Title : Surrender To Forget You

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto-sensei

Warning : AU, OOC, etc

This is my first fanfiction. I hope it doesn't make you regret. I just wanna share, so please don't give me a flame. But, I still need your comments.

Don't Like Don't Read

PROLOGUE

Suasana sakral terasa di sebuah gereja kecil yang terletak di pusat kota Konoha. Sepasang kekasih yang terlihat sangat bahagia baru saja mengikrarkan janji suci sebagai sepasang suami istri untuk hidup bersama dalam suka duka dan akan mencintai setulus hati. Suara isak tangis para tamu undangan mengisi moment haru yang ada di hadapan mereka. Meski hanya keluarga dan sahabat dari kedua mempelai yang hadir, justru itulah yang diinginkan oleh sepasang anak manusia tersebut. Gereja kecil yang dihias dengan minimalis itu mungkin memang bukan tempat yang cocok untuk kondisi ekonomi keluarga kedua mempelai yang merupakan pemilik perusahaan besar di Jepang. Sang mempelai wanita ingin pernikahannya berjalan secara private. Lagipula, kehadiran orang-orang terdekat lebih penting dan membahagiakan baginya.

"Omedetou." Seorang gadis bersurai pirang panjang berteriak semangat meski air mata terus mengalir di pipinya. Ia berlari ke dalam pelukan sahabat kecil sekaligus rivalnya itu.

"Ne, Ino. Berhentilah menangis. Kau terlihat sangat buruk." Sang mempelai wanita tersenyum lembut sembari mengelus punggung gadis di pelukannya.

"Aku terharu, kau tahu." Ino melepas pelukannya dan menatap sepasang mata emerald seorang Haruno Sakura. Aa, ia melupakan sesuatu. Gadis itu bukan seorang Haruno lagi. "Aku tak menyangka kau akan memilihnya sebagai suamimu. Kupikir mungkin kau sudah gila. Ha ha."

"Cih, bukankah kau juga menganggapnya keren?" goda Sakura dengan kerlingan matanya.

"Hai. Hai. Wakatta. Tapi untukku, Sai-kun jauh lebih keren." ucap Ino dengan ceria. Sudah setahun gadis bersurai kuning itu menjadi kekasih Shimura Sai. Seorang pelukis ternama di Jepang yang akhir-akhir ini namanya mulai melambung hingga mancanegara karena lukisannya yang begitu menakjubkan.

"Baiklah, baiklah." Sakura akan lebih memilih mengalah ketika gadis itu memuji tentang Sai. Bahkan hingga bumi berhenti berputar, Sakura yakin Ino tidak memiliki satupun cercahan untuk orang yang dicintainya itu. Walau bagi Sakura, kekurangan Sai sangatlah berlimpah.

"Selamat atas pernikahanmu, Sakura-san," ujar sebuah suara halus yang terdengar di balik punggung Ino. Sakura melangkahkan kakinya untuk menyapa teman baiknya itu. Gadis polos dengan rambut indigonya yang indah, Hyuuga Hinata.

Sakura tersenyum lebar ketika wajah ayu Hinata nampak di kedua netranya. Gadis itu, entah kenapa selalu membuat Sakura iri dan kagum di saat yang sama. Hinata memiliki wajah yang jauh lebih muda dibanding ia dan Ino. Meski usia mereka yang telah menginjak angka dua puluh, tetapi gadis itu nampak lebih seperti gadis SMA biasanya. Dengan sedikit perubahan tampilan, Sakura yakin orang tidak akan menyangka jika gadis itu bukan lagi seorang remaja belia.

"Arigatou, Hinata. Terima kasih kau bersedia datang di pernikahanku," ucap gadis bersurai pink itu tulus.

Hinata tersenyum lembut memandang wajah berbinar gadis musim semi di hadapannya. Ia tahu seharusnya ia tidak tersenyum seperti ini. Harusnya ia menangis atau mengurung diri di kamar. Tapi ia memilih untuk menghadiri acara paling menyedihkan di hidupnya. Ia menangis, tentu saja. Ia menangis agar sahabatnya bahagia. Ia menangis dengan harapan cinta pertamanya bahagia. Gadis itu hanya berharap semua orang yang ia sayangi bahagia meskipun ia harus merelakan kebahagiannya sendiri terenggut. Termasuk sang mempelai pria yang sedang menatapnya dari seberang ruangan dengan tatapan tajamnya.

Cinta pertamanya, Namikaze Naruto.

Sudah cukup baginya menangis semalam suntuk dan mengurung diri di kamar malam tadi. Ini adalah kenyataan berat sekaligus pahit yang harus ia hadapi. Untuk saat ini, di hari yang sangat penting bagi orang yang ia cintai, Hinata akan mengulas senyum lebarnya. Saat janji itu terucap dari bibir pria yang akan selalu ada di hatinya, Hinata menggigit bibirnya dengan keras berharap tangisannya tidak akan keluar. Nyatanya. Tidak. Air mata mengalir di pipi putihnya tanpa ia sadari. Menyedihkan.

Hinata menunduk menghindari pandangan nanar pemilik mata sapphire yang berjalan menghampirinya. Ia merasa gelisah. Hinata tak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan Naruto. Ia belum siap untuk berhadapan apalagi berbicara dengan pria itu. Ia tidak akan siap. Tidak setelah semua yang terjadi di antara mereka.

Gaun soft pink dengan hiasan renda yang indah menjadi kusut akibat remasan tangan Hinata yang semakin mengencang. Gadis itu memeluk erat bagian perutnya sendiri. Berusaha melindungi sesuatu yang berada nyaman di dalamnya.

"Naruto, kau dari mana saja?" tanya Sakura dengan manja pada suaminya yang saat ini telah berada tepat di sampingnya. Sakura memeluk erat lengan pria itu, seakan tidak akan pernah melepaskannya. Dengan satu gerakan cepat, ia menempelkan bibirnya pada bibir pria itu. Membuat seseorang yang berdiri di hadapannya mematung.

"Tsk, jangan bertingkah manja di hadapanku, Forehead," cibir Ino yang sekarang telah berdiri di sisi Hinata.

"Bukan urusanmu, Ino-pig. Lagipula, Naruto adalah suamiku. Aku berhak melakukannya kapanpun aku mau," elaknya.

"Setidaknya simpan itu untuk nanti malam. Baka. Apa kau tidak melihat ada Hinata di sini?"

Hinata tersenyum getir menanggapi perkataan Ino. "Tak apa, Ino-san. Mungkin Sakura-san sangat bahagia melihat Naruto-kun." Dan hatiku terasa begitu perih, tambahnya dalam hati.

"Kau benar, Hinata. Terimakasih telah membelaku. Kau memang sahabat yang paling memahamiku. Tidak seperti gadis yang berdiri di sampingmu itu," sindirnya pada Ino yang saat ini merengut kesal.

Ino menatap tajam Sakura dan mendecih sebal.

Bukan karena ia tidak menyukai sikap Sakura yang begitu mudah bergelayut manja di lengan suaminya sendiri. Hanya saja, ia paham ini bukanlah saat yang tepat. Mungkin Sakura tidak pernah memahami bagaimana perasaan Hinata pada Naruto. Tapi Ino sangat memahaminya. Gadis itu mengalah. Hinata mengalah untuk perasaannya pada Naruto. Ino tahu jika Sakura adalah cinta pertama Naruto, hanya saja pada awalnya gadis musim semi itu tak pernah melihatnya.

Ino tahu bagaimana perasaan Hinata pada Naruto, bahkan ia yang mendukung gadis manis itu untuk menyatakan cintanya pada pria bodoh itu semasa SMA. Dan ia pula yang tahu bagaimana Naruto tak menganggap serius perasaan Hinata. Ia bertingkah seperti tidak ada apapun yang terjadi. Walaupun begitu, Hinata tetap tersenyum dan berlaku hal yang sama seolah semua yang ia lakukan juga tak pernah terjadi. Awalnya Ino pikir Hinata mulai mencoba untuk melupakan sosok pirang itu, tapi ternyata ia terus memendam perasaannya hingga mereka menuntaskan pendidikan mereka di universitas. Ketika Sakura mulai membuka matanya dan memilih Naruto sebagai pendamping hidupnya, Ino menjadi orang yang paling tersakiti melihat sahabat baiknya yang begitu lembut menangis di pelukannya. Gadis Yamanaka itu bersyukur Hinata adalah sosok yang tegar dan kuat, sehingga ia tidak perlu khawatir gadis itu akan melakukan hal konyol pada dirinya sendiri.

Naruto merasa begitu bodoh. Kali ini ia benar-benar menyadari betapa bodohnya ia. Ia setuju jika Sasuke selalu memanggilnya dobe. Karena sekarang Naruto pikir dirinya memang begitu idiot, tidak bertanggung jawab, dan jahat. Ia merasa menjadi orang yang sangat kejam. Jujur, ia merasa bersalah. Namun, ia tidak merasa menyesal terhadap gadis di hadapannya untuk semua yang telah ia perbuat.

Setelah Sakura dan Ino beranjak untuk menyapa teman-teman mereka. Kini hanya Naruto dan Hinata yang berdiri berhadapan dalam keheningan. Kecanggungan kental terasa di antara mereka.

"Selamat, Na-Naruto-kun," ujar Hinata memecah keheningan yang terasa menyesakkan dadanya. Hinata mendongak berusaha menampakkan senyum termanis yang ia bisa pada pria berkulit tan tersebut.

Naruto tercengang ketika menyadari betapa lembutnya senyum Hinata meskipun setelah dengan menjijikkannya ia memperlakukan gadis itu. Setelah kejadian itu ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengonsumsi cairan bening membiuskan yang bisa mengambil kesadarannya.

Pria itu terdiam. Mengunci rapat mulutnya, karena ia tidak tahu harus mengatakan apa. Naruto mengamati secara detail wajah cantik Hinata. Sejenak menyelami indahnya mata sewarna batu amethyst milik gadis itu kemudian beralih ke lekukan bibir memesona yang sempat memikatnya. Bibir ranum dimana hanya Naruto seorang yang tahu bagaimana manisnya rasa benda lembut tersebut. Bahkan hanya dengan memandangnya membuat Naruto meneguk ludah.

Hinata menundukkan kepalanya berusaha mengindari tatapan menyelidik Naruto pada dirinya. Tatapan intens yang pria itu berikan berhasil membuatnya gugup tak terkira. Jantungnya mulai berdebar dengan kencang. Dan satu hal yang Hinata yakini, wajahnya pasti telah memerah. Dengan gugup ia mencoba memikirkan kalimat atau apapun yang bisa ia ucapkan agar Naruto berhenti mengamatinya. Tapi, otaknya tidak bekerja sesuai yang ia harapkan. Hanya degupan jantungnya yang terdengar nyaring di telinganya sendiri. Ia mulai bergerak gelisah.

"Hinata," sebut Naruto ketika menyadari ketidaknyamanan gadis itu di dekatnya. Ia ingin meminta maaf, namun lidahnya terasa kelu hanya untuk mengatakan satu kata tersebut. Satu kata maaf sepertinya tak cukup baginya menebus semua kesalahan yang telah ia perbuat.

"A-Ano, sepertinya aku harus segera pergi. A-Aku ada janji dengan seseorang. Sekali lagi, selamat atas pernikahanmu dan Sakura-san," sela Hinata sebelum Naruto mencoba membuka mulutnya lebih banyak lagi. Ia membungkuk pamit dan dengan tergesa beranjak meninggalkan pria tampan di hadapannya yang merasa sangat terluka. Tapi toh Naruto juga tidak mencegah kepergian gadis itu. Mungkin lebih mudah bagi mereka untuk tidak terlalu banyak berkomunikasi. Naruto menatap punggung kecil Hinata yang mulai menjauh dari indra penglihatannya.

Udara masih terasa panas bahkan ketika warna langit telah menggelap beberapa jam yang lalu. Beda halnya dengan musim dingin, di musim panas baik siang ataupun malam suasana masih terasa sama. Hal itu terlihat cukup jelas pada sesosok pria yang sekarang duduk di salah satu meja bar terkemuka di Konoha. Pria itu mengerang dan mendesah beberapa kali semenjak ia datang di tempat itu. Tangannya bergerak melingkar menyusuri tepi gelas yang awalnya berisi cairan beralkohol. Tatapan matanya meredup seiring berhentinya pergerakan jari lentiknya. Menarik nafas, pria itu kemudian menutup matanya berusaha menenangkan hati dan pikirannya.

Tinggal menghitung hari dimana pernikahannya akan segera diselenggarakan. Ia merasa gelisah dan cemas. Mungkin sindrom sebelum pernikahan. Harus ia akui jika hatinya mulai tak tenang. Entah karena ia belum siap untuk menjalin sebuah komitmen atau karena hal lain yang ia tidak ketahui. Tentu pria itu begitu mencintai calon istrinya. Ia adalah gadis tercantik yang ia kenal. Cinta pertamanya. Meskipun pada awalnya gadis itu selalu menolak ajakan kencannya, namun setidaknya ia tidak menolak kehadiran dirinya di samping gadis itu. Pria itu, Uzumaki Naruto, tidak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Walaupun kata 'tidak' selalu terucap dari bibir gadis musim semi itu, Naruto tak menyerah dan tetap bertahan. Ia mencintai gadis itu, begitulah yang dipikirkannya. Saat Haruno Sakura menginginkan sebuah komitmen dengannya, hatinya melambung terlalu tinggi. Itu impiannya selama ini.

"Naruto-kun?"

Suara itu. Suara yang tak asing di telinganya. Pemilik suara merdu itu yang sejak lama mengusik hatinya. Ia mengintip dari balik bulu matanya yang panjang, menatap dengan seksama wajah yang tergambar di depannya. Seorang gadis manis dengan matanya yang lebar serta rambut panjangnya yang tergerai dengan indah melalui bahunya.

"Kau baik-baik saja?" tanya gadis itu dengan nada cemas saat Naruto hanya terdiam memandangnya. Ia berdiri di hadapan Naruto dalam balutan pakaian kasualnya. Yang Naruto pikir terlihat begitu menggoda meskipun sangat jelas pakaian itu sama sekali tak membentuk tubuh gadis itu. Pakaian itu berukuran cukup besar untuk ukuran tubuh kecilnya. Tapi, justru itu yang membuat Naruto menerawang sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.

"Na-Naruto-kun?" Sekali lagi gadis itu memanggil namanya. Mencoba menarik atensi dari lawan bicaranya yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Hinata? Sedang apa kau di sini?"

Gadis itu tersentak. Wajahnya merona. "Manajer di tempatku bekerja paruh waktu baru saja naik jabatan dan mengajak kami semua untuk acara nomikai. K-Kau sendiri? Di mana Sakura-san? Aku tak melihatnya."

"Aku tak menyangka kau cukup cerewet, Hinata."

"E-Eh? E-Eto, gomennasai."

Naruto terkikik geli melihat tingkah teman sekolahnya yang menunduk menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua jarinya yang saling mengetuk di depan dadanya. Membuat hatinya tergerak untuk menggoda gadis lugu itu, "Minta maaf untuk apa?"

"Itu― Naruto-kun, jangan menggodaku!" protes gadis itu saat Naruto memandangnya dengan tatapan geli dan sudut bibir yang berkedut menahan tawa. Pipinya menggembung sebal.

"Berkenan menemaniku minum?" tawar Naruto dengan ringan.

Hinata yang merasa tidak enak menolak ajakan Naruto memilih untuk duduk menghadap pria berkulit tan itu. Matanya memandang beberapa gelas kosong yang terletak di depan Naruto dan satu gelas di tangannya yang masih terisi cairan bening hampir setengah penuh. Dahinya mengerut menatap mata sapphire pemuda itu yang tak secerah biasanya.

"Aku tak tahu jika kau minum minuman beralkohol." ucapnya ketika Hinata memandang wajahnya. Sepasang amethyst bertemu dengan jernihnya lautan biru sapphire milik Naruto. Hinata terpana untuk sesaat sebelum tersadar jika pria di hadapannya tak akan pernah bisa lagi terjangkau olehnya.

Lima belas tahun memendam rasa cinta yang mendalam terhadap pria itu, membuat Hinata hampir tidak mungkin untuk melupakan sosok hangat yang selalu menyinari hidupnya. Tapi, takdir mungkin berkata lain. Pria itu―Naruto bukan untuknya. Sudah sepantasnya ia mulai melupakan semua hal tentang pria yang saat ini menatapnya dengan intens. Tapi kenyataan selalu berjalan tak seiring dengan keinginannya. Hinata telah berusaha melupakannya semenjak pernyataan cintanya ditolak oleh sang pujaan hati. Memang Naruto tidak pernah mengatakan kalimat penolakan secara langsung. Hanya saja sikap pria tan itu yang bersikap seolah perasaannya hanya angin lalu membuatnya tersadar jika cintanya memang tak pernah terbalaskan.

Sifat Naruto yang selalu ceria dan tak pernah menyerah selalu membuatnya berdebar dan mencinta lebih dalam. Hingga ia memutuskan menyerah untuk melupakannya. Menyerah hanya sampai kabar hubungan Naruto dan primadona sekolah―Haruno Sakura, berhembus seperti angin di musim dingin. Dingin dan menusuk.

Hinata berusaha menutupi semua perasaannya agar tak terlihat begitu menyedihkan. Pria itu bahkan tak pernah melihatnya. Satu-satunya wanita yang ada di mata indahnya hanyalah gadis musim semi yang begitu sempurna.

"Apa kau harus segera pulang?" Suara baritone milik Naruto memecah lamunan Hinata.

Gadis itu menggeleng dengan keras untuk menyanggahnya, "Tidak. A-Aku bisa menemani Naruto-kun." Pria itu menatapnya dengan tajam, seakan tak percaya dengan ucapan Hinata. "Mungkin sebentar," tambah Hinata dengan senyum tipis di bibirnya. Lagipula, tidak baik berduaan dengan seseorang yang sebentar lagi akan segera menikah.

"Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"

Naruto tersenyum getir mendengar pertanyaan Hinata. Gadis itu selalu mengerti apa yang terjadi padanya.

"Hn? Apakah itu nampak jelas?"

"Ku-kurasa begitu. Ada apa?" Hinata menatap Naruto dengan lembut yang memberikan rasa nyaman di hati pria itu.

Naruto menghabiskan sisa minuman di gelasnya. Menenggaknya dalam sekali teguk sebelum berujar, "Hatiku merasa gelisah. Rasanya sesak dan tidak nyaman. Kau tahu, Hinata, itu sangat mengganguku." Naruto tertawa pahit, "Apakah rasanya seperti ini sebelum seseorang akan menikah? Cih. Mendokusei."

Apa Naruto-kun mabuk? pikir Hinata dalam hatinya. Tapi gadis itu sama sekali tak berniat untuk memotong perkataan pria yang dicintainya tersebut. Jika dengan Naruto mencurahkan segala hal yang mengganggunya dapat meringankan beban pria tersebut, maka Hinata akan berada di sisinya bahkan ketika fajar menjelang dan membuat seluruh keluarganya khawatir. Setidaknya Hinata ingin ada di saat pria itu membutuhkannya. Sebelum pria itu benar-benar menjadi milik orang lain, Hinata ingin berada di sisinya selama mungkin. Mendengarkan segala keluh kesah pria itu.

"Aku sangat mencintai Sakura-chan. Iya kan, Hinata? Aku sangat mencintainya."

Bahkan ketika itu memberikan goresan pada hatinya.

"Tapi― Tapi kenapa kau selalu muncul di benakku? Bahkan kau selalu hadir dalam mimpiku. Apa kau mencoba menerorku, ha?" Naruto terkekeh mendengar perkataannya sendiri. Sedangkan, Hinata terbelalak tak percaya dengan pendengarannya. "Kau tahu, aku selalu merasa bersalah tidak menolakmu saat itu. Tahu kenapa?" Naruto terdiam memberi jeda. Sepasang matanya menatap kedua mata Hinata, "Karena aku tak ingin mengatakannya. Karena aku tak bisa mengatakan aku tidak menyukaimu. Tsk, bodohnya aku." Hinata terdiam menahan desakan air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Naruto terus mengumpat dan menekan kepalanya yang terasa berputar. Tapi lelaki itu tak mau berhenti berbicara. Sesuatu di hatinya belum merasa puas.

"Aku tidak bersikap seolah tidak peduli dengan perasaanmu. Aku hanya― Aku hanya mencoba menampik perasaanku sendiri. Aku mencintai Sakura-chan, dan aku ingin hidup bersamanya. Itulah yang selalu aku inginkan. Kau mengerti kan, Hinata?"

Hinata mengangguk meskipun ia tahu pria di hadapannya tidak akan mengetahuinya. Naruto tertidur setelah berbicara dengan panjang mengenai perasaannya. Hinata tak menyangka jika pria itu bisa mabuk seperti ini. Dengan tubuhnya yang kecil, Hinata menempatkan lengan Naruto melingkari bahunya, berusaha membopong tubuh gagah Naruto untuk masuk ke dalam mobil milik pria itu. Meskipun sepanjang perjalanan ia harus beberapa kali mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Apartemen Naruto terletak cukup jauh dengan bar yang mereka singgahi. Setelah bertanya kepada resepsionis tentang ruangan Naruto, Hinata membopongnya dibantu oleh salah seorang security yang sedang bertugas saat itu. Apartemen Naruto yang terletak di pusat kota dengan pemandangan jalanan kota Konoha yang begitu indah dengan lampu-lampu jalan dan gedung pencakar langit yang menyala menerangi pekatnya langit malam. Apartemen mewah itu terlihat cukup berantakan. Beberapa cup ramen instan yang telah tandas isi di dalamnya tercecer berantakan di atas meja yang terletak di depan televisi berukuran besar. Dokumen-dokumen yang begitu banyak menumpuk di atas sofa secara tak teratur. Hinata yakin Naruto pasti membacanya sembari tiduran di atas sofa panjang berwarna coklat gelap itu.

Hinata berterima kasih pada sosok besar yang membantunya membaringkan Naruto di ranjang besarnya. Setelah security itu menghilang di balik pintu keluar, Hinata menatap wajah tenang pria yang tertidur di hadapannya. Rentetan kalimat Naruto masih terngiang di kepalanya. Tapi bagaimanapun perasaan Naruto padanya, Hinata paham yang diinginkan Naruto bukanlah dirinya. Bukan Hyuuga Hinata, melainkan Haruno Sakura.

Hinata beranjak pergi meninggalkan Naruto sebelum air mata mendesak keluar untuk kedua kalinya. Tetapi sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat dan menariknya jatuh ke atas dada bidang yang terlentang di atas ranjang. Sepasang tangan kekar memeluk erat punggungnya. Hinata menutup matanya dengan kuat. Jantungnya berdebar dengan begitu kencang. Dengan suasana malam yang begitu hening, Hinata khawatir sosok yang berada di bawahnya mampu mendengar debaran itu.

Hinata menunggu beberapa saat. Membiarkan keheningan malam mengisi kamar Naruto. Ia membuka matanya perlahan di saat ia rasa tak ada apapun yang akan terjadi. Gadis itu mendongak memastikan Naruto masih terlelap dalam mimpinya. Akan tetapi, bukan itu yang terjadi. Melainkan sepasang mata sebiru langit yang memandangnya dengan lekat. Hinata terpana. Gadis itu merona dan tak mampu mengalihkan pandangannya dari netra menenangkan itu.

Naruto berusaha menahan segala gejolak yang ia rasakan. Dan hal itu terasa mustahil saat ini. Alcohol terlalu banyak mengambil alih pikirannya, dan ia tidak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Dengan teliti ia mengamati setiap inchi wajah yang ada di hadapannya. Tangannya yang bebas dengan berani menyentuh pipi mulus milik gadis itu. Naruto membiarkan tangannya berada di sana beberapa saat untuk merasakan dinginnya pipi Hinata. Matanya terpejam kemudian terbuka lagi. Kini jemarinya beralih mengusap garis wajah cantik itu. Naruto menyusurkan jarinya di dahi Hinata kemudian turun ke hidung gadis itu. Membiarkan jemarinya menyusuri bentuk tulang hidung gadis itu dan berhenti di belahan bibir ranum yang indah. Naruto terdiam beberapa saat. Mengamati bentuk bibir Hinata yang begitu menggoda untuk dikecup.

Tangannya yang besar telah berpindah ke belakang tengkuk Hinata dan mendorongnya lebih dekat. Naruto yakin dia pasti gila karena terlalu cemas dengan pernikahannya. Tapi untuk kali ini saja, Naruto memohon maaf dalam hatinya. Kali ini saja, biarkan ia melakukannya.

Hinata terpaku di tempatnya. Merasakan sentuhan Naruto di setiap sisi wajahnya. Hinata tidak bisa menghentikannya. Sentuhan itu terlalu nyaman untuknya, dan ia tidak ingin kehilangan rasa itu. Lantas ketika pria itu mendekatkan wajahnya dengan wajah tampan milik Naruto, Hinata tak mengelaknya. Hembusan nafas Naruto terasa hangat di wajah Hinata. Aroma citrus memberikan rasa nyaman dan mendamba bagi gadis itu. Biarkan untuk kali ini saja. Hinata tidak akan menyesalinya. Ia hanya ingin memilki sebuah kenangan manis bersama pria yang dicintainya. Untuk pertama dan terakhir kalinya, Hinata berharap itu terjadi.

Naruto mengecup lembut bibir Hinata. Awalnya hanya sebuah kecupan ringan, tapi berakhir dengan lumatan dan pagutan yang tak sanggup Naruto hentikan. Pria itu menginginkan lebih. Bibirnya terus menyesap rasa manis bibir Hinata. Lidahnya menjilat setiap rasa yang ada di bibir gadis itu. Dengan tak sabar Naruto bergantian menyesap bagian atas dan bawah bibir ranum Hinata. Tangannya terus mendorong tengkuk gadis itu untuk lebih dekat. Tak sampai di situ, Naruto mendesak bibir mungil nan menggiurkan itu untuk terbuka, mengajak lidah gadis itu untuk beradu dengan lidahnya. Menyesap satu sama lain dan tidak pernah merasa puas hingga kebutuhan oksigen memaksa mereka untuk berhenti.

Hinata menekan bahu Naruto dan mendorongnya perlahan. Ketika bibir mereka terlepas, Hinata menggunakan kesempatan itu untuk menghirup oksigen sebisa mungkin. Dadanya terus bergemuruh. Hinata merasa ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya, memberikan sensasi geli yang begitu menyenangkan. Hembusan nafas berat terdengar dari mulut kedua anak manusia yang diselimuti gairah.

"Apa ini pertama kalinya?" tanya Naruto di sela hembusan nafasnya yang terengah-engah. Meskipun ia pernah melakukannya dengan Sakura, tapi bagi Naruto ciuman kali ini terasa berbeda. Terutama ketika gadis di hadapannya itu mengangguk dengan pipi yang merona.

Naruto mengulas senyum tipis. Pria itu ingin berhenti saat ini meskipun dahaganya masih belum terpuaskan. Selagi ia masih bisa mengendalikannya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi jika ciuman itu berlanjut lagi. Naruto tidak dapat menjamin Hinata akan pulang malam ini.

Naruto dan Hinata terdiam, tidak ada yang ingin beranjak dari posisi mereka saat ini. Dalam keheningan dan cahaya temaram di dalam kamar, Naruto dan Hinata saling menatap dalam diam. Berusaha menyelami hati masing-masing melalui mata mereka. Mata Naruto menggelap oleh gairah, tubuh pria itu terasa panas di kulit Hinata. Gadis itu merona dengan hebat karena tak pernah ditatap dengan tatapan seperti itu sebelumnya. Untuk kedua kalinya Naruto mengalah pada hasratnya. Kembali ia mempertemukan bibirnya dengan bibir Hinata. Naruto mengusapkan bibirnya dengan menggoda di garis rahang gadis itu hingga desahan tak sabar keluar dari bibirnya. Hinata bergerak tak sabar di tempatnya. Tangan kecilnya menangkup kedua pipi Naruto dan berusaha meraih bibir pria itu. Naruto menyeringai geli melihat tingkah Hinata yang tak sabaran. Tapi pria itu tidak akan menyerah dengan begitu mudah. Bibirnya mulai menjelajah lebih dalam ke ceruk leher Hinata. Memberikan gigitan-gigitan kecil yang membuat gadis itu mengeluarkan desahan yang indah. Tangannya yang bebas mulai bermain dengan dada gadis itu. Dengan lihai, tangan besar itu menelusup masuk ke dalam baju longgar Hinata dan meremas bongkahan daging yang menegang di tangannya. Hinata tidak pernah berhenti untuk mengerang dan mendesah. Pinggul gadis itu terus bergerak menggodanya. Gesekan yang Hinata buat menekan batas kesabarannya. Naruto benar-benar merasa putus asa. Celananya mulai terasa semakin sempit dan tak nyaman. Dengan tak sabar Naruto melucuti seluruh pakaian yang Hinata kenakan.

Wajah Hinata terlihat merah padam. Tapi Naruto dapat melihat raut tak sabar di wajah gadis itu. Bahkan ia ikut membantu Naruto melepas seluruh pakaiannya. Naruto tak kuasa menahan tawanya. Ia tak menyangka akan bermain nakal seperti ini, terutama dengan gadis polos seperti Hinata yang bahkan ciuman pun belum pernah. Setelah penyatuan mereka, Naruto benar-benar merasa sangat bersalah. Tapi Hinata tidak membiarkannya berhenti.

"Hanya untuk malam ini. Aku mohon, Naruto-kun. Biarkan setidaknya aku memilki satu kenangan manis bersamamu."

Dan Naruto kembali mengecup setiap centi bagian tubuh Hinata.

"Gomen, Hinata."

-To Be Continued-

Review, Onegai ^^v