Disclaimer : Seluruh karakter di Harry Potter milik J.K. Rowling. Saya hanya pinjam buat menyalurkan imajinasi.


.

.

Setelah usaha coretliciknyacoret mengajak Harry kencan, akhirnya di sinilah dia. Draco Malfoy, duduk sendirian di salah satu meja dengan pemandangan terbaik di Three Crown Restaurant. Draco menunggu dengan jantungnya berlompatan di tempat, perasaan yang sama persis ketika ia menunggu hasil ujian OWL.

Draco menangkupkan kedua tangannya di atas meja, memainkan jari-jarinya. Ini absurd. Rasanya Draco bisa terserang panic attack atau nervous breakdown hanya dengan duduk menunggu Harry datang. Tapi Draco sudah bertekad untuk berhasil malam ini. Dia tidak ingin segala usaha dan tenaganya memasukkan obat pencuci perut ke dalam minuman Woodley—Healer yang seharusnya menangani Harry minggu lalu—berakhir sia-sia. Pokoknya, malam ini dia bertekad bisa bicara normal dengan Harry tanpa ada kutukan dan sarkasme atau ejekan mengiringi. Yeah, tujuan Draco hanya setinggi itu. Tapi itu normal, kan? Apalagi melihat hubungan mereka selama ini. Paling tidak kan Draco punya tujuan yang harus dicapai.

Draco melirik jam kukuk yang burungnya tengah menari tap di sudut restoran. Ternyata lirikan saja tidak cukup. Soalnya burungnya melompat-lompat terus sambil bergaya, jadi jarum dan angkanya tidak kelihatan. Akhirnya Draco harus menoleh menatap lurus ke arah si burung, lalu memiringkan kepalanya dan mencondongkan tubuhnya ke kiri. Karena tidak kelihatan juga, Draco lebih mencondongkan tubuh lagi. Kakinya yang memakai pantofel hitam mengkilat ia kaitkan pada penyangga meja.

"Err… Sir? Ada yang Anda butuhkan?" Tanya seorang pelayan yang kebetulan jalannya terhalang gara-gara posisi Draco.

"Oh. Ehem. Tidak." Draco langsung kembali meluruskan tubuhnya, bersikap se-gentleman mungkin. "Hanya bertanya-tanya jam berapa sekarang."

Si pelayan terlihat bingung.

"Emm… tapi, Sir, Anda kan pakai jam tangan." Si pelayan berkata dengan hati-hati. Wajahnya menyiratkan dengan jelas kalimat yang sedang nge-hitz di Dunia Sihir sekarang : ganteng-ganteng kok bego.

Hening.

Draco meminum air putihnya pelan. Si pelayan diam. Draco meletakkan gelasnya.

"Ini hanya aksesoris. Hadiah ulang tahun dari ibuku yang sudah tidak jalan lagi, tapi aku senang memakainya karena itu hadiah ulang tahun dari ibuku."

"Uh. Baiklah. Permisi, Sir." Si pelayan membungkuk sedikit, lalu pergi.

Draco menatap jam tangannya dengan tenang. Berusaha melupakan kalau dia baru saja melakukan hal yang membuatnya ingin mengubur diri dalam-dalam lalu menghilang dari dunia ini.

"Baru pukul 07.45." Gumam Draco pada diri sendiri. Dia tidak mengerti kenapa waktu berlalu begitu lambatnya. Atau mungkin Draco yang datangnya terlalu cepat? Karena dia sudah ada di restoran ini sejak sekitar 30 menit yang lalu. Mungkin dia terlalu excited. Dan deg-degan. Rasanya seperti waktu dia tak sengaja minum ramuan amortentia hasil percobaan isengnya dulu. Bahkan Draco mengira jangan-jangan dia memang minum amortentia sebelum datang ke sini. Atau mungkin ada sesuatu dalam air putih yang baru saja diminumnya…. Oke. Jatuh cinta bisa membuat seseorang jadi curigaan.

Draco langsung menegakkan tubuh ketika dilihatnya seseorang berdiri di pintu masuk. Seseorang yang sedari tadi ditunggunya. Harry Potter kelihatan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari Draco. Ketika akhirnya pandangan matanya bersirobok dengan Draco, pemuda itu tersenyum.

Holy shit. Demi Merlin, Salazar, Rowena, Godric, Helga dan semua penyihir terkenal di dunia ini. Draco lupa caranya bernafas. Ini gawat. Karena kalau otaknya tidak mendapat asupan oksigen selama lebih dari 10 menit, dia akan mengalami kerusakan otak secara permanen. Lalu otaknya bisa mati. Draco bisa mati. Gara-gara melihat senyuman seorang Harry Potter. Dammit. Ternyata cinta bisa membunuh.

Harry, tanpa menyadari akibat bahwa senyumnya berkemungkinan besar membunuh seseorang, berjalan ke arah Draco dengan senyuman manis dan langkah bak model. Oh, oh, oh. Lihatlah caranya berjalan. Rasanya ada kipas angin imajiner yang mengiringi langkah Harry, sehingga rambutnya berkibar-kibar bak artis India. Ditambah senyumnya itu loh. Bikin jantung Draco hampir keluar saking cepatnya berdetak. OMGOMGOMG. Draco bersedia melakukan apa saja demi senyumnya itu. Harry memang pantas dijuluki penyihir ulung. Dia bisa memakai mantra Imperius hanya dengan tersenyum. Hebat.

"Hai. Maaf aku terlambat." Ujar Harry, masih dengan senyuman yang membuat Draco hampir kena sakit ayan. (Jantungnya) kejang-kejang gitu.

Hening.

"Malfoy? Hello?" Harry melambaikan tangannya di depan wajah Draco.

"Ehem." Segera saja Draco memperbaiki sikapnya. Berharap barusan mukanya tidak seperti orang idiot. "Ya. Hai."

"Are you alright?" Harry mengerutkan kening, terlihat khawatir. KHAWATIR, man! Rasanya Draco kepengin berdiri lalu melakukan goyang ngebor.

"Yeah. Hanya… memikirkan sesuatu." Dirimu.

"Oh, oke." Harry duduk di hadapan Malfoy. Pemuda itu menaruh mantelnya, lalu duduk tegak. Menatap Malfoy. Yang ditatap balas menatap. Mereka tatap-tatapan. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

"Err… well?" Harry akhirnya membuka pembicaraan, berharap Draco segera memberikan foto yang diambilnya secara ilegal dan dia bisa segera pulang.

"Kau datang." Draco memberikan senyum miringnya yang seampuh mantra Pelumpuh. Biasanya sih ampuh, tapi mungkin Harry diam-diam mengenakan perisai anti-senyum-seksi-Draco di sekeliling tubuhnya. Hal ini membuat Harry tidak menjadi lumpuh, hanya mendengus sarkastis.

"Tentu saja aku datang, Malfoy." Ujar Harry sambil memutar bola matanya bosan. "Bagaimana kalau kita memesan makan sekarang? Aku lapar."

"Oke." Meski sedikit kecewa dengan reaksi Harry, Draco toh tetap menjaga sikap dan melambaikan tangannya pada pelayan untuk meminta menu.

.

.

.

"Jadi…. Bagaimana kabarmu?" Tanya Draco, memulai basa basi.

"Biasa saja." Jawab Harry datar. Matanya mengamati taplak meja seolah-olah kain itu adalah barang paling menarik sedunia.

"Punggungmu sakit lagi?" Tanya Draco lagi, suaranya terdengar khawatir. Harry mendongak untuk melihat Draco.

"Tidak." Jawab Harry. "Aku… Terimakasih obatnya. Aku sudah baikan." Lanjutnya dengan canggung.

"Sama-sama. Sudah tugasku." Kata Draco, tak lupa dengan memamerkan senyum dengan tegangan tinggi, berharap jantung Harry kena setrum. Tapi Harry kembali menunduk, mengamati pola bunga-bunga di kain taplak. Oke. Rencana senyum seksi tak berhasil, senyum tegangan tinggi juga tak berhasil. Draco harus mengusahakan senyum jenis lain. Mungkin sepulang dari makan malam ini mulut Draco kram karena kebanyakan tersenyum.

Mereka diam selama beberapa saat. Draco memutar otak, bingung hendak membicarakan apa. Padahal dulu rasanya gampang sekali bicara dengan Harry. Yah, meskipun yang selalu keluar adalah ejekan dan kata-kata penuh sarkasme.

Makanan datang. Mereka masih tak punya sesuatu untuk dibicarakan. Jadi Harry memakan makanannya dalam diam. Sembari makan Draco menatap Harry dalam-dalam, mengamatinya. Mencari sesuatu untuk menjadi bahan pembicaraan. Ketika itulah, dia tak sengaja melihat bekas sesuatu di leher Harry. Sesuatu yang…. Seperti bentuk gigi.

"Apa itu bekas gigitan?" Tanya Draco tanpa berpikir. Harry kaget. Mulutnya membuka sedikit, kemudian rona pink menjalari pipi putihnya. Wajahnya langsung menunduk. Jelas sekali dia sedang malu. Draco membuka dan menutup mulutnya tanpa suara, speechless. Seseorang menggigit Harry. Seseorang MENGGIGIT Harry! Satu kalimat itu terus berulang, seperti tulisan berjalan di traffic light muggle.

"Bukan vampir, kan?" Tanya Draco lagi. Kelihatannya otaknya mengalami korslet.

Tapi Harry tertawa. Harry TERTAWA. Harry tak pernah tertawa di hadapan Draco. Pemuda pirang itu kembali speechless, tapi dengan alasan yang berbeda. Kalau bukan karena mempertahankan harga dirinya sebagai Malfoy, Draco pasti sudah berlari menuju jam kukuk di sudut restoran dan ikut menari tap dengan cengiran idiot terplaster di bibir.

"Bukan, silly." Kata Harry, masih dengan menahan tawa. Astaga. Draco rela melakukan apapun untuk bisa melihat tawa Harry lagi. Tawanya manis sekali. Cara sudut-sudut bibirnya tertarik, membuat bibir merahnya merekah. Kepalanya terangkat sedikit, matanya terpejam. Mungkin melihat Harry tertawa adalah hal yang paling membuat bahagia dalam hidup Draco. Oke, itu lebay—tapi orang jatuh cinta bisa menjadi lebay, jadi maklumi sajalah.

"Bukan vampir. Hanya manusia biasa." Lanjut Harry, membuat Draco membeku. Oke. Harry tidak digigit vampir. Itu bagus, kan? Paling tidak dia tidak akan berubah jadi makhluk bergigi runcing penghisap darah. Meskipun Draco tak berkeberatan kalau darahnya dihisap oleh Harry. Dia yakin kalau darahnya pasti yummy. Dia kan Darah-Murni.

"Jadi, siapa yang menggigitmu?" Tanya Draco, berusaha fokus pada permasalahan utama. Bisa gawat kalau Harry ternyata sudah punya pacar. Bisa-bisa Draco terserang penyakit patah hati. Kalau sudah begitu efek sampingnya bisa banyak, termasuk depresi dan keinginan untuk bunuh diri.

"Oh, bukan siapa-siapa kok. Itu hanya tidak sengaja. Kami bertengkar, lalu dia marah padaku. Ketika kupeluk dia malah menggigitku." Jawab Harry santai.

"Bukan anjing, kan?" Draco mulai was-was. Harry menatap Draco dengan pandangan seolah-olah pemuda pirang itu adalah manusia paling idiot se-galaksi bimasakti dan galaksi-galaksi tetangga.

"Aku tidak bertengkar dengan anjing, Malfoy."

"Oke. Hanya memastikan." Draco berdehem.

"Tapi dia memang seperti puppy. Imut sekali. Rasanya ingin kupeluk sepanjang hari. Dia suka duduk di pangkuanku. Selalu memelukku erat-erat kalau tidur. Katanya tak mau berpisah denganku. Dasar manja." Harry tertawa kecil. Sebaliknya, Draco menatapnya dengan horor.

"Kau yakin dia bukan anjing?" Draco kembali memastikan. Dia sudah mengalami fase pertama patah hati sekarang. Hatinya rasanya ngilu bagai diiris sembilu. Perutnya terasa melilit. Kalau fase ini berlanjut, dia bisa kena mental breakdown dan harus segera di bawa ke rumah sakit cinta.

"Tentu saja bukan!" Desis Harry. Matanya melotot, garpunya teracung. Draco hampir yakin Harry hendak menusuknya dengan garpu. Aneh sekali, padahal dia juga pegang pisau. Oke, Draco salah fokus.

"Oh. Sori." Kata Draco, menelan ludah. Hancur sudah mimpi-mimpinya. Yah, meskipun targetnya malam ini sudah tercapai. Dia bisa bicara normal tanpa kutukan dan sarkasme—kedua hal itu digantikan oleh garpu. Bagus. Kemajuan, kan?

"Jaga bicaramu, Malfoy. Aku tidak akan mengampuni siapapun bicara kasar tentang anak baptisku. Meskipun itu kau." Desis Harry kejam. Draco menelan ludah. Harry tidak main-main. Dia benar-benar akan membunuhnya kalau sampai menganggap anak baptisnya anjing. Anak bap—

"Tunggu. Kau bilang siapa?" Tanya Draco.

"Kupingmu sudah berubah fungsi jadi cantelan panci, ya?" Sindir Harry.

"Panci tak akan muat di kupingku, idiot." Lupa sudah Draco tentang targetnya makan malam tanpa ada ejekan.

"Kalau begitu kotoran kupingmu pasti banyak."

"Pendengaranku masih bagus, oke? Tapi aku hanya ingin memastikan. Kau bilang tadi anjing itu—" Draco tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena sibuk bengong. Garpu Harry berada tepat di sela jari-jarinya. Draco membuka jari-jarinya tepat waktu. Pemuda pirang-putih itu bersyukur dia punya insting yang bagus dan reaksi yang cepat.

"Kau serius mau menusukku, ya?!" Seru Draco. Mata Harry berkilat, bibirnya menyeringai.

"Kau bilang apa tadi, Malfoy?" Tanya Harry dengan manis. Kali ini pisaunya yang teracung. Draco menelan ludah.

"Maksudku, apakah kau baru saja bilang kalau orang yang menggigitmu itu adalah anak baptismu?"

"Oh, ya." Jawab Harry dengan senyuman manis. "Tapi dia bukan anjing." Lanjutnya dengan suara rendah dan berbahaya.

"Ha ha ha." Draco tertawa canggung. "Benar. Teddy Lupin. Anak yang baik, kan?" Kata Draco akhirnya.

"Tentu saja." Jawab Harry.

"Secara teknis dia sepupuku." Sahut Draco cepat. Tiba-tiba saja punya ide cemerlang yang bisa membuatnya dekat-dekat dengan Harry dalam jangka waktu lama.

"Memang." Ujar Harry. Dia tampak berpikir sebentar. "Tapi dia tetap anak baptisku. Aku walinya."

Draco menatap Harry selama beberapa saat. Kemudian dia tertawa.

"Ya ampun, Harry. Kau ini punya father complex ya?"

"Tidak!" Seru Harry cepat. Wajahnya merona.

"Oh, ya. Tentu saja kau punya." Draco menyeringai. Harry yang sedang malu juga manis.

"Kubilang tidak. Mau kutusuk pakai pisau, Draco?" Harry mendelik. Draco terkekeh. Harry memanggilnya dengan nama depan. Itu kemajuan juga.

"Kupikir itu manis." Ujar Draco. Harry menatapnya bingung.

"Aku menusukmu dengan pisau itu manis?"

"Bukan itu maksudku, bodoh. Maksudku perasaanmu sebagai ayah. Kurasa Ted beruntung memilikimu." Draco tersenyum lembut, membuat Harry terdiam.

"Terimakasih." Kata Harry akhirnya, balas tersenyum.

"Mau pesan wine?" Tanya Draco. Lega karena makan malam ini berjalan lancar.

"Ya. Boleh." Jawab Harry, masih dengan senyum di bibir. Draco melambaikan tangan memanggil pelayan dan memesan wine favoritnya. Kemudian mata abu-abunya kembali menatap Harry, yang kini tampak lebih santai dan tersenyum ramah padanya.

Berhubung target malam ini kurang lebih sudah tercapai, mungkin Draco harus segera menetapkan target selanjutnya. Mungkin mereka bisa lebih dekat kalau mengobrol sambil minum wine. Mungkin dia bisa bertanya-tanya yang aneh-aneh kalau Harry mabuk nanti. Mungkin juga bisa melakukan yang aneh-aneh. Draco menyeringai dalam hati. Target selanjutnya sudah ditetapkan.

.

.

.


A/N : apaaaaa iniiiiiii *facepalm* Buat yang menunggu kelanjutan chapter yang lalu, ini saya lanjutkan. Hanya saja sepertinya tak ada chapter selanjutnya lagi, jadi jangan minta ya. Silahkan bayangkan saja sendiri apa yang terjadi selanjutnya, hahaha.

Saya bingung bagaimana mengakhiri fic ini, jadi ya akhirnya begitu aja. Idenya sudah ngga ada soalnya. Buat yang minta ScorpAl ke saya, kayaknya belum bisa tercapai deh. Saya ngga ada bayangan mereka soalnya. Di imajinasi saya Scorpius itu yang lebih uke. Juga agak tsundere. Kalau tsundere cocoknya jadi uke #plak

Sudah, ya. Saya pamit dulu. Makasih sama yang udah baca dan review dan favorit dan follow dan mereka yang hendak melakukannya. Baca fic saya yang lain juga ya *promosi* Saya cinta kalian semua. Sini semuanya saya kasih peluk cium. Sampai jumpa di fic saya yang lain!

eileithyiakudo