jadi untuk perkembangan tulisan saya selanjutnya, silahkan mereview ^^ mau itu kritik, saran, flame, pertanyaan, lamaran (*eh?) atau apapun saya terima dengan ikhlas :D
Akhir kata, arigatou sudah mau membaca fic yang membingungkan ini...