Hujan deras yang dimbangi dengan petir menyambar menghantam daerah terpencil itu. Dua bukit yang mengapit dusun kecil semakin menyamarkan lokasinya. Tidak banyak orang yang tahu akibat lokasinya yang tersembunyi, membuat orang-orang yang tinggal di dalamnya kurang begitu tahu dengan kondisi yang terjadi di luar.

Bagi seseorang yang tengah berlari kencang saat ini, dusun itu menjadi tempat yang sangat pas untuk menyembunyikan buntalan kain yang sudah ia jaga sedari tadi.

Ore no Koto Chapter 1

Pairing: Sasuhina

Warning: Semi-canon, alur cepet, typo, dan masing banyak kekurangan lainnya

Don't Like, Don't Read

...

Dok dok dok

Suara pintu yang diketuk kencang, membuat sang penghuni rumah harus kembali menyalakan api penerangan. Tidurnya yang terganggu bukan menjadi masalah, malah sudah sering ia mendapat gangguan saat malam dari para tetangganya. Dengan langkah yang sedikit terseok, lelaki tua itu berjalan ke pintu depan rumah kayunya. Badai yang telah menerjang sejak tadi sore membuat suhu udara turun beberapa derajat. Oleh karena itu saat melewati perapian, kakek berusia hampir tujuhpuluh tahun itu menyempatkan untuk melempar beberapa kayu bakar.

"Sebentar." Suaranya juga bergetar, akibat usianya yang lanjut dan udara dingin yang menembus kulitnya. Dalam benaknya, pastilah para pemuda desa yang berkerumun di depan pintunya. Meminta beberapa ramuan obat yang akan mereka bawa untuk berburu di hutan. Walaupun sang kakek menyayangkan waktu yang kurang tepat untuk berburu beruang saat ini.

Ceklek

Mata rabun sang kakek tidak mendapati beberapa bayangan tinggi yang semula menjadi asumsinya, bahkan tidak ada siapapun yang ditangkap mata keriputnya. Kakek tua itu menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan jika ada orang yang mengetuk pintunya tadi dan kembali memastikan jika telinganya tidak salah dengar.

Menyerah karena memang tidak ada seorang pun, kakek tua itu sudah bersiap untuk kembali masuk ke rumah kayunya sebelum ada suara melengking yang letaknya ada di bawah kakinya.

"Oee...oeee...oeee!"

Jelas saja kakek tua itu terkejut, belum pernah satu kali pun dalam hidupnya pintunya diketuk dan mendapati sebuah bayi yang terbungkus kain basah tergeletak di teras rumahnya. Dengan punggung yang terasa sakit saat membungkuk, kakek tua itu menggendong buntalan bayi yang masih berwarna merah. Membuat bayi itu semakin menangis kencang.

"Hush...hush...kau tersesat, nak?" Usapan pada kepala berambut hitam itu seketika menenangkan sang bayi, telapak tangan yang hangat membuat bayi itu merasa nyaman.

"Kau kedinginan?" Walaupun sang kakek tahu tidak akan ada jawaban dari pertanyaannya, tetap saja, sang kakek masih mengajaknya bicara.

"Kalau begitu ayo masuk, kakek punya selimut hangat di dalam."

...

9 tahun kemudian

"Kakek! Kakek! Kakek!"

Seorang bocah kecil berlari kencang saat rumahnya sudah terlihat. Senyumnya semakin mengembang saat orang yang sangat ingin ditemuinya sedang duduk di pondok yang ada di depan rumah. Mengabaikan sandalnya yang tidak dilepas, bocah cilik itu langsung saja melompat ke samping orang yang ia panggil 'kakek'.

"Kakek!" Bocah itu menggelayut manja pada leher kakek tua yang tengah memijat pergelangan tangan seorang pelaggan.

"Ada apa, Kenichi?" Bukannya kesal akibat kedua pundaknya sakit, kakek itu malah tersenyum menanggapi.

"Lihat! Aku dapat kumbang tanduk sebesar ini!" Tangan kecilnya menunjukkan kumbang hitam tepat pada wajah sang kakek.

"Kau benar. Kumbangmu besar sekali." Kakek itu kembali melanjutkan menekan saraf-saraf pada tangan pasiennya.

"Darou?!" Bocah bernama Kenichi itu turun dari punggung kakeknya, duduk di tidak jauh dari tempat kakeknya duduk. Bermain dengan serangga baru yang baru saja dia tangkap.

"Hahahahaha. Cucumu lucu sekali Jiro." Si pasien yang sudah menjadi langganan tetap ikut menimpali. Selalu saja ia merasa terhibur jika melihat Kenichi berseliweran saat dirinya di terapi. Laki-laki tua itu jadi teringat masa kecil cucunya.

Sedangkan kakek yang bernama Jiro hanya tersenyum menanggapi. Sudah menjadi hal yang biasa jika bersangkutan dengan Kenichi. Bocah kecil yang dulu ia temukan di depan rumahnya. Banyak orang yang berebut untuk merawat bayi kecil itu, mengingat betapa tampannya wajah bayi merah itu. Tentu saja ia tidak akan menyerahkannya, bagaimanapun dialah orang yang dipercaya untuk merawat bayi itu. Menamakannya dengan Kenichi, seperti nama anaknya yang dulu meninggal akibat pergi berperang.

Jika seandainya suatu saat ada orang yang tiba-tiba datang mengaku sebagai orang tua Kenichi, mungkin kakek Jiro tidak akan menyerahkan cucunya begitu saja. Kakek tujuhpuluh tujuh tahun itu sudah terlalu sayang pada bocah kecil itu.

Mata hitamnya menggerling pada cucu angkatnya. Tengkurap dengan kaki yang digoyang-goyangkan, tangan mungilnya tengah mengelus sayap kumbang hitam itu pelan. Sejak kecil kakek Jiro sudah menanamkan rasa kasih sayang kepada sesama pada Kenichi. Membuat laki-laki kecil itu tumbuh menjadi bocah baik dan sopan.

"Kenichi! Ayo main!" Dua anak laki-laki seumuran dengan Kenichi datang dengan membawa sebuah tongkat kayu di tangan mereka masing-masing.

"Ouh!"

...

"Sugee!" Salah satu bocah tidak bisa berkedip saat melihat tangan Kenichi menggenggam sebuah serangga besar. Tidak jauh berbeda dengan satu bocah lagi.

"Kau dapat darimana?" Teman jabrik hitamnya ini selalu mendapat barang bagus.

"Aku memanjat pohon paling tinggi untuk medapat kumbang tanduk ini." Kenichi tentu senang menceritakan bagaimana hebatnya dia memanjat pohon raksasa yang terletak di tengah desa. Mengabaikan beberapa lecet yang menghiasi lutut kakinya.

"Kau memang hebat Ken." Mereka bertiga sudah berencana akan memancing di hilir sungai, sehingga kedua bocah itu telah membawa alat pancing dari rumah mereka. Berbeda dengan Kenichi, anak itu tidak membutuhkan kail ataupun tombak kayu untuk mendapatkan ikan. Hanya masuk ke dalam air, maka tidak lama kemudian kedua tangannya sudah dipenuhi beberapa ikan. Tapi kali ini Kenichi hanya akan menemani kedua temannya, ia masih terlalu senang mendapat kumbang besar itu. Saat ketiganya melewati sebuah lapangan luas, beberapa anak laki-laki yang berumur sekitar tiga tahun diatasnya menghentikan mereka.

"Sepertinya kau punya sesuatu yang menarik." Anak dengan tubuh paling besar bersedekap sambil menampilkan raut menantangnya.

"Khehe, kau benar. Hei, lihat. Dia punya kumbang tanduk lumayan besar." Salah satu anak yang berdiri di belakangnya tiba-tiba merebut kumbang itu dari tangan Kenichi. Memamerkan pada temannya yang lain.

"Kembalikan kumbangku." Kenichi tentu tidak terima jika miliknya diambil begitu saja. Dengan tinggi tubuh yang tidak seberapa, Kenichi mencoba meraih kumbang itu dari tangan si perebut. Sekali lompat Kenichi bisa saja mengambil kumbangnya, tapi ia terlalu takut untuk menyakiti makhluk kecil itu, sehingga Kenichi melompat hanya untuk menyundul kepala bocah nakal itu.

"Ittai!"

"Rasakan. Sekarang kembalikan kumbangku." Kenichi tetap meminta kumbangnya untuk dikembalikan. Mengabaikan kedua temannya yang berdiri gemetar ketakutan. Masalahnya anak-anak yang menghadang mereka adalah kumpulan anak paling nakal yang ada di desa.

"Kau–Berani-beraninya." Memberikan kode pada teman-temannya, beberapa anak sudah berdiri mengelilingi tiga bocah kecil itu. Bersiap dengan masing-masing tinjunya.

Kenichi adalah yang pertama sadar. Dengan tenaganya yang tidak seberapa, ia mencoba untuk melawan. Maka saat ada anak pertama yang akan menghadiahi wajahnya dengan pukulan Kenichi menghindar. Menangkap pergelangan tangannya dan membalik serangannya.

Duak

Serangan demi serangan berhasil Kenichi tangkis, bukan hanya yang ditujukan padanya saja, kedua temannya tidak luput dari jangkauan lindungannya. Meskipun sebagian luka yang dideranya saat ini diperoleh dari tergores batu akibat jatuh.

Merasa kesal dengan beberapa temannya yang tidak berguna, anak dengan serangga di tangannya maju. Ikut-ikutan menyerang. Sehingga lima lawan satu sekarang. Dengan bertambahnya lawan yang harus Kenichi hadapi, membuat bocah sembilan tahun itu harus pintar menghindar.

Salah satu anak berhasil mendaratkan tinjunya pada pelipis Kenichi, membuat tubuhnya kembali tersungkur ke tanah. Rasa sakit yang baru dia derita tidak terlalu ia pusingkan ketika mata hitamnya menangkap kedua temannya yang sekarang menjadi target pukulan.

"Lepaskan mereka!" Saat Kenichi akan bangkit untuk menolong teman-temannya, ada sebuah kaki yang menginjak betis kirinya.

"Itu balasan karena berani melawanku." Mata Kenichi terpaku pada kedua temannya yang sekarang tengah dipukuli. Seharusnya Kenichi berikan saja kumbang itu daripada melawan. Akibatnya mereka yang tidak salah apa-apa harus mendapat perlakuan seperti itu akibat dirinya yang egois.

Jemarinya menggenggam tanah erat, menyalurkan kemarahannya pada pasir tak bersalah itu. Mata hitam tajamnya yang menatap lurus pada teman-temanya, tanpa diduga berubah menjadi merah. Dengan sebuah koma di setiapnya.

...

Seorang dengan rambut hitam berdiri bersandar pada sebuah dahan pohon. Menyaksikan seorang anak kecil yang melawan lima orang dengan tubuh lebih besar darinya. Bukan bagaimana cara bocah itu mengalahkan musuhnya yang menjadi perhatiannya, tapi sepasang mata merah yang begitu ia inginkanlah alasannya.

"Akhirnya aku menemukanmu."

...

Jiro menatap heran pada cucunya. Saat pergi tadi dia terlihat sangat senang, berbeda dengan sekarang. Tampak murung dengan penampilan berantakan. Jika Kenichi sedang bermain dengan teman-temannya, bocah itu akan kembali saat matahari hampir bersembunyi bukannya saat hari masih terang benderang seperti sekarang.

Di tubuh kecil itu, Jiro mendapati beberapa bagian yang mengalirkan darah segar. Dengan segera Jiro menghampiri cucunya yang terlihat sedang mengusap air matanya.

"Ada apa dengan tubuhmu, Kenichi?" Panik tentu saja, cucu yang besarkan dengan jerih payahnya terluka banyak. Kenichi tidak menanggapi, malah menyembunyikan kedua tangannya yang terluka di balik tangannya.

"Kau bertengkar?" Jiro hanya menebak saja, tidak tahu jika tebaknya memang benar. Kenichi malah menunduk, menghindari tatapan dari kakeknya.

"Kenapa diam?" Sambil bertanya Jiro mengeluarkan cakhra penyembuh dari tangannya. Mengusap ke semua luka yang bisa lihat. Tidak tahu dengan luka yang ada di balik pakaiannya.

"Tidak apa-apa jika kau berkelahi. Tapi harus dengan alasan yang jelas." Mendengar petuah dari kakeknya membuat Kenichi semakin menunduk.

"Jadi katakan padaku, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai sesedih ini?" Jiro tahu Kenichi bukanlah anak yang cengeng hanya gara-gara mendapat luka, tapi pasti ada sesuatu yang membuat cucunya sampai menangis seperti ini.

...

Hanya Kenichi yang masih berdiri. Tujuh anak lainnya terlentang di tanah dengan tidak berdaya. Meskipun ada tujuh, hanya lima anak saja menjadi korban hantamannya. Mana mungkin ia akan menyakiti teman-temannya, walaupun beberapa saat yang lalu ia sempat hilang kendali. Kenichi masih bisa membedakan mana yang teman ataupun lawan.

Tidak jauh dari tubuh anak yang tak berdaya, teronggok serangga yang bentuknya tak beraturan. Kenichi dengan yakin itu Kimimarou-nya, serangga yang direbut dan menjadi alasan dirinya berkelahi.

"Mons-ter." Kenichi langsung menoleh ke sumber suara. Suaranya putus-putus akibat luka yang dideritanya.

"Monster." Kali ini dari anak lainnya yang berusaha bangkit. Semakin lama kata'monster' semakin sering ia dengar. Masing-masing anak memanggilnya dengan sebutan itu.

Kenichi geram, ia akan kembali melancarkan serangannya jika tidak melihat ada tatapan ketakutan dari kedua temannya. Hal yang membuatnya tersadar. Kepalan tangan Kenichi terbuka, tubuhnya seolah kosong tak bernyawa. Tatapannya dia gulirkan ke berbagai bagian, ada bercak-bercak darah yang tersirat di pasir di tempatnya berdiri. Tidak hanya itu, tubuh anak-anak yang tadi menyerangnya terlihat parah.

"Minna–"

"Monster." Mata hitam itu melebar. Tubuh Kenichi menegang, sebutan yang barusan dia dengar keluar dari mulut salah satu temannya. Tidak hanya itu tatapan yang tadi menunjukkan ketakutan kini berganti menjadi tatapan jijik. Satu, tidak, keduanya menunjukkan tatapan yang sama.

"Pergi dari sini monster!"

...

Pintu geser itu terbuka, membuat sebuah tubuh kecil yang bergelung di atas futon terlihat. Semenjak tadi posisinya tetap sama, membelakangi pintu dan malah menghadap ke tembok. Lilin kamar juga tidak menyala, sehingga hanya pintu yang menjadi perantara masuknya cahaya.

"Kenichi, ayo makan dulu." Jiro meletakkan nampan yang berisi mangkuk nasi dan sup di dekat cucunya. Kenichi malah semakin menggelung tubuhnya. Setelah menceritakan semuanya pada kakeknya Kenichi hanya ingin sendiri.

"Setelah makan, kita pergi lihat festival."

...

Ada tangan yang menggenggam pergelangan Kenichi semenjak keluar dari rumah. Suasana jalanan desa begitu ramai sehingga Jiro tidak ingin mengambil risiko kehilangan cucunya. Bahkan jika ia masih kuat, Jiro lebih memilih untuk menggendong Kenichi di pundaknya.

Laki-laki itu sudah terlalu tua untuk melihat festival yang diadakan setiap satu tahun sekali di desanya. Tapi jika dengan hal ini bisa mengubah suasana hati Kenichi, maka Jiro lebih memilih kakinya yang kesemutan keesokan harinya daripada menatap raut murung Kenichi untuk beberapa hari.

Sudah banyak stan-stan yang mereka lewati, dari sekian banyak itu tidak ada satupun yang membuat Kenichi tertarik. Pada festival-festival sebelumnya Kenichi pasti memilih stan dengan berbagai macam permainan untuk mendapat hadiah. Seperti melempar cincin atau menangkap ikan. Dan setelahnya akan ada banyak hadiah dan berkantung-kantung plastik berisi ikan yang menghiasi tangan Kenichi.

"Kau ingin makan takoyaki?" Kenichi menggeleng sebagai tanggapan pertanyaan kakeknya. Daritadi Kenichi hanya menunduk, takut jika akan bertemu dengan dua temannya disini. Jiro hanya menghela nafas, akan sangat sulit mengembalikan kondisi Kenichi seperti semula. Tapi mata rabunnya menemukan sesuatu.

"Lihat Ken, ada ninja disini." Jiro menunjuk tiga orang laki-laki dengan pakaian yang sama. Dari penampilannya, sudah dapat ditebak jika ketiga orang itu berasal dari salah satu lima desa besar. Atau bisa dikatakan mereka dari desa paling besar.

"Jarang sekali ada ninja yang melakukan misi disini." Kenichi menatap kakeknya, penjelasan yang kurang begitu ia mengerti. Bocah itu bahkan tidak tahu apa itu ninja.

"Ninja?"

Jiro tersenyum, akhirnya cucunya mau juga bicara. "Orang yang melakukan berbagai macam misi."

"Misi apa?"

"Apa saja. Kau tahu, setiap ninja punya jurus mereka masing-masing." Mereka bicara sambil berjalan, topik perihal ninja telah membuat Kenichi kembali pada dirinya. Bocah itu punya rasa ingin tahu yang besar.

"Seperti jurus milik Kakek?" Suara Kenichi juga kembali terdengar antusias. Jika bicara soal jurus, hanya kakeknya saja yang bisa mengeluarkan cahaya hijau untuk menyembuhkan di desa itu.

"Begitulah. Tapi lebih hebat lagi."

"Kalau begitu Kakek seorang ninja?" Jiro tertawa pelan mendapati kepolosan cucunya.

"Bukan. Untuk menjadi seorang ninja, harus ikut tes dulu." Kenichi mendapat usapan pada kepala jabriknya.

"Tes apa?"

"Kakek tidak tahu." Jiro sedikit menyesal karena tidak memberikan jawaban pada pertanyaan Kenichi. Memang ia kurang begitu tahu mengenai sistem ninja di desa-desa besar.

"Kakek." Jiro menunduk menanggapi panggilan Kenichi. Meskipun umurnya baru sembilan, tinggi Kenichi setara dengan pundaknya.

"Hm?"

"Kalau sudah besar nanti aku ingin jadi ninja."

...

Kenichi masih membutuhkan beberapa akar tanaman lagi untuk kembali ke rumah. Kakeknya menyuruhnya untuk mencari persediaan tanaman obat di hutan dekat bukit. Mengingat setelah festival banyak orang yang mengeluh terlalu lelah karena persiapan acara itu. Kenichi yang masih tidak mau bermain dengan temannya akhirnya mendapat tugas itu. Tidak masalah baginya, bocah itu juga sudah bosan hanya berdiam diri di rumah. Maka, hanya berbekal keranjang rotan dan sekop Kenichi berangkat ke hutan pagi-pagi.

Bekal yang dibuat kakeknya sudah habis sedari tadi, sehingga ia mencari beberapa buah untuk dimakan sebagai camilan. Membuatnya masih berada disini meski hari sudah beranjak siang. Meskipun begitu, Kenichi juga masih malas untuk kembali. Kakeknya pasti masih menangani beberapa orang yang mengeluh pinggangnya sakit.

Mata hitamnya menemukan hal aneh dari balik pepohonan lebat. Asap tebal yang membumbung tinggi yang berasal dari arah desanya. Tanpa membuang waktu, Kenichi mengambil keranjangnya, memasukkan semua daun dan akar yang baru saja ia temukan tanpa perlu dipilah. Berlari secepat yang bisa agar segera sampai dan mengetahui apa yang terjadi.

Hal pertama yang ia lakukan saat melihat jalan utama di desanya adalah berhenti mendadak. Rumah warga yang sudah ia hapal siapa nama pemiliknya, terlihat tengah dilahap api yang berkobar. Tidak hanya itu, banyak tubuh berserakan yang menghiasi setiap sisi rumah. Tubuh pemilik toko roti, tubuh pasangan suami istri yang biasa memberinya susu sapi setiap hari, tubuh kepala desa, dan juga tubuh...salah satu temannya. Hanya itu yang bisa Kenichi kenali dan sisanya hanya tuhannlah yang tahu, melihat bagaimana terpanggangnya tubuh mereka.

Kaki Kenichi kembali berlari, menembus kobaran api, ketika pikiran bagaimana kondisi kakeknya berseliwer di kepalanya. Rumahnya ada di ujung jalan desa, masih ada kemungkinan jika api masih belum sampai kesana. Memang benar jika rumahnya belum terbakar, tapi melihat ada gerombolan orang berdiri di depan rumahnya membuat Kenichi berhenti, apalagi melihat tubuh ringkih yang tengah meringkuk di tanah. Itu tubuh kakeknya.

"OI! APA YANG KAU LAKUKAN PADA KAKEKKU?!" Kenichi melempar batu pada salah satu kepala orang yang tengah menyiksa Kakeknya. Teriakannya juga membuat semua atensi laki-laki itu kini berpindah padanya.

"Akhirnya kau datang juga." Suara itu dari orang yang kepalanya dilempar batu. Postur tubuhnya yang tinggi besar tidak membuat Kenichi takut sama sekali.

"K..ken-nichi...pe-pergi...dari...si-sini." Meskipun tubuhnya sudah penuh dengan luka, Jiro masih berusaha bangkit untuk mencegah orang itu mendekati Kenichi.

"Kakek!" Bocah itu menjerit saat tubuh kakeknya dihempaskan dengan keras tanpa perasaan.

"Kalian. Cepat ikat bocah itu." Dua orang mendekat ke tempat Kenichi berdiri. Membawa seutas tali tambang dengan beberapa kertas dengan tulisan aneh. Kenichi berusaha kabur saat dua orang itu memburunya, berlari menghindar dan malah tertangkap oleh lainnya. Tubuh kecil itu meronta saat cengkraman pada kedua tangannya mengerat.

"Lepaskan aku!" Teriakan yang ditanggapi angin lalu. Saat seseorang akan mengikat tangan dan kakinya, beberapa jarum terbang ke arah tangan orang itu. Membuatnya langsung terkapar akibat racun yang terkandung dalam jarum itu.

"Kakek!" Kenichi tahu itu perbuatan kakeknya, meskipun tubuh ringkih itu dipenuhi luka sang kakek masih saja berusaha untuk melindunginya.

"Cih. Kakek sialan."

Jrassh

Sebuah pedang menembus dada kiri Jiro. Membuat kinerjanya terhenti seketika. Kenichi melotot saat melihat secara langsung bagaimana pedang tajam itu menembus jantung kakeknya. Darah yang menyiprat deras mengotori pipinya saat pedang itu ditarik cepat. Seketika indra pendengarannya menghilang, Kenichi tidak tahu apa yang ditertawakan sekawanan bandit itu. Matanya masih terpaku pada tubuh sang kakek yang sekarang tidak bernyawa. Terdiam kaku, mencerna apa yang baru saja terjadi.

Satu orang berusaha mengikat kembali tangan kecil bocah lelaki itu, akibat salah satu kawannya yang tumbang dirinyalah yang ditugaskan untuk melakukan hal itu. Melimpahkan acara hitung uang yang kini dikerjakan oleh sisa rekannya.

"Ya ampun. Apa bagusnya sih bocah kurus kering begini? Untuk mendapatkannya saja, bos menyuruh membakar desa kecil in" Belum sempat laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya, sebuah warna merah pekat membuat kata yang akan ia ucapkan berhenti di udara. Warna merah yang laki-laki itu dapati terletak pada kedua mata bocah cilik itu.

"Aarrgghhh!" Suara jeritan yang langsung menyadarkan beberapa orang yang tengah terlena dengan hasil yang mereka dapa dari menjarah harta penduduk desa.

Orang yang ditugaskan untuk mengikat tubuh kecil itu, terjatuh tak berdaya dengan dada yang terbuka lebar. Membuat delapan orang itu panik mencari bocah kecil yang menjadi target mereka sebenarnya.

"Arrrgggh!" Satu persatu laki-laki itu berjatuhan dengan luka yang sama. Dada kiri mereka menganga cukup lebar. Membuat pelataran rumah kayu itu digenangi darah yang masih mengucur dari tubuh tiap korbannya.

Tinggal satu orang yang tersisa. Dalam hidupnya belum pernah ia mendapati seorang musuh yang tiba-tiba muncul dan menghilang dalam waktu yang hampir bersamaan, dalam kasusnya anak-anak yang dia maksud. Tidak mungkin ada anak kecil yang bisa menumbangkan sembilan anak buahnya dengan mudah. Apalagi bocah sekecil ini.

Hal yang tidak ia duga adalah Kenichi sudah berdiri di depannya dengan sebuah pedang yang tadi ia gunakan untuk membunuh kakeknya, mengacung tepat di dada sebelah kirinya.

"Jangan bunuh aku." Laki-laki itu menyadari kesempatan untuk lolos hanya berkisar beberapa persen saja, sehingga di detik-detik akhir hidupnya, ia memohon. Seperti tuli, Kenichi malah menancapkan ujung pedang itu. Menembus beberapa senti ke dalam dada orang yang membunuh kakeknya. Kenichi mendongak, menampilkan kedua mata merah dengan dua koma di setiap matanya.

"Selamat tinggal."

Jrrash

Kenichi mendekati tubuh yang sudah mendingin itu. Duduk bersimpuh memeluk kakeknya yang sangat ia sayangi. Air matanya mengalir deras, hanya ada isakan lirih. Seharusnya dia kembali lebih awal tadi, dengan begitu tidak akan ada seorang pun yang ada di desa itu harus meregang nyawa.

Api mulai merambat membakar rumahnya, namun bocah itu masih saja memeluk jasad kakeknya. Tidak peduli apakah nanti ia akan mati terpanggang atau tidak. Yang pasti, ia hanya ingin bersama dengan kakeknya, itu saja.

Tapi telinganya menangkap sebuah langkah yang mendekat ke arahnya. Kenichi tidak peduli, orang itu sisa dari kawanan bandit yang akan membunuhnya atau apa. Pikiran dan tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berusaha melawan. Maka ia punggungi saja dia. Semakin lama langkah kaki itu semakin mendekat, tanpa dia duga sebuah tangan mengelus rambut jabriknya yang basah dengan pelan.

"Koi yo." Kenichi harus mengakui, suara laki-laki yang masih mengusap kepalanya adalah suara paling hangat yang selama ini ia dengar.

...

3 tahun kemudian

Matahari masih baru menampakkan cahayanya ketika dia baru saja menyelesaikan sit-upnya yang keseribu. Perutnya yang mulai terbentuk, ia biarkan polos tanpa penutup. Keringat yang membanjiri tubuhnya ia lap dengan handuk yang sebelumnya telah ia siapkan. Jam weker masih menunjuk angka 6, ia masih punya waktu satu jam lagi sebelum berkumpul di gerbang bersama timnya.

Maka dari itu, segera ia masuk ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya. Sikat gigi dan memotong sebagian rambutnya yang mulai memanjang. Ditatapnya cermin yang menampilkan raut wajahnya saat ini. Mata tajam yang dulu ia ingat tidak pernah sekalipun menghiasi wajahnya. Begitu pula dengan bibir yang selalu melengkung tinggi, kini berganti menjadi datar. Tidak ingin waktunya terbuang secara percuma, Kenichi menyudahi acara di kamar mandinya.

Berjalan ke rak pakaian untuk mengambil kaos hitam, tidak lupa dengan celana panjang yang juga berwarna hitam. Setelahnya ia mengambil jaket yang ia gantung, memakainya secara cepat. Ikat kepala yang terletak tidak jauh juga ia ambil, memakainya di kepalanya.

Sebuah ikat kepala sebagai penanda dirinya seorang shinobi Konoha.

TBC

.

.

.

.

.

.

.

bukannya dilanjutin kok malah kembali ke chap 1 sih? pasti semua bakal mikir begitu, am i right? yups, memang saya sengaja balik lg ke chap 1, saya merasa cerita yang saya buat sebelumnya alurnya kacau dan cepet banget, makanya saya ingin memperbaikinya. maaf sebelumnya, tp tenang kok ceritanya gak bakalan beda sama sebelumnya, hanya sebagian yang saya ganti. untuk ketidaknyamanannya saya mohon maaf.