"Hey, ini aku. Kau terlihat sama menyedihkannya seperti kemarin."
"Biar aku bereskan semua ini." Perempuan tempo hari datang lagi. Entah siapa dia yang terus-terusan mengurusi keperluan Hinata. Mulai dari urusan kamar mandi, makan dan kebutuhan lainnya.
"Bisakah kau melakukan sesuatu untukku?" Hinata yang sedari tadi diam akhirnya buka suara.
"Apa?" sahutnya setelah selesai merebahkan Hinata di atas kasur.
"Bunuh aku sekarang." Terdengar desahan panjang sebagai jawaban.
"Kau tahu, aku hanya bisa menjanjikan satu hal padamu. Kau akan bebas, tidak lama lagi."
.
.
.
Rhe Muliya Young borrows the charas.
This fict may content AU, OOC, typos, rush, etc.
.
#Criminal Part II #
By : Rhe Muliya Young
.
.
.
"Ahh!"
"Ahh!"
"Ahh!"
"Aaaaaaaaahhhhhhhh!"
Belasan kali, ini sudah belasan kalinya, benda itu memasukinnya dan menumpahkan cairan di dalamnya.
Terdengar desahan panjang laki-laki itu yang masih menggaulinya tanpa henti.
Dan kali ini, ia merasa sudah sampai batasnya.
"Kau seperti pengecut!"
"Tak beranikah kau menampakkan wajahmu padaku!"
Kecupan basah dilayangkan olehnya di tulang selangka si wanita. Selanjutnya terdengan suara tawa merendahkan.
'Suara ini cukup familiar' Hinata rasa ia kenal betul dengannya.
"Kau!" Detak jantung Hinata berpacu dia merasa resah, akan kemungkinan terburuknya. Terdengar suara tawa yang cukup jelas saat pria itu mendekat ke telinga kanan Hinata dan bibir pria itu mengulum cupingnya.
Perlahan penutup mata dibuka dan menampakkan seorang laki-laki yang ia kenal menyeringai dengan kejam.
"Sa-…hiks," tumpah sudah air matanya, mengalir tiada henti. Sasuke lah yang melakukan ini semua.
Tangan itu kembali meraba puncak dadanya, "aku sudah merasakan ini,"
Tangan yang satunya meraba organ kewanitaannya, "dan yang terbaik ini, aku juga sudah merasakannya."
"Damn! Kau benar-benar enak!" tangis Hinata semakin keras sedang kan tawa Sasuke tak kalah kerasnya.
Sasuke mengacungkan bendanya, "lihat dia ingin bermain lagi, ouch!"
Hinata menangis tiada henti dan untuk puluhan kalinya, ia dipaksa jadi pelampiasan nafsu bejat Sasuke.
.
.
.
Kakashi masih tak percaya penuturan Fugaku padanya. Ia sempat terdiam kaku, sampai ayah kandung Sasuke itu pergi dari kediamannya. Menelpon Sasuke sudah tidak mungkin lagi dilakukan sebab anak itu tak membawa ponselnya. Ia hanya berharap tak terjadi apapun pada bocah itu. Semoga saja anak itu tidak menyebabkan hal-hal buruk nantinya.
"Riing" suara telpon membuyarkan pikiran kacau Kakashi. Secepatnya Kakashi langsung menjawab panggilannya.
"Ya, Kurenai-san?"
"Kakashi, di mana Sasuke?" teriak Kurenai.
Kakashi merasa Kurenai juga sedang dalam keadaan tidak baik. "Ada apa kau menanyakannya?"
"Jangan banyak tanya, di mana dia sekarang?" Kurenai menggeram dengan kesal.
"Kurenai tenanglah?" kakashi mencoba menangkan Kurenai.
Terdengan isakan Kurenai di seberang sana. "Kakashi, katakana padaku bahwa Sasuke bersamamu saat ini."
Kakashi menelan ludah, "ada apa sebenarnya?"
"Hi-Hinata menghilang! Dan ini pasti ada hubungannya dengan Sasuke!"
Kakashi terkesiap mungkinkah Sasuke membawa pergi Hinata, "maafkan aku Kurenai".
Isakan Kurenai berubah menjadi tangis, "cari dia Kakashi! Aku akan memasukkannya ke penjara!" sambungan telepon diputus secara sepihak.
.
.
.
Suigetsu mondar-mandir sambil memainkan sebuah ponsel. Di depannya ada Karin yang bersandar pada sebuah pintu kayu sambil melirik-lirik jam tangannya. "Waktu kita hampir habis, Sui,"
Suigetsu berhenti sejenak, "apa Sasuke sudah selesai?"
Karin menganggukkan kepala, "dengar saja bunyi ranjang dan semua desahan itu, sudah mulai berkurang."
Suigetsu mendesah, "baiklah aku masuk duluan, kau dibelakangku Karin." Karin mengangguk malas.
"Sasu-ke"
Suigetsu terdiam melihat penampakan dua insan itu. Hinata terkapar tak berdaya di atas ranjang dengan keadaan mengenaskan, sementara Sasuke yang berada di atasnya masih aktif bergerak mengeluarkan semburan demi semburan.
Suigetsu tak tahan melihat pemandangan macam itu buru-buru melapor "Semuanya sudah clear Sasuke, tinggal Karin yang akan mengurusi ponsel gadis itu."
"Hn. Amankan deagle ku" ucapnya.
"Baiklah, sampai jumpa."
.
.
.
Kantor Polisi Distrik Okinawa, March 14th, 9 PM.
Seorang wanita paruh baya tengah mengantri di bilik pelaporan kasus dengan wajah lelah. Setelah lama mengantri, akhirnya kali ini gilirannya maju.
"Selamat malam Nyonya, adakah yang bisa kami bantu?" petugas menyapa dengan tampang malas.
"Saya ingin melaporkan kasus penculikan. Korbannya adalah anak didik saya bernama Hinata Hyuga umur 17 tahun."
Petugas itu mulai mengetik di komputernya. "Hm, ya. Kapan terakhir kali anda bertemu dengannya?"
"Terakhir di Konoha Gakuen, saat ia akan pamit mengikuti kegiatan English Camp." Jawab Kurenai.
"Pukul berapa saat itu? Apa ada orang yang bersamanya?" lanjut bapak petugas.
Kurenai mulai mengingat kejadian lalu. "Siang hari, sekitar pukul 1 PM. Saya tidak melihat siapa yang bersamanya. Tapi, saya tahu, yang menculiknya adalah Uchiha Sasuke."
Petugas itu kembali mengetik. "Hm, baiklah korban adalah murid bernama Hinata Hyuga dan pelaku yang diduga adalah temannya yaitu Uchiha Sasuke."
"Eh, tunggu dulu. Apakah Uchiha Sasuke yang anda maksud adalah putranya Tuan Uchiha Fugaku?" petugas bertanya dengan cepat?"
Kurenai mengangguk. "Ya. Anda benar."
"Baiklah Nyonya, anda tenang saja. Kami sudah menerima laporan sore tadi dengan kasus serupa. Anda tidak usah khawatir. Beberapa anggota khusus kami sudah melakukan pencarian di daerah Okinawa."
Kurenai terkejut, "apa?"
.
.
.
Sasuke sudah selesai memakaikan pakaian dalam untuk Hinata dengan tidak rapi, minus rok dan kemeja yang sudah koyak. "Tidurlah dengan tenang," ucapnya sambil tersenyum miring.
Sekarang Sasuke sendiri memakai celananya, minus kemeja atas, sehingga hanya bertelanjang dada. Lalu ia menaiki ranjang dan juga menaiki tubuh Hinata.
Sasuke memandang intens wajah Hinata yang sedang terlelap. Tujuannya sudah tercapai. Ia puas, puas sekali.
Sasuke tahu, polisi akan datang sebentar lagi dan meringkusnya. Ia tidak peduli. Penjara lagi, atau psikiater lagi. Kemudian ia akan bertemu Mikoto atau Fugaku.
Tidak peduli.
Sekarang Sasuke melanjutkan sisa-sisa kenikmatannya. Ia condongkan tubuhnya dan kembali mengulum bibir bengkak Hyuga Hinata lagi dan lagi. Ia melenguh dengan puas saat saliva mereka bersatu dan beberapa mengalir di sela-sela mulut.
Nikmat sekali. Sungguh kenikmatan yang tiada tara.
"BRAKK!"
"Jangan bergerak, kau sudah terkepung!"
.
.
.
Kurenai sudah menanggap Hinata seperti anaknya sendiri. Hampir dua tahun ini mereka bersama. Kurenai berperan menggantikan sosok ibu yang sudah tiada. Susah senang sudah mereka lalui. Jika Hinata senang maka ia pun ikut bahagia, dan jika Hinata bersedih maka ia pun akan merasakan sakitnya.
Pagi ini Hinata masih terbaring lemah di ranjang pasien belum juga sadarkan diri. Kurenai dirundung pilu. Pasalnya ia yang seharusnya menjaga anak didiknya itu justru bisa kecolongan begini. Seharusnya ia melarang Hinata ikut acara menginap itu, seharusnya ia jauhkan Hinata dari anak itu.
Oh anak itu. Kurenai pastikan ia akan menuntutnya dan memasukkan anak itu ke penjara.
Apa yang harus ia katakan pada Tuan Hyuga Hiashi. Sejujurnya ia tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan kepala keluarga Hyuga tersebut. Tapi, ia juga tidak bisa tinggal diam begini. Apa pun yang terjadi, ia harus segera memberitahukan kepada ayah Hinata.
"Moshi moshi Hiashi-san."
"Ha'i."
"ini Kurenai. Saya ingin melaporkan terkait perkembangan putri anda."
"Baik, katakana seperlunya saja. Saya masih ada urusan."
"Sebelumnya saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada anda."
"Lanjutkan."
"Hinata… Hinata…Dia…diperkosa…dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit."
"Bagaiman bisa. Apa yang dilakukan anak itu sampai kejadian itu menimpanya?! Apakah ia mulai bergaul secara bebas?!"
"Maafkan saya Hiashi-san. Ini keteledoran saya sebagai wali Hinata."
"Anak itu benar-benar. Tolong kau selesaikan masalah ini Kurenai. Saya harus menghadiri rapat saat ini."
"Baik, Hiashi-san." Kurenai menghela nafas lelah. Ia pun terduduk di kursi dekat ranjang Hinata. Memandang nanar murid kesayangannya. Ia genggam tangan mungil Hinata dan menangis dalam diam.
Bagaimana Ia akan menyelesaikan masalah ini.
.
.
.
I never know, every single time of the life worth a million.
From: Rhe Muliya Young with Love