Mereka berhenti di tengah jalan yang masih ramai, "Berikan dia kesempatan agar dia bisa menunjukkan perasaannya padamu." jelas Naruto pelan. Situasi di sekitar mereka tak tepat untuk membicarakan hal ini. Tapi ia tetap harus mengatakannya.
Detik itu juga Sakura teringat pada sarung tangan pemberian Gaara pagi ini. Ia juga ingat pada bunga pemberian kazekage muda itu juga perlakuan manis yang dilakukan pria itu padanya kemarin malam.
'Memberinya kesempatan?' ia melangkah tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Langkahnya gontai disertai tatapan kosong. Perasaannya kacau. Rasa senang dan bersalah melayang-layang di kepalanya. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia merasa senang. Begitu juga dengan rasa bersalah yang tiba-tiba menghantuinya.
Naruto menghadang jalannya, alhasil gadis musim semi itu pun menabrak pemuda jabrik itu, "Sakura-chan? Kau mau kemana? Kau melamun tadi."
Sakura mengerjap-ngerjapkan matanya sebelum menjawab,"Ah, aku akan ke toko bunga Ino." Jawabnya asal. Sampai lima detik lalu ia tak tahu kemana tujuannya.
"Oh, kalau begitu aku akan pulang sekarang. Hati-hati Sakura-chan!" kemudian lelaki itu melompat ke atap toko dan melompat ke atap bangunan yang lebih tinggi hingga tak terlihat oleh Sakura.
'Memberi Gaara kesempatan?' batinnya lagi sebelum ia melanjutkan perjalanannya menuju toko bunga Ino.
.
.
.
Marriage Kazekage
Ishikawa Natsumi
Naruto © Masashi Kishimoto
Perjalan menuju Toko Bunga Yamanaka tak terasa bagi Sakura. Sepanjang perjalanannya ia sama sekali tak memperhatikan sekitarnya, bahkan beberapa kali ia sempat menabrak orang yang berpapasan dengannya tanpa meminta maaf. Sapaan Teuchi-jiisan pun tak dibalasnya. Ia terus memandang lurus ke depan dengan tatapan nanar.
Hingga ia sampai di depan toko bunga sahabatnya. Hari mulai sore, area pertokoan Konoha semakin sepi begitupun dengan toko bunga Yamanaka. Beruntung baginya karena dengan begitu mereka dapat mengobrol dengan tenang.
Klining
Pintu dibuka hingga membentur lonceng, menimbulkan bunyi jernih yang menandakan seseorang memasuki toko. Kepala pirang Ino lantas menoleh untuk melihat tamu yang mengunjungi tokonya, "Selamat datang!" ia tinggalkan pekerjaannya untuk segera melayani tamunya, "Sakura? Tumben kau datang ke toko." Cengiran penuh arti Ino sebagai sahabat tak mampu menenangkan Sakura yang sedang kebingungan.
"Ino, ini gawat. Aku butuh bantuanmu." Tanpa ekspresi yang jelas Sakura meraih tangan sahabatnya dan langsung menyuruhnya duduk.
Giliran Ino yang bertampang bingung diperlakukan seperti itu oleh Sakura. Kalau memang ada sesuatu yang gawat lalu kenapa Sakura malah menyuruhnya untuk duduk? "Ada apa Saki?"
Gadis musim semi itu memposisikan dirinya di hadapan Ino, duduk senyaman mungkin sebelum memulai pembicaraan, "Dengarkan aku baik-baik. Ini merupakan masalah negara dan kau tak boleh menyebarkan yang satu ini."
Dengan kedipan gaya bersekongkol, Ino memajukan badannya kemudian berbisik, "Kau bisa pegang janjiku." Diikuti senyum manis menenangkan.
Sayangnya senyuman Ino sama sekali tidak menenangkan Sakura, "Baik, jangan memotong ucapanku walaupun hal ini mengejutkan," Sakura menunggu respon Ino untuk peringatannya yang satu ini. Gadis pirang itu hanya mengangguk kemudian memangku wajahnya dengan sebelah tangan, siap mendengarkan sahabatnya bicara, "Tadi Naruto datang menemuiku..."
"Benarkah?! Naruto sudah pulang?!" pekik Ino sedikit terperanjat di kursinya.
"Ino! Sudah kubilang jangan memotong ucapanku!" satu perempatan siku sudah muncul di dahi lebar Sakura mendapati reaksi berlebihan dari sahabatnya. Tak biasanya gadis pirang itu terkejut dengan kepulangan orang lain selain Sai, apalagi ini Naruto.
Dengan cengiran tanpa dosa Ino kembali pada posisi awalnya, memangku wajah sambil menatap Sakura, "Gomen."
Sakura membuang napas lelah kemudian melanjutkan ceritanya lagi, "Di perjalanan menuju rumahku dia bertemu dengan Gaa – Kazekage-sama..."
"Hmm jadi kau sudah memanggil kazekage dengan nama depannya? Akh! Ittai..." kali ini sebuah kepalan tangan sukses mendarat di puncak kepala pirangnya.
"Dengarkan aku dulu, Ino-pig!" Perempatan siku di dahi kunoichi merah muda itu terhitung sudah ada lima dan itu adalah batas kesabaran Sakura.
Sambil mengusap-usap kepalanya Ino menanggapi dengan sedih yang dibuat-buat, "Ha'i, ha'i..."
Sekali lagi Sakura mendesah lelah dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini. Tapi ia hanya bisa meminta tolong padanya, "Gomen sudah memukulmu. Kulanjutkan, setelah mereka bertemu, Naruto memutuskan..." dan iryo-nin pink itu mnceritakan seluruh kejadian yang dialami Naruto bersama Gaara juga menyampaikan pesan Naruto untuknya.
*Skip Time*
"Hmm..." Ino mengusap-usap dagunya bergaya seperti seorang detektif kawakan yang sedang menganalisis kasus setelah mendengar keseluruhan cerita Sakura.
Sakura mengambil setangkai bunga mawar dari embernya lalu mulai memetik kelopaknya satu persatu, "Yang tidak kumengerti, kenapa aku merasa senang dan bersalah di waktu yang bersamaan setelah mendengar hal itu dari Naruto dan sekarang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Ino bertepuk tangan sekali seolah ia berhasil memecahkan kasus yang menimpa sahabatnya, "Ah, jadi begitu!" lalu tertawa terbahak-bahak.
Sakura menghentikan kegiatannya memetik kelopak mawarnya dan menatap Ino dengan kerutan di dahi, "Ada apa denganmu? Kau baik-baik saja 'kan? Kau tidak mendadak gila 'kan?"
Ino berlagak seolah ia tertawa sampai mengeluarkan air mata, kemudian menatap Sakura sambil tersenyum penuh arti, "Aku bisa gila jika aku menjelaskan hal ini padamu. Tak kusangka iryo-nin paling jenius di Konoha bisa selamban ini."
Sakura mengembungkan pipinya mendengar penuturan Ino kemudian menyimpan sisa mawar yang menguncup di meja sambil berdecak, "Ck, ya sudah jika kau tak ingin menjelaskannya. Jadi, apa yang harus kulakukan?"
Ino memangku wajahnya dengan kedua tangan, menatap Sakura dengan tatapan menggoda, "Kau hanya perlu menunggu dan membuka matamu. Nanti juga kau akan mengerti kenapa kau merasa seperti itu."
"Tapi Ino..." rajuk Sakura meminta penjelasan lebih lanjut.
Sayang obrolan mereka harus berakhir ketika Sai datang, "Sai-kun!" gadis berambut pirang itu langsung menghambur ke dalam pelukan kekasihnya yang datang menjemput.
"Oh, ada kau juga rupanya." Sai memamerkan senyum mencurigakannya pada gadis gulali itu sambil membalas pelukan Ino.
"Ugh kalian melukai mataku. Aku akan pergi saja sekarang, selamat bermesraan!" seperti yang dikatakannya, Sakura berdiri dari kursinya hendak melangkah keluar toko sebelum dihentikan oleh ucapan Ino.
"Ingat! Kau harus menunggu dan membuka matamu!" seru Ino sambil tetap menggandeng tangan Sai.
Sakura menoleh sebentar kemudian tertawa miring, "Akan kuingat meski aku tak mengerti apa maksudmu. Aku pulang, jaa!"
Udara dingin langsung menyambut Sakura di jalanan Konoha. Matahari sudah tenggelam, langit sudah menggelap, namun kehidupan masih berlanjut di area pertokoan Konoha. Kedai-kedai makanan mulai dipadati pengunjung yang datang untuk makan malam. Sakura jadi ingat dia harus pergi berbelanja bahan makanan. Kali ini ia akan memasak untuk makan malam karena biasanya ia makan malam di yakiniku Q atau ichiraku ramen.
'Lagipula aku harus meningkatkan kemampuan memasakku karena sebentar lagi aku akan menikah.' Begitu ia menyadari apa yang dipikirkannya, Sakura hanya mendengus tak habis pikir, 'Walaupun tidak menjadi istri yang sesungguhnya.'
~#~#~#~
Meskipun Gaara sedang tak ingin bertemu dengan saudara-saudaranya ataupun jonin Sunagakure, tetapi masalah Toneri ini sangat mengganggu pikirannya. Ia harus melakukan sesuatu.
Gaara membuka pintu kamar yang mereka tempati dan lansung mendapati kedua saudaranya sedang berbincang di ruang tengah.
"Gaara! Sudah kubilang kau harus pergi bersama satu jonin atau setidaknya kau memberitahu kami lebih dulu!" Temari lantas menghampiri adik bungsunya dengan celotehan panjang yang memekakan telinga.
"Kita bisa selesaikan itu nanti." Ia duduk di hadapan Kankurou, meninggalkan kakak perempuannya menganga tak percaya, "Kankurou, bisakah kau pulang lebih dulu ke Suna? Cari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan para tetua karena mereka tak kunjung membalas pesan daruratku."
"Kupikir kita bisa mengirim satu jonin saja untuk melakukan itu." Temari ikut bergabung dengan diskusi yang ternyata penting itu dengan duduk di samping Kankurou.
"Tidak, tidak bisa seperti itu karena para tetua tak mungkin memberitahu sembarang jonin mengenai hal ini. Mereka bahkan merahasiakan ini dariku." Ia kemudian berpikir, "Kukira ini ada kaitanya dengan kunjunganku kemari."
Dua saudara kakak beradik langsung di hadapannya terdiam mendengar penuturan pemimpin desanya itu.
"Aku akan pergi malam ini, tapi izinkan aku membawa satu jonin dan aku akan menitipkan kalian pada Hokage." Kankurou segera beranjak untuk mengemasi barang-barangnya dan menyiapkan kugutsunya.
Temari berpikir sejenak lalu berujar, "Aku akan membawa Sakura kemari."
"Jangan. Biarkan dia sendiri. Kankurou, minta Hokage untuk mengirim beberapa anbu untuk mengawasi Sakura dari jauh. Hal ini akan mengelabui musuh untuk sementara." Tanpa gerakan tambahan Gaara memandang keluar jendela, menatap salju yang turun semakin lebat.
"Tapi, kita tak tahu apa yang akan terjadi padanya." debat Temari. Ia khawatir gadis malang itu akan terkena imbas dari permasalahan antar desa ini.
"Karena itu aku meminta pelindungan dari Hokage. Akan lebih berbahaya baginya jika ia ada bersama kita." Tangannya bersedekap di depan dada. Tak lama ia mengeluarkan gulungan kosong dan mulai menuliskan sesuatu.
"Apa yang kau tulis?" tanya Temari.
"Kankurou harus membawa perintah langsung dariku. Setidaknya dengan ini mereka akan berpikir dua kali untuk merahasiakannya lagi." tangannya menulis huruf-huruf itu dengan cepat.
Malam semakin larut namun salah satu kamar di penginapan itu tak kunjung memadamkan lampunya. Pernghuninya masih saja merundingkan masalah yang masih buram. Hanya satu petunjuk yang mereka punya, Toneri, nama lelaki itu.
~#~#~#~
Baki berdiri di ruangannya, memikirkan hasil keputusan tetua pada rapat kali ini sebelum memberitahukannya lewat surat pada Gaara.
"Katakan padanya bahwa kita tak apa-apa di sini, keadaan desa tak sedang terancam. Tetapi kita akan mengirimkan satu tim jonin lagi ke Konoha demi keamanan Kazekage-sama." Ujar Ebizo menutup rapat dengan satu kesimpulan.
'Mereka benar-benar akan merahasiakan ini sampai akhir? Bagaimana jika musuh bergerak lebih dulu?' Baki berpikir keras untuk menemukan solusi dalam menyampaikan permasalahan desa ini pada pimpinannya.
Gaara tidak bodoh, dia akan segera tahu jika ada yang tidak beres dengan desanya dan akan segera membereskannya sendiri seperti ketika Suna menjadi tuan rumah ujian chunin dulu. Namun, Baki juga sama. Ia tak mungkin menempatkan Gaara pada posisi yang sulit dengan memberitahukan hal ini padanya.
'Baiklah, kali ini para tetua benar. Biarkan dia berpikir bahwa ancaman itu tak ada hubungannya dengan desa.' Putusnya.
Tangannya bergerak luwes melukiskan huruf-huruf dalam sebuah gulungan. Rapat berlangsung alot hingga keputusannya baru di buat pada malam hari. Hal itu mungkin membuat semuanya terlambat, tapi lebih baik daripada tidak dicoba.
"Kenapa hal seperti ini harus selalu terjadi padanya?" Baki membuang napas beratnya mengiringi surat yang ia kirimkan dengan burung pembawa pesan.
~#~#~#~
Kankurou kembali dari misinya mencari tahu apa yang terjadi di Sunagakure. Ia membawa perintah langsung dari adiknya, namun para tetua berkata bahwa tak ada ancaman yang membahayakan di desa. Anehnya, para tetua itu memaksanya untuk membawa satu tim jonin kembali ke Konoha.
Dan ini membuat kecurigaan Kankurou beralih.
Sesuatu yang harusnya dilindungi, yang sedang dalam bahaya saat ini, bukanlah desanya.
Tapi pemimpinnya. Adiknya, Gaara, sang Kazekage.
Begitu ia sampai di Konoha, ia mendapat laporan langsung dari Temari bahwa adik bungsunya itu dalam keadaan tidak terancam. Gaara selalu berada di dalam penginapan. Sesekali keluar untuk mengamati Sakura, ditemani beberapa jonin yang diperintahkan Temari. Dan mereka aman. Toneri tak pernah muncul di hadapan mereka lagi.
Rutinitas itu terus berlanjut hingga hari-hari terakhir mereka di desa itu.
~#~#~#~
"Membuka mata apanya! Selama lima hari berturut-turut aku tidak bisa menemuinya sama sekali. Dia bahkan tidak datang untuk chek-up! Bukannya aku sedang merajuk, tetapi sebagai ninja medis yang merawatnya seharusnya dia datang untuk pemeriksaan!" omelan Sakura berhamburan mengikuti langkahnya di dalam toko bunga Yamanaka.
Sahabatnya, Ino, tak beranjak dari tempatnya duduk untuk memotong ujung tangkai bunga-bunga aster, "Lalu kenapa kau tidak datang padanya saja?"
Gerak kakinya terhenti tepat di belakang Ino, "Bagaimana mungkin aku datang padanya lebih dulu?! Harga diriku pasti jatuh jika aku yang menemuinya duluan!" gerutunya setengah berteriak tepat di belakang kepala Ino.
"Astaga Sakura!" serunya seraya berbalik melihat Sakura dengan tatapan jengkel, "Saat ini kau sudah bersikap seperti pasangan yang sedang bertengkar, apa kau benar-benar sudah jatuh cinta padanya?"
"Kau bicara apa sih, pig?" ia mendengus, "Itu tidak mungkin terjadi 'kan?" tanyanya retoris.
Ino balas mendengus, "Terserah kau sajalah. Ah, aku akan rindu celotehanmu di toko ini. Dalam dua hari kau akan meninggalkanku." Senyum sendunya membuat amarah Sakura redam seketika.
Menyadari hanya ada sedikit waktu bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama, Sakura mendekati Ino dan memeluknya, "Tak bisakah kau menutup tokomu lebih awal hari ini?"
Ino meletakkan guntingnya dan berdiri dengan tangan Sakura yang masih melingkari lengannnya, "Memangnya kita akan melakukan apa?"
"Bagaimana jika aku mentraktirmu makan di yakiniku Q dan minum sake setelahnya?" tawar Sakura dengan gaya bersekongkol.
Semangat Ino langsung terpancing begitu mendengar kata sake, "Aku ikut! Sebentar aku akan membereskan ini dulu."
*three hours later*
"Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan! Bahkan ketika dia datang padaku malam itu, dan berkata manis padaku, dan menggenggam tanganku, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan!" hanya teriakan Sakura yang terdengar di sisa malam itu. Dalam sebuah kedai sake hanya bersama Ino.
"Sakura diamlah! Kau mau semuanya tahu tentang itu?!" Ino menutup mulut Sakura. Ia tak bisa lebih mabuk dari ini karena Sakura sudah lebih dulu tak sadar.
Gadis merah jambu itu menepis tangan sahabat yang menutup mulutnya, "Datangkan dia padaku! Buat dia berlutut dan lamar aku dengan benar!"
"Hentikan! Sakura, aku akan membawamu pulang." Ino membiarkan Sakura menyandarkan kepalanya ke meja sekarang sementara dirinya membayar sake-sake yang mereka minum pada paman pemilik kedai.
"Sakura? Kau bisa berdiri?" suara datar dan monoton khas milik seseorang membuat gadis itu menoleh.
"Oh? Kau Gaara? Wah, kau benar-benar datang!" seru Sakura lantang.
Ino buru-buru menyelesaikan pembayarannya dan menghampiri gadis itu dan mendaratkan kepalan tangannya di kepala pinknya, "Kau ini!" ekspresinya berubah lebih manis begitu bersitatap dengan kazekage termuda itu, "Maaf Kazekage-sama, dia sudah tidak tahu apa yang dikatakannya sekarang."
Sakura mendadak berdiri dan berkacak pinggang di depan Gaara, "Aku tahu apa yang kukatakan dan aku ingin dia berlutut di hadapanku!"
"Sakura!" seru Ino mulai panik. Tingkah Sakura bisa berubah drastis ketika ia mabuk karena itu Ino tak pernah lebih mabuk dari Sakura ketika minum sake bersama.
"Tidak apa-apa, Sakura aku akan mengantarmu pulang." Sebenarnya ia sendiri merasa geli melihat tingkah tunangannya yang berubah 180 derajat ketika mabuk. Ia tak menyangka gadis yang sangat beretiket itu bisa menjadi seperti ini.
"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau pulang. Berikan aku satu botol lagi!" teriaknya.
"Sakura, kumohon." Ino tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya untuk menghentikan Sakura.
"Gaara, kenapa kau membuatku seperti ini? Hoaaam~" dan akhirnya ia terjatuh duduk dengan kepalanya yang membentur meja.
"Huft, akhirnya. Dia selalu seperti ini, ketika dia sudah sangat mabuk, dia akan mengoceh dengan keras dan beberapa saat setelahnya dia akan langsung tertidur." Jelas Ino tanpa diminta.
Gaara hanya diam tak menanggapi. Tatapannya mengarah lurus pada puncak kepala merah muda gadis itu, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bahkan oleh Ino sekalipun.
"Gaa- Kazekage-sama, kita harus mengantar Sakura pulang." Temari memasuki kedai, mengingatkan Gaara akan waktu, ia beralih pada Ino, "Kau bisa pulang Ino, Sakura aman bersama kami."
"Baiklah, aku menitipkannya bersama kalian." Ino terdiam sebentar, saling memandang dengan Temari, "Konbanwa, Kazekage-sama, Temari-san." Kemudian dia keluar kedai.
"Gaara, cepat gendong dia. Udara semakin dingin sekarang." Temari menunjuk Sakura dengan dagunya, sedikit menggoda adiknya dengan nada-nada yang membuat Gaara jengkel.
Tanpa bicara lagi, Gaara memakaikan mantel yang telah dibawanya pada Sakura dan membopong tubuh itu seolah Sakura adalah sebuah bantal yang begitu ringan.
Ia mendapat laporan bahwa tunangannya itu sedang minum-minum bersama sahabatnya di sebuah kedai sake. Gaara hanya ingin memastikan gadis itu pulang dengan selamat tanpa harus menampakkan dirinya. Tetapi ketika ia melihat Sakura mulai meracau dan ia mendengar semuanya, Gaara ingin menjelaskan sesuatu pada gadis itu, menjelaskan apa yang gadis itu pertanyakan dalam ocehannya.
Namun, semua itu percuma sekarang karena Sakura tidak akan mendengarnya.
"Temari, aku bisa membawanya pulang lebih cepat, tapi aku tidak bisa membawamu juga." Ujar Gaara menoleh pada kakaknya sebelum keluar kedai.
"Aku mengerti. Jangan sampai kau berbuat macam-macam pada gadis yang sedang tidak sadar itu." ancaman yang disertai tatapan mematikan Temari tak juga menggentarkan Gaara, meski ia tak berniat untuk mengambil keuntungan dari gadis yang sedang tak sadarkan diri itu.
"Cepat kembali ke penginapan dan hangatkan dirimu, Temari." Kakinya maju selangkah keluar kedai dan segera melebur menjadi butiran pasir, "Sampai jumpa di penginapan." Dan kemudian dalam sekejap, tubuhnya ikut berubah bersama dengan Sakura dalam dekapannya.
"Ya ampun, aku tak menyangka adikku bisa bersikap manis seperti itu." gumam Temari sebelum kembali ke penginapannya.
Dalam beberapa menit mereka sampai di balkon apartemen Sakura. Gadis musim semi yang masih berada dalam dekapannya itu menggeliat dan membuka matanya perlahan.
Gaara memerhatikan perubahan mimik Sakura dalam diam sambil mempertimbangkan apa dia harus membangunkannya atau tidak.
Dan selanjutnya kazekage muda itu tak perlu bingung lagi, "Gaa- Kazekage-sama!" seru Sakura kaget. Saat ini wajahnya berada begitu dekat dengan dada pria itu. Hal mengejutkan lainnya adalah kehangatan yang menguar dari tubuhnya begitu terasa di pipi kirinya.
"Kau sudah sadar? Apa kau baik-baik saja?" tanya pria itu. Bukan apa-apa, ia baru akan menurunkan Sakura jika gadis itu sudah benar-benar ingat dirinya sendiri.
"Ya? Ya, sedikit pusing tapi aku baik-baik saja," Sakura menuggu respon dari lelaki itu, tapi tak ada yang terjadi selain saling menatap, "Kau bisa menurunkanku sekarang, Kazekage-sama."
Hening, tak ada jawaban dari pria itu. Hujan salju di luar membuat udara semakin dingin sedikit demi sedikit. Mereka akan mati membeku jika lebih lama berada di balkon itu.
"Kau bisa membuka pintunya?" Gaara menunjuk pintu kaca pembatas antara area balkon dan bagian dalam apartemen dengan tatapannya.
"Huh? Uhm, sepertinya bisa." Sakura mencoba membuka pintunya dengan satu tangan dan ternyata pintunya tidak terkunci.
Kazekage muda itu melangkah memasuki apartemen, "Kau harus mengunci semua pintu jika kau akan pergi keluar." Perkataan Gaara yang datar dan monoton kembali terdengar. Bahkan lebih buruk dibanding ketika mereka pertama kali bertemu.
Sakura tak bisa membalasnya. Dia memang salah dan dia terlalu takut untuk membantah kata-kata pria itu. Ditambah lagi ia sedang berada dalam pangkuannya.
Dia sedang berada dalam pangkuannya, "A, ano Kazekage-sama, kau bisa menurunkanku sekarang."
Entah Gaara sengaja tak menggubrisnya atau memang tak mendengar ucapan lirih Sakura, ia hanya bergerak masuk dan membaringkan Sakura di atas sofa panjang.
"Arigatou, sudah mengantarku pulang." Ujar Sakura hendak duduk. Meski ia tak bisa mengantar sampai ke pintu karena terlalu pusing, tapi ia masih ingin melihat kepergian pria itu.
Gaara menutup pintu kaca balkon dari dalam. Ya, dari dalam. Pria berambut merah itu belum akan pergi meninggalkannya.
Kegiatannya yang selanjutnya adalah meletakkan guci pasirnya di dekat pintu masuk dan berjalan ke dapur, mengambil satu cangkir dan mengisinya dengan air dari kran.
Sakura terus mengikuti gerakannya, bahkan sampai pria itu duduk di dekatnya dan meletakkan gelas itu di hadapan Sakura, "Minumlah."
Sedikit terkejut, tapi Sakura masih menuruti perkataan pria itu dan minum. Kepalanya berdenyut ketika ia mendongak dan ia langsung membaringkan diri.
"Kepalamu sakit?" Gaara mendekat untuk melihat kondisi Sakura. Ia khawatir.
Sakura tersenyum miring, "Bagaimana bisa posisi kita terbalik? Di sini aku ninja medisnya." ia menutup matanya dan meletakkan tangannya di dahi.
"Aku tahu." Gaara kembali ke tempat duduknya, "Tapi seorang ninja medis pun tetap memerlukan bantuan ketika ia sakit."
Sakura tak menjawab. Ia masih mendengarkan, namun untuk saat ini ia tak ingin Gaara melihatnya.
Sampai gadis itu tertidur karena efek alkoholnya yang belum hilang, Gaara tetap terjaga di sana, hingga fajar menyingsing.
~#~#~#~
Sakura terbangun karena cahaya matahari yang menghujani wajahnya. Suara pintu diketuk dengan cepat memaksanya untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Serangan sakit kepala hebat langsung dirasakannya ketika berdiri yang untungnya hanya berlangsung sesaat. Ia melangkah menuju pintu apartemen dan membukanya.
"Sakura!" Ino menghambur masuk ke dalam apartemen sahabatnya dan memegangi Sakura seolah gadis merah jambu itu bisa jatuh kapan saja, "Kau baik-baik saja?"
Gadis musim semi itu melepaskan tangan Ino dari tubuhnya dan berjalan menuju dapur, "Ya, aku baik-baik saja. Hanya butuh sup lobak dan sedikit kopi."
"Aku sudah membawakannya untukmu. Akan kuhangatkan dan kubuatkan kopi. Kau duduk saja di sana." Gadis blonde itu segera beranjak menuju dapur. Seolah sudah tahu tempat penyimpanan perabotan Sakura, gadis itu membuat kopi dan menghangatkan supnya seperti di rumah sendiri.
Sakura duduk bersandar di sofa. Kepalanya ia jatuhkan di atas sandaran, mendongak menatap langit-langit, "Ino? Apa kau yang membawaku pulang?"
Ino selesai menghangatkan supnya. Gadis itu meletakkannya di meja mungil Sakura bersama secangkir kopi untuknya sendiri dan juga Sakura. Ia duduk di sana, menatap sahabatnya yang masih berada di sofa, "Akui saja, kau benar-benar mabuk semalam hingga kau lupa kau pulang dengan siapa." cerocosnya.
Kepalanya masih berdenyut, Sakura menatap pada Ino, menuntut jawaban dengan jengkel, "Katakan saja apa yang terjadi, Ino!"
"Baiklah-baiklah," Ino mengangkat dua tangannya di depan dada seolah Sakura sedang menodongkan sebuah kunai ke arahnya, "Kau pulang bersama Gaara semalam."
"Oh, aku pulang bersama dengan Gaa- AKU PULANG BERSAMA GAARA?!" nadanya berubah drastis menyadari fakta yang diucapkannya, "Ino! Jangan main-main!"
"Aku tidak main-main, forehead! Gaara memang datang ke kedai dan kau sudah mabuk. Kau seharusnya bersyukur karena dia datang di saat yang tepat. Kau sudah mulai meracau saat itu dan aku tidak mungkin membawamu pulang sendirian, tengah malam dan dalam udara sedingin itu." Ino memulai lagi cerocosnya.
Gadis musim semi itu berjalan mendekati Ino, meraih mangkuk sup dan meneguknya, "Baiklah, aku memang sangat mabuk semalam hingga aku tidak ingat apa yang aku katakan saat itu."
"Hah, untung saja kau sudah keluar dari rumah sakit. Jika kau masih bekerja dalam kondisi seperti ini, bisa dipastikan kau akan salah menuliskan resep obat untuk tiap pasien." Lagi-lagi Ino memulai aksi cerewetnya. Dia menyesap kopinya sesekali sementara Sakura masih dengan sup lobaknya, "Apa yang akan kau lakukan hari ini? Apa kau sudah berkemas?" sikap Ino mulai melunak. Ia mungkin terlihat marah-marah pada sahabatnya sendiri, tapi itu karena Ino khawatir pada Sakura.
Sejak dulu Ino selalu saja menjadi sosok kakak bagi Sakura. Bahkan hingga Sakura akhirnya menikah lebih dulu dibanding dirinya.
"Aku sudah mengemasnya sebagian. Gaara bilang aku tidak perlu membawa semuanya, cukup barang-barang pribadiku saja."Sakura berhenti dengan supnya. Dengan langkah sempoyongan, gadis itu berjalan menuju dapur dan mengambil air putih. Ia letakkan gelas yang telah digunakannya di bak cuci, "Mungkin aku akan berpamitan di rumah sakit setelah ini, lalu pergi menuju kantor hokage untuk mengurusi surat-surat pindah dan kembali kemari untuk mengemas sisa barangku." Jelasnya panjang.
Ino menyesap kopinya lagi. Jika ia memikirkan Sakura yang akan pergi jauh darinya, ia merasa air matanya siap jatuh kapan saja. Dan ia tak mau sahabatnya melihat air mata itu, "Oke, apa kau perlu bantuan?"
"Tidak perlu Ino, arigatoo. Untuk supnya juga." Sakura berjalan menuju Ino dan memeluknya dari belakang.
Tok tok tok
Ketukan di pintu mengalihkan dua pasang mata yang tengah dalam haru tersebut, membuat salah satunya harus berjalan ke pintu dan membukanya.
Dan dibuat terkejut karena orang di baliknya.
"Sakura? Kau baik-baik saja?" tanpa salam, tanpa ucapan selamat pagi bahkan tanpa basa-basi, lelaki itu langsung menanyakan keadaanya. Seolah kemarin malam Sakura baru terjatuh dari tebing patung para hokage.
"A, aku baik-baik saja, Kazekage-sama." Ujar Sakura canggung.
Menyadari tamu yang datang, Ino bergegas menuju pintu depan dan berdiri di belakang Sakura lalu membungkuk, "Kazekage-sama, ohayoo."
Mulanya Gaara terkejut mendapati gadis itu berada di sini, tapi kemudian dia mengerti keadaannya, "Ah, Yamanaka-san, ohayoo."
"Silahkan masuk Kazekage-sama, aku memang sudah mau pulang kok." Jelasnya tanpa diminta. Gadis itu berbisik pada Sakura sebelum berjalan keluar apartemen, "Kau memintanya untuk berlutut dihadapanmu semalam."
Ino meninggalkan Sakura yang masih membelalak menghadap Gaara begitu saja, sementara pria itu terheran-heran dengan sikap dua gadis di depannya tadi.
Hening menyelimuti keduanya setelah Ino pergi untuk satu menit berikutnya. Ya, SATU menit penuh.
Entah Gaara memang tidak ingin bicara lebih dulu atau memang Sakura yang telah sadar lebih dulu, "Oh, ehem, maaf Kazekage-sama. Silahkan masuk."
Gaara hanya menggangguk dan melangkah masuk sambil bergumam permisi.
Sakura, yang melihat apartemennya berantakan, segera kelabakan membereskan apapun yang bisa dijangkaunya. Melipat selimut di sofa, menyingkirkan mangkuk sup di meja makan serta dua cangkir kopi sisa Ino dan juga buku-buku yang berserakan di meja sofa.
Gaara hanya bisa melihat kesibukan Sakura, masih di dekat pintu apartemen gadis itu, berpura-pura kegiatan melepas guci pasirnya membutuhkan waktu yang lama.
Selesai dengan buku-buku di mejanya, Sakura baru menyadari kalau Gaara belum juga duduk, "Silahkan duduk, Kazekage-sama." Seketika aroma lobak menguar, tertangkap penciumannya sendiri, membuatnya sadar kalau ia belum masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sedikit pun pagi ini.
Sialnya, Gaara sudah ada di sini ketika keadaannya masih seperti itu,
"Maaf, Kazekage-sama. Bisa kau menunggu sebentar? Aku harus membersihkan diri." Sakura berusaha menyembunyikan wajahnya sebisanya dengan berpura-pura sibuk menurunkan bungkus coklat dan teh dari lemari gantung ke konter, "Maaf, aku tidak bisa menyiapkan minuman. Kau bisa membuat coklat atau teh kalau kau mau."
Gaara mengangguk kecil meski Sakura tak melihatnya, "Aa, aku akan membuatnya sendiri." ia melihat ke jendela balkon, "Kau bisa gunakan waktumu selama apapun."
"Terima kasih." Sakura meninggalkan dapur dengan langkah kaki cepat, menyebrangi ruang duduk -melewati Gaara- dan masuk ke kamar mandi di dekat kamarnya.
Gaara menghela napas. Membaca situasi ternyata lebih sulit dibandingkan membaca strategi musuh. Ia harus ekstra berhati-hati agar lawan bicaranya tidak tersinggung atau tetap senang.
Dan ia mengira Sakura sedang malu tadi, entah karena apa.
Kakinya melangkah menuju dapur. Sebuah teko masih bertengger di atas kompor dan airnya masih ada. Ia menyalakan kompor, membiarkan teko itu memanaskan airnya sementara ia mengambil dua cangkir dari rak dan menggunakannya untuk membuat teh.
Ia baru saja beranjak dari dapur dengan dua cangkir teh di tangan saat Sakura keluar dari kamarnya. Sudah menggunakan pakaian merahnya yang biasa dan dengan rambut yang basah.
Aroma cherry segera saja menguar di seluruh ruangan. Mengalahkan aroma teh yang dibuat Gaara.
"Ah, aku ini tuan rumah yang tidak baik. Maafkan aku, Kazekage-sama." Sakura mengambil alih baki yang dibawa Gaara, meletakkannya di meja makan mungilnya dan mempersilahkan Gaara duduk.
Sebenarnya ada yang ingin ia bicarakan, mengenai apa yang Ino bilang tadi.
"Kazekage-sama, sebelumnya aku.." ucapan Sakura yang canggung dipotong oleh pemuda berambut merah di depannya. Tidak seperti biasanya Gaara melakukan itu.
"Kau harus berhenti memanggilku begitu, sebentar lagi kau akan menjadi istriku." Ujarnya dengan wajah kelewat datar.
Rona di pipi Sakura tak bisa ditahannya. Ia menunduk sebentar sampai panas di wajahnya mereda, "Umm, baiklah, Gaa-Gaara-sama." Agak canggung memanggilnya dengan sebutan itu.
Keheningan menyeruak ketika Sakura tak kunjung melanjutkan apa yang ingin dikatakannya hingga Gaara memutuskan untuk berkata lebih dulu.
"Kau sudah mengemasi barang-barangmu?" basa-basi. Biasanya dia bukanlah tipe pria yang seperti ini. Tapi Gaara berpikir jika ia harus melakukannya lebih sering sekarang.
Sakura sedikit gelagapan ketika mendengar Gaara bertanya lebih dulu, "Su, sudah Gaara-sama. Barangku tidak banyak." Karena aku tidak ingin membawa masa lalu ke Sunagakure.
Gaara menggangguk sekilas. Ia menyesap tehnya, bingung harus membicarakan apalagi.
Di sisi lain, Sakura ragu untuk menanyakan kejadian semalam karena perlahan ia mulai mengingatnya dan itu merupakan kejadian yang memalukan. Ia ikut menyesap teh yang dibuat Gaara seraya membuang muka ke samping.
Gaara berhenti meminum tehnya begitu teringat maksud dirinya datang kemari, "Aku kemari untuk menyampaikan ini. Besok kita berangkat, aku akan menjemputmu dan barang-barangmu akan diangkut lebih dulu hari ini."
Sakura menegakkan tubuhnya seakan Gaara baru saja memberi perintah, "Baik, akan aku siapkan barang-barangku."
Keheningan merayap lagi di antara keduanya. Sakura menunggu Gaara yang mungkin masih ingin menyampaikan sesuatu sementara Gaara menunggu Sakura untuk menyuruhnya pergi.
Tapi mana mungkin 'kan Sakura memintanya pergi? "Aku hanya ingin menyampaikan itu dan melihat keadaanmu hari ini sepertinya kau baik-baik saja." Gaara beranjak dari kursinya.
Kepalan tangan Sakura mengetat, ia harus mengatakan sesuatu tentang semalam, "Gaara-sama… se-"
Pria itu paham Sakura ingin mengungkit kejadian semalam, tapi hal itu mungkin akan melukai harga diri gadis itu, "Aku akan kembali lagi besok. Aku menjemputmu semalam karena aku khawatir padamu begitupun pagi ini. Tak ada yang terjadi lebih dari itu."
Kepalan tangan Sakura mengurai lalu ia gabungkan tangannya di depan tubuh kemudian berucap, "Terima kasih banyak, maaf merepotkanmu." Seraya membungkuk sopan.
Gaara menunggu Sakura menegakkan tubuhnya untuk mengucapkan, "Sudah menjadi kewajibanku." Sambil menatap lurus ke iris viridian Sakura, "Aku pergi. Terima kasih tehnya." Ia kenakan sepatunya lalu membuka pintu.
"Hati-hati di jalan." Ujar Sakura pelan.
Mereka saling memandang satu sama lain selama beberapa saat sebelum Gaara menutup pintu dan berkata, "Jangan lupa kunci pintunya."
Memori akan kejadian semalam datang bertubi-tubi di kepala Sakura begitu mendengar ucapan Gaara. Wajahnya terbakar dan berubah hingga sewarna buah cherry. Di dalam apartemen mungilnya, seorang Haruno Sakura salah tingkah karena perhatian dari seorang Kage yang akan segera manjadi suaminya.
~#~#~#~
To be continue...
.
.
.
A/N : pertama, saya mau minta maaf karena status saya yang hiatus sampai bertahun-tahun. Kedua, saya mau berterima kasih kepada para pembaca yang masih menunggu. Ketiga, saya mau minta maaf lagi karena saya masih belum tau apakah saya akan meneruskan fic ini atau menghentikan semuanya karena akun ini sudah telalu lama tidak aktif. Kalau untuk meneruskan cerita ini pun, saya butuh waktu untuk membaca ulang chapter sebelumnya karena jujur saya lupa scene apa aja yang sudah terjadi. Saya ingat alurnya, tapi untuk melanjutkan tentu saya butuh mengingat semua scene sebelumnya.
Chapter ini saya publish sebagai hadiah untuk pembaca yang masih menunggu. Sebenarnya saya tidak terlalu berharap masih ada yang menunggu. Tapi ternyata ada dan saya sangat terharu melihatnya. Draft untuk chap ini sudah ada dari lama karena saya buat cadangannya di gdrive sebelum laptop saya "sakit", tapi karena belum selesai jadi tidak bisa saya publish. Chap ini baru saya selesaikan di hari yang sama ketika saya publish.
Akhir kata, saya buat author note kali ini dengan Bahasa formal sebagai bentuk rasa hormat saya untuk para pembaca. Terima kasih sudah menikmati cerita ini dan mohon maaf nanti pada akhirnya saya tidak melanjutkan fic ini. Saya menulis sebagai hobi dan saya sempat berharap bisa memilih profesi sebagai penulis, tapi ternyata saya harus memilih bidang lain dan karena itulah saya mungkin tidak bisa melanjutkan fic dan akun ini.
Terima kasih dan mohon maaf yang tak terhingga untuk para pembaca setia.
Regads,
Ishikawa Natsumi
