Apa yang kau harapkan dari hubungan tidak wajar? Lesbian, gay—fag?
Tidak banyak. Memuaskan hawa nafsu adalah salah satu di antaranya, dan aku—masih sedikit yakin jika perasaan 'belum' sepenuhnya muncul di antara kami. Dia orang yang baik, ya, dia, orang yang memiliki role diatasku, seorang yang dipanggil top dalam hubungan kami. Dia pun orang yang pintar—oh atau mungkin lebih tepatnya jenius—mapan, tampan, berkharisma dan—sebenarnya aku berpikir untuk apa dia mengikuti sampai sekarang? Dia bisa saja mendapatkan banyak istri atau mungkin pelacur diluaran sana yang dapat memenuhi kebutuhan bilogisnya. Terkadang aku takut, 'Apa dia gila? Apa dia memang memiliki kelainan? Penyakit?' Tapi aku tahu, dia tidak sakit—jikalau dia memang tidak tertarik pada perempuan, hal itu bukanlah sebuah penyakit. Tapi sesuatu dalam dirinya membuatku terkadang sedikit takut.
Hey, untuk apa aku menjelaskan yang lainnya, aku seharusnya sedang fokus sekarang!
Namaku Uzumaki Naruto, seorang pria dewasa berumur 37 tahun. Sebuah umur yang cukup untuk membina rumah tangga, hm? Ya, kalian benar, dan jelasnya aku memang telah berkeluarga. Aku telah berkeluarga, tapi kenapa di bagian atas tadi masih menceritakan tentang seseorang—yang memiliki hubungan denganku? Kalian tidak perlu bingung, perselingkuhan bukan lagi hal tidak biasa pada zaman sekarang. Seorang pria dapat dengan bebas berhubungan dengan siapa saja, termasuk dengan sesamanya.
Tapi masalahnya bukan itu, tapi… dulu aku memang bejat.
Adalah aku; seorang pria ling-lung, buntung dan tidak tahu diuntung. Yeah, deskripsi sikapku itu yang aku anggap bejat hingga sekarang. Rayuannya bisa membuatku gila hingga mau saja termakan bujukan. Kesalahan masa lalu dapat menjatuhkanku sekarang. Orang itu bernama Uchiha Sasuke, sahabatku sekaligus selingkuhanku sekarang, dulu ia adalah sahabat juga kekasihku. Dia yang telah menarikku dalam jurang perceraian ini.
Dia seorang yang gila—sebelumnya aku tidak berpikir seperti itu, tapi sekarang cerita telah berubah. Aku seorang pria dewasa, yakin akan pilihan masa depan, berkeluarga, dan jelas… hanya ingin mendapatkan anak dari istriku. Tapi Sasuke merubahnya. Impianku hancur saat membaca pesan singkat, dan semua email yang ia kirimkan beserta lampiran gambarnya.
Dan akhirnya—disini aku berada sekarang. Di sebuah ruang tunggu, berdiri dan sama sekali tidak ada niatan untuk duduk sebelum orang yang kutunggu datang. Sejujurnya aku sedang resah dan gugup sekarang karenanya lah duduk menjadi pilihanku sebagai pengalihan, mengingat siapa yang akan aku lawan setelah ini. Sasuke emang hebat, sudah kujelaskan jika dia adalah seorang yang jenius? Aku melihat ke sana kemari, tidak sopan dan mungkin terlihat kurang berpendidikan—tapi aku tidak peduli.
CEKLEK—seorang pria dengan rambut hitam kelam muncul dari balik pintu.
Aku melihatnya. Sasuke tetap tampan dan sangat rapih seperti biasanya. Langkahnya ringan, dan wajahnya tidak sedang mendapat beban pikiran sepertiku. Sialnya, dia malah tersenyum saat melihatku mengkerutkan kening!
"Naruto, aku sudah menunggumu datang," katanya sopan. Aku diam, dan Sasuke berjalan melaluiku. Hey apa yang kalian harapkan? Sebuah pelukan selamat datang? Tidak, Sasuke bukan orang seperti itu. Jika mau melakukan skinship, dia mungkin tadi telah menciumku di bibir. Aku melihat Sasuke duduk di sebuah sofa single yang sejak tadi aku acuhkan. "Duduklah," katanya lagi sambil menjulurkan tangan ke arah sofa panjang pasangan dari yang telah ia duduki.
Aku mendengus, dan segera duduk. Pandangan kami bertemu. Sebelah matanya hitam, dan aku melihat bola matanya yang lain. Apakah aku pernah bilang jika Sasuke memiliki kelainan warna bola mata? Sebelah matanya berwarna merah, dan saat pertama kali aku melihatnya hal itu cukup menyeramkan. Aku berdeham, menghilangkan rasa canggung. Rasanya keringat dingin mulai bercucuran, dan tanganku juga ikut gemetar. "Aku… kau tau jelas maksudku datang kesini!"
Seketika aku menyesal menggunakan nada yang tidak lebih tinggi dari yang kugunakan tadi. Karena nyatanya Sasuke malah tersenyum mendengarnya. Dia merubah posisi duduk menjadi semakin rileks. Kedua tangannya bertumpu menjadi satu di depan perut, sedangkan punggungnya bersandar pada sofa—yang paling tidak kusukai bukan posisinya, tapi pandangan matanya yang terlihat seperti ingin mengamatiku lebih luas. "Aku tahu, karena memang itu yang aku inginkan." Katanya tersenyum. Aku mengenyit, dia menjebakku?
TOK TOK TOK—aku menoleh, dan tergugu kemudian.
.
.
Disclaimer:
Naruto © Masashi Kishimoto
The boy who I have © devilojoshi
Pairing: SasuNaru, Slight SasuSaku, NaruHina
Rated: M
Warning: Typos and Miss Typos, YAOI/ Boys Love/Humu, LEMON, Implisith MPREG, Menma as SasuNaru's Son, TwoShoot.
Dedicated for Opposite Party #2
'Love Never Late'
'KATEGORI ABABIL'
.
#entry 1
Enjoy
.
.
(Naruto—37 tahun, Sasuke—37 tahun, Menma—15 tahun)
(Hinata—35 tahun, Sakura—35 tahun, Both-Sarada—10 tahun, Himawari—8 tahun)
.
_Satu bulan sebelum semuanya dimulai_
Harusnya suasana hari itu sama indahnya seperti kemarin, tapi kenyataanya berbeda. Sudah hampir beberapa jam berlalu semenjak pertemuan tadi, Naruto masih saja murung. Kepalanya tertunduk di sebuah meja kerja perusahaan tempatnya bekerja. Keningnya menempel pas di meja kaca dengan rambut jabrig yang mencuat dan menyentuh monitor computer. Pria itu memejamkan matanya yang terasa sangat berat, kepalanya pening dan—tidak bisakah handphonenya berhenti bergetar?
Naruto begitu lelah walau hanya untuk mengangkat sebuah panggilan—atau pesan—yang masuk. Nafasnya memberat, dan semua percakapan yang cukup bising di ruang karyawan ini terasa sangat menjengahkan. Ia akhirnya menegakkan kepalanya, posisinya berganti menjadi dagu yang menempel pada meja kerja. Mata birunya melihat deretan data based di layar computer, kemudian pandangannya ia sengaja buat memburam. Ia mengambil nafas panjang.
'Apa yang harus aku lakukan? Menma tidak mungkin anakku dan Sasuke? Aku dan dia adalah seorang pria, walaupun benar dia melakukan ekstrak pada seorang wanita menggunakan sperma kami, itu sangat tidak mungkin!" Beberapa detik dia terdiam. Pikirannya berkelana pada pelajaran biologi SMA. Dari sejuta sel sperma yang keluar dari seorang pria, yang dapat membuahi hanya satu diantaranya. Jika pun Sasuke menggunakan rahim seorang wanita dengan satu sel telur lengkap, akan sangat mustahil jika seorang janin dapat menjadi anaknya dan Sasuke. Itu sangat tidak mungkin, akan terlihat memungkinkan kalau ia atau Sasuke 'lah ayah sang anak—dan itu berarti bukan keduanya.
'Sasuke itu gila, dia bisa saja mencari seorang anak yang memang memiliki kelainan mata sepertinya—ah atau itu mungkin anaknya dengan seorang pelacur diluar sana, lalu memaksa anak itu untuk melakukan operasi plastic hingga wajahnya terlihat sepertiku. Zaman sekarang tidak ada yang tidak bisa dilakukan ilmu kedokteran. Tapi—bagaimana dengan tes DNA itu?' Naruto terdiam. Matanya melihat deretan kolom dan baris dalam jejeran yang rapih. Sebelah lengannya terangkat, lalu menekan beberapa tombol dengan tidak tentu. 'Sasuke bisa saja memanupulasinya. Dia seorang pasti cukup ahli akan hal itu, atau mungkin saja ia menyuruh salah seorang kenalannya untuk memalsukannya. Itu bisa jadi.'
Naruto terdiam beberapa menit. Kepalanya mengangguk, namun kemudian tertunduk lagi. 'Ini semua salahku. Andai dulu aku tidak terjebak dalam dunia mengerikan itu.' Katanya dalam hati. Dunia itu menyeramkan, Naruto beberapa kali mencoba lepas darinya. Coba kalian bayangkan, saat pertama kali ia mencoba menjauh dengan mendekatkan diri pada seorang wanita, hal pertama yang akan selalu ia lihat saat mereka jalan bersama adalah seorang pria. Naruto akan mulai mengacuhkan istrinya kemudian memberikan komentar ini itu dari penampilan pria lain yang mungkin saat itu berjalan melewatinya—tentunya dalam hati.
Beberapa tahun lamanya, dan Naruto akhirnya memantapkan diri untuk semakin menjauh. Ia yang saat itu sedang ditinggal pergi Sasuke melamar seorang wanita selingkuhannya, yang sekarang menjadi istrinya. Waktu itu ia masih berhubungan dengan Sasuke. Beberapa hari sebelum pernikahan bahkan mereka sempat saling bertukar pesan singkat, yang isinya segala jenis perhatian dan rayuan. Beberapa detik sebelum pernikahan Naruto masih sempat memberikan pesan emoticon ciuman terakhir. Naruto pikir itu gila, tapi ia hanya ingin lepas—namun tidak ingin kehilangan.
Pernikahan berlangsung, dan Naruto tidak tahu Sasuke datang diupacara pernikahan itu. Naruto mencium istrinya dihadapan kekasihnya.
'Dia ingin membalas dendam padaku.' Pikirnya lagi. Naruto menghela nafas dan mencoba kembali pada fokus pekerjaannya. Seorang pria seumuran Naruto lewat di depan meja. Naruto kemudian ingat jika ia harus memberikan laporannya pada menajer bagian. Ia melihat monitor, kemudian meruntuk lagi.
Data based yang telah ia kerjakan menjadi banyak sekali ketikan huruf tidak penting!
"Mengesalkan!" katanya kembali.
.
"Kau terlihat tidak baik, Naruto." Pria yang menyapa itu berambut sedikit mirip Naruto tapi dengan warna berbeda datang. Tangannya jahil mengambil beberapa potong kentang goreng—cemilan si sahabat yang selalu terbiasa bekerja sambil mengunyah. Ia tersenyum melihat Naruto yang melotot ke arahnya. "Kau oke?"
Naruto menyender ke bahu kursi, kemudian melihat Kiba dengan sayu. "Apa yang kau lihat?"
Kiba menaikkan bahunya acuh, "Tidak." Jawabnya. Kiba mengambil kembali jatah kentang Naruto. Sebenarnya ia berharap Naruto akan memberikan sisanya untuknya saja, tapi sepertinya si kuning sedang tidak berbaik hati. "Kau punya masalah dengan Hinata-chan? Atau biaya masuk sekolah Himawari? Cerita saja, siapa tahu aku bisa ikut membujuk bos untuk memberikan pinjaman padamu, hm?" Kiba sebenarnya baik, tapi sifat dan keingintahuannya yang sangat besar itu terkadang terasa begitu menjengkelkan. Namun, untuk sekarang sepertinya cerita terhadap Kiba bukan pilihan yang buruk. Ia membutuhkan orang yang bisa mendengarkan ceritanya, dengan jaminan mulut yang terkunci rapat.
Jadi ia mulai mencondongkan tubuhnya. Menggeser kursi karyawan tempatnya duduk agar lebih mendekat. Ia melihat Kiba lamat-lamat, "Kau ingat Sasuke?" Naruto mengangguk saat Kiba menjepit jempolnya diantara jari telunjuk dan tengah. Setahu Kiba—maksudnya yang Naruto beritahu, Sasuke adalah patner Naruto yang seorang bi. Dia tidak tahu akan bagaimana dalamnya hubungan mereka. "Dia datang lagi," Kiba baru akan mencela sebelum Naruto melanjutkannya, "Tidak. Dia datang bukan ingin memberiku kenikmatan, Kiba. Dia datang membawa anaknya,"
"Dia telah menikah?" Kiba berhasil memotong, dan Naruto mengangguk karena memang pertanyaan Kiba sebuah kenyataan. "Aku tidak tahu kapan dia menikah."
Sasuke telah menikah—beberapa bulan setelahnya. Bahkan umur anak 'pertama' mereka pun hampir sama. Ia tidak tahu kenapa Sasuke melakukannya, maksudnya menikah dengan sangat cepat. Terlihat buru-buru dan kurang direncanakan dengan baik. Walau hasil jadinya cukup maksimal. Acaranya meriah dan dilakukan di gedung besar, tidak sepertinya yang hanya dilakukan di gereja dengan pesta yang dirayakan di taman.
Sasuke seperti sedang mengolok-ngoloknya saat itu.
"Iya. Dia telah menikah—tapi, tapi bukan itu masalahnya, Kiba. Bisa kau dengarkan aku sebentar?" Kiba mengangguk, dan Naruto menambahkan, "Tanpa memotong?" Kiba mengangguk lagi sambil mengambil kembali kentangnya. "Anak Sasuke, dia bilang—maksudku, anak kami. Sasuke datang kembali dengan seorang anak berambut hitam dan wajah persis sepertiku, dan dia bilang kalau anak itu adalah anak kami."
Kiba terdiam tiba-tiba, Naruto tahu mungkin temannya ini sedang kaget, dalam proses shock atau malah mati karena serangan jantung. Dimana pun adanya, Naruto pikir perjalanan hidupnya tidak akan sesulit ini. Ia pikir setelah Sasuke tahu bahwasanya dirinya telah dikhianati, lelaki itu akan langsung pergi dari kehidupannya. Tapi ternyata tidak.
Naruto memutar otak, mencari serangkai kalimat yang mungkin dapat membawa Kiba dari dunianya yang jungkir balik tiba-tiba. Ia menghela nafas, mungkin membuka sedikit jati dirinya lagi bukan masalah. Kiba orang yang baik, pemuda itu tidak pernah membuka aib yang telah ia tanggung begitu lama kehadapan publik. Kiba adalah contoh teman yang memang mengerti keadaan, walau terkadang sedikit mengesalkan.
"Kib—"
"Naruto, kau tahu istilah male pregenant?"
Naruto mengkerutkan kening, bibirnya terbuka dengan posisi sedikit aneh. "Hah? Apa maksudmu?"
Kiba mentap lamat-lamat Naruto, "Male pregenant. Seorang pria yang hamil, hamil, menghasilkan anak dengan sel sperma miliknya dan pria lain. Pasangan gay sepertimu dan Sasuke." Naruto membulatkan matanya kaget. Jujur, ia tidak tahu jika Kiba yang terdiam tadi adalah suatu bencana. "Aku pikir mungkin anak itu memang anak kalian."
Naruto gemetar. Sejenak Naruto tidak fokus dengan kalimat yang sahabatnya ucapkan. Kiba bukan hanya menyinggung kebenaran apa Menma adalah anaknya atau bukan, tapi soal dia yang tahu bahwa Sasuke dan dirinya adalah pasangan. Naruto lupa itu, jadi dia dengan tidak sadar malah mengerang dan bicara dengan suara rendah, "Kau tidak pernah melihat anak itu, Kiba! Dan jelas kau tidak tahu apa yang memang sedang terjadi!" ia bangkit dari kursi kemudian. Segera mematikan komputer, dan mengambil barang-barangnya.
Ia kesal, rasanya ingin mematahkan kepala Kiba yang memutar 360 derajat saat ia keluar dari mejanya. Rasanya curhat colongannya pada Kiba tidak berjalan dengan baik. Jadi lebih baik ia pergi sekarang, lagipula tidak terasa jika sudah saatnya ia pulang. Tapi pulang untuknya hari ini bukan tanda kalau ia harus berada di rumah, lebih baik pergi ke suatu tempat menenangkan diri terlebih dahulu.
Tahukah kalian jika seorang wanita yang telah menikah, dengan wanita yang masih berpacaran itu akan sangat berbeda?
Sebaik apapun wanita itu, semua akan berubah setelah kau tahu apa artinya berumah tangga.
.
Menma, anak itu berambut hitam. Sebelah matanya berwana biru langit seperti Naruto, dan sebelah lagi mirip dengan Sasuke. Kulitnya kecoklatan, tapi tidak terlalu berwarna seperti Naruto. Bibirnya tipis, dan perangainya dingin. Hari mulai sore, dan ia seharusnya sudah ada di rumah megah milik ayahnya sekarang. Untuk anak seumurnya, sebenarnya rumah bukan habitat yang baik. Ia memerlukan pemandangan baru yang sedikit merileksasikan daya pikirnya, bukan sebuah dataran luas yang disebut kamar penuh barang elektronik dan buku.
Tapi Sasuke tetaplah ayahnya. Orang itu selalu mengaturnya ini dan itu. Menma yakin Sasuke melakukan semua itu demi kebaikannya—atau apalah itu yang disebut pergaulan bebas, mungkin. Sasuke ramah, baik dan perhatian. Segala kelembutan seorang ayah telah ia rasakan dari Sasuke. Seperti tipe seorang ayah ideal.
Tapi… ibunya tidak.
Wanita berambut pink itu selalu menatap datar padanya. Tangannya tidak segan melemparkan tamparan, pukulan atau bahkan bogeman dengan kualitas tenaga sangat besar. Ibunya seorang mantan atlet karate, hanya itu yang ia tahu dari Sasuke. Selebihnya ia tidak bertanya lagi, karena Sasuke bisa curiga—seharusnya sih tidak, tapi entahlah Menma merasa tidak perlu banyak tahu akan ibunya itu.
Lagi pula, Sakura bukan ibu kandungnya.
Tadi siang ia telah bertemu bakal ibunya, ibu kandungnya. Tidak terlalu membahagiakan, tapi bukan juga sesuatu yang mengecewakan, Menma tahu kalau hidupnya bukan sebuah cerita yang perlu didramatisir. Ibu kandungnya—Sasuke yang memberikan title—bukanlah seorang wanita cantik, karena kenyataannya ibunya bukanlah seorang wanita. Ibu kandungnya seorang lelaki, pria tampan berambut pirang dengan kulit dan mata selayaknya dua orang yang memang memiliki ikatan batin.
Sedikit membingungkan, tapi ia berusaha memakluminya. Untuk ayahnya, semua itu masuk dalam kategori mungkin. Berguru pada seorang professor tua berambut panjang membuat Menma tahu jika ayahnya juga dulu mantan anak asuh Orochimaru. Haha, dunia terasa sempit saat ia mengetahui hal itu belakangan ini.
Menma berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Tempatnya tidak jauh dari kompeks perumahan besar tempatnya berteduh dan tidur selama ini. Jaraknya cukup dekat, tapi ia jarang datang kesana. Hanya beberapa waktu jika Sasuke sedang tidak mengawasi. Menma melihat ada satu tukang es krim yang sepertinya sangat ramai membeli. Tadinya ia pikir mungkin sore ini makan ek krim bukan satu hal yang buruk, tapi melihat bagaimana si tukangnya saja kerepotan, Menma jadi malas untuk ikut mengantri.
Ia memilih untuk duduk-duduk di pinggiran sebuah danau buatan dengan bunga teratai yang lumayan indah menjadi penyegar pandangan. Rumputnya segar dengan tanah kering namun subur dan lumayan empuk untuk diduduki. Ia melihat kanan dan kiri, beberapa orang terlihat ada yang berfoto atau sekedang berteduh di bawah pohon yang banyak ditanam di taman ini. Pandangannya beralih lagi, beberapa remaja wanita sedang lari sore sambil sesekali melihat ke arahnya.
Menma menggerutu. Lalu ia melihat lagi yang lainnya. Pandangannya ke depan, melewati danau buatan yang menjadi pemisah jarak. Matanya membulat, disana… ibu kandungnya.
Berbegas berdiri, Menma berjalan tergesa menghampiri Naruto.
"Otou-san,"
Menma sebenarnya merasa tidak yakin harus menyebut apa pria itu. Tapi, ia tidak gila untuk menyebut sesuatu yang tidak masuk akal di tempat yang jelas-jelas sangat vital. Ia dapat melihat pria itu menoleh kemudian tersentak. Mereka berpandangan untuk beberapa saat, hingga akhirnya sebuah senyum mengembang.
.
.
"Kau baru pulang?"
Menma mendengus. Rasanya malas sekali menjawab pertanyaan retorik yang terlempar dari mulut wanita di depannya. Tapi ia masih memiliki tata karma, dan menjawab pertanyaan orang yang lebih tua termasuk di dalamnya—yah, walau sebenarnya tidak perlu dijawab pun pasti orang itu tahu jawabannya. Jadi ia mengangguk, "Iya."—dan menjawab seadanya.
Wanita berambut pink itu terlihat puas, lalu pergi dari sana. Tidak ada niatan untuk memberikan Menma perhatian sama sekali. Biasanya seorang ibu akan langsung menanyakan 'apakah anaknya telah makan?' atau 'kenapa baru pulang?'
Namun, sekali lagi Menma memantapkan hatinya untuk berteriak bahwa 'Sakura bukanlah ibunya'. Ia tidak perlu mengharapkan sambutan hangat dari wanita itu. Ia menyeringai, 'Toh, nanti Naruto yang akan menyambutku dengan hangat.' Menma lalu segera pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Sasuke. Hanya kamar Sasuke, bukan kamar yang dipakai Sakura tidur.
Tidak pernah Menma melihat Sasuke tidur dalam satu kamar dengan wanita itu.
Bahkan, saat Sarada memaksa mereka sampai menangis kencang.
Ngomong-ngomong tentang Sarada. Gadis kecil yang menjadi adiknya selama ini itu tidak terlihat sejak ia memasuki pintu rumah ini. Tapi, ah—biarkan saja, "Toh, dia bukan adikku." Katanya sambil berbarik di ranjang. Tubuhnya terlentang dengan kedua tangan yang menjadi bantalan kepala. Ia melihat langit-langit kamarnya yang berwarna pucat. Seulas senyum mengalir dalam segaris bibirnya yang tipis, pipinya tertarik hingga mengukir sebuah lekukan indah berjumlah tiga buah—yang jika diperhatikan akan terlihat menyerupai kumis kucing. Menma menyentuh pipinya, merasakan gesturnya yang terasa lembut jika dibelai. Naruto juga memilikinya. Menma tersenyum semakin lebar. "Kau akan menjadi ibuku, Naruto. Pasti!" Gumamnya. Ia beranjak duduk di ranjang, dan mendekati lemari kayu kecil di sebelah ranjangnya. Tangannya menarik tuas laci paling atas, sebuah map biru terlihat, ia mencari map lain dibawahnya. Warna merah yang ia cari, dan Menma menemukannya. "Dad, aku akan membantumu mendapatkannya!" katanya setelah sepersekian detik membaca deretan huruf di dalam map tersebut.
.
.
.
…
_Pertunjukan dimulai_
Sudah berapa lama ia memijat batang hidungnya?
Terhitung berapa kali ia mengerang?
Seminggu sudah sejak ia bertemu Menma, dan ia merasakan sesuatu.
Naruto merasa rumah tangganya akan hancur sebentar lagi. Prinsip cinta tidak akan mudah dijalani dalam dunia nyata, maksudnya cinta akan datang saat kita telah terbiasa, karena kenyataannya hubungan yang didasari dengan perselingkuhan yang berakhir di pelaminan memang tidak direstui. Ia berpikir, semua salahnya. Semua hubungan seharusnya sama. Memerlukan kejujuran, dan Naruto baru mengetahuinya setelah bertemu dengan kebenaran.
Entah itu hubungan sah yang didasari dari sang pencipta, atau hubungan yang dianggap tabu karena tidak mendapat restu moral. Well, ia tidak bermaksud membedakan atau memberikan persamaan dalam sebuah hubungan. Naruto hanya sedang pusing hingga cara berpikirnya tidak jelas seperti sekarang. Ini dan itu, kesana dan kesini. Tidak nyambung sama sekali. Narasi yang diberikan otaknya tidak sejalan dengan apa yang sebenarnya terjadi.
So, intinya sekarang Naruto hanya ingin membuat rumah tangganya tidak hancur, sepertinya.
Tapi, bagaimana bisa ia mempertahankan segalanya sendiri? Hinata ternyata termasuk jenis wanita yang jika telah berubah tangga akan berubah. Prinsip, seorang suami dan istri apabila telah menikah akan menjadi musuh dalam selimut ternyata memang benar. Pria dan wanita yang telah menikah, akan sangat berbeda dengan disaat mereka masih berpacaran. Mereka akan saling menandingi. Tidak ada cinta sejati yang terus datang, suasana harmonis seperti dalam cerita, atau indahnya bahtera yang mereka lalui hingga setiap pagi-siang-malam akan terus dilayani.
"Aku bertemu dengan pemuda bernama Menma,"
Naruto tersentak. Ia keluar dari jalur pikirannya yang tidak terarah sejak tadi. Sedikitnya, orang yang bisa membaca pikiran pun tadi pasti akan pusing. Naruto sedang kalut. Pertemuannya dengan Menma membawa dampak sedikit aneh. Kalimat, '—aku bahkan tidak diinginkan oleh salah satu ayahku.' membuat Naruto kalang kabut. Jujur jika ia melihat Menma, Naruto seakan melihat bayangannya. Tapi realitas membawanya lagi, hubungan sesama jenis tidak mungkin membawa jiwa baru lahir dalam wujud manusia.
"Lalu? Kenapa?" tanyanya gugup.
Hinata membenahi bagian ranjangnya. Ia duduk sambil disana, lalu menarik selimut. "Dia mengaku, bahwa ia adalah anakmu, Naruto-kun." Naruto tersentak, Hinata tidur memunggunginya dengan selimut tebal yang melindungi. Hinata bergerak sedikit, "Anakmu dan Sasuke-kun. Aku tidak percaya, jadi saat ia akan bicara hal selanjutnya aku segera meninggalkannya." Naruto masih menunggu. "Mungkin jika ia yang mendatangiku di rumah ini, aku telah mengusirnya karena lelucon aneh yang dibuatnya itu."
Naruto memandang sayu kepala Hinata yang sedikit terbenam selimut. Jujur, Naruto memang tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Ia merasa hidupnya normal bersama Hinata, tapi disisi lain—ia tidak merasakan gejolak yang menggebu. Datar, tidak bervariasi, serta membosankan. Variatif masalah yang ditimbulkan dalam rumah tangga pun malah terasa menjadi beban, bukan membuat hidupnya berwarna.
"Bagaimana jika itu benar?"
Hinata tidak menjawab. Naruto pikir istrinya telah tertidur. Jadi ia segera merapihkan piyama tidurnya, mematikan lampu dan tidur membelakangi Hinata—terpisah dengan dua guling berwarna peach. "Jika itu benar, aku akan membuatmu menyesal selamanya, Naruto-kun."
Rasanya ancaman Hinata tidak semengerikan senyum yang diberikan Sasuke sambil merangkul Menma saat pertama kali mereka bertemu. Naruto tidak takut. Entah kenapa dia malah berharap Hinata memang membuatnya menyesal. Ia pria brengsek, hingga saat ini.
.
Pagi hari, Naruto melihat Himawari dan Bolt telah duduk di meja makan. Hinata sendiri masih menyiapkan sarapan untuk mereka. Naruto tersenyum ke arah anak-anaknya. "Ohayou,"
Himawari melihat lalu lanjut bermain dengan tempat makannya yang lucu. Anak perempuan itu tidak banyak bicara. Himawari pernah dibawa ke dokter oleh Naruto, anak itu berbeda. Himawari dapat bersosialisasi, tapi daya tangkapnya tidak secerdas anak kebanyakan. Himawari sedikit keterbelakangan, tapi tidak idiot. Hanya berbeda.
Bolt sendiri hanya diam dan melihat Naruto. "Tou-san kenal dengan pemuda bernama Menma?"
Naruto melihat Menma terpaku. Himawari masih asik dengan dunianya, dan Hinata melihat anaknya dengan pandangan sayu.
Naruto menghela nafas. "Itu bukan hal yang patut kita bicarakan, Bolt." Naruto melirik Hinata, lalu tersenyum pada anaknya. "Jika pun nanti akan terjadi sesuatu, bisa kau jaga ibumu?" Bolt mengangguk ragu lalu menunduk, dan Naruto—tidak dapat berkata apapun. Ia menyentuh lembut kepala Bolt.
Setelah ini, Naruto berencana untuk memberikan pesan pada Kiba. Sahabatnya itu paling dapat diandalkan disaat genting seperti ini. Naruto tidak berniat untuk bekerja sekarang. Urusan rumah tangganya lebih penting. Tapi, urusan salah satu anaknya yang tidak bahagia pun harus diprioritaskan. Naruto akan membicarakan semuanya dengan Sasuke. Apa yang terbaik untuk Menma?
Sampai saat ini, Naruto belum tahu keinginan pihak lain.
Naruto tidak tahu, jika saat ini—dia telah menangkap umpan pancingan.
.
.
Pagi itu, kediaman Uchiha masih seperti biasa. Seluruh keluarga sarapan dalam diam. Tidak ada percakapan. Dentingan persentuhan alat makan menjadi ritual pendengaran setiap pagi. Kepala keluarga mereka menjunjung sebuah tata karma yang sedikit ketat, menerapkan prinsip 'Tidak ada pembicaraan saat makan'.
Menma mengambil serbetnya. "Aku selesai."
Sasuke melirik Menma, lalu segera menyelesaikan sarapan. Sasuke beranjak bangun bersamaan dengan Menma. Ia melihat Sakura dan Sarada, "Aku akan mengantar, Menma."
"Bukankah sekarang seharusnya kau mengantar, Sarada?"
Sasuke mengenyit. Dia tidak suka dengan nada yang diberikan istrinya itu. Dalam diam Sasuke melihat anak kecil berkaca mata sedang melihatnya dengan harap. Sebuah ringtone pelan menyapa, Sasuke beralih melihat isi pesan masuk. Tidak mengatakan apapun, semua orang menunggu Sasuke mengambil tindakan. Ia memasukan ponselnya, kemudian melihat Menma. "Ayo berangkat. Sarada akan tetap diantar olehmu, Sakura."
Sakura terdiam tidak terima, ia melirik Sarada yang menunduk. "Baiklah." Akhirnya ia memang terlalu memuja suaminya. Sakura sekali lagi mengalah, biarkan harga dirinya terinjak. Sasuke lebih dari segalanya. Sasuke seperti nafasnya, menentang Sasuke artinya Sakura akan mati bunuh diri saat itu juga. Tidak peduli itu artinya melukai persaannya, Sakura adalah wanita yang walaupun dirinya diinjak dan diludahi, akan terus menurut.
"Menma,"
Menma tersentak. Ia segera mengambil tasnya, membungkuk sebentar ke arah Sakura lalu pergi. Ia tidak ada keperluan untuk pamit pada wanita itu. Sasuke tidak mengajarkannya, dan itu artinya sang ayah tidak ingin dia selalu berpamitan pada wanita itu.
Dirinya dan sang ayah sedang berdiri di teras. Seorang supir sedang mengeluarkan mobil dari garasi belakang. Ada banyak mobil yang bisa dipakai, hingga terdapat garasi yang cukup luas disana. Sasuke seorang kepala rumah yang luas, ia tidak mungkin berjalan kesana-kesini sendiri. Semuanya dibuat praktis, dia hanya perlu melemparkan kunci mobil dan supir itu akan membawa mobil ke hadapannya. Selebihnya? Sasuke dapat mengambil pilihan dengan mengemudi sendiri atau disupiri.
"Kau tidak akan sekolah hari ini." Menma melihat Sasuke penasaran. "Kita akan bertemu ibumu. Dia memberikan undangan pertemuan khusus keluarga." Jawaban dari Sasuke membuat Menma terlonjak.
.
.
Mareka bertemu kembali. Dalam satu tempat khusus—dalam sebuah restoran kelas atas, terhalang sebuah tirai merah, dan fasilitas kelas satu yang pasti disediakan Sasuke. Naruto datang dengan tampang datar. Ia berjalan mendekat, Sasuke menatapnya menang, dan Menma segera berdiri dari tempatnya duduk. Sasuke berjalan ke arah Naruto lalu tersenyum lebar, diikuti Menma yang menyusul cepat dan berdiri di depan Naruto sambil tersenyum juga, "Kami sudah menunggumu, Haha!" Menma melihat Naruto menatapnya kaget, sedikitnya ia pun kaget. Jadi ia menunduk, "Boleh'kan aku memanggilmu seperti itu?" tanyanya dan melihat kembali Naruto.
Mereka masih saling menatap sebelum saatnya Sasuke bersuara. "Kita tentu tidak ingin banyak waktu yang terbuang, bukan? Jadi—bisa kita mulai?" Sasuke berbicara seolah ia tidak tahu kenapa harus berakhir di tempat ini. Matanya tajam, dan Naruto juga ingin meluruskan semuanya. Ia berjalan sambil merangkul Menma pelan.
Menma sendiri merasa senang Naruto merangkulnya seperti ini, meski Naruto belum memberikannya izin atas nama panggilan.
Dia duduk di antara Sasuke dan Naruto. Mejanya berbentuk bundar, dan Menma duduk di kursi tidak jauh dari Sasuke dan Naruto. Mereka duduk membentuk segitiga sama sisi jika disambungkan. Hingga sebuah lingkaran jangak1terlihat saat itu.
Risih rasanya saat kedua orang berambut hitam itu menatap dalam terhadapnya. Naruto berdeham. "Sasuke, aku, aku ingin sebuah kepastian. Untuk apa kau sebenarnya membuat kami bertemu. Maksudku, aku dan—Menma?" Suaranya tertahan di tenggorokan, tertelan bulat hingga Naruto merasa tersedak. Dalam pikirannya Naruto hanya tak ingin membuat Menma merasa tidak diakui kembali.
Mata biru dan merah menyipit. Menma tersinggung, dan merasa jantungnya berdebar—tidak terima. Sebelum Sasuke menjawab Menma terlebih dahulu menyela. "Aku yang ingin!" Naruto melihatnya, Menma mengangguk mantap. Matanya terlihat pasti, "Tou-san selama ini tidak pernah mengajarkanku untuk memanggil Sakura sebagai ibu. Wanita itu datang saat aku masih kecil, dia memang bukan ibuku."
Naruto terpaku. Ia melihat Sasuke, "Sejak kapan kau membesarkan Menma?" Tanyanya pada Sasuke.
Sasuke menyeringai, "Kapan kedua kalinya kita berhubungan?"
Naruto tidak tahu jika Sasuke memang sejak awal tidak pernah ingin melepaskannya.
"Kau—sebenarnya apa ini benar? Aku masih belum percaya jika Menma—benar anakku, anak kita."
Sasuke menghela nafas. "Kau ingat jika dulu kita pernah bertemu seorang pria bernama Orochimaru?" Menma melihat ayahnya, Orochimaru adalah guru privatenya sekarang—tanpa diketahui Sakura. Naruto mengangguk, dan Sasuke tersenyum. "Aku berguru padanya. Ia seorang ilmuan yang sedikit gila," Naruto mengenyit. "—mungkin tidak sedikit. Dia ambisius, tapi cerdas. Ia sebenarnya seorang professor, banyak sertifikat tentang semua penemuannya yang bisa kau lihat jika berkunjung ke rumahnya. Tapi ia punya satu penemuan yang belum tercapai." Sasuke mangangguk saat Naruto membulatkan matanya. Ia mengambil nafas dalam, "Ia seorang gay, dan saat itu kami bertemu lewat sebuah forum. Ia hampir sampai pada titik terakhir penemuannya tentang 'bagaimana cara membuat pasangan seperti mendapatkan anak' hingga uangnya hampir habis. Ia memerlukan dana, dan aku memiliki segalanya, Naruto, kecuali dirimu."
Naruto menahan nafas.
"Aku bercerita segalanya. Ia bilang, aku dapat membuatmu terikat, tanpa harus menyakitimu. Aku tahu apa pandanganmu tentang hubungan kita saat itu. Aku tahu kau yang selalu ingin dianggap normal, tapi aku menutup mata. Dan saat Orochimaru berhasil meyakinkanku tentang seorang anak manipulative yang hidup," Sasuke melirik Menma, "Aku yakin, kita bisa hidup dengan keturunan." Sasuke berhenti. Ia menarik tangan Menma yang berada di meja makan. Matanya melihat Naruto dalam, "Dia anak kita Naruto. Menma adalah anak yang lahir dengan cinta kita."
Saat kau mencintai seseorang. Selamanya, orang itu akan menjadi cintamu.
Orang bilang, seorang pria akan terus mengingat cinta pertamanya, dia akan berpegang teguh akan karakteristik cinta pertama, entah seabstrak apapun cinta pertamanya. Sedangkan, seorang wanita akan menganggap pria terakhir yang menjadi suaminya adalah cinta sejatinya. Pertama dan terakhir, pria dan wanita seharusnya memang saling melengkapi. Tapi—berbeda halnya jika pria itu memiliki cinta pertama yang bukan wanita.
Lingkaran hidup akan rusak. Sebuah rumah tangga yang normal tidak akan terbina dengan baik.
Naruto menunduk, kepalanya pusing. Dalam hatinya, jelas Naruto memang masih terus memikirkan Sasuke. Namun, selalu ada kata 'tapi' dari semua pikirannya. Percabangan kedua jalan pikiran menariknya dalam kata 'kenyataan'. Ia dan Sasuke tidak ditakdirkan bersama, itu yang terus berputar. Hubungan mereka sama sekali tidak benar. Beberapa tahun terakhir ini Naruto selalu mendepankan pikirannya, menggunakan akal—bukan perasaaan—adalah sesuatu sering diajarkan, dan disebutkan oleh semua orang. Lelaki lebih memilih menggunakan otak dan otot, dibandingkan perempuan yang lebih condong pada perasaaan.
Harus berapa kali ia mendengar kalimat-kalimat orang bijak diluaran sana?
Naruto menghela nafas. Ia melihat Menma yang sedang memandangnya penuh harap. Menma selama ini tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu. Tunggu ibu?
"Haruskah sekali lagi kau membuatku berada dalam posisi wanita?"
Sasuke terkekeh. "Kau tahu, selamanya aku tidak akan tunduk pada siapa pun. Apalagi menjadi pihak perempuan."
Menma tersenyum. "Apa ini artinya Haha mau menjadi ibuku?" tanyanya.
Naruto memandang Sasuke, lalu melihat Menma. "Aku akan bicara terlebih dahulu pada Sasuke. Bagaimana pun, aku telah memiliki keluarga, Menma. Maaf, bisa 'kah kau memberiku waktu untuk berpikir, mungkin?"
"Apapun untukmu, Haha."
Yeah, apapu itu. Untuk keluarganya Menma akan lakukan. Walau itu mengunggu hingga menghancurkan yang lainnya. Menma tidak peduli pada anak-anak Naruto atau Sasuke yang akan ditinggalkan. Baginya, Sasuke dan Naruto adalah orang tuanya, hanya orang tuanya!
Menma tersenyum.
Ia senang karena saat ini, dia bisa melihat bagaimana Naruto makan. Satu meja, menyantap pesanan bersama. Meningat jelas raut wajah bakal ibunya itu dengan baik.
'Dari dulu aku bajingan, Sasuke yang membuatku menjadi brengsek, dan sekarang aku adalah pecundang.' Naruto menatap Sasuke, "Kita perlu bicara." Lalu melirik sang anak yang menunggu, "Nanti. Berdua, empat mata."
.
.
.
…
Sebulan sudah ia menunggu dalam ketidakpastian. Menma tidak tahu jika memutuskan sesuatu yang 'harusnya' sudah jelas, membutuhkan waktu selama ini. Beberapa kali ia hampir menemui Naruto, meminta sebuah jawaban. Ia tidak sabar untuk dapat memeluk ibunya, tidak peduli jika rasanya tidak akan seempuk memeluk wanita. Menma yakin, asalkan orang itu memberikan kasih sayang dan memiliki hubungan darah dengannya—ia dapat merasakan kehangatan dari sisi yang berbeda.
Ia mengela nafas. Matanya terpejam, fokus terhadap suara lagu yang sedang ia dengar dari earphone berwarna orange hitam di telinga. Kabel sambungannya tergantung indah dan menyambuh pada penjepit kecil di bagian kerah bajunya. Ia sedang suntuk, mendengarkan lagu tidak menjadi kesalahan dari rasa pelampiasannya. Menma tidak lagi mendengar apapun, suara tawa anak-anak di luar café pun tidak terdengar. Suara yang ia setel cukup kencang, ia tidak peduli jika nanti kepalanya berdengung pusing.
BRAK!
Ia mengenyit, meja yang menaruh segelas jus miliknya terasa bergetar, apalagi kakinya terasa ditendang seseorang. Ia membuka mata dan mengkerutkan kening. Seorang anak kecil berambut pirang berdiri didepannya. Tidak lama sebuah seringaian muncul, "Boruto… I know you. Anak kecil," decihnya di akhir. Menma menajamkan mata sambil melepas earphonenya, "Apa?" gayanya mencoba menggeretak.
Bolt melihat Menma tidak suka, "Kau ingin merebut ayahku?"
Menma merasa ini menarik. Mungkin anak ini bisa memberinya bocoran. Ia terkekeh, "Dia juga ayahku."
"BUKAN!"
"Siapa yang bilang?! Ayahku pasti tidak akan bohong jika kau bertanya padanya." Bukan tempatnya untuk membuat seorang anak menangis, tapi Menma gemas. Ia ingin membuat anak yang senang sekali mengaku dan memulai ini pertama kali kalah. Perbedaan umur bukan suatu halangan jika harus melawan, toh mereka sesama lelaki. "Kecuali jika ibumu itu yang bicara. Dia tidak akan mau mengakui jika orang yang kau sebut ayah itu juga ayahku juga. Ibumu pasti pembohong!"
"BUKAN!"
Menma melirik sekitar, beberapa orang mulai melihat ke arah mereka was-was, ada juga yang penasaran dan ingin menonton saja. Ia mengambil nafas. "Lalu? Kau boleh bertanya langsung pada ayahku." Jawabnya santai.
Botlt kesal. Dengan sekali terjang, ia mengadukan tubuhnya pada Menma. Suara hantaman kuat terdengar, gedemun dan beberapa barang yang jatuh terdengar. Kursi yang terbuat dari besi pun jatuh ke lantai dengan kerasa. Orang-orang melihat bagaimana Bolt yang sibuk mencoba memukul wajah Menma. Tubuh kecil itu meronta kencang. Menma yang ada di bawah Bolt juga tidak segan. Walau kecil, Bolt tetap anak lelaki yang pasti sering berlari ke sana-sini hingga tenaganya lumayan.
Ia memegang tangan kecil Bolt. Dengan sekali gerakan, Menma membawa tubuh mereka terbalik. Kakinya menahan berat badan, ia terduduk di perut Bolt sedangkan tangannya mencengkram erat.
Beberapa suara bisikan terdengar. Jeritan wanita yang selalu cari perhatian pun terdengar. Menma kesal, dengan sekali lemparan tangan, ia menampar pipi Bolt kencang.
PLAKK!
"Dia juga ayahku!"
Bolt terdiam. Matanya berkaca-kaca, rasanya sakit dan panas di pipinya tidak dapat melebihi perasaan sakit di hati. Bagaimana rasanya jika ayahmu diberi hak milik anak lain. Bolt tidak terima! Dengan kencang dia berteriak. "BUKAN! DIA AYAHKU! SELAMANYA AKAN MENJADI AYAHKU!"
PLAKK!
.
.
.
Tbc~
1Jangak : Orang yang tidak menghormati wanita.
