A/N : Oke, udah musim libur. Walaupun begitu, saya masih belum tahu apa bisa dikerjain sekali seminggu. Tapi saya usahakan di-update secepat mungkin sebisa saya.

Btw, saya juga bikin fic yang judulnya "To The Place Where I Belong", pair OC saya An Shu dengan Ling Tong. Karena masih awal cerita, romance-nya masih terasa sedikit banget tapi lama-lama bakal terasa, lol. Saya juga minta review-nya untuk fic saya yang baru itu! Please please! Sepi banget lihat reviewnya, hiks. *pundung di pojokan*

Yoi, jawab review!

-Gianti Faith-

Guo Jia : *chuckle* Tentu saja tidak akan. Aku masih mencintai Xujie. Wanita satu-satunya yang aku cintai. Hanya Xujie lah istriku dan dialah pe-

Scarlet : Oke, kami mengerti! Itu sudah cukup!

Mei Xujie : *awkward laugh* Terima kasih atas reviewnya.

-safniradhika-

Guo Jia : Bagaimana diriku... tanpa Xujie... kah?

Mei Xujie : ...?

Guo Jia : Xujie! *pegang bahunya*

Mei Xujie : EH!? A-Ah, jangan khawatir! Aku akan kembali secepat mungkin! Aku sudah janji kan!

Blossom : Hai hai! Terima kasih dan berikutnya balas review berikutnya!

-xtreme guavaniko-

Guo Jia : Ya, aku benar-benar suami yang tidak baik. Xujie, maafkan aku.

Mei Xujie : Tidak apa kok! Tidak masalah! Aku tidak apa kok!

Blossom : Dari tadi lu aja yang jawab duluan! *nunjuk Guo Jia*

Miao Ran : Namaku seperti kucing?

Scarlet : Miaooo... itu maksudnya, nak. Yosh! Sankyu sudah mereview!

Disclaimer : Dynasty Warriors belongs to KOEI. Saya hanya punya alur cerita dan OCs.

Warning : OC (Mei Xujie) x Guo Jia. Fic abal(?), OOC yang mungkin tidak disengaja atau sengaja demi alur cerita, typo, penulisan gaya bahasa yang suram(?). DON'T LIKE DONT READ AND NO FLAMES. PLEASE.

-XXX-

The Blue Butterfly : The Warmth of Life

Chapter 15

Blue Rose

-XXX-

Xujie menghela napas sembari memandang langit sore yang kini sudah berwarna oranye kemerahan. Tidak berapa lama lagi, malam akan datang.

Pandangannya berpindah ke arah sungai. Kedua alisnya naik ketika iris merahnya berpindah pandangan ke arah sungai. Xujie takjub melihat air sungai yang berkilauan. Ia mendekat ke jendela dan memandang sungai. "Apa Fengxiao juga sedang melihat sungai ya?" gumam Xujie yang diiringi tawa kecil. Semakin lama ia tidak dapat melihat kilauan sungai dari kejauhan. Kereta mereka kini memasuki hutan yang tidak terlalu lebat. Xujie kembali menghela napas, padahal dia masih belum puas memandang sungai yang berkilauan tadi. Namun Xujie kembali tersenyum. "Aku yakin aku bisa melihatnya lagi... bersama Fengxiao."

Sang kakak kandung, Mei Yujie tersenyum menatap adiknya. Yang dikatakan penasehat Wei itu benar, Xujie tidak akan bahagia jika dia dikurung untuk tinggal di desa. Semenjak kecil, Xujie sangat ingin melihat dunia luar yang keindahannya sulit diungkapkan. Yujie menyesal atas niat sebelumnya. Jika dibayangkan, Xujie tidak akan mau berbicara dengannya lagi. Ia benci mengakuinya tapi pria itu sudah membuat Xujie berubah ke arah yang lebih baik. Adiknya sudah menemukan pendamping hidup yang baik. Adiknya sekarang sudah menjadi seorang istri, sedangkan dirinya belum. Dari dulu sampai sekarang, ia masih tidak tertarik dengan pria. Xujie sudah tumbuh dewasa. Mengingat adik kesayangannya itu sangat manja saat masih kecil.

"Xujie."

Xujie menoleh kearah sang kakak dan mengatur posisi duduk. "Ya, kak?"

"Suamimu bilang kau sedang sakit. Apa itu benar?"

"Ah, aku sudah merasa baikan."

"Kamu tidak mudah mabuk kendaraan kan?"

Xujie menggeleng.

"Tapi wajahmu kenapa pucat?"

"Eh... itu mungkin aku hanya... kelelahan." ucapnya sambil tersenyum kecil. "Terima kasih sudah mengkhawatirkanku tapi aku baik-baik saja."

"Begitu..." Yujie hanya bisa menurut. Walaupun ia merasa bahwa sang adik menyembunyikannya namun Yujie akan menunggu sampai kapan Xujie bisa menahannya. "Kalau kau merasa mual katakan padaku ya."

"...um." Xujie mengangguk pelan. Ia lalu kembali menatap keluar. Ia meletakkan tangannya diatas perut. Dan tangan sebelahnya berada di dadanya. Dari tadi ia menahan rasa sakit ditubuhnya, Xujie kini ragu apa benar demamnya kembali kambuh.

-xxx-

Mereka datang di desa Chou. Yujie membuka pintu kereta kemudian ia turun lalu membantu Xujie.

"Kau telat, Yujie. Kukira kau tidak akan datang. Tidak kusangka kau datang pada larut malam seperti ini." Seorang wanita yang memiliki rambut hitam yang disanggul dengan tusuk konde yang dihiasi bunga mawar dan manik-manik. "Selamat datang, Xujie."

Xujie memberi hormat, walaupun ia tidak tahu siapa wanita itu namun ia yakin dia adalah salah satu dari penyandang marga Mei. "Senang bertemu denganmu... uhm..."

"Aku Mei Chen. Teman kakakmu sekaligus Tetua marga Mei."

"Ah, t-terima kasih telah menjaga kakakku! Dan- um..."

Chen tertawa pelan. "Tidak perlu formal seperti itu. Santai saja." ucapnya sambil mengusap kepala Xujie. "Nah, ayo kita ke dalam. Mereka sudah menunggu kedatangan kalian dari tadi."

Xujie baru tahu kalau marga Mei memiliki petinggi marga. Baginya itu terdengar sedikit aneh tapi ia penasaran apa alasannya. Tapi lebih baik ia menyimpan pertanyaan tersebut, pikirnya.

-xxx-

Kakak-adik serta tetua Marga Mei tersebut memasuki aula perjamuan. Xujie menarik lengan baju Chen. "A-Anu, kenapa diadakan perjamuan?"

"Kenapa kau bilang? Tentu saja untuk menyambutmu."

"Eh."

"Wah! Jadi dia Xujie?"

"Rambutnya itu lho, warna merah!"

"Manisnya!"

Semua wanita bermarga Mei menghampiri Xujie dengan senyuman hangat di bibir mereka. Xujie yang tidak terbiasa dengan pujian hanya terdiam malu karena tak dapat mengatakan apapun. Dua manik merah miliknya mengarah ke sang kakak. Yujie hanya tersenyum, begitu pula Chen.

"Hei, Xujie! Umurmu berapa?"

"Eh-d-dua puluh." jawab Xujie gugup, mereka berkumpul dan bertanya banyak hal mengenai dirinya.

"Xujie, rambutmu kenapa warnanya berbeda jauh dengan kami?"

"S-soal itu aku tidak tahu." jawab Xujie lagi.

"Nah, tunda dulu semua pertanyaan kalian. Bagaimana kalau kita mulai saja perjamuannya?"

Para wanita penyandang marga Mei tersenyum senang, kecuali Xujie yang tidak merasa nyaman karena terlalu banyak orang. Ditambah sang suami tidak bersamanya. Namun jika diperhatikan para gadis yang berkumpul di aula, Xujie yakin jika dia ikut bersamanya mereka akan mendekati suaminya atau bahkan suaminya sendiri yang mencuri perhatian mereka. Jika itu terjadi, Xujie tidak akan memaafkan suaminya itu. Selama acara perjamuan yang diadakan secara sederhana, beberapa orang wanita duduk dekat Xujie dan menawarinya makanan ada pula yang kembali bertanya beberapa hal.

"Eh Xujie. Kakakmu bilang kamu sudah menikah ya?"

"I-Iya..." Xujie mengangguk pelan.

Mereka memekik kaget. "Wah, yang benar?"

"Seperti apa suamimu itu, Xujie?" tanya gadis yang terlihat lebih muda.

"U-Um... Dia itu seorang penasehat dari kerajaan Wei-"

"D-dari kerajaan Wei!? Wah, Xujie hebat ya! Bisa menjadi istri dari orang kerajaan!" Puji mereka lagi. "Apa dia tampan?" tanya yang lain.

"A-Ah... Itu-" Wajahnya merona merah, lalu ucapan Xujie kembali dipotong oleh pertanyaan yang lain. Mereka saling merebut Xujie untuk bertanya tentang suaminya. Dada Xujie semakin sesak karena mereka sudah mengepungnya dan terus bertanya.

"Sudah cukup!" bentak Xujie. Mereka pun terkejut dan langsung diam. Xujie sadar, ia tidak bermaksud untuk memarahi mereka. Ia mengelus dada untuk menenangkan diri lalu berkata. "Maaf..."

"Ah tidak. Seharusnya kami yang minta maaf."

"Ya, kau pasti sudah lelah karena jauh-jauh datang kesini."

"Maaf ya..."

"T-Tidak apa..." Xujie tersenyum kecil dan menggoyangkan kedua tangannya.

Yujie menghampiri sang adik, ia menaruh kedua telapak tangan di kedua bahunya. "Hei hei. Kita baru saja memulai pestanya kan? Xujie kau juga belum makan apapun sejak tadi kan? Jadi ambillah makanan sesukamu dan isi perutmu!"

"K-Kakak? Kau... mabuk?"

"Ehhh, tidak kok." jawabnya sambil tertawa.

"Tapi ada bau arak! Kakak sebaiknya jangan minum itu! Tidak baik!" bentak Xujie.

"Xujie, jangan marah ah. Kau melukaiku..." ucap Yujie sambil memeluknya.

"Yujie. Xujie. Sebaiknya kalian istirahat. Kalian pasti sudah lelah." ucap Chen sambil menghampiri kakak-adik tersebut.

"T-Terima kasih, Nona Chen..."

-xxx-

Tetua Marga Mei tersebut mengantarkan Xujie serta kakaknya ke rumahnya. Rumahnya terlihat normal dan hampir sama dengan yang lain. Namun di tepi dinding rumahnya sudah ditanami berbagai jenis bunga. Xujie sempat mengagumi sang kakak yang tinggal seorang diri selama dirinya menghilang.

"Dasar, kau tidak perlu mengantarkan kami." gerutu Yujie.

"Itu karena kau masih mabuk. Aku cemas kau akan pingsan di tengah perjalanan. Xujie pasti kesulitan membawamu, bahkan Xujie belum tahu dimana rumahmu kan?"

Yujie menghela napas kesal. "Ahaha..." Xujie hanya bisa tertawa canggung.

"Nah, kalau begitu. Aku pulang. Selamat malam."

"Terima kasih banyak Nona Chen. Selamat malam juga!" Xujie membungkukkan badan. Melihat sikap adik Yujie tersebut membuat Chen tertawa.

"Kamu gadis yang sopan. Kau memang pantas sekali menikah dengan strategis Wei." Ucap Chen tertawa pelan sehingga wajah Xujie dihiasi dengan rona merah. "Nah, sampai jumpa besok."

"...Fengxiao." gumam Xujie.

"Xujie... padahal kita belum sampai sehari berada disini dan kau merindukan pria itu?" Yujie memeluk adiknya dari belakang.

"Eh...itu..." Xujie menggeleng kepala. "Ya. Tapi tidak masalah kan jika aku tinggal disini untuk sementara? Aku ingin tahu bagaimana keadaan desa Chou yang ditempati wanita Mei. Dan... aku ingin menghabiskan waktu dengan kakak." Xujie tersenyum simpul.

"Hm! Anak baik!" Yujie membelai kepala Xujie. "Yuk, kita masuk. Kita mandi lalu tidur~"

-XXX-

Kakak beradik itu membasahi tubuh mereka lalu masuk ke dalam bak kayu yang airnya yang sudah hangat.

"Ah... akhirnya." Yujie menghela napas panjang.

"Hangat sekali..." ucap Xujie tertawa pelan.

"Xujie."

"...ekh-" Yujie langsung memegang dada adiknya "Hwaa! K-Kakak! Apa yang kau lakukan!?" Xujie langsung menjauh dari kakaknya sambil menutup dadanya.

"Hm. Dadamu lumayan... tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Normal." Ucapnya sambil mengurut dagu.

"K-Kakak!" bentak Xujie.

"Nah, jangan marah. Aku hanya ingin tahu tentang adikku yang sudah dewasa tidak masalah kan?" Yujie tertawa.

"T-Tapi kan tidak harus begitu caranya..." jawab Xujie. Yujie kembali tertawa setelah beberapa saat ia berhenti lalu mengganti topik pembicaraan.

"Besok, kamu mau ikut denganku kan? Kita akan ke makam ayah dan ibu." Yujie tersenyum lembut padanya.

"...eh?" Xujie membelalakkan matanya, lalu ia memalingkan wajah. Ia mencoba untuk menahan rasa kesedihan, tapi selalu saja gagal. Mengingat bagaimana mereka mati pada saat itu. Mereka masih memiliki keinginan untuk terus hidup dan keinginan untuk melarikan diri dari dunia yang penuh kekacauan. Air matanya mengalir dan bersatu dengan air kolam.

"Ada apa?" Yujie memegang kedua bahu sang adik untuk menatapnya. "Kenapa kau menangis?"

"Ayah dan ibu... meninggal karena aku. Saat kami melarikan diri, mereka..."

"Xujie..." Yujie hanya tahu desanya terbakar karena ulah Dong Zhuo untuk menangkap wanita bermarga Mei hanya untuk kesenangan yang tidak berguna. Namun ia hanya memiliki firasat bahwa kedua orang tua mereka sudah mati namun tidak tahu bagaimana. Namun, bagaimanapun mereka meninggal pada saat itu, ia tidak harus tahu dan hal itu bukanlah masalah besar. "Itu bukan salahmu, tidak akan pernah. Aku yakin ayah dan ibu juga tidak menyalahkanmu, begitu juga aku."

"Tapi... seharusnya aku memikirkan jalan lain, agar mereka tetap hidup." Xujie menutup wajahnya dengan kedua tangan, kulit wajahnya basah oleh air mata. Yujie memeluk erat adiknya. Tangannya membelai lembut rambut merah yang disanggul.

"Aku pun berpikir demikian. Tapi tetap saja tidak mungkin, ya kan? Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Bagaimanapun juga kita harus menerimanya, kita tidak boleh mengutuk takdir." Yujie melepas tangan Xujie yang berada di wajahnya. "Lagipula, karena takdir itu kau menemukan pendamping hidup yang pantas, bukan begitu?"

Xujie kini kembali teringat dengan suaminya. Disaat ia bertemu dengan Guo Jia, ia juga bilang pertemuan mereka merupakan takdir. Ia juga hidup bahagia bersamanya. Kakaknya benar. "...aku ingin mereka kembali..." lirih Xujie sembari menghapus air mata.

"Aku juga, Xujie. Aku sangat merindukan mereka..."

-XXX-

Setelah mereka mandi bersama sambil mengobrol, kakak-adik tersebut mengenakan hanfu putih yang cukup hangat agar tidak kedinginan.

"Yuk, kita tidur sama-sama!" ajak Yujie.

"Baik." Xujie mengangguk dan tersenyum.

Mereka masuk ke dalam kamar dan Yujie langsung menyalakan lilin, kemudian merebahkan tubuhnya diatas ranjang.

"Haaah... Aku lelah. Oh iya, Xujie!"

"Ng?"

"Tunggu sebentar, aku akan mengambilnya!" Yujie kembali bangkit. Ia mengambil sesuatu di dalam lemari pakaian. Xujie hanya diam menunggu walaupun dia sangat penasaran.

"Ini dia." Yujie mengambil dua buah ornamen yang sangat cantik. Yaitu sebuah tusuk konde dengan manik-manik yang berkilauan, berpangkal bunga mawar, satu yang berwarna kuning dan satu lagi biru. Yujie bergegas duduk di samping Xujie. "Untukmu!" Ucap Yujie memberikan tusuk konde yang berpangkal mawar berwarna biru.

"Ini...?" Xujie dengan perlahan mengambil benda tersebut. "Kenapa?"

"Tetua yang memberikan ini. Tusuk konde ini biasanya hanya untuk wanita bermarga Mei. Lihat bunga mawarnya. Cantik bukan?"

"Iya. Sangat. Tapi kenapa mawar milik kakak warnanya kuning?" Tanya Xujie.

"Hm...aku tidak tahu. Tapi aku hanyq tahu makna warna mawar. Seingatku mawar kuning itu artinya persahabatan, kekeluargaan, keceriaan dan kegembiraan. Tapi ada juga yang mempersepsikan bunga kuning sebagai ungkapan benci dan cemburu. Haha, rasanya lumayan cocok untukku." Gurau Yujie sambil terkekeh. "Sedangkan mawar biru melambangkan sesuatu yang mustahil untuk di capai, sesuatu yang tak terjangkau yang hanya akan tetap menjadi mimpi yang tidak pernah bisa terealisasi. Kira-kira begitu, soalnya warna biru pada mawar tidak pernah ada." lanjutnya.

"'Sesuatu yang mustahil...untuk dicapai?'" gumam Xujie.

"Nah, mau dicoba? Aku akan menyanggul rambutmu dan memasangkannya."

"Ah, baiklah."

Yujie pun mengambil sisir di meja rias setelah itu duduk di belakang Xujie. "Rambutmu sudah panjang sekali, tebal pula. Apa tidak apa seperti ini? Kau tidak ingin memotongnya?" Tanya Yujie sambil menyisir rambut adiknya.

"Tidak. Soalnya Fengxiao bilang kalau dipotong kan sayang, lagipula nanti akan tumbuh panjang lagi."

"Hm. Benar juga pria itu." Yujie manggut-manggut.

"...um. Kakak, boleh aku bertanya?" Tajya Xujie.

"Hm?"

"...maaf kalau aku bertanya ini tapi... apa kakak membenci Fengxiao?" Telapak tangannya menggenggam satu sama lain diatas pahanya.

"...yah. Awalnya iya. Entah kenapa dia terlihat menyebalkan."

"B-Begitu?

"Tapi kalau aku melihat kalian berdua, sepertinya-ah tidak... pasti kalian akan menjadi pasangan hidup yang...hehe." Yujie tertawa pelan.

"Eh? Apa?"

"Bukan apa-apa! Nah, sudah selesai." Yujie lalu mengambil cermin kecil dan memperlihatkannya pada sang adik. "Kau memang manis sekali ya, Xujie! Cocok sekali untukmu!" Yujie memeluk sang adik sambil membelai kepalanya.

Xujie hanya tertawa pelan. "Terima kasih kakak."

"Oh. Kalungmu bagus juga!" Yujie menyentuh kalung kupu-kupu biru di lehernya. "Hooh... jangan-jangan dia yang memberikan ini padamu?"

"I-Iya... waktu itu Fengxiao memberikan kalung ini padaku sebelum kami menikah..." Xujie tersenyum malu, dirinya kembali teringat pada saat mereka mengungkapkan perasaan satu sama lain.

"Hum~ Aku jadi penasaran kenapa harus kupu-kupu. Tapi sungguh, kalung itu cocok sekali untukmu." Yujie mengurut dagu.

"Ah, kakak. Ada satu lagi yang ingin kutanyakan padamu. Kenapa di marga kita ada tetua?"

Yujie melipat tangannya. "Ah, sebenarnya itu baru diputuskan sejak ulah Dong Zhuo. Wanita marga Mei sebelum kita pernah ia culik, banyak yang tertangkap. Karena itu salah satu wanita marga Mei dipilih untuk bertanggung jawab menjaga seluruh wanita bermarga Mei. Karena itu sampai sekarang semuanya wanita Mei dilarang keluar."

"Lalu... sekarang Dong Zhuo sudah tiada kan? Kenapa mereka tidak dibiarkan saja tinggal di tempat dimana yang mereka inginkan? Rasanya... seperti di dalam sangkar." Tanya sang adik lagi.

"...itu..." Yujie kembali teringat akan ucapan suami adiknya itu. Keinginan Xujie untuk mengetahui dunia luar apakah sama dengan wanita Mei yang lain? Ia juga baru sadar, mereka mungkin cukup aman untuk menetap untuk tinggal di daerah lain. Walaupun masih terjadi peperangan, namun keinginan mereka untuk mengetahui dunia luar, itu tidak akan kalah dari rasa takut mereka. "...kau benar, Xujie. Sepertinya aku harus membicarakan ini pada Chen."

"...ah. Iya." Xujie mengangguk pelan.

"Nah, lebih baik kita tidur sekarang." Yujie menguap lalu merebahkan tubuhnya. "Selamat malam, Xujie. Mimpi indah~" Yujie langsung menarik selimut lalu menutup matanya.

"Ya. Selamat malam." Xujie tersenyum. Lalu ia mematikan lilin kemudian kembali tidur.

-xxx-

Xujie tidak tahu kenapa ia bisa ditempat seperti ini. Di sekelilingnya terdapat bunga mawar biru dengan batang berduri. Namun anehnya, ia tidak merasakan sakit sedikitpun ketika kulitnya menyentuh duri tersebut.

Kemudian kedua telinganya mendengar suara.. ia tidak tahu apa namun terdengar sangat indah. Ketika ia menoleh kebelakang ia melihat sebuah kupu-kupu yang berkilauan, ia tidak melihat ada warna setitikpun pada kupu-kupu tersebut, hanya kilauan namun tidak menyakitkan pada matanya.

Dia tidak mengerti sama sekali kenapa kakinya harus melangkah untuk mengejar kupu-kupu itu. Tangan kanan meraih keatas untuk mencapai serangga yang menawan itu.

Belum sampai ia menangkapnya, matanya kini terasa pedih sehingga matanya tertutup secara tidak sengaja. Ketika ia membuka mata kembali, ia tidak melihat keberadaan kupu-kupu itu lagi.

-XXX-

A/N : Yak, umur Xujie sudah terungkap! Ah? Atau ada readers sekalian yang sudah menduga itu? Haha! Oke! Mohon di-review untuk chapter ini! Dan jangan lupa berkunjung di To The Place Where I Belong dan mohon beri review-nya juga ya!