Mohon maaf bagi pembaca yang sudah lama menunggu Chapter baru Running Shoes karena keterlambatan Author untuk update cerita ini. Saya sedang agak mepet dengan pekerjaan dan sekolah, sebagai gantinya saya menyiapkan satu cerita khusus yang berpusat pada Reader tapi tidak melanggar peraturan dari Fanfiction Chapter ini juga empat kali lebih panjang dari chapter biasanya! (Juga karena Author kurang planning ',:9.)

Untuk reader yang sudah Fave/Review/Follow, terima kasih banyak sebelumnya telah melakukan ketiga hal tersebut, karena kalian, saya jadi termotivasi untuk melanjutkan Running Shoes, kali ini lebih serius lagi. Mohon maaf juga jika saya ga bisa bales Review kalian (biarpun sekarang masih sedikit, maaf banget ya), kadang saya ga tau harus bales apa kecuali terima kasih sebanyak-banyaknya, selain karena saya juga orangnya pemalu. *curcol*

Diluar hal-hal itu semua, silahkan menikmati ceritanya!~ ^_^


"I can't believe it. You befriend him?" Seru Alfred kecewa. Namun Adinda sendiri melihat Alfred dengan ekspresi luar biasa kaget. Bagaimana tidak, Alfred tiba-tiba muncul dari persimpangan, menyerukan kalimat yang diperlukan konteks untuk dapat dipahami, ditambah lagi Alfred masih mengenakan pakaian Rugby beserta Helmnya, dan ia juga masih menenteng bola Rugby jika itu dibutuhkan untuk membuktikan kalau ia benar-benar habis bermain Rugby.

"Siapa?"

"Dia! Siapa lagi?"

Kali ini Adinda jengkel dengan sikap Alfred. "Aku baru berkenalan dengan empat puluh orang, lima puluh orang sedari aku bertemu denganmu. Beritahukan aku. Siapa?"

Alfred membuka Helmnya, menggaruk-garuk kepalanya, membuat rambutnya yang setengah basah akibat keringat terlihat sangat berantakan. "Ivan! Ivan Braginsky! Seharusnya kamu lebih berhati-hati di sekitar Yao!"

Adinda mengerutkan keningnya. "Bagaimana aku tahu senior Yao berteman dengan senior Ivan? Lagi pula ada apa denganmu dan senior Ivan?"

"Can't you just get it?! Dia Braginsky! Apakah kamu tak melihat betapa liciknya dia? Ia akan menggunakanmu Adinda!"

Adinda melirik Alfred dengan pandangan agak merendahkan. Memangnya kamu juga tidak? Memangnya semuanya tidak melakukan itu? Sedari hari pertama memangnya siapa yang tidak? Adinda menutup mulutnya rapat, menjaga dorongan untuk mengemukakan apa yang ia pikirkan saat ini, namun ia justru malah mengatakan. "Apa yang memangnya ia akan lakukan padaku? Apa yang akan kamu lakukan padaku kalau aku masih berteman dengannya?"

"I have lost faith in you… you should run before he grow interest in you." Alfred berjalan mundur dan meninggalkan Adinda, "dan sangat disayangkan aku tak bisa lagi jadi temanmu."

Mata Adinda terpaku pada punggung Alfred yang sangat lebar, kotor dengan tanah dan rumput. Biasanya ia tak akan menggubris sebuah larangan, selama ini ia tak pernah sama sekali malahan, namun ia kali ini mendengarkan apa yang Alfred katakan. Bagaimana senyuman biasa Ivan mampu membuat Emma tak dapat berkata apa-apa sudah cukup mengusik Adinda dan rasa penasarannya. Apakah ini ada hubungannya dengan kekacauan? Ia akan segera mencari tahu soal itu.

Adinda tak mampu menemui Alfred setelah perpisahan tadi, teman-teman Alfred berkata Alfred hanya mengambil tasnya dan kembali ke asrama, tak memberikan petunjuk apa-apa tentang apa yang terjadi padanya.

"Kalian bertengkar?"

Pertanyaan tersebut Adinda jawab dengan berkata kalau sesuatu yang aneh terjadi pada Alfred saat Adinda menyebutkan nama Ivan, dan tiba-tiba semua teman Alfred dari tim Rugby terdiam, mereka memalingkan wajah mereka, dan semuanya langsung mengabaikan keberadaan Adinda, serta pertanyaannya yang Adinda lontarkan setelahnya. Seolah membantu Adinda mengetahui konflik antara Alfred dan Ivan tampaknya sangat serius. Dan sudah satu jam sudah Adinda duduk di kursi batu dekat asrama laki-laki. Murid yang lalu lalang pun mulai sedikit, kebanyakan tak ada niat untuk menghabiskan waktu mereka diluar asrama.

"Adinda!"

Lamunan Adinda dibangunkan oleh seorang perempuan yang berwajah familiar.

"Alfred hari ini tak lari, tumben." Kata perempuan tersebut, duduk di samping Adinda. "Ia katanya bersikap aneh sekali saat pulang dari latihan Rugby. Katanya soal Ivan lagi. Aku tak tahu detailnya, kamu tahu?"

Adinda langsung menggeleng cepat dan menelan ludahnya, canggung. Ia pun langsung tahu siapa perempuan tersebut. Salah satu fans Alfred yang ikut bercanda saat Adinda pertama kali bertemu dengan Alfred. Dan tujuan perempuan itu sudah jelas sekali saat Adinda memperhatikan gaya berpakaiannya. Rambutnya dikuncir rendah dan ujungnya ikal, disandarkan rapi pada bahunya. Ia juga mengenakan blus lengan pendek berwarna biru dengan motif bintang, celana berwarna merah yang agak terlalu pendek jika dikenakan sore hari dengan udara dingin, dan stocking putih dengan garis-garis hitam tipis. Flat shoes yang dikenakan perempuan tersebut juga tak kalah imut dan manis, berwarna biru muda pastel terbuat dari bahan kain yang kasar.

"Habis lari?" Tanya perempuan itu, memecah kesunyian, juga mungkin merasa risih diperhatikan. Perempuan itu juga tak kalah observatifnya dengan Adinda.

"Ya."

"Untuk kompetisi?"

"Yup."

Tiba-tiba si perempuan berdeham. Beberapa detik terasa begitu mencekam untuk Adinda. Ia akan segera berbicara kan? Apa yang ia tunggu? Apa yang ia akan katakan? Alfred lagi?

"Apa kamu sibuk habis ini?" Akhirnya si gadis jelita berbicara kembali, "miss Jennifer menyuruhku untuk membawa beberapa dokumen yang saat ini seharusnya sudah berada di ruang dokumentasi… kamu cepat kan? Aku akan berikan tandatangan sebagai gantinya. Tolong ya?"

Adinda berusaha membuat ekspresinya terlihat sedatar mungkin. Siapa yang tak akan mempertanyakan permintaan dadakan tersebut? Ditambah lagi dengan informasi penting kalau gadis tersebut terlihat manis, di depan asrama laki-laki, dan menunggu idolanya? Ia mengusir Adinda secara halus, dan menggunakan kekurangan Adinda—kekurangan tandatangan untuk hari senin nanti—dalam melakukannya. Jika Adinda tak tahu motif dari gadis tersebut, ada kemungkinan Adinda akan menolak dan tetap menunggu Alfred. Tetapi Adinda tahu, ia sangat tahu menunggu Alfred tak akan membuahkan hasil jika Alfred masih menjauhkan diri dari Adinda.

"Oke. Tentu saja. Dimana dokumen tersebut?"

"Terima kasih banyak!" Tiba-tiba si jelita memeluk Adinda. Membuatnya agak tak nyaman dengan bagaimana gadis itu mengenakan parfum sedikit terlalu banyak dari apa yang dapat diterima hidung dengan pernapasan yang baik, dan memberikan sensasi seolah Adinda akhirnya mendapatkan udara segar sehabis menyelam dalam laut sesaat setelah gadis itu melepaskan pelukannya.

"Dokumen tersebut ada di kelas 1G, tahu kan? Bangunan pertama, lantai dua paling pojok? Tom mengajar di kelas 1F, jadi kalau Tom masih ada, kamu bisa minta izin dengannya, atau kalau tidak kamu ke ruang guru dan meminta izin pada miss Jennifer terlebih dahulu sebelum bisa mengambil dokumen itu di loker kelas. Lalu membawanya ke ruang dokumentasi, lalu berikan pada sir Kirkland, bilang saja kamu teman dari Arthur—ia paman dari Arthur kalau kamu tak tahu."

Informasi yang diberikan oleh gadis jelita tersebut sangat banyak untuk mampu diserap oleh Adinda saat itu juga. Namun beruntung dapat Adinda langsung menangkap informasi yang penting dan langsung meninggalkan tempat duduk yang terletak di samping jalan setapak terbuat dari conblock itu.

Tom tak ada, miss Jennifer juga tak ada, tetapi miss Franci ada, begitu pula sir Kirkland. Keduanya berbicara cukup serius mengenai sesuatu sampai Adinda datang, namun sir Kirkland harus pergi karena ada yang harus ia lakukan mengenai dokumentasi di luar kota hari ini juga. Sementara itu Adinda merasakan dirinya sangat bodoh. Sangat, sangat bodoh. Gadis jelita yang meminta pertolongan Adinda sebenarnya mempermainkan Adinda.

"Jika kamu tak membuat masalah larut, saya tak akan memberikan tambahan hukuman." Kata miss Franci saat menambahkan lima cap merah di buku PTB Adinda. "Saya akan menganggap kamu saat ini sedang teledor. Kembali ke asrama sekarang juga."

Jika harga diri Adinda diumpamakan sebagai Bantal, saat ini, setelah diinjak-injak oleh si gadis jelita, miss Franci menyiraminya dengan cat lalu mengotorinya dengan pasir, sebelum akhirnya si gadis kembali dan meludahinya. Adinda berusaha sekuat tenaganya untuk menahan emosinya yang bagai bom siap ledak, membuat wajahnya terlihat sangat merah dan keringat mengalir deras di keningnya. Tangannya terkepal kuat, siap meninju apa pun yang memecahkan balon emosinya. Ia mengambil buku PTB-nya secara perlahan setelah miss Franci selesai memberikannya cap.

Apa yang membuatnya sebegitu tak curiga? Hari ini tak ada kegiatan bagi para murid yang tak berada dalam kelompok. Lalu apa yang harus didokumentasikan dalam kelas jika kelasnya saja kosong melompong seharian? Dan sekarang ia kena batu dari perbuatan iseng si perempuan, yaitu meninggalkan jejak tanah di lantai dan sepasang sepatu lari yang terlihat baru dipinggir pintu kelas, dan ukurannya sama dengan kaki Adinda! Namun miss Franci tak mau mempertanyakannya, kenapa Adinda berada di kelas G? Biarpun Adinda berasal dari kelas B. Tetapi lelah sudah Adinda berada dalam pusaran masalah terus menerus.

"Oh, Adinda, tunggu sebentar."

Tiba-tiba miss Franci membawakan sebuah tumpukan kertas. "Thomas lupa membawanya, biarpun sudah terdokumentasi, tetapi belum difotokopi. Tolong bawa ke koperasi dan difotokopi, lalu bawa ke ruang dokumentasi, nanti setelahnya akan diurus oleh Murid Merah. Anggap saja sebagai pengganti tiga cap merah jika kamu mau membantu."

"Baik…"

"Saya sarankan untuk berlari karena koperasi akan segera tutup."

Adinda menoleh kearah miss Franci dengan heran sembari mengerjapkan matanya, sementara itu miss Franci hanya memalingkan pandangannya dan bergumam pelan, kata-katanya terdengar seperti, "hanya kali ini saja." Sebelum akhirnya menyuruh Adinda segera pergi secara tegas dan keras.

Tetapi biarpun telah diperbolehkan, Adinda tak yakin ia mampu berlari dengan tumpukan kertas sebanyak itu. Dan nanti tumpukan tersebut bakal dilipat gandakan, ia tak dapat membayangkan jika ternyata angin juga tak mau berkooperasi denganya hari ini. Angin yang sama kencang seperti saat pertama kali ia bertemu dengan Roderich…

Roderich…

Mata Adinda berubah sayu, pikirannya kembali melayang membayangkan wajah Roderich. Dengan sifat yang sangat kasar pun, sosok indahnya tak mampu Adinda hapuskan dari hatinya. Suaranya yang sangat lembut dan halus, tahi lalatnya yang mempesona… biarpun mustahil bisa melampaui kenggunan dari Elizaveta, namun dalam hati Adinda ia merasa jika ia berusaha, ia mungkin bisa mengubah penampilannya, bahkan hanya untuk mendapatkan sedikit perhatian dari Roderich pun ia rela. Tetapi kegiatannya memikirkan skema untuk bisa meraih tujuannya mendapatkan perhatian Roderich—biarpun tak ada maksud untuk menjalaninya sungguhan, langsung terhenti saat tiba-tiba ia sudah terduduk di lantai dan kertas-kertas yang ia bawa melayang turun secara perlahan, beserta dengan sebuah file dan dokumen yang telah mendarat terlebih dahulu.

"Bloody hell woman! Look where you are going!"

Arthur, dengan wajah kusut, memerah akibat emosi, rambut yang lebih berantakan dari biasanya, ditambah dengan seragamnya yang kali ini lumayan tak karuan dibandingkan dengan yang sebelumnya, menjelaskan sesuatu kepada Adinda yang masih setengah sadar. Dan tampaknya Arthur menyesali sesuatu yang juga Adinda belum tangkap.

"Maafkan aku… tak biasa melamun." Kata Adinda mulai mengambil kertas-kertas yang berserakan, berharap kertas-kertas tersebut tak ditumpuk berdasarkan urutan. Saat meraih dari kertas ke kertas lainnya, Adinda melihat buku Tandatangan tergeletak dan langsung mengetahui itu milik Arthur dengan bagaimana buku itu diberikan sampul plastik rapi.

"No, I…. aku juga minta maaf."

Keheningan yang mencekam pun langsung datang menyelimuti keduanya yang berada dekat pintu keluar bangunan pertama sekolah untuk kelas satu. Adinda juga akhirnya mengetahui betapa kelelahan dan tak fokusnya Arthur dari bagaimana ia tak perduli lagi jika Adinda saat ini sedang mengecek buku tandatangannya yang seharusnya pribadi. Biarpun begitu, dampak emosional pada Adinda saat melihat tandatangan Arthur yang telah mencapai empat puluh delapan hanya sedikit, dan ia juga sudah terlalu lelah untuk berada dalam masalah hari ini.

"Aku kalah."

"What?"

"Tantanganmu."

Butuh beberapa detik bagi Arthur untuk dapat menyerap kata sederhana tersebut, sebelum akhirnya ia ingat dengan tantangan yang ia berikan tempo hari. Hari ini belum hari minggu, itu yang menjadi pertanyaannya, namun Adinda tengah mencari-cari Pena, memberikan tandatangan kepada Arthur seperti yang sudah dijanjikan, tetapi dari bagaimana gelagapan Adinda terlihat, tampaknya ia tak membawa bahkan satu alat tulis pun. Arthur merogoh-rogoh kantong kemejanya, mencari Pena yang wajib siap siaga jika ada keadaan darurat.

"Buku tandatanganmu." Pinta Arthur.

"Oh, empat puluh lima. Ini." Adinda mengoper buku kecil tersebut dan masih mencari-cari Pena atau apapun yang bisa ia gunakan untuk menulis kali ini dikantong roknya. "Tunggu sebentar."

Sementara Adinda sibuk mencari-cari sesuatu yang tak bakal pernah ketemu, Arthur mengambil kesempatan tersebut untuk membandingkan buku tandatangan miliknya dengan milik Adinda, dan menganggap bahwa orang-orang yang telah Adinda bantu rata-rata adalah tipe murid yang rajin, karena nyaris seluruhnya menuliskan pula tanggal tandatangan tersebut ditulis. Biarpun kenyataannya, mereka melakukan itu supaya menjadi pengingat Adinda kalau saat itu Adinda juga memberikan tandatangannya, artinya mereka impas, untuk menghindari kecurangan, biarpun itu hal remeh.

Wang Jia Long
02-75xxxx, 1-10
1-E
xx-04-20xx, 10:30 am.

Tandatangan keempat puluh Adinda adalah persis tiga jam sebelum Arthur dibanjiri oleh murid-murid regular lainnya—rata-rata perempuan—yang panik masih belum mendapatkan tandatangan cukup, karena tandatangan juga adalah salah satu syarat untuk dapat mendaftarkan kelompok mereka untuk mendapatkan tempat menunjukkan kelebihan mereka dalam festival Sains dan Robotik. Deadline pendaftaran adalah hari ini, tentu saja mereka luar biasa panik, dan Arthur langsung mendapatkan lebih dari lima belas tanda tangan sekaligus tanpa bersusah payah. Tetapi, sekali lagi, itu tiga jam setelah Adinda mendapatkan tandatangan dari murid yang bernama Wang Jia Long.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Adinda tiba-tiba saat menangkap gerakan Arthur yang memang sepertinya sedang menuliskan tandatangannya di buku milik Adinda. "Hei! Aku yang kalah!"

"Hush." Arthur menunjukkan tandatangan Jia di buku Adinda, sebelum kembali menyandarkan buku tersebut di pahanya dan kembali menulis. Sementara itu Adinda hanya melongo, melihat Arthur dengan agak kagum.

"Kenapa?"

"Kamu bertanya kenapa? Masih tak tahu juga jawabannya?"

Adinda bungkam. Ia menunggu-nunggu saat Arthur selesai menuliskan tandatangannya di buku miliknya sambil merapikan sisa kertas-kertas dan dokumen yang berceceran. Entah berapa lama lagi mereka akan terus duduk di lantai yang belum tentu bersih tersebut.

"Done."

Saat Arthur mengembalikan buku tandatangan Adinda, ia keheranan kenapa Adinda masih mengulurkan tangannya seolah meminta sesuatu. "What?!"

"Pena."

"Huh?"

Adinda mendesis tajam dan langsung merebut Pena Arthur, yang dilihat dari bentuknya menunjukkan kalau itu Pena mahal. Ia pun langsung menuliskan tanda tangan miliknya di buku milik Arthur, tak perduli dengan apa pun yang Arthur katakan saat ini untuk melarangnya. Kali ini ia yang keras kepala. Setelah mengembalikan buku tandatangan tersebut, Arthur pun langsung menyemburkan protes yang ia sudah tahan-tahan.

"What the bloody hell is wrong with your head today?"

"'Siapa yang mendapatkan empat puluh tandatangan maka akan mendapatkan tanda tangan dari yang kalah.'" Kutip Adinda, juga memamerkan bahwa ia memiliki ingatan yang kuat. "'Kalau benar-benar sama, maka kita berdua berhasil.' Kita berdua telah mencapai empat puluh, biarpun tak bersamaan. Kita berdua mendapatkan tanda tangan masing-masing. Itu perjanjiannya."

Tatapan Arthur terlihat begitu aneh untuk Adinda mampu pahami. Ia terkejut? Atau sedang mencerna semua kata-katanya? Tetapi Adinda ia tak bisa menunda tugas yang diberikan miss Franci lebih lama lagi atau ia bakal kena hukuman tambahan. Ia pun merapikan lagi kertas-kertas yang akan difotokopi seapik mungkin sebelum akhirnya beranjak pergi keluar bangunan. Langit sudah gelap, didominasi oleh warna oranye gelap yang hangat, angin pun ternyata tak sedingin dari yang Adinda awalnya duga, juga tak terlalu kencang. Sebelum sempat mempersiapkan dirinya lari, suara Arthur menghentikannya.

"Wait…"

"Apa lagi?"

"Thank you. For… listening to my word."

"Oh. Tidak. Aku yang terima kasih. Tandatanganmu membantu."

Arthur memiringkan kepalanya sembari memegangi belakang lehernya dengan satu tangan berpikir sesuatu, sebelum akhirnya ia menunduk. "Don't mention it. Kamu berhasil melakukan apa yang ku katakan padamu, sudah hak mu mendapatkannya."

Mata Adinda membelalak beberapa detik, sebelum akhirnya tersenyum lebar. "Kamu tak seburuk itu ya, Arthur."

"Heh, tentu saja. Seorang lelaki harus memegang kata-katanya."

"Dan baik hati."

Arthur mengernyitkan dahinya. "Don't flirt with me."

"Jadi… berkata jujur saat memuji dianggap sebagai menggoda? Aku harus berhati-hati dalam memilih kata ya."

"Memuji orang lain membuang waktu. Untuk apa dipikir hati-hati?"

"Aku takut menyinggungmu."

"Pfft."

"Kita teman sekarang?"

Keheningan kembali terjadi. Mata Hijau Emerald Arthur bertemu dengan mata Hitam Adinda. Biarpun keduanya berpikir setidaknya sifat dari masing-masingnya tak buruk, namun masih ada ragu yang tersimpan. Keduanya takut terluka. Tak ingin ditipu lagi oleh manusia bertopeng. Biarpun untuk sisi Adinda baru terjadi belakangan ini, dan tak pernah terjadi sebelumnya.

"Y-yeah…"

Tawa Adinda meledak saat melihat ekspresi Arthur yang luar biasa kaku dan canggung. Arthur melihat Adinda dengan ekspresi tak percaya, awalnya, namun saat Adinda menggeleng-geleng aneh, ia pun ikut tertawa pelan. "Kenapa tiba-tiba ketawa hah?"

"Untuk apa kaku sekali? Apa aku masih di dalam daftar sebagai salah satu fans mu yang naksir denganmu? Jangan terlalu berharap tuan."

"Rude woman!" Arthur akhirnya tahu kenapa Adinda tertawa. "For, at least, trusting you now."

Tawa Adinda sirna, biarpun senyum masih terus menempel di bibirnya. "Bagaimana bisa sebegitu yakinnya?"

Arthur menatap Adinda lekat. "Seorang pria atau bukan, semua orang harus menepati janjinya. Kepercayaan datang dari kata yang telah ditepati dan terbukti. Itu inti dari pertemanan yang mampu berlangsung hingga kematian kedua belah pihak."

Senyuman Adinda tak bisa lebih lebar lagi saat ini. Matanya berbinar. Akhirnya ia menemukan seorang yang bisa ia percaya. Sungguh-sungguh bisa dipercaya. Dan juga yang mempercayainya. Setidaknya untuk saat ini. "Aku juga percaya padamu Arthur."

Kesungguhan kalimat tersebut membuat jantung Arthur mendadak berdetak kencang.

"Aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi."

Biarpun sudah ditinggalkan tanpa menunggu balasan darinya, Arthur merasa kalau Adinda benar-benar seseorang yang berbeda. Seolah satu dari milyaran manusia yang cocok dengannya. Pipinya merona, wajahnya berseri, matanya bercahaya, dan senyuman seolah tak bisa ia lenyapkan dari bibirnya, dan perasaannya berbunga-bunga. Ia melompat girang sebelum akhirnya menyadari betapa bodohnya ia terlihat saat ini, biarpun ia masih tetap merasa luar biasa bahagia. Ia pun kembali ke asrama, tak perduli lagi dengan presentasi kelompoknya yang gagal dan tak mampu maju ke festival Sains dan Robotik.

Adinda melihat pita merah yang diikat di pergelangan tangannya. Biarpun pita tersebut terlihat sangat elegan dan cantik, namun artinya sama sekali tak Adinda ingin miliki. Tom hanya tersenyum, sementara itu miss Franci sudah menyiapkan rentetan tugas yang harus Adinda kerjakan. Biarpun hanya Adinda yang ditugaskan khusus membantu miss Franci, ia sama sekali tak senang. Seluruh tugas miss Franci adalah dua hingga tiga kali lipat lebih sulit dari tugas yang diberikan Tom.

Ya. Adinda menjadi murid merah. Hari sabtu kemarin ia sampai tak tepat waktu di koperasi yang terlanjur tutup. Tiga cap merah ia dapatkan dari miss Franci karena gagal menjalani tugas. Dan Adinda tak mampu mengumpulkan tanda tangan hingga mencapai lima puluh, sepuluh cap lagi diberikan oleh miss Johanna yang kebetulan berada di kantor Tom, tak perduli kalau deadline tugas "Lima Puluh Tanda tangan" adalah besok dan bukan hari ini. Andai ia berhasil menyelesaikan tugas miss Franci, ia tak harus menenteng gergaji dan karung untuk memotong dahan pohon sebagai Murid Merah.

"Jangan pernah membuat miss Franci marah. Beliau punya wewenang dalam menjadikan murid biasa ke Murid Merah…"

Hari ini hari minggu. Hanya beberapa murid yang berseliweran entah di taman atau di beberapa tempat yang agak ramai. Kebanyakan murid tersebut adalah Murid Merah yang sedang menjalankan tugas yang diperintahkan baginda Tom, sisanya hanya murid yang menghabiskan hari minggu mereka menikmati hari itu, atau bermain dengan temannya. Niatnya Adinda berlatih untuk persiapan olimpiade, akan tetapi miss Franci sudah mengisi jadwal Adinda dengan hanya mengerjakan tugas, membuyarkan semua rencananya.

"?"

Adinda berhenti berjalan. Berdiri diam. Matanya terpaku pada mata orang tersebut. Seorang lelaki tinggi kurus yang berdiri menyandar pada pilar di teras bangunan sekolah yang kedua, berkulit lebih pucat dari milik Ivan, dengan rambut pendek yang terlihat seperti berwarna keperakan dibawah sinar matahari pagi. Yang membuat Adinda lebih terkagum lagi adalah keindahan mata yang lelaki tersebut miliki. Ruby, adalah warna yang tepat untuk mendeskripsikannya. Bagaikan batu mulia Ruby. Merah, sedikit violet, menyala dan membara. Tajam dan juga sangat tegas. Indah. Menakjubkan. Adinda menambahkan dalam hatinya tanpa ia sadari, masih terkagum-kagum.

"Halo!" Sapa si lelaki dengan riang.

"Halo?"

Lelaki tersebut berjalan mendekati Adinda. Gerak-geriknya agak terlihat dibuat-buat, dan tegap tubuhnya juga seperti dipaksakan. Wajahnya juga menunjukkan ekspresi yang palsu, biarpun hanya senyumannya yang justru terlihat seperti tak bisa ditahan. Lelaki itu mengangkat tangan kanannya, menunjukkan pita merah dipergelangan tangannya yang sama seperti milik Adinda.

"Ck ck," si lelaki melihat gergaji besar yang Adinda bawa dengan ekspresi kasihan. "Tom tak kira-kira memberikan tugas ya? Perempuan diberikan pekerjaan berat."

Adinda agak tergelitik dengan bagaimana ia menganggap Adinda seolah ia hanya perempuan biasa. Ia paling tak suka diremehkan, apa lagi karena ia perempuan. "Ada yang bisa dibantu?"

Murid tersebut tertawa pelan. "Aku yang seharusnya membantu."

Tangan lelaki Albino tersebut terulur, hendak meraih gergaji, namun Adinda menariknya menjauh. "Bagaimana dengan tugasmu sendiri?"

"Sekelompok. Tetapi terlalu banyak yang mengerjakan, jadi aku menganggur. Kemarikan, biar aku saja."

Adinda menggeleng. "Aku bisa melakukannya sendiri."

"Bitte, aku mohon."

Adinda langsung memicingkan matanya. Ia mulai merasakan ada bahaya, biarpun ia pasti bisa mengatasinya karena murid yang sepertinya seorang senior itu bukan seorang yang atletis, setidaknya tak terlihat juga mengetahui dasar bela diri. Namun Adinda pun berpikir, andai tugasnya dikerjakan oleh murid lainnya, dan, Adinda memberikan tandatangan sebagai gantinya. Apakah itu diperbolehkan? Akan tetapi Adinda dengan segera mengenyahkan rencana picik tersebut, yang ia hadapi bukanlah Tom, tetapi miss Franci, biarpun sistemnya dicurangi, beliau masih bisa memberikan hukuman sebagai guru pendisiplin murid dengan ratusan cara lainnya.

Tunggu...

"Bagaimana kalau… berdua saja?"

Si murid tiba-tiba mematung. Matanya membelalak kaget. "Gute idee!"

"Pohonnya ada di—."

"Pohon di samping kelas 2D." Potong si lelaki, "itu kelasku."

Benar dugaan Adinda. "Senior berati. Siapa namamu senior?"

Si senior tak menjawab, ia hanya menggeleng. "Nanti saja Adinda. Kita tukaran tandatangan. Baru kamu boleh tahu namaku."

Sepanjang perjalanan ke samping kelas 2D, tak ada pembicaraan yang terjadi. Adinda juga memperhatikan lekat senior tersebut. Rasa curiga yang ia rasakan sangat luar biasa. Siapa dia? Kenapa ia tahu nama Adinda? Senior yang Adinda tahu hanya Yao, Ivan, dan Lien saja, ketiganya berada di kelas 2B karena memang rata-rata diisi oleh murid Olahraga. Si Senior juga tak memiliki ciri khas dalam fisik maupun gaya bahasa yang bisa Adinda samakan dengan orang-orang yang ia kenal, ia terlalu unik. Adinda juga baru menyadari satu hal. Si senior sangat jangkung, tinggi Adinda hanya mencapai telinganya. Biarpun ia tak seterkejut saat pertama kali melihat Ivan yang menjulang tinggi bak gedung pencakar langit, ditambah dengan tubuhnya yang sangat besar.

Disisi lain. Si senior tahu dirinya diperhatikan, dan ia merasa sangat senang sekaligus canggung. Awalnya ia tak mengira Adinda bakal tertarik padanya, tak ada yang pernah tertarik padanya, setidaknya tertarik yang baik. Padahal ia berpikir Adinda adalah gadis yang agak kaku dan bakal sulit diajak bicara, biapun awalnya ia memang terlihat agak ragu berbicara dengan si Senior. Ia hanya tak menyangka kalau ia bakalan berdua saja dengan gadis yang wajahnya tak pernah bisa hilang dari benaknya.

"Terima kasih, biar aku yang mengerjakan sisanya, senior sudah membantu lebih dari cukup." Kata Adinda sambil membungkuk, memunguti beberapa dahan yang berserakan di rerumputan. Memotong beberapa dahannya tak terlihat sulit bagi Adinda, namun sang senior tak mau melepaskan gergajinya sama sekali. Sementara si senior masih sibuk memotong dahan yang harus dipotong, Adinda mematahkan ranting-ranting dari dahannya, lalu memisahkan daun dari ranting dan dahan, tiga bagian dari pohon tersebut lalu dimasukkan ke dalam tiga karung yang berbeda, yang nantinya akan diberikan ke Murid Merah lain untuk kembali disortir, sebelum daunnya diberikan kepada kelompok yang membutuhkannya untuk dijadikan kompos, sebelum memberikannyap pada tanaman mereka. Dahan dan ranting akan disimpan untuk musim dingin jika ada mati listrik, biarpun pun mustahil.

"Jika kayunya terlalu lama disimpan akan digerogoti rayap bukan?" Adinda kembali memecah kesunyian, sekaligus berniat memuaskan rasa penasarannya. "Setelah musim dingin nanti, kayunya akan diapakan?"

Si senior berhenti sejenak, berpikir, sebelum akhirnya memberikan jawaban terbaiknya. "Aku tak tahu, Tom sempat beberapa kali meminta hal yang aneh-aneh untuk mencegah kayu dimakan oleh rayap. Yang ku tahu, setiap Natal dan tahun baru akan diadakan acara, diakhiri dengan menyalakan Api Unggun saat malam hari."

"Pasti menyenangkan."

"Tidak juga, bagi murid merah, kerja bersih-bersih mereka bertambah selesai acara, hahaha."

Sunyi kembali menyelimuti kedua remaja tersebut. Buat Adinda mungkin menenangkan, namun sang Senior berpendapat sebaliknya. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan, ia berpikir sangat panjang, memikirkan segala potensi yang akan terjadi jika ia berbicara sesuatu. Ini momen penting untuknya, kesan pertama adalah kunci yang harus ia raih demi membuka pintu hati Adinda. Setidaknya, itulah yang ia telah rencanakan sematang mungkin.

"Apa ada lagi?"

Pertanyaan Adinda membuat si senior nyaris jatuh dari atas pohon karena terbangun dari lamunannya secara tiba-tiba, namun gergajinya lah yang betulan jatuh, nyaris menimpa Adinda. Beruntung refleks Adinda sangat baik, ia langsung mengambil satu langkah tenang ke samping kirinya dan gergaji tersebut mendarat di rerumputan.

"E-es tut mir leid! Kamu baik-baik saja?"

"Ah, tenang saja. Bagaimana dengan senior? Ada apa?"

"Err… tak ada… apa yang kamu tanya barusan?"

"Apa ada lagi?"

"Ah, sisanya biar aku saja. Kamu bawa saja dulu karungnya ke tempat pengumpulan, karena sebentar lagi akan segera dibawa dan disortir."

Si senior tiba-tiba ingat kalau Adinda itu perempuan, sebelum sempat membatalkan permintaannya, Adinda sudah dengan sigap menenteng karung berisikan dahan dibahu kanannya, karung berisikan ranting ia bawa dengan mendekapnya menggunakan tangan kiri, sementara itu karung terakhir yang lebih ringan ia genggam dengan jari tangan kirinya yang masih tersisa. Melihat pemandangan itu berat rasanya hati si senior membiarkan Adinda, akan tetapi Adinda sudah berjalan menjauh seolah ia tak membawa apa-apa yang betul-betul berat. Biarpun kelihatannya begitu, Adinda merasa ototnya mulai menegang, sesi latihannya yang biasanya ia lakukan tiap sore, tiap hari, kini luar biasa dikurangi, malah kadang tak bisa ia lakukan karena jadwal yang padat, serta ia perlu untuk belajar.

Ditengah perjalanan, tanpa diduga, Adinda berpapasan dengan Alfred, dan gadis jelita yang menipu Adinda kemarin.

"Siang Alfred."

Sapaan ramah Adinda hanya dibalas dengan anggukan cepat, sebelum Alfred betul-betul membuang mukanya dan berjalan meninggalkan Adinda. Si gadis hanya tersenyum licik, melihat pita merah yang diikatkan di pergelangan tangan kanan Adinda, ia pun mengejar Alfred yang sudah berada cukup jauh setelah puas melihat penderitaan Adinda. Kendati begitu, Adinda agak puas dengan dirinya yang tak lagi menyimpan rasa kesal kepada gadis itu, membuatnya kebal dari sengatan hinaan yang diberikan si gadis.

"Adinda Putri Pertiwi. Nama yang cocok sekali untukmu. Apa artinya?"

Perkataan senior tak Adinda gubris. Ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya menyebutkan nama tersebut. "Beils… beilsecmid? Beilsmit? Gilbert Beils—."

"Beilschmidt." Kata senior Gilbert sambil tertawa pelan, menganggap Adinda sangat imut saat sedang berusaha menyebutkan namanya yang memang sangat khas.

"Beilschmidt." Adinda menirukan. "Jadi nama senior itu?"

Gilbert menggeleng. "Aku tak akan menyebutkan namaku. Kamu akan yang menyebutkan namaku. Karena tak ada artinya kalau kamu tak menganggapku sebagai teman. Karena itu adalah inti dari tugas ini, ja?"

Ekspresi yang Adinda buat sangatlah aneh. Ia entah kenapa merasa agak senang dengan niat Gilbert untuk berteman dengan Adinda. Namun belum lewat satu hari Adinda dilukai kepercayaannya oleh orang lain, kecurigaannya yang menggunung masih belum sirna, justru malah bertambah.

"Senior… Gilbert Beilschmidt." Ia menurut, namun keseriusannya berteman dengan Gilbert hanya mengambil separuh dari hatinya, separuhnya lagi akan terus mempertahankan kecurigaannya yang ia yakin tak berlebihan.

Gilbert memberikan senyuman bahagia sebagai gantinya, pipinya merona. "Tak perlu embel-embel seniornya, panggil saja Gilbert, atau Gil."

"Gil!" Suara lain memanggil Gilbert, suara yang dikenali olehnya, juga oleh Adinda, diikuti dengan suara langkah yang tergesa-gesa. "Ada Adinda juga ternyata, syukurlah!"

Kedatangan Elizaveta membuahkan dua ekspresi yang bertolak belakang dari Gilbert dan Adinda. Senyuman canggung yang tertahan membuat Gilbert terlihat seperti orang yang kebingungan, biarpun nyatanya Gilbert merasa kalau hidupnya akan segera berakhir saat itu juga. Kendatipun ada rasa senang dalam hatinya yang harus dipertanyakan melihat sosok teman perempuannya.

Tetapi, ekspresi Adinda justru malah menunjukkan kemarahan. Ia merasa jengkel luar biasa. Ia merasa ini kali kedua ia ditipu. Berpikir Elizaveta ada dibalik kebaikan Gilbert kepadanya, berpura-pura sebagai senior yang membantu adik kelasnya, yang nanti pada akhirnya akan menggunakan Adinda juga, seperti yang dilakukan semua orang di sekolah ini. Entah kebohongan apa lagi yang bisa ia buat demi menutupi hitam hidupnya sejauh ini di asrama saat mengabari bibinya nanti.

"Apa yang kamu lakukan disini hah?! Pekerjaan menumpuk! Seperti tak bisa menggoda Adinda lain waktu!" Maki Elizaveta saat sampai dihadapan Gilbert, ia juga tak melupakan tinjunya yang telah membuat bahu Gilbert nyeri. "Sana kembali! Awas kalau kamu kabur lagi!"

Gilbert tak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengangguk. "Sampai ketemu lagi nanti, Adinda."

"Jangan godai Adinda lagi!"

Murka dari Elizaveta akhirnya membuat Gilbert lari terbirit-birit, menjauh dari bahaya yang mengancam nyawanya. Namun di lain pihak, Adinda masih menatap Elizaveta dengan jengkel, menunggunya untuk ikut enyah dari pandangan. Tetapi Elizaveta masih tetap di sampingnya, melihatnya dengan canggung, ingin mengatakan sesuatu yang tampaknya cukup berat, namun wajahnya justru menunjukkan ekspresi penyesalan yang nyata dan dalam, yang mampu membuat Adinda mengernyitkan dahi dan menunggu apa yang Elizaveta maksud dari tingkah kelakuannya saat ini.

"Bisa kita… berbicara di tempat yang agak tertutup?"

"Untuk apa? Semua orang sudah tahu."

"Ah, kau benar. Kalau begitu… Aku minta maaf." Kata Elizaveta sembari membungkuk secara tiba-tiba. Sontak Adinda ikut melihat apa yang berada di lantai, sampai ia menyadari apa yang sedang dilakukan Elizaveta.

"Aku minta maaf sebesar-besarnya. Saat itu aku berbicara hal yang egois. Kekacauan sudah tak ada, seharusnya aku tak bersikap seperti itu. Aku minta maaf. Aku tak ada niatan untuk mempergunakanmu untuk apa pun jika itu yang kamu tangkap dari pertengkaranku dengan Mei. Saat itu… memang aku menginginkan kemampuanmu demi kelompok kami, tetapi aku langsung tahu itu adalah sebuah kesalahan besar. Seharusnya aku tak melihatmu hanya dari kemampuanmu."

"Untuk apa minta maaf? Aku yang seharusnya meminta maaf karena aku yang kecewa pada pilihanku sendiri, tetapi justru malah membuatmu terluka. Sudah sepatutnya aku menerima konsekuensi dari sikapku yang mudah percaya kepada orang lain."

"Maka dari itu! Sama denganmu, aku menaruh kepercayaanku terhadapmu, namun aku malah kecewa saat kamu berteman dengan Mei, dan bagaimana Mei sangat percaya diri mampu memperdayaimu sepenuhnya. Tetapi bukannya mencegah hal itu terjadi, aku justru mengambil keputusan untuk memprovokasi Mei supaya kamu berpikir ia membohongimu, yang justru malah berbalik padaku juga." Elizaveta bangkit dan memegangi punggungnya yang pegal. "Aku… sejujurnya berniat akan bersikap seperti Mei, mengacuhkanmu begitu saja… tetapi entah kenapa aku tak bisa, selain karena Gilbert tak bisa berhenti berbicara soal rencananya berkenalan denganmu, rencananya yang supaya bisa terlihat keren di depanmu… dan aku tahu alasannya sekarang."

"Apa itu?"

Tangan Elizaveta perlahan meraih kantung roknya, menarik keluar sebuah buku kecil yang luar biasa familiar untuk Adinda. Secara bersamaan, ekspresi Adinda berubah terkejut, matanya membelalak, dan ia melihat Elizaveta, lalu melihat bukunya, kembali lagi ke Elizaveta secara berulang kali.

"Maaf. Aku tak segera kembalikan. Buku Diariku… tak tertinggal, yang tepat sebenarnya tertukar, saat terbangun di kereta aku terlalu kaget dan terburu-buru. Baru menyadari ini milikmu setelah kamu kembalikan Diariku."

Adinda mengambil buku Diari kecilnya dari tangan Elizaveta. Diari yang dulu dibelikan oleh bibinya sebagai hadiah ulang tahun saat baru memasuki Sekolah Menengah Pertama. Yang membuatnya menjerit dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, ditertawakan tak henti oleh teman perempuannya yang juga tinggal di kota. Diari dengan aksen manis berwarna merah dan putih, yang memaku pandangan Adinda sedari ia masuk ke toko buku. Harganya memang tak mahal, namun uang sakunya saja tak bisa untuk membeli apa-apa kecuali permen. Tiap hari ia mengunjungi toko buku tersebut, hanya untuk memastikan bahwa buku Diari itu masih belum terjual, biarpun ia tak tahu kapan tabungannya cukup untuk dapat membelinya.

Diari dari bibi. Nama yang ia gunakan. Ia tak pernah menyebutnya dengan "Diari Milikku". Diari yang saking kecil dan sedikit halamannya, hanya ia isikan dengan berita bahagia dan menyenangkan hari itu. Entah mungkin Elizaveta berpikir, diari macam apa ini? Atau mungkin ia berpikir Adinda adalah gadis paling bahagia sedunia dengan hari-hari bagai dongeng.

"Kamu pasti membacanya?"

Elizaveta mengangguk pelan.

"Dan isi buku ini membuatmu berpikir ulang mengenaiku? Kenapa?"

Mata hijau Peridot miliknya menatap lurus Adinda, sebuah keyakinan yang mantap membuat Elizaveta kembali mengangguk. "Aku tahu kamu tak butuh sebuah rasa kasihan, apa lagi dariku. Aku—,"

"—tahu bahwa aku tak akan pernah mengkhianatimu?"

"Jangan berprasangka buruk dahulu!" Sergah Elizaveta, "aku merasa kamu lebih dari itu. Bahwa kamu seharusnya tak layak melalui semua hal ini… setidaknya… aku ingin menjadi temanmu lagi. Aku tak akan melakukan hal bodoh itu lagi, membohongimu lah, atau menggunakanmu. Itu masalah lalu, seharusnya tak diungkit lagi. Seharusnya kamu memang tak boleh dilibatkan."

"Dilibatkan?" Pikir Adinda, namun ia membiarkan Elizaveta menyelesaikan kalimatnya.

"—memang sebuah tumpahan tinta hitam yang kotor dan tak bisa dihapus lagi. Kami seharusnya membuang halaman tersebut… tetapi…"

Mata Adinda terpusat pada mata Elizaveta, berusaha membaca dan mencari tahu apa yang disembunyikan dari sepasang mata itu. Terlihat rasa ketidakpercayaan diri, tetapi keyakinan tadi masih ada, justru malah menguat.

"Intinya, aku ingin menjadi teman mu lagi. Aku akan menggunakan baju renang di depan umum dan mengakui kesalahanku andaikan aku kembali mengkhianatimu."

"Itu tak perlu." Potong Adinda, "tak perlu tindakan drastis. Aku yakin kamu tahu itu tak dibutuhkan."

"Hanya satu yang aku ingin kamu lakukan." Lanjut Adinda dengan serius.

"Apa itu?"

"Potong rambutmu." Kata Adinda dengan nada tajam dan cepat. Reaksi Elizaveta tentu saja sudah Adinda duga, namun Elizaveta dua kali dikejutkan saat tiba-tiba Adinda tersenyum dan mulai menahan tawanya. "Tak perlu dianggap serius, aku hanya bercanda."

Bagai dihantam oleh banteng, beberapa detik Adinda tak mampu bernapas. Kekuatan pelukan Elizaveta bisa saja mematahkan tulang punggungnya andai lebih keras lagi.

"Jangan terlalu senang. Untuk saat ini kamu bisa bernapas lega karena aku masih terlalu lelah."

"Oh iya, Elizaveta. Aku belum mendapatkan tandatanganmu bukan? Apa ada yang bisa ku bantu? Apa pun itu?" Kata Adinda memecah suasana hening sambil berusaha melepaskan pelukan dahsyat Elizaveta.

Adinda langsung menarik napas panjang sembari mengaturnya saat pelukan akhirnya dilepaskan, "apa pun itu?"

Adinda berusaha mengangguk, masih kesulitan mengatur napasnya, masih tak percaya dengan kekuatan Elizaveta yang dapat meremukan rusuknya, dan ada sedikit rasa senang karena ia memiliki seorang saingan dalam hal kekuatan. Sementara Adinda masih megap-megap bak ikan mas, Elizaveta memikirkan bantuan apa yang ia akan minta dari Adinda, sesuatu yang bisa mendekatkan lagi hubungan antara dia dan Adinda, dengan membuat Adinda percaya kalau Elizaveta sungguh-sungguh… dengan melibatkannya dalam sesuatu yang pribadi bagi Elizaveta…

Elizaveta menoleh, menatap lurus Adinda.

"Ada satu."

"Ya?"

"Satu bantuan yang aku perlukan darimu… berjanjilah kalau kamu tak akan membuatnya menjauh dariku."

"Eh, siapa?"

"Roderich."

~Season 1, end.~


Author's corner:

Kembali lagi ke saya! Yup, Running Shoes akan dibagi menjadi beberapa Season karena tiba-tiba saya dapet ide untuk memperpanjang ceritanya. Biarpun sudah ada rencana matang untuk season kedepannya, saya juga akan memasukan ide-ide atau gagasan dari kalian kok kalau ada yang mau menambahkan, seperti pairing dan sebagainya. Seperti biasanya, saya sangat terbuka dengan kritikan konstruktif, atau bahkan cabai pedas yang melebihi pedasnya Bon Cabe level 15 + Maicih level 10 + Sambal lampung, tapi nanti di remove ya, biar ga menuh2in kotak Review :P.

Btw, jangan lupa juga untuk tunggu Season 2 nya, moga2 bisa saya selesaiin secepatnya.

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca Running Shoes hingga sejauh ini! :) :)