Chapter 21
THE ENDING
.
Cast :
Xi Luhan
Xi Baekhyun
Oh Sehun
Park Chanyeol
Kim Jongin
Do Kyungsoo
And any other member of any other groups ._.
.
.
KALO GA SUKA GA USAH BACA ^^
.
.
SORRY FOR TYPOs *BOW*
.
.
.
Happy Reading ^^v
.
.
.
.
.
"Na..na…na….nana..nana…na….na….."
Senandung nada menenangkan terlantun manis dari bibir tipis yang sudut-sudut bibirnya tertarik melengkung ke atas. Lelaki yang bersenandung itu sesekali menghentikan lagunya untuk mengecup wajah bayi yang kini tengah tertidur pulas. Matanya tak pernah lepas dari wajah gembil bayinya yang tertidur. Memperhatikan bibir yang sedikit terbuka dengan mata yang terpejam lelap dan wajah yang terlihat sangat damai.
Luhan dengan telaten menggendong Haowen. Membawa bayi itu dengan hati-hati dan dalam pelukannya yang erat. Menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri untuk menina bobokannya. Membuat bayi yang ada di dekapannya merasa hangat dan senyaman mungkin.
"Haowen tampan….putra mama yang tampan…."
Sesekali bibir itu juga melantunkan pujian yang tak ada habisnya. Memuji setiap lekuk wajah dan tubuhnya atau sesederhana tingkah laku lucunya. Terus berualng-ulang bagai piringan hitam yang rusak.
Luhan tak akan pernah merasa cukup untuk memuji Haowennya yang tampan.
Haowen kini tengah tertidur. Setelah pertemuan rindu dan tangisan panjang kedua bola mata bulat yang berbinar itu akhirnya menyerah kelelahan. Meninggalkan mamanya dengan uapan besar dan tawa lucu yang menggemaskan.
Dan sudah dua jam terhitung Luhan menidurkan haowen dalam dekapannya. Bayi yang tertidur dengan sangat pulas itu bisa saja ia letakkan kembali ke ranjang empuknya yang nyaman. Mengingat tangan kurus itu tidak terlalu terbiasa menahan beban.
Namun dalam hati pria itu ada perasaan rindu yang mendalam. Ia seperti tak rela jika ia letakkan saja anaknya dalam ranjangnya. Ia ingin menyentuh dan mendekap Haowen setiap saat. Tangannya yang sudah terasa kaku bukan menjadi masalah yang terlalu berarti untuknya. Apapun itu tak akan sebanding dengan hangat wangi tubuh anaknya yang kini berada nyaman dalam pelukan hangatnya.
Lagi-lagi sederet gigi putih yang rapi itu kembali nampak. Pertanda senyum lebar sekali lagi terlukis di wajah cantik pria dengan mata yang sedikit sembab itu. Meski kebahagiaan murni memancar apik dari mata lebar yang terlihat berkilau miliknya.
Luhan mengelus pipi Haowen dengan ibu jarinya. Mengusapnya ke atas dan kebawah dengan pelan. Merasakan halus dan lembutnya pipi yang terlihat menggembung manis itu. Putih dengan semburat merah yang menawan.
Menyentuh bibir yang sedikit terbuka itu…. Tipis dengan warna merah muda….
Kelopak mata yang terpejam itu…. Terlihat cantik dan menenangkan….
Alis tajam milik ayahnya….
Oh betapa Luhan tak akan pernah bisa berhenti mengaggumi anaknya.
"Mama mencintaimu Haowen-ah…. Mama amat sangat mencintaimu hmm…."
Setetes air mata kembali jatuh ke pipinya. Emosinya membara dan seolah tak mau padam. Ia tak pernah tahu jika merindu bisa sesakit itu…. Atau pertemuan kembali bisa semanis ini…. Satu yang pasti Luhan tahu jika ia tak akan pernah lagi meninggalkan Haowen sendiri.
Tidak akan pernah.
Tidak tanpa Mamanya ada di sisinya.
Luhan sedikit tertawa. Di dalam batinnya ia berpikir ia mungkin menjadi sedikit posesif. Atau egois bahkan. Tapi tidak ada yang pernah tahu. Tidak ada yang pernah mengerti, atau mau mengerti, pengorbanan apa yang selama ini ia alami. Bagaimana rasanya dibuang, bagaimana rasanya dihina, bagaimana rasanya direndahkan, bagaimana rasanya ketidak pedulian, sakitnya penghianatan, sesaknya kebohongan, dan juga pahitnya perpisahan…
Hanya untuk Haowen…
Untuk anaknya….
Luhan akan menjadi seorang manusia yang egois.
"Sekalah dulu air mata yang mengalir di pipimu hmm,"
Sebuah ibu jari mengusap pipi tirus Luhan yang telah basah oleh linangan air mata. Luhan tidak ingat ia menangis sebanyak ini pada akhirnya. Ia tidak ingat ada orang lain berjalan masuk ke ruangan ini. Terlebih ia tidak mengingat ada orang lain yang berdiri di hadapannya. Dan mengusap air matanya dengan cara sama yang ia lakukan pada anak di dekapannya.
Ia, dengan wajah lelah berhiaskan ketampanan luar biasa miliknya. Berdiri tegap dengan senyum kecil yang terlihat lelah.
"Y-Yang Mulia Kai…." Luhan menyapa pria yang masih tersenyum di depannya.
"Luhan," balas pria itu singkat.
Luhan terlihat gugup dengan kehadiran lelaki di hadapannya. Kegugupannya tersalurkan kepada Haowen yang mulai menggeliat tak nyaman.
"Ku pikir ini saatnya kau menidurkan Haowen kembali ke ranjangnya," ucap Kai saat melihat gelagat tak nyaman dari Haowen.
Luhan terlihat sedikit ragu-ragu. Ia menggigit bibirnya dan menggeleng.
Kai menghela nafasnya panjang.
"Aku tahu kau merindukannya Luhan. Aku tahu perasaanmu, seorang ibu yang terpisah dari anaknya adalah kombinasi yang buruk bukan?"
Luhan mengangguk.
"Tapi percayalah, yang merindukanmu saat ini bukan hanya Haowen,"
Luhan mendongakkan kepalanya.
"Luhan tidakkah kau pikir ini saatnya kau bertemu dengannya? Ia sudah menunggumu sejak kakimu menapaki pelataran istana, kau membuatnya menunggu lama," Kai berkata dengan senyumannya yang khas. "Dan menunggu merupakan suatu hal yang tak pernah ia suka,"
"Uh…." Luhan tidak tahu harus berkata apa. "A-apakah Y-Yang Mulia S-Sehun―"
"Sehun? Kenapa kau berbicara tentang Sehun?"
"T-Tapi k-kupikir―"
Kai tertawa lembut. "Aku berbicara tentang Kyungsoo Luhan. Kyungsoo ku ingin bertemu denganmu, bisakah kau menemuinya? Ia agak sedikit sensitif setelah kepergian sahabatnya," Kai tersenyum kecut saat mengatakannya. "tidakkah kau bisa menghiburnya? Ia memerlukan seorang teman saat ini,"
Luhan mengangguk. Ia sedikit malu dengan pemikiran bahwa Sehun menunggunya. Tentu saja tidak. Pria itu tidak akan menunggunya. Untuk apa orang sepenting Yang Mulia Oh Sehun menunggu dirinya yang bukan siapa-siapa lagipula―
"Sehun tentu saja menunggumu,"
"M-m-maaf?" Luhan agak tersentak dengan perkataan pria dengan warna kulit menawan itu yang seolah mematahkan pikirannya.
"Luhan, Sehun menunggumu―tidak, ia tidak menunggumu, ia….mengharapkanmu…."
Tak paham dengan maksud perkataan Kai, Luhan bertanya, "M-mengharapkan?"
Kai tersenyum. "Hmm, pria super dingin, bodoh, tolol, itu berharap kau sudi untuk bertemu dengannya,"
Dengan senyum hangat Kai memandang Luhan tepat di bola matanya. "Pria yang selama ini kukenal angkuh itu, kini membuang harga dirinya yang tinggi untuk duduk berlutut di depan pintu ini dan menunggumu―tidak, ia tidak berani masuk ke dalam jika kau bertanya kenapa lelaki bodoh itu tidak mendobrak pintu dan masuk dengan angkuh seperti dulu Luhan. Karena ia takut akan reaksimu saat melihatnya, ia takut kau tak menginginkannya,"
Mendengarnya membuat kerutan keheranan di dahi Luhan bertambah dalam.
"Lelaki menyedihkan di depan sana hanya berharap kata maaf darimu, aku tak yakin ia berani untuk menunggumu Luhan, ia hanya berharap kau sudi menemuinya, pria yang kuanggap kejam itu…. Aku melihatnya menangis dengan suara bergetar memanggil namamu…. Menghasilkan tatapan kasihan yang paling dibencinya, hanya untuk menunggumu keluar, dan berharap kau menerimanya….berharap kau masih menginginkannya…"
Luhan hanya terpaku diam mendengar perkataan pria yang ia hormati di hadapannya. Ia hanya diam dengan bola mata membesar dan mulut yang terbuka. Dalam pikirannya berkecamuk mengenai hal yang baru saja diungkapkan oleh pria di hadapannya dengan serius.
Ia melirik pintu besar yang tertutup dan meneguk ludahnya.
"Ku pikir ini saatnya kau menidurkan Haowen kembali ke ranjangnya," Kai tersenyum meyakinkan pada Luhan yang terlihat ragu-ragu.
"Temuilah Sehun…."
"Temuilah Sehun dan kuatkan ia…."
"Karna ia butuh penopangnya…."
"Ia membutuhkanmu Luhan…."
.
.
.
.
.
.
Luhan dengan langkah pelan berjalan menuju pintu besar yang ada di hadapannya. Setelah langkah-langkah kecil itu membawanya berdiri menghadap pintu kayu yang menjulang, Luhan menghembuskan nafasnya panjang dan pelan. Jari-jari kurusnya ia bawa untuk memegang handel pintu, menggenggamnya kuat, dan dengan sedikit dorongan, pintu besar itu terbuka.
Deg.. Deg.. Deg…
Berdiri dengan kaku, jantung yang berdentum kuat dan muka yang menunjukkan ekspresi tegang, tanpa sadar Luhan sempat menahan nafasnya. Matanya yang melebar melirik kesana kemari, berusaha mencari tujuan objek yang diinginkan, namun hanya mendapati sebuah lorong panjang yang kini nampak sepi.
Luhan membuang nafasnya.
Entah lega entah kecewa, pria cantik itu tak mendapati Sehun di sana.
Luhan keluar perlahan. Sebentar ia berbalik untuk menutup pintu besar di belakangnya, menyempatkan untuk tersenyum ke arah keranjang bayi yang ada di tengah ruangan.
Luhan berjalan dengan ringan. Lorong demi lorong ia telusuri dengan percaya diri. Ia hafal seluk beluk tempat ini, sehingga rusa cantik itu tak perlu takut tersesat. Kaki-kaki ramping itu berjalan menggiringnya ke tempat yang dulunya sering sekali ia singgahi. Wajahnya sesekali ia tengokkan keluar jendela lebar yang terbuka. Mendapati langit yang biru dan awan putih di sana. Luhan sempat berpikir, dalam keadaan berduka seperti ini pun, alam menunjukkan respon yang tak terduga.
"Lihatlah, itu dia jalang yang mengganggu kehidupan Yang Mulia Yoona."
"Tunggu, bukankah ia dulunya pelayan di sini?"
"Ya, ia adalah pelayan yang tidak tahu diri."
Ia menengok ke belakang dan mendapati segerombolan dayang-dayang menatapnya dengan sinis. Langkahnya ia lanjutkan dengan kepala yang tertunduk. Bibirnya hanya mampu terkatup erat tanpa berani membalas apa yang mereka ucapkan tentangnya.
Sungguh, bukan kali ini saja iia mendapti gumaman, bisikan orang-orang yang menghujatnya. Ia memang baru saja tiba di sini, namun kemanapun langkahnya, ia selalu mendapat gumaman hujatan, tatapan sinis, ataupun cibiran dari para penghuni istana ini. Terakhir kali saat ia bertemu para tetua, mereka semua menatapnya dengan kebencian dan tatapan yang seakan ingin menghancurkan. Membuat Luhan hanya mau berdiam di kamar Haowen, dan menemani anaknya.
Laki-laki kurus itu mempercepat langkahnya. Tidak ingin lagi mendengar bisik-bisik atau gumaman menyakitkan yang akhir-akhir ini selalu mengikutinya.
Tak lama, kaki-kaki ramping itu berhenti. Luhan menengok dan mendapati ruangan familiar di sebelah kanannya. Dan dengan segera ia mencium satu aroma manis yang memanjakan indra penciumannya. Dengan senyum terlukis ia segera memasuki ruangan yang kerap ia singgahi, mata rusanya menangkap meja-meja familiar, peralatan memasak, dan juga tungku api besarnya.
Luhan melihat sosok laki-laki yang tengah menunduk mengambil sesuatu dari tungku pemanggang besar. Ia tersenyum dan berjalan mendekati pria yang kini tengah mengambil beberapa kue kering kemudian memasukkannya ke dalam toples kaca.
"Kyungsoo,"
Pria mungil di hadapan Luhan berhenti memasukkan kue-kue itu dan berbalik menghadap ke arah pria yang memanggilnya.
"Luhan,"
Lirihan kecil itu mengiringi sebuah pelukan erat yang dilayangkan si pria mungil.
"Luhan…Luhan…Luhan…"
Yang dipanggil hanya tersenyum dan mengelus punggung sempit yang sedikit bergetar itu.
"Yoona…Yoona….Luhan…."
Luhan mengangguk mengerti dan kembali mengelus punggung yang semakin bergetar itu. Mendengar sekali lagi nama yang kini telah tiada itu sedikit membuat hatinya sakit. Entah karena apa.
Kyungsoo melepaskan pelukannya sesaat setelah ia sedikit menangis di pundak sempit Luhan.
"Maaf…" lirihnya.
Luhan hanya mengangguk dan tersenyum menenangkan. Keduanya lama terdiam. Kyungsoo kembali sibuk dengan kue-kuenya dan Luhan hanya berani diam dan berdiri di sampingnya.
Selesai kue-kue itu tertata dalam setoples kaca yang cantik, Kyungsoo mengangkatnya dan menyodorkannya pada Luhan. "Kau mau?"
"Tentu saja," Luhan tersenyum dan mengambil kue yang terletak di susunan paling atas. "Enak, terimakasih Kyungsoo,"
Pria mungil itu pun hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengambil satu hasil karyanya dan mengunyahnya perlahan.
"Luhan…"
"Hmm?"
"Bagaimana perasaanmu?"
Luhan menghentikan kunyahannya dan memilih untuk memandang Kyungsoo. "Perasaan apa?"
Kyungsoo mengedikkan bahu. "Entahlah, kau saat ini adalah kandidat ratu, atau mungkin kau sudah menjadi ratu baru kerajaan ini,"
Luhan tertawa singkat dan meletakkan kuenya. "Menjadi ratu ya…" Luhan menghela nafasnya panjang. "setiap orang yang bertemu denganku sepertinya ingin sekali membicarakan hal itu,"
Kyungsoo memandang Luhan dengan seksama.
"Kau bertanya bagaimana perasaanku? Hmm bagaimana ya…"
"Luhan, posisimu saat ini adalah posisi paling diinginkan, kau sebagai ibu kandung dari putra mahkota Haowen mengamankan posisimu. Dengan kematian Yoona―"
"Kyungsoo dengar," Luhan memotong perkataan Kyungsoo. "berhenti bicara seolah olah aku akan memanfaatkan keadaan pahit ini. Berhenti. Karena aku tidak melakukannya. Dan tidak akan melakukannya," Luhan berkata dengan tegas.
"Mungkin dimata setiap orang aku adalah orang dengan posisi paling diuntungkan oleh kabar duka ini, tapi dengar, aku pribadi, tidak merasa demikian,"
Kyungsoo yang mendengarnya, menggigit bibirnya agak keras.
"Aku tahu kau adalah sahabat Yang Mulia Yoona―lihat bahkan menyebut namanya saja aku bahkan masih merasa belum pantas…" Luhan menelan ludahnya kelu. "dan aku tahu betapa berartinya Yang Mulia untukmu. Disbanding aku, dimatamu, aku bukanlah apa-apa."
Kyungsoo mulai terisak. Luhan menghela nafasnya panjang dan menyeka air mata yang berjatuhan dari mata bulat yang kini tampak rapuh.
"Tidak apa-apa Kyungsoo, aku mengerti, dan aku sungguh memahami hal itu. Yang Mulia Yoona sungguh berharga di hidupmu," Luhan tersenyum menenangkan Kyungsoo yang terisak. "Tapi kau juga harus tahu, bahwa aku turut menyesal atas kabar duka ini, dan aku pun merasa sedih bahwa kini Yang Mulia Yoona tak lagi bersama kita di sini,"
Kyungsoo mengangguk. Ia masih terisak dengan keras. Entah sudah keberapa kali ia menangis hari ini. Entah sudah semerah apa matanya. Ia sendiri kagum karena air matanya seolah tak pernah mengering.
"A-aku hanya…h-hanya…" Kyungsoo sedikit tergagap karena isakannya yang tak kunjung berhenti. Sementara Luhan menanti dengan sabar apapun yang akan diucapkan Kyungsoo.
"…h-hanya saja…Y-Yang Mulia S-Sehun….a-aku merasa ini tidak a-adil…" suara Kyungsoo melirih di akhir kalimatnya.
"Tidak adil?" Luhan bertanya dengan lembut.
Kyungsoo mengangguk. "Eumm…. B-bahkan s-saat Yoona s-sakit, Y-Yang Mulia memilih menemuimu…ia meninggalkan Y-Yoona, ia membiarkannya mati!"
Luhan sedikit tersentak dengan kata-kata Kyungsoo. Hatinya berdenyut nyeri. Luhan tahu ini bukan salahnya. Namun seolah ia merasa mengambil peranan penting di sini. Luhan merasa ia ikut bertanggung jawab atas pulangnya Yang Mulia Ratu.
"D-dan setelah Y-Yoona mati… semua orang membicarakan penggantinya―membicarakanmu… seakan-akan ia memang sudah ditakdirkan untuk mati, seakan Sehun memang membiarkannya mati untuk bersamamu. A-aku merasa ini t-tidak adil Luhan…m-maafkan aku…maafkan aku…"
Permintaan maaf lirih Kyungsoo terus berkumandang. Namun Luhan sibuk dengan kata-kata yang sebelumnya terucap dari bibir yang kini terus mengulang maaf. Kata-kata itu terus berputar dalam kepalanya. Membuatnya tertampar oleh kenyataan, membuatnya merasa kecil dan bersalah.
Luhan tidak bermaksud seperti itu. Tidak. Ia tak pernaah memikirkan untuk menggantikan posisi Yoona. Luhan hanya ingin bertemu dengan Haowen, anaknya. Sedangkan Sehun…
Luhan memang berharap memiliki pria tampan itu.
Gumpalan penyesalan dan pahitnya keegoisan Luhan rasakan. Ia tak pernah bermaksud merebut… ia tak bermaksud untuk mencuri…
Luhan hanya…mencintai…
Apakah itu salah?
"Luhan…"
"Hmm?" Panggilan Kyungsoo menghentikan lamunan dari Luhan. Pria cantik itu melirik ke arah Kyungsoo yang mulai menghapus cepat sisa aliran air mata di pipinya yang bulat.
"Yoona…mneitipkan maafnya untukmu sebelum ia..." Kyungsoo menghentikan ucapannya, ia menutup matanya rapat dan menggeleng. Sedetik kemudian ia membukanya lagi dan melihat Luhan tepat di maniknya. "Aku hanya berharap kau mau memaafkannya, ia―Yoona…sebenarnya orang yang baik,"
Luhan tersenyum. "Aku tahu.." Katanya tenang.
"Dan entah aku harus mengulang kalimat ini berapa kali, tapi aku merasa tidak ada yang perlu kumaafkan dari Yang Mulia, aku mendapatkan pelajaran berharga, aku bahkan bertemu adikku karenanya, aku malah ingin berterimakasih pada Yang Mulia. Tapi jika kalian semua selalu bertanya-tanya apakah aku memaafkan Yang Mulia Yoona atau tidak… jawabannya adalah ya, aku memaafkannya. Lama sebelum ia meminta. Aku tahu Yang Mulia bukan orang yang jahat,"
Kyungsoo menunduk malu atas ucapan Luhan. Ia merasa tidak tahu diri telah menuduh Luhan yang tidak-tidak bahkan sebelum ia mendengar sendiri pendapat atau perasaan Luhan. Kyungsoo merasa bodoh. Ia terlalu dibutakan oleh perasaan sedih atas kematian Yoona. Tak memikirkan apakah Luhan mungkin tersakiti perasaannya karena ucapannya. "Maaf…" lirihan itu lah yang hanya bisa terus terulang dari bibir hatinya.
"Hei, sudahlah, tidak perlu minta maaf Kyung, aku tahu maksudmu baik," Luhan berkata menenangkan.
Kyungsoo menganggukkan kepalanya. Sesekali masih terisak pelan. "K-kau tahu Yoona adalah sahabatku…a-aku bersamanya sejak kecil…a-aku melihatnya tumbuh menjadi wanita yang luar biasa terlepas dari penyakitnya, dan aku melihatnya jatuh cinta…pada Sehun. A-aku..aku masih ingat betapa bahagianya Yoona saat Sehun berlutut di hadapannya dan meminangnya…aku…aku tahu betapa Yoona mencintai Sehun…"
Luhan dengan seksama mendengarkan. Ia tidak tahu mengapa Kyungsoo memberitahukan ini padanya. Tapi ia tetap mendengarkannya, kisah indah dari masa lalu pria yang dicintainya kini.
"Dan melihat Sehun mengejarmu…aku merasa seolah ia menemukan pengganti Yoona, dengan mudahnya, dan aku…aku merasa ini tidak adil untuk Yoona," Kyungsoo menundukkan kepalanya lagi. "Aku tahu kau orang yang baik Luhan, dan kau lebih dari pantas untuk bersanding dengan Sehun, tapi…aku tidak tahu Luhan…hanya…maafkan aku…"
Luhan meneguk ludahnya kasar.
"A-aku hanya ingin yang terbaik untuk sahabatku Yoona…meski ia kini sudah tiada…."
Luhan tersenyum sembari tangannya mengusap pipi yang kini kembali basah. "Apakah Yoona sangat berharga untukmu? Aku percaya ia wanita yang spesial di matamu,"
Kyungsoo dengan mnatap mengangguk. "Umm, ia wanita yang berharga selain ibuku,"
Sedikit tertawa Kyungsoo melanjutkan, "Aku sudah dekat dengannya sejak kecil, dan ia sama sekali tidak pernah membedakanku, ia memperlakukanku seperti temannya, mengesampingkan fakta bahwa sebenarnya aku hanya pelayannya. Dan…aku masih percaya ia adalah wanita yang baik… aku tahu apa yang ia lakukan padamu adalah salah, sungguh aku tidak akan buta akan perbuatannya padamu… tapi Luhan… kau harus tahu ia adalah wanita yang sesungguhnya amat baik hati…"
Luhan melihat mata Kyungsoo yang menatap padaya penuh harap. Luhan sedikit tertawa kemudian mengangguk. "hei, aku tahu Yang Mulia adalah wanita yang baik," Luhan merapatkan bibirnya dan berpikir. "Saat aku pertama kali bertemu dengannya, aku langsung tahu bahwa ia adalah wanita yang baik. Untuk perlakuannya padaku…entahlah, rasa iri memang sedikit mengerikan,"
Kyungsoo menunduk. "Yoona memintaku minta maaf dan―"
"―dan aku memaafkannya. Aku sudah mengatakannya padamu Kyung, berapa kali lagi aku harus mengatakannya?" Luhan sedikit tertawa. "Kau tahu, saat perasaan sekuat cinta terpecik rasa kebencian, itu akan menghancurkan segalanya. Kau tidak hanya meyakiti orang lain, tetapi tanpa sadar kau juga akan menyakiti dirimu sendiri…" Luhan mendongakkan kepalanya. "aku hanya berharap Yang Mulia tidak menyesali apapun karenanya,"
Kyungsoo mengangguk. Setuju dengan ucapan Luhan mengenai sahabatnya. Ia juga berharap Yoona tidak akan berpulang dalam keadaan menyesal dan ia berharap sahabatnya bisa tenang di sana.
Karena kau juga pantas bahagia, Yoona-ya…
Lama dua laki-laki itu terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk memikirkan akan seperti apa kelanjutan kisah mereka sekarang.
"Luhan.."
"Hmm?" Luhan sedikit melirik Kyungsoo yang kini mulai tersenyum dengan bibir hatinya yang menawan.
"Aku dan Kai…kami akan menikah…"
Mata Luhan melebar. "Oh benarkah? Aku ikut bahagia untuk kalian berdua," Luhan melebarkan senyumnya yang tak bisa lagi ia tahan. "Sudah cukup lama sejak saat itu, saat di mana Jongin memintamu untuk ikut berjuang bersamanya, saat itu Haowen belum lahir… ah tak terasa waktu benar-benar berjalan dengan cepat.."
Kyungsoo tersenyum dengan manis saat mengingat hari itu. "Ya…memang sudah lama sejak saat itu, dan perjuangan kami telah selesai…dan kami menang…"
"Soo…"
Luhan tentu saja ikut terenyuh oleh kisah kasih temannya ini. Meski kisah Kyungsoo tak serumit miliknya, kisah mereka menyimpan rasa manis tersendiri bagi orang-orang yang menyaksikan perjuangan mereka, dan melihat bahwa akhirnya, ya, mereka akan hidup bahagia bersama.
Sebuah tangan tiba-tiba mendarat di atas tangan Luhan dan menggenggamnya erat. Luhan melihat pemilik tangan putih yang sedikit mungil itu dan mendapati Kyungsoo tersenyum padanya.
"Aku berharap kau menemukan kebahagiaanmu Luhan… kau lebih dari pantas untuk hidup bahagia lebih dari siapapun,"
"Apa yang aku katakan tadi…" Kyungsoo mengelus punggung tangan Luhan dengan ibu jarinya. "…bukan berarti aku menghalangimu untuk bersama Sehun. Tidak Luhan. Kau pantas bersanding dengan siapapun. Dan siapapun yang mendapatkanmu untuk mendampingi hidup mereka, adalah orang paling beruntung di dunia ini…"
"Aku berharap kau akan bahagia Lu, dengan Haowen, dengan Sehun…ataupun siapapun pilihanmu kelak… aku yakin Yoona juga menginginkan kebahagiaanmu.. Dan bagiku, kau adalah seseorang yang luar biasa Luhan…Sehun pun akan beruntung mendapatkanmu,"
Luhan terenyuh atas perkataan Kyungsoo. Ia tersenyum berterimakasih atas dukungan yang Kyungsoo berikan untuknya. Meski dalam hati dan pikirannya, masih terputar kata-kata Kyungsoo mengenai Yoona.
Mendengar semua fakta yang Kyungsoo berikan, membuat Luhan merasa sedikit rendah diri. Ia berpikir siapa ia mengganggu stabilitas keluarga kerajaan. Ia masih merasa tidak berhak untuk datang dan meminta lebih dari sekedar bertemu anaknya.
Dan sedikit banyak, Luhan berpikir bahwa perkataan Kyungsoo adalah benar.
Kenapa Sehun begitu cepat untuk memutuskan bersanding dengannya.
Dengan kematian Yoona dan duka yang masih menyelimuti kerajaan, bukan pilihan bijaksana untuk Sehun mengambil Luhan sebagai pendampingnya.
Lagi pula…
Luhan masih terus bertanya-tanya…
Kata cinta yang Sehun ucapkan untuknya…
Benarkah rasa itu benar-benar ada…
Dalam diri Sehun untuk Luhan…
.
.
.
.
.
.
Suara ketukan pintu sedikit menggema di lorong yang semakin sepi itu. Dengan gugup Luhan tunggu pintu itu untuk terbuka. Sedikit lama ia menunggu namun tak ada respon dari dalam, Luhan memberanikan diri mendorong pintu yang tak terkunci itu untuk terbuka.
Luhan menarik nafasnya dalam.
Ruangan besar nan mewah ini terasa sangat asing bagi Luhan. Tak pernah sekalipun ia injakkan kaki di ruangan ini. Meskipun ia sering ditugaskan untuk membersihkan kamar ataupun ruangan lainnya dulu, tak pernah sekalipun ia bertugas di ruangan ini.
Luhan mengamati interior kamar yang sungguh menawan ini.
Mata rusanya melirik ke sana kemari mencari seseorang yang ingin ia temui. Namun nihil, kamar itu tampak gelap dan sepertinya tak ada tanda-tanda bahwa orang yang dicarinya ada di sini sebelumnya.
Luhan lagi-lagi menghela nafasnya.
Merasa sekali lagi, entah lega entah kecewa.
Sehun tidak ada di kamarnya.
Kaki kecil rampingnya membawanya untuk berkeliling ruangan yang cukup luas itu. Sekedar melihat-lihat. Luhan pikir agar waktunya untuk mencari tak terasa terlalu sia-sia.
Luhan cukup menyukai interior dalam kamar ini. Mewah, hangat, membuat siapapun akan nyaman saat berada di dalamnya. Matanya menangkap kasur yang lebar dan sekiranya sangat cukup untuk ditiduri lebih dari 4 orang. Selimut yang hangat, dan bantal yang terasa sangat empuk mengisi kasur lebar yang kini tampak kosong.
Luhan tersenyum samar.
Matanya kini menangkap sebuah meja rias dan kaca yang cukup besar. Pikirannya membayangkan dulunya seorang wanita cantik duduk di sana, tersenyum sambil menyisir rambut panjangnya, dan seorang suami yang setia mengaggumi kecantikan istrinya, berdiri dan memeluk wanita itu dari belakang.
Ah betapa indahnya…
Luhan menggelengkan kepalanya dan tersenyum tanpa rasa.
"Apa yang kau pikirkan Luhan….dasar bodoh," lirih lelaki yang kini berjalan lagi menelusuri ruangan luas itu. Matanya tak henti-hentinya dimanjakan oleh interior mewah yang berkelas. Membuatnya tersenyum, sekaligus sedikit iri. Karena seumur hidupnya, membayangkan kamar seperti ini menjadi miliknya pun terlihat seperti sebuah dosa untuknya. Tak lama kakinya berhenti pada sebuah pajangan yang cukup menawan.
Sebuah potret diri dari dua orang yang sungguh mempesona.
Yang Mulia Sehun, dan istrinya.
Luhan menatap dengan kagum lukisan yang cukup besar itu. Setiap detail lukisannya digarap dengan apik dan teliti. Ia membayangkan bahwa seorang pelukis terkenal dipanggil ke istana, untuk mengabadikan momen indah antara raja dan ratu yang saling jatuh cinta.
Potret diri Sehun yang rupawan dan tegas terpampang di sana. Bahkan sedikit rasa arogan dari Sehun masih terpancar dari potret diri itu. Namun tatapan matanya yang melirik ke arah ratunya dilukiskan dengan sangat lembut. Menatap seorang wanita anggun yang tersenyum cantik pada suaminya yang dingin, mencoba melelehkannya.
"Benar-benar cocok," Luhan tanpa sadar berbicara sendiri. Ia sedikit memundurkan langkahnya untuk mengamati lukisan itu lebih baik. Kepalanya ia miringkan dan tangannya ia tautkan di belakang tubuhnya.
"Yang Mulia Oh Sehun sangat tampan… benar-benar sangat sempurna," ia lanjutkan pembicaraan sepihak olehnya.
"Dan Yang Mulia Yoona…. Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan kecantikannya… benar-benar mengaggumkan…"
Luhan sedikit berpikir kelanjutan kata-katanya. Ia kemudian tersenyum saat dirasa menemukan kata-kata yang pas. "Benar-benar keluarga yang bahagia…" cukup lirih Luhan mengatakannya. Dan lirihgan itu pun berhasil membuat dadanya terasa sedikit sesak.
Luhan hanya mampu untuk tersenyum dengan hambar.
"Orang-orang mengatakan aku aalah pengganti Yang Mulia Yoona, dan aku akan mengambil tahta yang sebelumnya milik Yang Mulia Yoona, melihat ini, aku menjadi berpikir dengan otak bodohku ini…"
Sesaat Luhan terdiam. Kemudian dengan hembusan nafas ia melanjutkan.
"…memangnya siapa aku?"
Luhan tetap tersenyum memandangi lukisan potret itu. Seolah olah ia sedang berbicara dengan dua orang yang berada dalam kanvas dan bingkai emas itu.
"Yang Mulia, memangnya siapa aku? Siapa Xi Luhan yang berani-beraninya merusak potret indah sebuah keluarga yang bahagia ini huh? Memangnya siapa laki-laki bodoh yang kabarnya akan menjadi pengganti seorang Yang Mulia Yoona, memangnya siapa dia? Siapa laki-laki itu? Apakah ia tidak tahu diri? Sehina itukah ia karena merusak hubungan Yang Mulia? Sehina itukah Xi Luhan, sehina itukah aku?"
Tanpa ia kira suaranya terdengar sedikit serak pada akhirnya. Sedikit tersendat-sendat oleh isakannya. Karena lelehan air mata akhirnya mengalir lagi ke pipinya.
Luhan menangis.
Ia bahkan tidak sadar sejak kapan ia menangis.
Seingatnya ia tadi tersenyum…
Memandang kagum pada potret kebahagiaan raja dan ratu…
"Memangnya… hiks… s-siapa Xi Luhan y-yang berani masuk dalam potert sempurna keluarga Y-Yang Mulia… s-siapa orang bodoh yang t-tanpa―hiks―malu i-ingin masuk dalam potret bahagia Yang Mulia… hiks… m-memangnya ia p-pikir ia pantas… memangnya pria bodoh itu berpikir d-dirinya pantas….a-apakah pantas… k-katakan apakah pantas…pantaskah aku Yang Mulia? Pantaskah?"
Luhan jatuh terduduk diatas lututnya. Tangannya menopang badannya untuk tetap tegak. Kepalanya menunduk dengan air mata deras keluar dari pelupuk matanya. Bibirnya mengeluarkan isakan keras. Ia tak lagi tahan dengan beban yang menyelimuti pikiran dan hatinya. Ia tak lagi tahan dengan pertanyaan-pertanyaan mengganjal yang terus berputar diotaknya. Luhan tak lagi tahan dengan tatapan sinis orang-orang yang ia temui di istana. Meski tak secara langsung di sampaikan, meski tatapan menghina dan jijik itu hanya ia terima dalam diam, bukan berarti ia tak merasa sakit.
Bukan berarti ia tahan untuk terus diperlakukan seperti ini.
"Aku bukanlah seorang laki-laki dengan garis keturuan yang mengagumkan… bukan juga seorang laki-laki berpendidikan yang bisa dibanggakan… aku tidak mempunyai harta yang bisa disombongkan… aku hanya seorang petani miskin dan seorang tawanan perang… aku bukanlah Yang Mulia Yoona dan aku bukanlah siapa-siapa…" isakannya terdengar semakin memilukan. Luhan memukul-mukul dadanya sendiri yang kini terasa sulit untuk memompa. Menyisakan sesak yang teramat pada rongga dadanya.
"katakan padaku apakah aku pantas? Karena kupikir jawabannya adalah tidak, aku tidak akan pernah pantas…"
Hal ini memang sudah menjadi pergumulan dalam diri Luhan sejak Chanyeol membahas posisinya yang kuat sebagai pengganti Yoona dalam kehidupan Sehun. Memang tak pernah Luhan permasalahkan secara langsung namun setiap orang kini menatapnya penuh ekspektasi. Dan saat tak ditemukan apa yang mereka mau di sana, mereka akan menatapnya dengan pandangan remeh yang sangat Luhan tidak sukai. Meskipun ia tahu ia hanyalah orang rendahan… sekali lagi, bukan berarti ia suka diperlakukan seperti itu.
"Yang Mulia Oh Sehun…" Luhan menatap pria tampan itu meski hanya dalam bentuk sebuah lukisan dengan matanya yang memerah. "Pada waktu kau berbicara denganku kala itu… bukan maksudku untukmu pergi meninggalkan Yang Mulia Yoona… bukan maksudku menyuruhmu untuk berpisah dengan wanita sempurna itu, jika saja harus ada yang pergi… itu sebaiknya aku… Aku. Bukan Yang Mulia Yoona. Bukan perempuan dengan segala-galanya yang sudah menemanimu selama ini…"
Luhan kembali terisak. "lagi pula… kini aku bahkan tak yakin apa yang anda katakan pada waktu itu adalah benar adanya… Cinta?" Luhan sedikit tertawa. Hambar. "Cinta Yang Mulia bilang…apakah memang semudah itu? Apakah memang cinta semudah itu untuk dirasakan? Untuk kemudian diucapkan sebagai sebuah janji dan harapan?Apakah aku bodoh karena percaya? Sesungguhnya, haruskah aku percaya? Bolehkah aku percaya?"
Lama pria itu jatuh berlutut dengan tangis yang tak kunjung reda. Luhan sengaja membiarkan air matanya tumpah. Untuk apa ia pendam-pendam lagi. Hanya bersarang dan menimbulkan sakit dalam hatinya. Toh ia pikir di sini tak ada siapapun. Tak ada seorang pun yang akan menghakimi pergumulan Luhan.
Perlahan namun pasti, air mata itu berhenti mengalir dengan deras. Isakannya berubah menjadi seduan kecil. Kini pria malang itu meekuk lututnya di depan tubuh kecilnya untuk kemudian dipeluknya. Ia menyandarkan kepalanya di lututnya. Laki-laki itu semakin tampak ringkih saat ini.
Tak lama kemudian nafas halus dan teratur mulai terdengar dari bibir yang kini sedikit menganga.
Luhan tertidur.
Tanpa sadar pria itu menangis sampai tubuhnya yang lelah tak mampu lagi terjaga. Masih dengan posisi kepalanya yang tertunduk diantara kedua lututnya, Luhan terlelap. Melepaskan sejenak beban yang mengikatnya. Pergi kealam mimpinya yang tenang.
Seiring dengan semakin lelapnya Luhan dan ruangan yang kini sunyi senyap, sebuah pintu kecil di ruangan itu terbuka.
Dan Oh Sehun berdiri di sana.
Dengan raut muka penuh penyesalan dan kesedihan mendalam.
.
.
.
.
.
.
"Benar-benar cocok,"
Sehun yang semula sedang berendam tenang dalam bak mandi berukuan luas miliknya sedikit mengerutkan alisnya saat telinganya menangkap sebuah suara.
"Yang Mulia Oh Sehun sangat tampan… benar-benar sangat sempurna, dan Yang Mulia Yoona…. Aku bahkan tidak bisa mendeskripsikan kecantikannya… benar-benar sempurna…"
Sehun mulai membuka matanya secara perlahan. Pria itu mendengarkan dengan seksama suara yang bergaung dalam kamar luas miliknya. Lagipula siapa orang bodoh yang berani-beraninya masuk ke dalam kamar pribadinya?
"Orang-orang mengatakan aku aalah pengganti Yang Mulia Yoona, dan aku akan mengambil tahta yang sebelumnya milik Yang Mulia Yoona, melihat ini, aku menjadi berpikir dengan otak bodohku ini…memangnya siapa aku?"
Pengganti Yoona?
Pria tampan yang dengan seksama mendengarkan suara yang berasal dari kamarnya itu mulai bangun dari posisinya yang semula terbaring nyaman. Alisnya yang hitam tebal mulai mengkerut mendengarkan suara yang semakin lama semakin terasa familiar. Sehun menelan ludahnya. Berharap seseorang disana bukanlah orang yang ada dalam pikirannya.
Luhan?
"Yang Mulia, memangnya siapa aku? Siapa Xi Luhan yang berani-beraninya merusak potret indah sebuah keluarga yang bahagia huh"
Dan saat tebakannya benar, Sehun segera beranjak dari bak yang penuh air wewangian itu dan segera mengambil jubah mandinya. Ia dengan sedikit tergesa, berusaha mencapai daun pintu itu untuk menemui lelaki yang ada di dalam kamarnya kini. Berharap bisa berbicara berharap bisa menyelesaikan kesalah pahaman…
Namun saat tangan putih yang cukup besar itu mencapai gagang pintu, ia mendengar suara isak tangis…
"Oh Luhan…kumohon jangan menangis…" Sehun hanya bisa berucap lirih. Tangan yang sebelumnya yakin untuk menarik gagang pintu itu untuk terbuka kini hanya bisa bergetar lemas.
"Memangnya siapa laki-laki bodoh yang kabarnya akan menjadi pengganti seorang Yang Mulia Yoona, memangnya siapa dia? Siapa laki-laki itu? Apakah ia tidak tahu diri? Sehina itukah ia karena merusak hubungan Yang Mulia? Sehina itukah Xi Luhan, sehina itukah aku?"
"Luhan kumohon hentikan… semua itu tidak benar… kau yang terbaik Luhan…" Sehun kini menyandarkan kepalanya yang masih basah oleh tetesan air wewangian tempat ia berendam pada pintu yang memisahkannya dari pria yang sangat ingin ia temui.
"Memangnya… hiks… s-siapa Xi Luhan y-yang berani masuk dalam potert sempurna keluarga Y-Yang Mulia… s-siapa orang bodoh yang t-tanpa―hiks―malu i-ingin masuk dalam potret bahagia Yang Mulia… hiks… m-memangnya ia p-pikir ia pantas… memangnya pria bodoh itu berpikir d-dirinya pantas….a-apakah pantas… k-katakan apakah pantas…pantaskah aku Yang Mulia? Pantaskah?"
Sehun hanya bisa tertunduk mendengar setiap penuturan Luhan. Tangannya mengepal marah mendengar setiap isakan yang Luhan keluarkan dari bibirnya.
Oh Sehun, sekali lagi, kau telah berhasil menyakiti Luhan.
Mendengar isakan yang semakin keras, Sehun hanya bisa terjatuh berlutut di depan pintu yang masih tertutup. Ia seharusnya membukannya. Sehu tahu ia seharusnya membuka pintu sialan yang menghalanginya untuk bertemu dengan Luhan.
Namun Sehun terlalu pengecut untuk menghadapi permasalahan Luhan kali ini.
Sehun tertawa getir, kemana sosoknya yang dulu dikenal tak takut apapun.
Kemana Oh Sehun yang keras kepala itu.
Kemana Oh Sehun yang arogan dan berhati beku.
Sehun tertawa lirih melihat dirinya yang kini ikut menitikkan air mata bersama Luhan.
"Aku bukanlah seorang laki-laki dengan garis keturuan yang mengagumkan…"
Sehun memegang dadanya yang kini mulai terasa sedikit nyeri akibat perkataan Luhan. Dan aku tidak peduli Luhan… kumohon hentikan racauanmu itu komohon…
"Bukan juga seorang laki-laki berpendidikan yang bisa dibanggakan…"
Luhan kumohon hentikan…
"Aku tidak mempunyai harta yang bisa disombongkan…"
Aku tidak peduli dengan segala harta yang ada Luhan!
"Aku hanya seorang petani miskin dan seorang tawanan perang…"
Luhan kau lebih dari semua yang pernah kuinginkan
"Aku bukanlah Yang Mulia Yoona dan aku bukanlah siapa-siapa…"
Kau memang bukanlah Yoona namun kau adalah segala-galanya Luhan…
"Katakan padaku apakah aku pantas? Karena kupikir jawabannya adalah tidak, aku tidak akan pernah pantas…"
"Luhan kau lebih dari pantas… kenapa kau terlalu memandang rendah dirimu sendiri? Kenapa kau menyukai untuk menyakiti dirimu sendiri?" Sehun mengelus kayu dari pintu yang memisahkannya. Membayangkan seolah ia sedang mengusap lembut wajah halus Luhan.
"Luhan-ah, kau harus berhenti bicara omong kosong itu huh? Karna siapapun tahu, kau lebih dari indah Luhan… kau lebih dari itu…"
"Yang Mulia Oh Sehun…"
Sehun mendongak kala ia dengar namanya dipanggil dengan suara serak yang memilukan.
"Pada waktu kau berbicara denganku kala itu… bukan maksudku untukmu pergi meninggalkan Yang Mulia Yoona… bukan maksudku menyuruhmu untuk berpisah dengan wanita sempurna itu, jika saja harus ada yang pergi… itu sebaiknya aku… aku. Bukan Yang Mulia Yoona. Bukan perempuan dengan segala-galanya yang sudah menemanimu selama ini…"
Sehun kembali menundukkan kepalanya mendengar ucapan Luhan.
Aku pun tak pernah menginginkan hal ini terjadi Luhan-ah…
Kepergian Yoona memang bukanlah sesuatu yang ia rencanakan. Sehun sendiri terkejut, marah sekaligus sedih mendapati istrinya yang setia menemaninya kini tak bisa lagi berada di sampingnya.
Menyesal?
Tentu saja.
Jika Sehun mempunyai kesempatan untuk bermain dengan waktu. Ia akan mencegah semua ini terjadi.
Namun Sehun memang tak diberi kesempatan untuk mengulang, dan hal memilukan ini pun sudah terjadi.
Sehun tak bisa melakukan apapun selain menyesalinya.
Dan Luhan seharusnya tak perlu merasa bersalah. Karena segala kesalahan ini, Sehun menyadari semua adalah miliknya.
Isakan kini kembali terdengar. Mengiringi kata-kata yang membuat Sehun tertampar.
"Lagi pula… kini aku bahkan tak yakin apa yang anda katakan pada waktu itu adalah benar adanya… Cinta?"
Sehun menutup matanya mengingat janjinya untuk menghujani Luhan dengan cinta. Meski pria itu tidak memintanya, Sehun berjanji akan tetap mencintai Luhan. Tapi sepertinya hal tersebut masih terlalu jauh untuk Sehun. Belum sempat ia laksanakan pun, ia tanpa sadar telah menyakiti pria mungil cantik itu.
Sehun bertanya-tanya apakah kutukan sedang mengikutinya. Karena ia merasa apapun yang akan ia lakukan terasa salah di mata semua orang.
"Cinta Yang Mulia bilang…apakah memang semudah itu? Apakah memang cinta semudah itu untuk dirasakan? Untuk kemudian diucapkan sebagai sebuah janji dan harapan? Apakah aku bodoh karena percaya? Sesungguhnya, haruskah aku percaya? Bolehkah aku percaya?"
Sehun terdiam. Mendengar perkataan Luhan kali ini membuat sehunn terdiam. Pikirannya seolah menolak mencerna hal lain selain perkataan Luhan.
Sehun mendongak menatap kayu di depannya. Seolah ia sedang menatap Luhan yang menangis.
"Luhan kau tidak percaya padaku?" Sehun bertanya lirih.
Kembali Sehun berpikir. Apakah selama ini, ia terlalu terburu-buru? Apakah selama ini ia salah menyatakan perasaannya pada Luhan? Apakah selama ini tindakan jujurnya salah dimata semua orang?
"Luhan kau harus percaya padaku… jika bukan kau yang percaya, siapa lagi yang akan percaya padaku? Aku mungkin bukan pria yang selalu mengucap kata manis, tapi saat aku mengucapkannya, percayalah bahwa itu sungguh-sungguh…"
Sehun menunduk dan memejamkan matanya erat. Telinganya masih mendengar isakan dari luar sana.
"Aku merasakan ada suatu perbedaan ketika aku berada denganmu… sebuah perasaan nyaman dan hangat… dan fakta bahwa kau telah memberikan kebahagiaan terbesar dalam hidupku―Haowen…" Sehun tersenyum kecil. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Sudahkah sepatutnya aku mencintaimu kan Luhan? Bukankah memang seharusnya begitu?"
"Orang-orang berkata bahwa tak mungkin aku mencintai dua orang secara bersamaan. Yoona dan kau Luhan… adalah dua orang yang memegang hatiku… apakah jika seperti itu tak mungkin terjadi? Katakan padaku Luhan.. Apakah aku salah? Kenapa semuanya menjadi begitu rumit?"
Suara kini tak lagi terdengar dari luar. Sehun yang merasa di luar terlalu sunyi, memutuskan untuk berdiri dan membuka pintu yang membatasi. Dengan kakinya yang sedikit bergetar untuk menopang tubuhnya, Sehun berdiri di ambang pintu yang kini telah terbuka lebar. Matanya yang tajam itu melembut kala ia menangkap sosok Luhan yang terduduk dalam diam.
Ia berjalan dengan pelan dan berhenti tepat di depan laki-laki yang tak sedikitpun merasa terusik dan masih duduk dengan tenang. Sehun sedikit tersenyum mengetahui Luhan tertidur.
Dengan hati-hati tangan kekar Sehun mengangkat tubuh ringan Luhan dengan mudahnya. Ia berjalan sepelan mungkin takut-takut kalau gerakan mengejutkan bisa membangunkan rusanya yang kini tertidur pulas.
Sehun membaringkannya di kasurnya yang empuk dan sangat luas itu.
Di sisi yang dulu ditempati mendiang istrinya Yoona.
Dulu, Sehun menyukai momen di mana istrinya yang cantik tertidur pulas. Ia bisa berlama-lama tenggelam dalam wajah tenang dan damai milik Yoona, hingga ia pun akhirnya tertidur pulas dengan senyum dan tangan yang melingkari pinggang ramping istrinya.
Namun kini, ia melihat rupa lain.
Luhan, sebagai ganti Yoona.
Lelaki yang masih berdiri dengan gagahnya itu menghembuskan nafasnya panjang dan menggeleng. Ia segera berjalan menuju lemari kayu besar dan membukanya cepat. Mengambil kaos dan celana seadanya. Sehun memakainya dengan tergesa untuk kemudian kembali menghadap pada Luhan yang terlihat sangat nyaman tidur di kasur besar ini.
"Maaf Luhan, aku harus memindahkanmu lagi,"
Sehun sekali lagi menggendong tubuh Luhan. Pria yang sedang diangkat itupun merasa risih sebentar sebelum ia menyesuaikan posisinya dengan nyaman di dada Sehun. Menelusupkan kepalanya ke dada bidang Sehun yang hangat.
Sehun sedikit tersenyum melihatnya.
Dengan langkah pelan, Sehun keluar dari kamarnya dan menuju lorong yang kini mulai tampak sepi. Ia berjalan dengan ringan meskipun nyatanya ia membawa Luhan dalam gendongannya. Sehun sendiri mencatat dalam pikirannya untuk menyuruh Luhan makan lebih banyak lagi karena ia merasa laki-laki dalam genggamannya ini terlalu ringan.
Laki-laki itu dengan sedikit susah mencoba membuka pintu yang lumayan familiar di ingatannya. Yang akhir-akhir lalu sering ia kunjungi karena merindukan pemiliknya. Sehun membuka pintu kayu kecil itu dan masuk ke dalamnya.
Meski lama ditinggal si empunya, kamar sederhana itu tetap terjaga dengan bersih dan rapi. Sehun selalu memerintahkan para pelayan untuk membersihkannya selagi pemiliknya tak bisa merawat kamarnya.
Dengan pelan Sehun menurunkan Luhan di ranjangnya yang dulu. Luhan yang sudah terlalu jatuh dalam tidurnya yang damai hanya bergerak sedikit untuk menyamankan posisinya di kasur empuk miliknya. Kemudian ia kembali diam dan tenang. Tertidur pulas.
"Kau pasti lelah seharian ini hmm? Bertemu Haowen, bertemu orang-orang yang malah hanya menambah beban pikiranmu…" Sehun berucap lirih mengingat perkataan Luhan mengenai orang-orang yang mempertanyakan posisi Luhan yang menggantikan Yoona, sembari menyelimuti tubuh Luhan dari dingginnya angin malam.
"Kau sangat sangat -sangat menggemaskan Luhan…"
Jari-jari panjang itu mulai berpindah ke kepala Luhan. Mengusap rambut yang menutupi dahi pria yang terlihat sangat polos saat tertidur.
"Aku berharap saat ada hal yang menganggumu, baik itu perkataan maupun perlakuan orang-orang yang menyulitkanmu, kau akan cukup mempercayaiku untuk menjadi tempatmu mengadu. Karna aku ingin melindungimu Luhan. Aku ingin kau mulai merasa nyaman dan aman tinggal bersamaku,"
Sehun sedikit membungkuk kali ini. Wajahnya kini hanya berjarak sepersekian senti dari wajah Luhan. Sehun sedikit merasakan hembusan nafas teratur milik Luhan. Pria dengan mata tajam yang kini terlihat sedih dan lelah itu tersenyum.
"Jaljayo…Luhan…"
Dan ia beranikan diri untuk mencium kening pria yang berada di bawahnya.
Lembut…
Dan penuh perasaan…
"Aku mencintaimu,"
Seiring pesan yang terucap namun tak akan terdengar itu pun, Sehun melangkah menjauh dan pergi. Meninggalkan Luhan dengan perasaannya yang tak tersampaikan.
.
.
.
.
.
.
"Baekhyun! Demi Tuhan, bagaimana jika kau tinggal di rumah saja?" Chanyeol dengan wajah cemas dan keringat gugup mencoba mencegah Baekhyun yang nampak kesulitan saat akan masuk ke kereta. Tangannya segera melingkar di pinggang dan perut istrinya yang kini tak lagi membola. Mencoba menahan tubuh yang―menurutnya―masih terlalu lemah dan ringkih untuk diajak berpergiaan.
Sedangkan yang dikhawatirkan hanya malah mendecak kesal.
"Chanyeol-ah, kita sudah membahas masalah ini berulang kali. Jika aku bilang aku ingin ikut, maka aku akan ikut," Baekhyun berdecak kesal sekali lagi dan mendaratkan masuk pantatnya untuk duduk di dalam kereta yang akan membawa pasangan itu berpergian.
Chanyeol yang melihat istrinya sudah duduk nyaman di atas kursi empuk di dalam, hanya bisa menggeleng pasrah. Bisa apa ia memangnya dihadapan istrinya itu? Laki-laki dengan badan dan tinggi melampaui Baekhyun itu pun akan tetap ciut jika sudah berhadapan dengan argumen mutlak milik istrinya.
Chanyeol kini hanya bisa masuk ke dalam kereta dan duduk di sebelah istrinya. Segera ia membawa kepala Baekhyun bersandar di pundaknya dan melingkarkan tangannya di pundak sempit istrinya.
"istirahatlah, kau masih butuh banyak istirahat," Hanya kata-kata itu yang mampu Chanyeol usahakan sekarang.
Baekhyun mengangguk patuh dan mulai merilekskan badannya. Sekali-dua kali Baekhyun menguap, tanda bahwa sebenarnya Baekhyun belum beristirahat dengan benar. Maklum saja, rombongan psangan itu berangkat saat pagi buta. Berharap bisa sampai tujuan dalam waktu yang relatif lebih cepat.
"Chanyeol-ah…"
"Hmm?" Chanyeol melirik istrinya yang masih bersandar di bahunya.
"Apakah Yang Mulia―tidak, Sehun mu itu mencintai Yoona?" Baekhyun betanya dengan lirih.
"Tentu saja." Chanyeol menjawabnya singkat, pasti dan cepat. Seolah tanpa keraguan sedikit pun.
"Ck.." Baekhyun mencibir mendengar jawaban Chanyeol.
Dan Chanyeol terkekeh kecil melihat istrinya yang tampaknya sedang merajuk.
"Baek, aku tahu kemana arah pembicaraanmu saat kau menanyakan hal itu, tapi aku tak ingin berbohong dan menutupi fakta apapun dari mu. Aku atau kau mengkhawatirkan hyungmu," Chanyeol tersenyum pada Baekhyun yang kini menundukkan kepalanya.
Setelah sedetik terdiam Baekhyun membuka mulutnya kembali. "Aku hanya khawatir pada posisi hyungku. Ia kembali ke tempat di mana dulunya ia merasa tertekan. Dan aku hanya ingin memastikan jika ia nanti akan baik-baik saja. Aku hanya ingin tahu apakah Sehun…" Baekhyun menelan kembali kata-katanya memilih untuk terdiam.
"Mencintainya?" tawar Chanyeol untuk kelanjutan kalimat Baekhyun.
Baekhyun menggeleng. "Tidak," katanya. "Kata yang lebih tepat mungkin apakah Sehun menginginkannya,"
"Ah…" Chanyeol mengangguk paham. "Kupikir kau tidak perlu khawatir Baekhyun, aku yakin Sehun akan memperlakukan hyungmu dengan baik,"
"Tapi apakah ada kesempatan jika Sehun mencintainya? Meskipun aku membenci Sehun itu, aku mendengar sendiri bahwa setidaknya Luhan hyung menyukainya, aku hanya berharap Luhan hyung mendapatkan kesempatan untuk dicintai pula," Baekhyun berkata dengan lirih.
Chanyeol yang mendengarnya, hanya bisa terdiam. Karena sejujurnya ia pun tidak paham akan perasaan sahabatnya itu. Mencintai dua orang merupakan hal yang sedikit mustahil di mata Chanyeol. Membayangkan ia mencintai wanita lain atau laki-laki lain selain Baekhyun sudah membuat dadanya nyeri.
"Chanyeol-ah?"
"Hmm?"
Baekhyun melepaskan sandarannya dan menatap suaminya. "Kau bilang Luhan hyung akan menjadi ratu menggantikan Yoona? Benarkah itu?"
Chanyeol tersenyum mendengar pertanyaan Baekhyun. "Wae?"
"Ish jawab saja Chanyeol-ah," Baekhyun memukul pelan pundak Chanyeol, membuat laki-laki itu pura-pura meringis lalu tertawa.
"Tentu saja, tentu saja hyung mu akan menjadi ratu negri milik Sehun Baekhyun-ah," Chanyeol mulai menjawab saat tawa nya reda.
Baekhyun menghela nafasnya lega. "Syukurlah,"
Chanyeol tersenyum lirih melihat istrinya itu. "Baek,"
"Hmm?"
"Kau harus tahu juga bahwa menjadi ratu, dalam posisi Luhan sekarang, bukan suatu hal yang menguntungkan Baek," Chanyeol berkata dengan lembut dan hati-hati. Namun itu pun tak mencegah Baekhyun bereaksi kaget atas apa yang baru saja Chanyeol utarakan.
"Apa?" Baekhyun sedikit berteriak. "Kenapa?" sambungnya.
Chanyeol menghela nafasnya dengan agak panjang.
"Rakyat yang akan―kau tahu, 'menilai' Luhan hyung. Itu tidak akan menyenangkan. Mereka akan membanding-bandingkannya dengan Yoona, dan hyung mu mungkin akan merasa sedikit tertekan," Chanyeol merapatkan mulutnya melihat raut muka istrinya yang terlihat tidak senang.
"Lanjutkan," perintah Baekhyun singkat.
"Yah kau tahu, Luhan hyung masih harus berurusan dengan para tetua dan dewan istana. Mereka tidak akan mudah…"
Baekhyun terdiam.
Dan Chanyeol menelan ludahnya dengan gugup.
"Ahahaha, kau tidak perlu khawatir Baekhyun-ah, aku jamin hyugmu akan baik-baik saja, Sehun akan melindunginya tentu saja,"Meski dengan sedikit gugup, Chanyeol yakin akan perkataannya.
"Aku harap juga begitu," Baekhyun berkata dengan nada sedikit sebal. Ia membaringkan lagi kepalanya di bahu Chanyeol. "Kenapa hidup kalian―maksudku para Raja, Ratu sangat-sangat sulit? Kalian adalah Raja, kenapa kalian harus mengikuti perkataan orang lain? Kalian adalah orang nomor satu di negri itu, perkataan kalian seharusnya menjadi sebuah hukum,"
Mendengarnya, Chanyeol hanya bisa tersenyum. Saat muda dulu ia pernah berpikir seperti ini. Berpikir kenapa ia harus mengikuti perintah para tetua yang suka mengomentari kehidupannya. Ia bertanya-tanya kenapa ayahnya sangat memperhatikan keluh kesah rakyatnya. Ia merasa bingung kenapa kehidupan seorang Raja ternyata tidak mudah.
"Baek…" Chanyeol mengelus kepala Baekhyun yang ada di pundaknya. Mengelusnya lembut selembut nada yang ia gunakan saat memanggil istrinya itu. "Saat kau memegang tahta, saat tahta itu ada di tanganmu, kehidupanmu, bukan lagi hanya milikmu,"
Baekhyun terdiam. Namun Chanyeol tahu bahwa istrinya yang manis itu mendengarkan.
"Kau harus mendedikasikan kehidupanmu untuk kepentingan rakyatmu. Dan segala keputusanmu, akan berpengaruh bagi nasib rakyatmu. Hal itu tentu tidak mudah Baek, maka dari itu para tetua-tetua itu selalu berkeliaran di dekat raja," Chanyeol menarik sudut bibirnya ke atas. "Walaupun mereka sedikit menyebalkan, tetap saja, tugas mereka adalah memastikan jika raja mereka membuat keputusan tepat untuk negri yang mereka pimpin."
"Tapi…" Baekhyun berkata ragu-ragu setelah mulutnya yang biasa berbicara panjang lebar itu terdiam cukup lama.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan hyungmu, tapi aku mau kau lebih bisa mempercayai Luhan hyung. Maksudku, tidak ada gunanya kau membuat dirimu khawatir Baek, kau malah akan membuat Luhan hyung khawatir padamu. Lebih baik jika kau mempercayainya, itu akan memberikan hyung mu kepercayaan diri,"
Perkataan Chanyeol diiringi dengan anggukan Baekhyun. Laki-laki manis itu kemudian menenggelamkan wajahnya di lengan suaminya yang semakin besar karena latihannya di lapangan.
"Aku mengantuk…."
"Maka tidurlah, aku akan membangunkanmu ketika kereta sudah dekat dengan kerajaan Sehun,"
Chanyeol dengan lembut mengelus kepala Baekhyun yang mengangguk. Bibir lelaki itu tersenyum melihat tingkah istrinya yang semakin bertambah manja. Kemudian dengan berani merangkul tubuh yang ukurannya jauh lebih kecil dari miliknya dalam dekapan hangatnya. Dan kemudian matanya menutup perlahan saat bibirnya menyentuh dahi istrinya dengan sayang.
"Selamat tidur Baekhyun-ah,"
.
.
.
.
.
.
"Selamat malam sayang," laki-laki dengan jari-jari pucat itu mengelus kulit yang tak kalah pucatnya. Jari telunjuknya menyusuri wajah yang terlihat tetap cantik meski sedang terpejam erat. Mulai dari dahinya yang sempurna, matanya yang indah, hidungnya yang melengkung menawan dan bibir tipisnya yang mempesona.
"Kau cantik, dan akan selalu begitu,"
Pria itu tersenyum kemudian menggenggam tangan yang dingin dengan miliknya yang masih hangat.
"Aku tahu bahwa minta maaf seribu kali pun aku padamu, tak akan pernah membalikkan fakta bahwa kau meninggalkanku, bahkan mungkin tanpa kau sempat menerima maafku,"
Tangan itu mengelus tangan kecil di genggamannya.
"Aku minta maaf Yoona-ya, aku minta maaf…." Dan setetes air mata mulai jatuh memebasahi peti yang penuh dengan bunga itu. "Untuk semua keegoisanku, aku minta maaf… untuk semua kekuranganku selama ini aku minta maaf… untuk membagi cintaku dengan orang lain…"
Mata itu tertutup. Mulutnya yang tadi terus berbicara mulai terdiam. "Yoona-ya, aku tidak akan minta maaf karena jatuh cinta dengan orang lain, karena kau sendiri pernah mengatakannya padaku…" sekelebat kenangan atas seorang wanita cantik memenuhi pikiran laki-laki itu.
"Sehun-ah, jatuh cinta itu… menurutku adalah suatu hal yang menakjubkan…menurutku itu juga suatu anugrah. Tidakkah luar biasa saat kau membayangkan kau bisa mencintai dan dicintai orang lain?"
Laki-laki itu tersneyum saat ia dapat menutip semua kata-kata yang perempuan itu ucapkan padanya dulu. "Aku mencintaimu," katanya. "dan mungkin hal itu takkan pernah bisa terhapus begitu saja,"
Laki-laki itu dengan senyum yang merekah masih mengelus tangan istrinya dulu. "Namun kini saat hatiku berkata aku mencintai orang lain, yang mungkin jauh berbeda dari mu, apa yang akan kau katakan Yoona-ya?"
"Karena tak seorang pun di istana ini yang setuju untuknya menggantikan posisimu,"
Laki-laki itu melepas tangan dingin yang sedari tadi ia genggam dan mengembalikannya ke tempat semula. Terlipat tdengan elegan di dada yang tak lagi naik turun untuk menunjukkan bahwa ia bernafas.
"Aku sebenarnya bertanya-tanya. Mengapa mereka ribut soal posisi yang tergantikan, kenapa mereka begitu bersikeras mengenai tahta yang bahkan sama sekali tak ia inginkan…"
Laki-laki yang tampak berpikir itu mulai menarik nafas panjang.
"Segala hal ini sesungguhnya membuatku pusing,"
"Aku mencintaimu, aku juga mencintainya…"
"Aku meenginginkanmu, dan aku juga menginginkannya…"
"Apa yang sebenarnya salah dariku?"
Laki-laki itu berdecak kesal.
"Yoona…"
"Luhan…"
"Aku mencintai kalian berdua,"
Laki-lai itu terdiam agak lama setelah ia mengeluarkan kalimat itu.
"Tapi banyak yang mengatakan jika aku tidak mungkin mencintai dua orang dalam waktu yang bersamaan,"
Diam.
"Aku mencintaimu Yoona,"
Diam.
"Mungkinkah aku tidak mencintai Luhan?"
Laki-laki itu tersenyum miris akan perkataannya sendiri. Sedikit sakit ia rasakan ketika ia mengatakan hal itu.
"Lalu perasaan apa yang aku punya untuknya?"
Laki-laki itu menggeleng pelan dan menghembuskan nafasnya panjang. "Aku tidak ingin memikirkannya lagi, aku ingin malam ini menjadi malam kita berdua, kau dan aku Yoona-ya,"
Laki-laki itu mengecup pelan dahi wanita yang terbaring dengan mata yang tak pernah akan terbuka lagi. Dan mengecup hidung yang tak akan menghembuskan nafas lagi. Kemudian mengecup bibir yang tak akan pernah mampu untuk membalas kecupan hangat suaminya meski untuk yang terakhir.
"Selamat malam sayang, aku mencintaimu, kau tahu kan?"
.
.
.
.
.
.
Luhan tersentak bangun dari tidurnya begiru saja. Laki-laki yang masih nampak sedikit pucat itu mengeryit saat ia mendapati dirinya tertidur di atas kasur lamanya. Dengan erangan kecil ia bangkit dari pembaringannya dan mengusap wajahnya agak kasar. Pening yang ada dikepalanya nampaknya belum ingin menghilang.
"Ugh…kepalaku…"
Luhan mengambil segelas air yang ada di nakas meja dan meminumnya lahap. Matanya melirik jendela yang kini telah menampakkan pemandangan pagi hari yang cerah, lengkap dengan langit birunya.
Dengan segera Luhan bangkit dari tempat tidur dan mulai berberes diri. Ia mencuci mukanya dan mengganti pakaiannya dengan yang bersih.
Sesaat setelah ia melihat dirinya di cermin ia terdiam. Bingung harus melakukan apa selanjutnya.
Biasanya setelah ia bangun, ia kan segera berberes diri kemudian melakukan pekerjaannya sebagai pelayan. Mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan tangan dan kakinya.
Tapi sekarang apa?
Sebenarnya siapa dia di sini?
Luhan memutuskan keluar kamarnya terlebih dahulu.
Begitu ia keluar ia sudah dihadapkan oleh para pelayan yang sibuk bergegas ke sana kemari. Ia menatap bingung pada kesibukan yang ada.
"Ada apa ini?" Luhan bertanya pada salah satu pelayan yang membawa setumpuk selimut.
"Delegasi kerajaan mulai berdatangan Yang Mulia, untuk melayat Yang Mulia Yoona. Anda tentu tidak lupa bukan?" pelayan itu menjawabnya dengan ketus meski tutur katanya sopan.
Luhan mengangguk.
"Kalau begitu saya pemisi Yang Mulia, masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan,"
"Tolong panggil aku―" pelayan itu membungkuk cepat dan melengos pergi begitu saja.
"Apakah karena ia sekarang adalah seorang Yang Mulia ia bisa berlaku seenaknya? Menyebalkan sekali, gundik tidak tahu diri memang,"
"―Luhan saja," Luhan menelan ludahnya kasar saat mendengar gumaman cukup keras dari salah satu pelayan itu―Luhan curiga pelayan itu memang sengaja. Kemudian laki-laki itu berjalan dengan lesu ke arah ruangan yang cukup ia kenal dengan baik.
Dapur.
Saat daun pintu itu terbuka, dan saat kerumunan orang-orang di dalamnya menatapnya tajam, ia meneguk ludahnya dan berkata gugup, "M-maaf mengganggu, a-aku hanya―"
"Anda membutuhkan sesuatu Yang Mulia?"salah seorang pelayan berkata.
"T-tidak dan―"
"Jika anda membutuhkan sesuatu katakan saja pada salah satu pelayan, dapur bukanlah tempat untuk anda Yang Mulia,"
Luhan menunduk dan mengangguk ia berujar maaf lirih kemudian menutup lagi pintunya. Memutuskan untuk pergi saja dari ruangan itu.
Bruk!
"Hei saat kau berjalan, kau harus melihat ke arah mana kau pergi,"
"M-maaf…" Luhan mengucapkannya dengan cepat dan hendak berlalu begitu saja saat sebuah tangan menahannya.
"Y-Yixing?"
Laki-laki itu tersenyum."Kau tampak tertekan, mau membicarakannya?"
.
.
.
"Ah aku mengerti…"
Luhan mengusap air matanya yang tak sengaja jatuh saat menceritakan masalahnya pada Yixing.
"Kenapa kau menangis, kau tidak selemah ini seingatku," Yixing mengusap air mata Luhan dengan ibu jarinya. "Jangan menunjukkan kelemahanmu pada musuhmu. Kau hanya akan memberi mereka kepuasan kau tahu?"
"Aku tahu kau tidak terbiasa dengan semua tekanan ini, namun jika kau ingin terus di samping Sehun, kau harus mulai menelan pil pahit itu bulat-pbulat tanpa perlu repot merasakannya,"
Yixing menghela nafasnya pelan. "Kau tahu aku bukan pemberi nasihat yang baik. Aku hanya akan berbicara kebenarnan tanpa sekalipun melumurinya dengan pemanis, sepahit apapun itu." Yixing menatap Luhan dalam. "Kau ingin mendengar nasihatku?"
Luhan mengangguk tanpa ragu.
"Dengar Luhan, apa yang dilakukan Sehun dan Yoona, adalah salah," Yixing memulai. "dan apa yang kau lakukan pun, itu juga salah,"
Luhan menelan ludahnya gugup.
Yixing tertawa. "Lihat, aku bukan pemberi nasihat yang baik kan?"
"T-tidak apa, aku memang butuh ditampar oleh kenyataan," lirih Luhan.
Yixing berhenti tertawa dan melanjutkan. "Yoona bersalah karena ia mulai serakah dan berakhir menyakitimu, bahkan dirinya sendiri ... Sehun karena ia mencintai orang lain selain istrinya... Dan kau... Karena mencintai suami milik orang lain,"
"Cinta kalian rumit, dan cinta kalian terjadi pada saat yang salah."
Luhan menunduk malu mendengarnya. "lalu aku harus bagaimana Yixing?"
"Bagaimana apanya?" Yixing melanjutkan. "Semua sudah terlambat. Kalian menuai apa yang kalian perbuat, Sehun dengan penyesalannya, kau dengan tekananmu, dan Yoona...ia membayar harga yang paling mahal. Buah dari perbuatannya. Ia membayar dengan kematiannya,"
Luhan terdiam. Menelaah apa yang Yixing katakan, ia berpikir jika semua itu memang benar adanya. Semua kenyataan pahit ini, sedikit banyak membuat hatinya terasa sedikit sesak. "A-apakah itu berarti jika a-aku tidak boleh―"
"Aku tidak mengatakan jika kalian tidak boleh mencintai satu sama lain Luhan," Yixing tersenyum. "Kalian hanya melakukannya diwaktu yang salah, di situasi yang tidak tepat dan dalam keadaan yang tidak menyenangkan,"
Yixing menatap Luhan lama. "Kau tidak mungkin mencintai seseorang yang salah, tidak kau tidak bisa menahan jatuh cinta pada orang lain Luhan, itu semua naluriah, alami, perasaan itu ada dan kau merasakannya,"
"Begitupun Sehun, ia mungkin masih bingung mengenai perasaannya padamu, atau mengenai harus bagaimana ia sekarang, anak itu terlalu nekat jika dibiarkan, ia suka sekali mengambil keputusan dengan buru-buru lalu menyesalinya,"
Yixing memejamkan matanya sebentar.
"Adikmu akan segera datang, pergilah ke gerbang dan sambutlah ia," Yixing tersenyum.
Luhan mengangguk. Ia berdiri hendak menuju ke gerbang istana dan menunggu di sana saat lagi-lagi Yixing menghentikannya.
"Jangan bermain-main dengan cinta, tanpa pertimbangan waktu Luhan,"
Luhan menatap bingung pada Yixing yang hanya tersenyum penuh arti padanya. "Jika kau membaginya dengan baik, waktu akan menuntunmu kembali pada cinta."
.
.
.
.
.
.
"Hyuuuuung! Aku merindukanmu!" Baekhyun memeluk Luhan dengan semangat. Sedangkan yang dipeluk hanya terkekeh karena tingkah manja adiknya yang tidak pernah berubah.
"Kita baru berpisah satu hari Baekhyun,"
"Tidak peduli, aku selalu merindukan hyung,"
"Kau tidak merindukan si kembar kalau begitu?"
"Aish hyuuung, tentu saja aku merindukan dua buah hati tampan kesayanganku," Baekhyun melepas pelukannya dan memukul lengan Luhan pelan.
"Hyung mengerti, hyung mengerti," Luhan tertawa kecil karena pukulan Baekhyun. "Ayo, hyung antar kau dan suamimu ke kamar,"
Baekhyun mengangguk kemudian berjalan untuk menghampiri suaminya dan menggandengnya. Mereka berjalan mengikuti Luhan masuk ke dalam istana. Saat sudah masuk ke dalamnya, Luhan tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik pada pasangan suami istri di belakangnya.
"Ah tunggu sebentar, aku sebenarnya tidak tahu di mana kamar yang kosong, aku akan menanyakannya sebentar, kalian tunggulah di sini,"
Luhan segera berlari kemudian menghentikan salah seorang pelayan yang lewat.
"Ah, permisi, apakah ada kamar tamu yang kosong untuk keluarga Park? Mereka baru saja datang dan aku ingin mengantar mere―"
"Yang Mulia, bukan tugas anda untuk mengantar tamu, kenapa anda perlu repot-repot?" pelayan perempuan muda yang dihentikan Luhan itu berkata dengan nada sedikit mencemooh.
Luhan sedikit tersentak saat perkataannya dipotong. "A-ah tapi dia adikku, jadi aku ingin menyambutnya secara―"
"Yang Mulia cukup memanggil salah seorang pelayan dan―"
"Ya." Baekhyun yang sedari tadi melihat perlakuan tidak sopan pelayan itu pada kakaknya memutuskan untuk maju dan membuat sedikit perhitungan dengan perempuan itu.
"Dengar. Aku tidak tahu apa masalahmu tapi hyungku berbicara baik-baik padamu. Kau pikir kau siapa sampai berani kau berbicara sepertiu itu pada hyungku?" Baekhyun sudah berdiri di depan hyungnya seolah melindungi tubuh kakaknya dari pelayan yang menurutnya tak tahu diri itu.
Pelayan itu sedikit kesal atas tingkah Baekhyun. "Bukan maksud saya seperti itu Yang Mulia tapi―"
"Dan kau tidak berhak berbicara seperti itu pada istriku dan hyungku, pelayan."Chanyeol pun kini telah berdiri di samping Baekhyun dan ikut 'menasihati' si pelayan.
Melihat Park Chanyeol berdiri di hadapannya membuat pelayan tadi mulai membelalak melihat calon raja sekaligus sahabat dari rajanya sendiri.
"M-maaf bukan m-maksud saya seperti i-tu Yang Mulia…" pelayan tadi membungkuk berkali-kali untuk menunjukkan rasa tampak kebingungan atas situasi yang menjadi semakin rumit.
Baekhyun tersenyum puas melihat pelayan tadi yang ketakutan.
"H-hei hei, sudahlah, kenapa situasinya menjadi seperti ini?" Luhan mencoba menengahi pelayan yang tampak pucat itu dengan Chanyeol yang masih memasang tampang menakutkan. "Jadi apakah ada kamar yang kosong?" Luhan mencoba bertanya sekali lagi dengan lembut pada pelayan tadi.
Dengan sedikit―hanya sedikit―decihan pelayan itu menjawab jika salah satu kamar di lantai 2 di sayap timur memang dikhususkan untuk tamu-tamu kerajaan yang datang melayat, dan ruangan keluarga kerajaan Park berapa di pintu ketiga dari lorong.
Luhan berterimakasih pada pelayan tadi dan mulai mengantarkan adiknya dan adik iparnya ke kamar mereka agar akhirnya mereka bisa beristirahat. Terutama adiknya yang sedari tadi sudah mengeluh kelelahan.
"Hyung, kau tidak boleh seperti itu lagi, aku pikir kau harus mulai bersikap sedikit tegas pada para pelayan di sini, aku tidak mau melihat ada yang seperti itu tadi dan―"
Luhan hanya mengangguk di sepanjang perjalanan menuju sayap timur. Tidak begitu mendengarkan apa yang adiknya ocehkan dengan mulut manisnya itu.
"Oh kita sudah sampai,"Luhan memutar kenop dan membuka pintunya. Ia tersenyum melihat sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat nyaman itu."Masuklah, kalian bisa istirahat,"
Dua pasangan yang sudah menikah itu segera masuk dan si lelah Baekhyun yang sudah mengeluh sedari tadi langsung merebahkan badannya di kasur. "Ah nyamannya!"
Luhan tersenyum melihat Baekhyun yang bergulung gulung dengan selimut. Mengabaikan suaminya yang sudah sibuk dengan tas mereka.
"Chanyeol-ah, sedang apa kau di sana, kemarilah dan peluk aku, aku ingin tidur,"
Luhan tanpa mampu di tahan, tertawa mendengar rengekkan adiknya.
"Maaf sayang, tapi aku harus segera menemui Sehun, kau tidur sendiri dulu hmm? Aku akan usahakan segera kembali untukmu," Chanyeol berkata dengan nada menyesal dan sedikit gugup.
Gugup? Tunggu kenapa Chanyeol harus gugup?
"APA? KAU MAU MENINGGALKANKU? KAU MENINGGALKANKU SETELAH AKU MEMUTUSKAN UNTUK MENEMANIMU? PARK CHANYEOL TEGANYA!"
Ah sekarang Luhan mengerti. Adiknya ini memang tidak suka dibantah. Padahal sendirinya ia adalah adik yang suka membantah.
"B-bukan begitu sayang... Aku janji akan segera kembali hmm? A-aku hanya harus menemui Sehun,"Chanyeol yang sudah bersiap berdiri setelah menemukan jas kerajaannya mulai berjalan ke arah istrinya yang masih bergelut dengan selimut.
"Cih, istrimu ini aku atau Sehun?"
Dan Luhan tertawa cukup keras mendengarnya.
"Hanya sebentar sayang," Chanyeol tertawa dan mencium bibir istrinya yang sedikit mengerucut. Tetap manis.
"Luhan hyung, aku titip adikmu yang manja ini di tanganmu sebentar oke? Aku akan segera kembali secepat yang aku bisa,"
Luhan mengangguk, lalu ia berjalan ke arah adiknya yang langsung menariknya ke dalam posisi tidur dan memeluknya erat.
"Oh, Luhan hyung kau tahu dimana Sehun sekarang?"
Ekspresi tertekan dan penyesalan Luhan cukup untuk menjawab pertanyaan Chanyeol meski tanpa kata terucap.
Luhan dan Sehun belum dalam kondisi baik-baik saja.
"Ah tak mengapa, aku akan mencarinya di ruangannya, ia biasanya suka berdiam di sana dan tenggelam dalam pekerjaannya," Chanyeol tersenyum menenangkan pada Luhan. "Baekhyun-ah, aku pergi dulu, jangan nakal hmm?" Chanyeol melambaikan tangannya yang besar kke arah suaminya yang masih cemberut.
Dan saat pintu itu sekali lagi tertutup, Baekhyun menghadiahkan sebuah pukulan ringan di bahu Luhan.
"Hyung!"
Luhan yang sedang mengelus-elus bahunya, menatap adiknya dengan tatapan bertanya-tanya.
"Ceritakan padaku semua tentang kau dan si Sehun-Sehun itu, dan saat aku bilang semuanya, yang aku maksudkan adalah semuanya. Tanpa kecuali." Baekhyun menatap hyungnya yang hanya mampu tersenyum tipis padanya. "Dan jangan coba-coba berbohong. Melihat pelayan tadi memperlakukanmu, atau tatapan hyung pada Chanyeol saat ia bertanya mengenai Sehun, aku tahu ada yang tidak beres di sini,"
Baekhyun menghentikan perkataannya sebentar. Pria mungil itu menggerakkan jari-jari lentiknya untuk menggenggam tangan hyungnya. "Berhenti mengatakan semuanya baik-baik saja saat kau sedang tidak merasa baik, karena semua itu tidak akan membuat segalanya bertambah baik hyung, itu semua hanya akan menambah luka,"
Luhan tampak menundukkan kepalanya, diam dan berpikir. Hanya sesaat ia berdiam, kemudian ia kembali mendongak diiringi helaan nafas panjang dan mata yang terpejam.
Luhan membuka matanya dan melihat adiknya yang menatapnya dengan khawatir. "Baekhyun-ah, hyung akan menceritakannya padamu, semuanya... Namun hyung harap, kau mengontrol emosimu, karena sebenarnya, semua ini terasa bagai kisah tanpa akhir yang bahagia..."
Baekhyun menelan ludahnya dan mengangguk kecil. Ia pererat genggaman di tangannya untuk sekedar memberi kekuatan batin. Baekhyun tahu apa yang dialami hyungnya bukanlah suatu kisah yang manis. Namun ia juga ingin tahu, bagaimana hyungnya itu bertahan hingga kini, dan masih kuatkah ia untuk bertahan lagi dan kembali melanjutkan kisahnya?
Kemudian Luhan mulai menceritakan kisahnya. Ia bercerita mengenai segala hal yang ia alami. Ia mengulang cerita anyara pertemuannya dengan Sehun dan Yoona, dan bagaimana Yoona memperlakukannya selama ini. Dan juga mengenai sambutan tidak bersahabat dari orang-orang istana untuk Luhan, serta keadaannya dengan Sehun yang semakin terlihat memburuk.
Semuanya membuat Baekhyun yang notabene pernah mendengarnya sekali lagi tersulut emosi.
"Aku sudah bilang jika kau harus menontrol emosimu Baekhyun-ah,"Luhan tersenyum pada adik semata wayangnya itu."Karena di dalam kisah ini, hyungmu inilah yang seharusnya kau umpat dengan makian kasar,"
Baekhyun otomatis membelalak mendengar ucapan Luhan. "Kenapa? Hyung kau adalah korban, kenapa kau terus saja menyalahksn dirimu sendiri?"
"Baekhyun-ah"Panggil Luhan lembut. "Apa yang akan kau rasakan jika seseorang mencintai Chanyeol suamimu huh? Apa yang akan kau lakukan jika seseorang terlihat akan menggeser posisimu sebagai seorang istri tunggal dari Park Chanyeol. Apa yang akan kau lakukam Baekhyun-ah,apa?"
Laki-laki yang tersulut emosi tadipun terdiam tanpa mampu mengucapkan apapun.
"Hyung... Merasa bersalah pada Yang Mulia Yoona, dan ini semua ,adalah hasil perbuatan hyungmu sendiri, ini harga yang harus hyung bayar, karrna berani mencintai suami milik orang lain,"
Baekhyun yang seolah tidak mau kalah, masih terus membela hyungnya. "Lalu bagaimana dengan Oh Sehun? Harga apa yang ia bayar? Ia adalah biang dari semua permasalahan ini. Seharusnya dialah yang paling menderita! Kenapa aku tak melihatnya menderita?!"
Luhan menggelengkan kepalanya. "Baekhyun-ah kau tidak mengerti,"Luhan menundukan kepalanya. "Ia baru saja kehilangan istrinya untuk selamanya. Ia baru saja kehilangan kepercayaan anak buahnya. Ia kehilangan banyak hal, dan perasaan di dalam hatinya saat ini, aku yakin seperti akan membunuhnya dari dalam. Hanya jika kita tidak melihatnya, tidak selalu orang itu merasa lebih baik dari kita,"
Baekhyun tertunduk dan berpikir. Ia tetap merasa semua ini tidak adil. Tapi siapa ia bisa memutuskan apa yang adil atau tidak. Lagipula memang apa yang adil di dunia ini? Keadilan adalah suatu kata yang ambigu jika disandingkan dengan pandangan yang berbeda-beda.
Seperti saat ini.
"Lalu apa yang akan hyung lakukan sekarang?" Tanya Baekhyun lirih. "Hyung mau meninggalkan istana? Meninggalkan anak hyung yang batu saja hyung temui kemarin?"
Luhan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Baekhyun. "Apapun yang akan hyung lakukan, hyung berharap semuanya akan baik-baik saja. Hyung berharap jika kini takdir dan waktu akan berjalan beriringan,"
Luhan memutuskan tidak memberitahu Baekhyun mengenai jawaban atas pertanyaannya. Hanya beberapa kalimat yang belum mampu memuaskan rasa ingin tahu adiknya itu.
Namun Baekhyun memilih diam.
Karena ia percaya pada hyungnya.
Ia percaya takdir akan selalu berputar.
.
.
.
,
.
.
"Sehun?" Chanyeol membuka pintu besar setelah mendengar lirihan mempersilahkannya masuk dari dalam. Chanyeol mencari Sehun di ruang kerjanya, dan benar saja, lelaki itu pasti sedang merenung di sini.
"Ah Kai,"Chanyeol tak lupa menyapa seseorang yang telah duduk lebih dulu di ruangan itu. Yang disapa mengangguk membalas sapaan sahabat lamanya.
Lelaki dengan tubuh tinggi itu berjalan menuju sahabatnya yang kini tengah berduka. Ia sedikit menepuk pundak lelaki yang memakai pakaian serba putih itu, kemudian memeluknya dengan erat.
"Aku tahu apa yang kau alami saat ini sungguh berat, dan aku yakin kau membutuhkan sebuah pelukan hangat,"
Sehun yang berada dalam dekapan laki-laki tinggi yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri itu pun tersenyum tipis. "Terimakasih Chanyeol," lirihnya.
Saat kedua lelaki tampan itu melepas pelukannya, yang sedikit lebih tinggi tersenyum sembari berkata, "Aku turut berduka atas kematian Yoona, bagaimanapun wanita itu juga sahabatku,"
"―dan juga sahabatku," saut seorang laki-laki berkulit coklat manis yang kini berjalan ke arah dua laki-laki lainnya. "Wanita itu adalah wanita pertama yang berani masuk ke kelompok kita, ia cukup keras kepala dulunya,"
Sambungan kata-katanya membuat dua laki-laki lainnya sedikit tertawa. Chanyeol kembali serius menghadap Sehun setelah tawa di ruangan itu berhenti. "Ia pergi dan tidak akan pernah kembali lagi, kau berhak menangis Sehun, kau berhak untuk menjadi laki-laki lemah dan bersedih,"
Sehun menunduk mendengar ucapan sahabatnya yang paling tinggi. Diantara mereka bertiga, Chanyeol memang terlihat paling sering bercanda, manja, dan juga kekanakan, namun dibalik semuanya, ia jugalah yang paling dewasa, pintar, dan juga bijaksana. Saat mereka bertiga sedang dibutakan oleh rasa marah ataupun kesal, dan berakhir membuat tindakan yang hanya berujung sesal, Chanyeol lah yang akan selalu mampu bertindak paling rasional dan tak akan membiarkan emosi melingkupinya. Sehun akan selalu menghormati kawannya yang satu ini.
Ia menuruti nasihat sahabatnya, dan membiarkan dirinya merasa lemah.
Dan Sehun membiarkan air matanya jatuh.
"J-jenazahnya akan dibakar petang ini... Dan saat itu terjadi, aku... Aku... Takkan lagi bisa melihat sosoknya disekitarku... Memikirkan hal itu membuatku sakit... Aku tidak mau berpisah dengannya, namun ia pergi dan tak mungkin kembali,"
Chanyeol mendengarkan keluhan Sehun dengan seksama. Ia prihatin atas apa yang menimpa sahabatnya. Namun di setiap lembaran kisah, pasti akan ada sebuah akhir yang menentukan.
"Aku tahu Sehun-ah, aku tahu..."
Chanyeol hanya bisa menenangkan sahabat lamanya ini dengan sebuah remasan di bahu. Apa lagi yang ia bisa lakukan? Tak mungkin ia akan menghidupkan istri sahabatnya ini kembali ke dunia fana.
"Sehun-ah," Kai kini mencoba berbicara. "Kau tahu jika ini bukan akhir dari segalanya bukan? Kau punya Haowen, kau punya rakyatmu dan kerajaan yang masih membutuhkan tangan dinginmu kau punya kami, dan terlebih kau punya Luhan..."
Sehun mengangguk. "Aku tahu, hanya saja semuanya tak berjalan dengan semestinya. Aku kehilangan kepercayaan para tetua dan bawahan istana tidak ada yang memperlakukan Luhan dengan baik...Dan semua itu ditambah dengan fakta bahwa hubunganku dengan Luhan, tak bisa dikatakan baik-baik saja. Aku bahkan belum berbicara apapun dengannya. Aku bahkan tak berani bertatap muka dengannya, demi Tuhan!" Sehun menghapus air matanya kasar.
"Kai-ya, Chanyeol-ah, untuk pertama kalinya... Aku merasa takut... Semua beban pikiran dan perasaan ini, seolah memakanku dari dalam, aku tidak tahu harus berbiat apa... Aku tidak tahu bagaimana cara untuk membuat semua ini lebih baik, aku tidak tahu... Aku tidak tahu... Aku merasa aku ingin lari dan pergi dari sini. Semua ini membuatku muak..."
"Sehun-ah,kau harus menenangkan pikiranmu, kau bertanggung jawab atas Luhan sama besarnya ketika kau bertanggung jawabatas Yoona, dan jangan lupakan Haowen, kau mempunyai seorang putra yang akan melihatmu menjadi seorang panutan, dan bagaimana dengan rakyatmu? Dengan kerajaan yang telah kau besarkan ini? Bagaimana kau bisa mengatakan jika kau ingin lari dari semua ini?"
Sehun hanya tertunduk mendengar ucapan Kai.
Chanyeol yang melihatnya merasa kasihan pada sahabatnya ini. Ia mengisyaratkan untuk Kai menghentikan ucapannya. Dan meskipun enggan, pria dengan kulit sedikit gelap itu pun membungkam mulutnya.
"Sehun-ah, ada waktunya dimana kau harus siap dan berdiri dengan tegas. Ada kalanya kau harus mengesampingkan segala perasaan dan kesedihanmu karena kau memikul tanggung jawab yang besar. Kau seorang raja, hidupmu bukanlah milikmu, hidupmu milik rakyatmu, hidupmu milik kerajaanmu, hidupmu yang mungkin dulu milik Yoona pun kini telah berubah menjadi milik Luhan," Chanyeol menelan ludahnya kasar saat ia mengucapkan frasa terakhirnya.
"Aku benci mengakui ini, tapi kau melukai sahabatku Sehun, saat kau berpaling darinya dan mencintai Luhan, akui saja, kau tak perlu berbohong padaku," Chanyeol berkata dengan tegas.
Laki-laki yang ditanya hanya mampu terdiam. Ia mengerutkan dahinya dalam mendengar perkataan sahabatnya. Mata tajamnya melirik kearah Kai namun yang ditatap memalingkan wajahnya seolah membenarkan.
"T-tapi aku mencintai Yoona, aku mencintainya Chanyeol-ah,"
Chanyeol menggelengkan kepalanya. "Kau mungkin mencintainya. Dulu. Dulu saat Luhan belum memasuki kehidupanmu. Kau dibutakan oleh pesona Luhan dan meninggalkan Yoona. Kau tidak mencintai keduanya Sehun, kau mencintai Luhan, dan menghilangkan perasaanmu pada Yoona. Bukankah aku pernah mengatakannya padamu? Jika cinta takkan pernah bisa dibagi?"
Kai melanjutkan ucapan Chanyeol. "Saat ini, kau sedih karena kau menyesal. Menyesal karena kau membiarkan semua ini terjadi. Kau menyesal kepada Yoona karena sejujurnya kau tahu, jika kau tak lagi mencintainya. Kau menciptakan ilusi di pikiranmu sendiri bahwa kau mencintainya, dan kau sedih karena kehilangan Yoona. Ya mungkin itu benar, kau sedih kehilangannya karena bagaimanapun kau pernah mencintainya. Namun perasaan terbesar yang ada dalam hatimu adalah penyesalan. Itulah kenapa kau terus mengucapkan maaf pada Yoona. Sadar atau tidak sadar,"
Sehun menatap Kai tidak percaya. Mendengar ucapan barusan membuat hatinya berdenyut sakit. Telinganya panas saat kebenaran akhirnya bernani dikatakan ke permukaan.
"Sulit memang mengakui dosa sebesar itu pada istrimu―pada Yoona, namun kau tahu bahwa semua ini telah terjadi. Hal yang harus kau lakukan saat ini, adalah mencoba memaafkan dirimu sendiri. Itu adalah satu langkah kecil untuk membuat semuanya menjadi lebih baik,"
Sehun menundukkan kepalanya dalam. Kedua laki-laki yang berada satu ruangan dengannya lambat laun mendengar suara isak tangis dari laki-laki dihadapan mereka. Isak tangis kemudian berubah menjadi sebuah raungan kesakitan yang terdengan memekakkan telinga. Dan kedua orang yang sedari tadi diam hanya mampu menghela nafas melihat tingkah sahabat baik mereka yang kini terlihat menyedihkan.
"Sehun-ah, mungkin kami terdengar menggurui, atau bahkan menghakimi, namun kau harus tahu jika aku dan Kai sangat menyayangimu, kami hanya ingin kau bisa menjadi lebih baik lagi,"
"Ya, kami tak ingin kau kembali dalam jerat masalah yang sama,"
Sehun mengangguk. Ia belum mampu mengucapkan apapun saat ini karena dirinya masih dilingkupi dengan perasaan yang akhirnya meledak leluar dari dalamnya. Apa yang dikatakan sahabatnya, semua itu benar. Sangat-sangat benar. Semua itu tepat seperti apa yang Sehun kini tengah rasakan.
Kebenaran memang tak selalu manis.
"Sehun-ah, kau hanya perlu berjalan dengan waktu, semua ini akan berlalu, namun kami harap ini akan menjadi suatu pejaran berharga untukmu bahwa keegoisan dan keserakahan, hanya mendatangkan sebuah bencana yang tak kau duga," Chanyeol berkata dengan tenang.
"Aku tak bermaksud ikut campur Sehun. Tapi aku hanya ingin-selalu-mengingatkan bahwa sekarang kau mempunyai Luhan. Mungkin pria itu kau anggap sebagai seorang biang keladi dari permasalahan pelik ini. Namun kau harus sadar jika ia bukanlah satu-satunya penjahat disini, kalian bertiga adalah penjahat, sekaligus korban dari masing-masing keegoisan kalian." Kai menarik bafasnya panjang. "Jangan kau kambing hitamkan Luhan, Sehun-ah, ia pria yang baik, dan kaupun telah memilihnya. Jadikan ia seorang pendampung dan pilar untukmu. Aku percaya kalian berdua mampu melewati semua ini,"
Sehun mengangguk. Ia hanya bisa menyetujui perkataan kegita kawannya. Ia merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia ini. Ia seakan tak mampu membuat keputusan sendiri. Ia berjanji akan menjadi Sehun yang lebih baik. Ya tentu saja. Ia takkan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Untuk negrinya. Kerajaannya.
Untuk rakyatnya dan pendukungnya.
Untuk Haowen putranya,
Untuk Luhan.
.
.
.
.
.
.
"Kyungsoo?"
Kai menengok ke dalam kamar dan mendapati kekasih―ani, tunanganya kini tengah bersiap di depan kaca. Kai melihat tangan-tangan yang biasa terampil dalam membuat kue itu mulai mengusap-usap wajah manisnya. Dengan helaan nafas memahami, Kai berjalan pasti ke arah tunangannya, kemudian memeluknya dari belakang.
"Hei, apakah kau tidak berfikir sumber air matamu akan mongering jika kau terus-menerus membuang air matamu ini, hmm?"
Kyungsoo menggeleng dan masih teruss terisak. Sesekali menghapus air mata yang terus-menerus meleleh ke pipinya yang sedikit mengurus.
"Kyungsoo…"
Kai membalik tubuh mungil tunangannya yang bahkan tak mencapai dagunya itu untuk kemudian menghapus jejak air mata di pipi Kyungsoo. "Aku mohon berhenti menangis sayang…"
Untuk sejenak, ia bawa kekasihnya dalam pelukan hangatnya. Mendekap erat laki-laki mungil yang telah berjuang bersamanya itu. Menguatkannya.
Sedangkan si mungil itu menggenggam erat baju milik tunangannya. Menumpahkan emosinya di dada kekasihnya yang bidang. "Jongin-ah…hiks… Jongin-ah…a-aku…"
"Hush, tidak apa-apa sayang, kita akan pergi ke sana setelah kau siap, oke?"
Kyungsoo mengangguk. Cukup lama Kai mendekap erat tunangannya bermaksud untuk menenangkannya dan membuatnya berhenti menangis. Sesekali ia bisikkan kata-kata yang mampu membuat tunangannya itu tersenyum. Sampai benar-benar tenang, kai tak sedetikpun melepaskan pelukannya pada laki-laki mungil ini.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Kai dengan lembut.
Kyungsoo dengan senyum samar mengangguk mantap paa tunangannya. "hmm, ayo kita pergi,"
Kai tersenyum memandanag Kyungsoo yang masih sesekali menghapus cepat air matanya. "Kau tahu, kau bahkan sudah menghabiskan air matamu di sini, bagaimana jika nanti di sana?"
Kyungsoo menggeleng cepat. "Hei, aku tidak akan menangis tahu,"
"Oh ya?"
"Ya," Kyungsoo mengangguk mantap. Ia menarik tangan milik Kai dan menuntunnya pergi dari kamarnya. "Aku sudah berjanji tidak akan menangis di hadapan Yoona,"
Kai hanya terdiam mendengarnya. Sejujurnya, ia tak apa jika Kyungsoo menangis. Ia sendiri pun tak yakin akan tidak menangis jika salah satu sahabat terbaiknya pergi dan meninggalkannya selamanya.
"Kau tahu apa yang kupikirkan?" Kai berkata sembari mereka berjalan ke tempat prosesi upacara berlangsung.
"Hm?" Kyungsoo menatap laki-laki yang kini memandangnya dengan serius.
"Janjimu dengan Yoona itu terdengar sangat bodoh untukku,"
Kyungsoo menghentikan langkahnya. Mendengar apa yang barusan dikatakan Jongin membuatnya berjengit sedikit kesal. Apakah tunangannya ingin memulai pertengkaran saat ini?
"yah, bagaimana ya, setiap manusia kan dilahirkan dengan perasaan. Kau baru saja kehilangan sahabatmu, dan kini kau akan menghadiri upacara prosesi pembakarannya. Kemudian kau berharap jika kau tidak menangis sama sekali?"
Kyungsoo mengernyit mendengarnya. Kai yang melihat tunangannya tidak begitu baik menerima jawbannya hanya menghela nafasnya panjang. Ia kemudian membawa tangan Kyungsoo dalam genggamannya. "Apa yang aku maksudkan adalah, bahwa tidak apa-apa jika kau mau menngis. Tidak akan berdosa jika kau ingin menunjukkan emosimu. Menunjukkan seberapa sedih dirimu kehilangan sahabatmu. Itu semua hal yang wajar," kai menatap Kyungsoo dalam. Menatap sepasang mata bulat yang membuatnya tenggelam selama bertahun-tahun.
"Dan lagipula kau selalu punya aku untuk menghapus air matamu, atau memelukmu dengan erat kan?" senyuman tipis menghiasi bibir seksi milik laki-laki berkulit coklat itu.
Dan yang ditatap akhirnya menyemburkan tawa ringan. Menyembunyakan semburat merah yag mulai naik ke pipinya.
"Aku tidak tahu kenapa aku bisa menyukai orang sepertimu," ucap Kyungsoo saat mereka kembali berjalan menuju halaman depan istana.
"Entahlah, wajahku tampan, aku tinggi, seksi, dan tampan," Kai tersenyum pada pria mungil yang menatapnya dengan senyum manis.
"Kau menyebuutkan tampan dua kali Kim Jongin,"
Kai mengedikkan bahunya tak peduli. "Mungkin karena aku sangat tampan?"
Dan tanpa ba-bi-bu, Kyungsoo memeukul keras lengan Kai dengan tawa keras.
Mendengar tawa merdu keluar dari bibir kesukaannya itu Kai ikut mengeluarkan iringan tawa dari bibirnya sendiri. "Ayolah akui saja calon istriku yang manis, calon suamimu ini sangat tampan kan?"
Dengan putaran bola mata malas, Kyungsoo mengangguk menyetujui. "Ya, ya, tentu saja bagaimana mungkin pria semanis aku tidak memiliki suami yang tampan huh?"
"Benar sekali!"
Kai mencubit pelan hidung tunangannya dengan gemas. Menimbulkan pekikkan pelan dri si pemilik hidung. Dan menyemburkan tawa ringan dalam langkah sepasang kekasih―ani, calon suami istri, yang sedari tadi tak melepaskan tautan tangan yang semakin mengerat itu.
Erat, dan hangat.
.
.
.
.
.
.
Prosesi upacara itu berlangsung dengan tenang dan khidmat. Pelataran istana yang luas kini terisi oleh para pelayat yang umumnya adalah tamu-tamu istana. Tamu-tamu itu duduk di belakang sebuah tumpukan kayu yang menjulang cukup tinggi. Kayu yang menumpuk itu pun merupakan kayu khusus yang sengaja dipilih untuk membakar jenazah anggota kerajaan. Baunya harum, dan akan terbakar sampai habis. Asapnya pun tak akan mengepul besar dan menyesakkan. Di barisan paling depan terdapat barisan keluarga, dan para sahabat yang datang untuk memeberi penghormatan terakhir mereka.
Setelah beberapa sambutan, dan doa-doa yang dipimpin oleh salah satu penatua, kini tibalah puncak acara yang menjadi klimaks dari seluruh uppacaa malam ini. Penatua yang membacakan doa-doa sebelumnya mulai mengambil sebuah obor yang telah dipersiapkan.
"Im Yoona, ratu dari kerajaan Wind, putri dari mendiang penasihat Raja Im Jae Rim, ibu dari pangeran Oh Haowen, ratu dari seluruh bagian selatan tanah perjanjian, Ratu yang anggun dan penuh welas asih kini telah tiada selama-lamanya. Biarlah Yang Mulia kini tenang, dan dapat naik ke nirwana dan bergabung dengan para dewa dan dewi di sana."
Penatua itu menghampiri Sehun yang sedari tadi sudah berdiri. Ia tampak rapi dengan pakaiannya yang serba putih. Kemudian menyerahkan obor yang membara itu kepada Sehun. Pakaian sederhana tanpa border atau manik. Hanya katun sederhana yang menandakan duka cita. Wajahnya yang pucat tampak lebih pucat dari biasanya. Matanya sendiri merah, menandakan tangisan yang belum lama terhenti.
Dengan perlahan, dan mata yang tak lepas fokusnya, ia berjalan menuju gundukan kayu yang ditumpuk dengan apik itu. 3 langkah dari tumpukan kayu itu ia berhenti.
"Yang Mulia Oh Sehun, raja dari Kerajaan Wind, putra dari mendiang Yang Mulia Raja Oh Dae Wo, ayah dari Yang Mulia Pangeran Oh Haowen, Raja dari seluruh bagian selatan tanah perjanjian, Raja yang agung dan bijaksana, suami dari mendiang Yang Mulia ratu…" penatua itu terdiam sebentar. Kemudian ia dengan segera membungkukkan baannya 90 derajat. Hal itu diikuti oleh semua tamu yang hadir dalam upacara itu.
"Yang Mulia Oh Sehun akan menghantarkan istrinya menuju tempat peristirahatannya yang terakhir."
Dengan pandangan lurus ke depan, Sehun jatuh ke tanah dan berlutut di hadapannya. Ia memandang tumpukan kayu itu dari atas kebawah dengan matanya yang nyalang dan memerah. Bias cahaya obor membuat wajahnya tampak jauh lebih pucat.
"Yoona-ya…"
Sehun memanggil lirih. Ia mengulurkan tangan kanannya yang memegang obor dengan bergetar. Pelan, hingga lidah api itu menyenggol salah satu kayu yang ada dan merambatkannya ke kayu-kayu yang lain. Membuat api yang ada semakin lama semakin membesar hanya dalam hitungan beberapa detik saja.
Sehun sendiri telah mundur dalam jarak yang aman. Dengan masih berlutut diatas kedua kakinya, ia melihat kobaran api yang membara. Ia ikut merasakan panasnya di kulitnya yang pucat. Merahnya api terlihat dari pancaran matanya yang kini sekali lagi telah mengaca. Siap menghantarkan bulir-bulir yang akan berjatuhan. Sehun akhirnya melakukan prosesinya yang terakhir.
Diiringi air mata yang jatuh. Lagi.
Diiringi dengan isak tangis dari para sahabat dan keluarga.
Diiringi dengan asap yang menyembul ke atas.
Disaksikan ratusan tamu yang masih membungkuk hormat.
Sehun menjatuhkan seluruh tubuhnya ke tanah. Memberi penghormatan penuh untuk istrinya.
Dan menangis dengan ranguangan yang cukup keras.
Yang terakhir.
Kali ini benar-benar yang terakhir.
Yoona-ya, maafkan aku…
.
.
.
.
.
.
Luhan mendengar tangis yang memilukan dari depan sana. Dengan badannya yang terus membungkuk, ia sendiri tak tahu bagaimana keadaan di depan sana. Ia memejamkan matanya mendengar isakan yang sedikit meredup, namun terdengar sama sakitnya.
"Dan semoga, Yang Mulia Yoona dapat berpulang dengan tenang,"
Suara penatua tadi kembali terdengar. Seluruh hadirin mulai meegakkan kembali tubuh mereka. Luhan melihat sekelilingnya. Banyak dari mereka yang menghela nafasnya dan menyeka air matanya. Di sebelah Luhan sendiri, terlihat Kyungsoo yang sudah kembali terisak di dekapan tunangannya Kai. Dan tanpa sengaja Luhan melihat kai menghela nafasnya untuk menahan air mata yang akhirnya juga meleleh di pipinya. Di sebelah Luhan yang lain ada Baekhyun yang sedang menenangkan Chanyeol yang terisak cukup lama. Adiknya itu menyeka air mata suaminya dengan sabar. Dan saat matanya yang cantik itu melihat kedepan, ia melihat Sehun yang masih berlutut di hadapan kobaran api dengan punggung yang bergetar. Memang tidak ada lagi terdengar suara isakan meraung dari laki-laki berbahu lebar itu. Namun Luhan sangat yakin bahwa pria yang dicintainya itu masih menangis.
Luhan merasa ia ingin memeluknya.
Saat ia menengadah ke atas, terlihat lampion-lampion yang berterbangan di atas sana. Menerangi malam yang hari ini terlihat lebih kelam. Luhan menatapnya dengan takjub.
"Para rakyat, tidak bisa masuk ke istana dan mengikuti prosesi upacara," Luhan menengok ke arah kai yang kini menatapnya. Matanya masih memerah, dan Kyungsoo pun masih terisak di dekapannya. Namun ia menatap Luhan dengan senyum terpatri di wajahnya. "Tapi mereka ingin ikut dalam prosesi penghormatan terakhir ratu mereka, sehingga mereka menyalakan lampion dan berharap cahaya-cahaya itu mengiringi langkah arwah ratu mereka untuk menuju nirwana. Tepat begitu mereka melihat asap memumbul dari istana, mereka akan menyalakannya, karena mereka percaya jika itu tandanya sang arwah telah mulai berjalan menuju nirwana," kai mendongak melihat lampion-lampion itu berterbangan di angkasa. "Menakjubkan bukan? Tradisi ini sudah turun-temurun terjadi di kerajaan ini,"
Luhan mengangguk dan kembali mendongakkan kepalanya ke angkasa. Lampion-lampion itu begitu cantik. Dan mereka sungguh menerangi malam ini.
Lepas dari kecantikan lampion-lampion itu, Luhan lebih kagum pada keinginan dan loyalitas rakyat kerajaan ini untuk para penguasanya. Luhan berpikir, dari banyaknya lampion yag ia lihat di langit malam ini, pastilah Yoona sangat dicintai oleh rakyatnya. Mengingat hal itu membuat Luhan tersenyum. Yoona pergi dengan banyak cinta terkirim untuknya. Semua orang mengharapkannya untuk Luhan pun ikut senang memikirkan hal itu.
Dan air mata pun menetes di pipinya.
"Ahh…" tangan mungil menepuk pipi Luhan dengan pelan. Luhan tersenyum melihat haowen yang terbangun dan mengernyit padanya.
"Ada apa Haowen-ah?" tanya Luhan lembut.
"Aa…aah.." lagi-lagi haowen menepuk pipi Luhan dan tepukan itu mengelap air mata Luhan yang sempat turun.
"Ah… kau tidak suka melihat mama menangis hmm?" Luhan tertawa melihat Haowen yang mengerjap-erjapkan matanya.
"Haowen-ah, lihatlah, bukankah lampion-lampion itu sangat cantik?" Luhan mencoba memperlihatkan lampion-lampion di langit pada Haowen. Tangan mungil haowen kini mulai menggapai-gapai cahaya di langit sana. Luhan tersenyum melihatnya.
"Eomma…sekarang sudah pergi Haowen-ah," Luhan memaksudkan Eomma sebagai panggilan Haowen untuk Yoona. "Eomma sudah pergi, tapi lihatlah, banyak sekali orang yang mencintai Eomma, benarkan?" Luhan tersenyum memandang Haowen yang tampak tenang. Seolah mendengarkan dan tampak paham akan apa yang dimaksud Luhan.
"Haowen, kau harus bangga pada Eomma mu, ia cantik, hangat, dan baik hati, berjanjilah kau akan selalu mencintai Eomma, hmm?"
"Aah…" kemudian haowen tertawa. Luhan yang melihatnya pun ikut tertawa. Sekali wajah cantk itu mendongak ke atas. Mendapati lebih banyak lampion membuumbung ke atas.
Haowen akan selalu mengingat anda Yang Mulia Yoona, sebagai seorang Eomma…
Saya berjanji.
.
.
.
.
.
.
Tengah malam.
Sehun memandangi kobaran api itu sedari tadi sampai saat ini, tengah malam. Meskipun kini sang api tak lagi berkobar besar, dan hanya tinggal percikan-percikan kecil yang tersisa dari nayalanya, Sehun tetap setia memandanginya. Kini Sehun tak lagi bersimpuh dan berlutut di pelataran istana. Ia kini berdiri di balkon kamarnya yang cukup luas yang menghadap langsung pada pelataran istana.
Suara ketukan mengalihkan fokus Sehun dari pemandangan di bawahnya.
"Yang Mulia, apakah anda sudah tidur?"
Sehun mengernyit mendengar suara itu. Cukup lama ia terdiam sampai ketukan sekali lagi terdengar.
"A-apakah s-sudah tidur ya…"
Buru-buru Sehun berjalan ke arah pintu besarnya dan membukanya dengan cepat.
Dan benar saja, ia mendapati sepasang mata lebar yang berkilauan di sana.
"Luhan…"
Sehun menahan nafasnya melihat laki-laki yang mengacaukan pikirannya akhir-akhir ini itu.
"Apa yang kau lakukan disini?" Sehun bertanya dengan lembut.
"A-ah aku―m-maksud saya.. S-saya hanya―" Luhan berkata dengan gugup dan tersendat-sendat. Bahkan tak mampu menyelesaikan perkataannya sendiri.
"Luhan kau ingin membicarakan sesuatu?" Sehun menawarinya pertanyaan agar Luhan merasa lebih mudah.
Dan laki-laki cantik itu pun mengangguk.
"Kau mau masuk?" Sehun sedikit menyingkirkan badannya dari pintu agar memebri ruang untuk masuk bagi Luhan.
Namun laki-laki itu sedikit ragu menatap ruangan yang semalam ia masuki tanpa ijin itu.
"Hei, tidak apa-apa, lagipula aku yakin tidak enak membicarakannya di lorong bukan?"
Luhan menengok lorong gelap yang mengelilingi mereka. Dan akhirnya lelaki yang lebih pendek itu pun mengangguk.
Sehun tersenyum dan mempersilahkan Luhan masuk ked lam kamarnya. Kemudian ia menutup pintu dengan pelan agar tak membuat pria mungil di depannya tersentak.
Luhan terlihat kaku dan diam. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelahnya. Maka Sehun dengan inisiatif memimpin langkah mereka dan menggiring Luhan ke tempatnya semula.
Balkon kamarnya.
Luhan berdiri di samping Sehun dengan tangan yang memegang tembok pembatas antara kamar dengan kehampaan udara diluar. Sehun memandang tubuh kecil di sampingnya itu pun dengan tatapan ragu dan tidak yakin. Saat tangan Sehun mencoba menyibakponi yang terlihat mengganggu mata Luhan pun, laki-laki cantik itu berjenggit kaget dan ketakutan. Membuat Sehun segera mengambil jarak yang pantas agar tidak menyesakkan pria lain yang ada di sampingnya ini.
Lama mereka berdua terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Membarkan udara malam menyapa kulit mereka dan bara api yang masih menyala sebagai fokus mereka.
"Luhan…" Sehun, tak tahan dengan kesunyian yang menyesakkan ini pun mulai memecahkannya.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya lirih. Mencoba berhati-hati dan berbicara selembut mungkin.
Sehun yang melirik pria disampingnya kini melihat Luhan menarik dan menghembuskan nafasnya beberapa kali. Jika tidak dalam keadaan kalut dan tegang seperti ini, Sehun pasti sudah tertawa gemas akan tingkah pria manis di sampingnya.
"Yang Mulia…"
"Sehun."
"Maaf?"
Sehun menatap Luhan dalam. "Aku ingin kau menyebut namaku Luhan, apakah begitu sulit?"
Luhan yang sebelumnya menganga lalu mengangguk cepat. "Ah t-tentu saja, Y-Yang Mulia Sehun, saya―"
Sehun sedikit tertawa mendengar respon Luhan. "Bukan seperti itu manis, jangan panggil aku dengan gelarku. Cukup Sehun. Aku bukan lagi seorang Yang Mulia untukmu. Aku hanyalah seorang Sehun untukmu," dan Sehun memberikan senyum terbaiknya untuk Luhan.
Panas menjalar ke pipi Luhan. Entah karena senyum Sehun yang membuatnya berkali-kali lebih tampan, atau fakta bahwa Sehun baru saja memanggilnya manis!
"Cobalah Luhan, panggil namaku, aku tidak akan menggantungmu jika itu yang kau takutkan,"
Luhan yang sebelumnya masih menunduk untuk menyembunyikan merah di pipinya kini mendongak dengan malu-malu.
"S-Sehun…"
"Nah, begitu kan terdengar lebih baik," Sehun mengasak rambut Luhan pelan. Saat menyadari Luhan tak lagi berjenggittakut karenanya, Sehun memberanikan diri untuk bergerak sedikit lebih dekat.
"Jadi?" tanyanya saat ia merasa posisinya sudah pas. "Apa yang ingin kau bicarakan Luhan?"
Yang ditanya hanya menatap Sehun dalam diam. Ia kembali membuka mulutnya, namun menutupnya detik berikutnya. Seperti ragu-ragu akan apa yang ia sendiri akan katakan.
"A-anda terlihat l-lelah, m-mungkin lebih baik esok h―"
"Luhan, kau sudah ada disni, kau sudah berhadapan denganku, dan kau tinggal mengungkapkan apa yang ingin kau katakan. Aku bahkan tidak yakin jika esok, atau esoknya lagi kau sudi bicara lagi denganku," Lirih Sehun.
Mendengarnya membuat Luhan membelalakkan matanya. "t-tentu saja s-saya merasaa terhormat b-bisa bertemu a-anda―"
"Luhan" Sehun menangkup pipi gembil Luhan dalam dekapan tangannya yang lebar. "Jika kau belum siap mengatakan apa yang ingin kau katakan, bagaimana jika kita memulai dengan giliranku terlebih dahulu hmm? Apakah kau mengijinkanku bicara Luhan?"
Luhan mengangguk. Matanya yang lebar masih berfokus pada wajah tampan milik Sehun.
Sehun tersenyum sebentar. Ia melepas tangannya dari pipi Luhan dan kembali bersandar pada balkon kamarnya. Luhan mengikuti gerakan Sehun dan ikut bersandar di sana.
"Luhan…"
Luhan menengok memandang Sehun.
"Saat kau datang kemarin malam ke kamar ini, apakah kau mencariku?"
Luhan kembali kaget dengan pernyataan Sehun. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia menumpahkan segala keluh kesahnya kemarin. Menangis, berteriak, secara tak langsung pada orang nomor satu di kerajaan ini. Tanpa sadar, Luhan telah memundurkan kakinya untuk menjauh. Takut akan konsekuensi yang akan diberikan padanya.
Namun dengan cepat, Sehun menggenggam tangan Luhan untuk menghentikannya menjauh.
"hei, tidak apa-apa, aku tidak marah Luhan, tenanglah," ucap Sehun buru-buru.
Luhan masih memandang Sehun tidak yakin. Sehingga pria yang lebih tiggi itu melanjutkan bicaranya.
"Aku tidak apa-apa Luhan sungguh. Aku tidak masalah kau masuk kamar ini, aku tidak masalah kau menangis dan berkeluh kesah seperti semalam. Namun aku hanya mempermasalahkan, saat kau tak mau menunjukkan hal itu di depanku," kalimat terakhir diucapkan Sehun dengan lirih. "Aku berjanji akan selalu melindungimu Luhan, dan aku memegang janji itu dengan serius. Maka aku mohon padamu, untuk bisa lebih jujur padaku." Sehun memegang tangan Luhan dengan lebih erat.
"Jadikan aku tempatmu mengadu, tempatmu marah, tempatmu tersenyum, tempatmu melampiaskan segala emosimu, karena kau tahu? Akhirnya aku sadar, setelah semua yang aku lalui, setelah semua tekanan yang kita alami, dan setelah beberapa tamparan kata-kata dari para sahabatku, aku sadar. Bahwa sebenarnya Luhan…"
Luhan menahan nafasnya. Jantungnya berdegup kencang dan bibirnya terkatup rapat.
"Aku mencintaimu."
Luhan membuang nafasnya dengan lelah. Inilah yang ia takutkan. Ungkapan cinta. Ungkapan janji-janji dari Sehun untuknya. Semuanya kini terasa sedikit menyesakkan.
"S-Sehun…" Luhan memanggil Sehun dengan takut-takut.
"Hmm?" pandangan Sehun menyiratkan banyak harapan. Membuat Luhan sendiri agak sedikit ciut untuk mengungkapkan apa yang ia mau.
"A-aku tidak bisa… k-kau, aku, kita… aku tidak bisa…"Luhan menggeleng pelan dan melepaskan genggaman tangan Sehun yang melemah. Luhan sendiri melihat guratan kekagetan, dan kekecewaan dalam pada ekspresi Sehun. Membuat Luhan sendiri merasa sungguh bersalah pada lelaki tampan di hadapannya ini.
"K-kenapa? A-apa alasannya Luhan?" Sehun terlihat hampir menangis. Suaranya sudah terdengar sedikit serak.
"Aku… aku merasa semuanya terlalu cepat Sehun… Sungguh, semua ini, cinta ini, janji-janji itu… pantaskah kau umbar padaku secepat ini?"
"Luhan… aku tulus mengatakannya padamu, apa lagi yang bisa kulakukan untuk membuktikannya padamu? Apa?" Sehun terlihat putus asa.
Sedangkan Luhan yang punya rencana lain, malah menggenggam tangan Sehun kedalam miliknya. "Banyak yang bisa kau buktikan padaku Sehun,banyak…" Luhan kini melihat pandangan bertanya-tanya dari Sehun.
"Kau bisa mulai membuktikannya, dengan memberikan kita waktu…" lirih Luhan pelan.
"Waktu?" tanya Sehun.
"Ya, waktu." Luhan mengangguk mantap. "Kita bisa menjalaninya dengan waktu Sehun-ah, kau dan aku. Kita bisa memulai membiasakan diri bersama, antara satu sama lain, dan masing-masing dari kita, akan membuktikan cinta yang kita miliki untuk satu sama lain,"
Luhan menatap Sehun tepat dimaniknya. "karena kau percaya cinta bukan hanya sebuah kata-kata Sehun-ah. Cinta adalah perbuatan. Cinta adalah kepercayaan. Cinta adalah ketulusan tanpa pamrih yang hanya bisa didapat dengan waktu yang membiasakan,"
"Luhan…"
"Sehun-ah kumohon. Kau berkali-kali mengatakan jika kau masih mencintai Yang Mulia Yoona. Kau mengatakan jika kau mencintai kami berdua. Itu tidak mungkin Sehun, itu tidak mungkin…"
"Ya, tapi akhirnya aku sadar jika aku hanya mencintaimu. Tidakkah kau tahu aku―"
"Sehun-ah, katakan padaku, apakah itu benar dari lubuk hatimu? Apakah perasaanmu itu benar-benar hanya milikku? Katakan, apakah sejujurnya, perasaanmu, keadaan ini, aku, dan mendiang Yang Mulia Yoona, ini semua terasa membingungkan untukmu?"
Sehun terdiam.
"Kenapa tak kau jawab Sehun-ah?"
"Luhan kumohon dengarkan aku…"
Luhan menggeleng. "Tidak, kau yang dengarkan aku Sehun…" Ia menutup matanya dan menunduk. Mencoba mengontrol emosinya yang kini kembali naik tak terkendali. "Sehun-ah aku hanya takut.. Takut jika perasaan yang kau miliki ini, hanya sebuah perasaan yang akan hilang hanya datang sebentar, namun akan pergi nantinya. Aku tidak mau itu terjadi, saat aku yakin jika kau benar-benar mencintaimu dan bergantung padamu…"
Sehun diam. Ia mencoba mencerna ketakutan yang dirasakan Luhan.
"Dan jika… jika setelah kita mencoba membiasakan diri satu sama lain, dan bahwa nantinya kau tidak merasakan perasaan ini lagi padaku, maka aku akan pergi dengan kesadaranku sendiri, aku tak akan mengganggu hidupmu lagi."
"Luhan kumohon, itu takkan terjadi―"
Luhan menempatkan telunjuknya pada bibir tipis milik Sehun. Membungkamnya dengan cepat. "Tidak ada yang tahu apa yang tertulis dalam garis takdir di masa depan. Aku hanya berharap kau mengerti, dan mau memahami kenapa aku tak ingin semuanya berjalan begitu cepat, aku ingin, saat kau mengatakan perasaanmu padaku, semua itu dalam kedaan yang tulus, tanpa keraguan, dan sungguh-sungguh dari lubuk hatimu untukku,"
Sehun memandang Luhan cukup lama. Mencari-cari keraguan di manik milik Luhan dan tak menemukan appaun di sana kecuali kesungguhan dan tekad yang kuat. Sehun menutup matanya dan berfikir mengenai apa yang Luhan katakan padanya. Semuanya. Tentang Luhan, tentang perasaannya sendiri. Tentang sebuah keraguan yang ia yakini tak aada dalam dirinya, namun terus menggrogoti hatinya.
Sehun menghembuskan nafasnya.
Sehun menyerah. Ia mengalah. Dan membiarkan Luhan mendapatkan apa yang ia mau. Karena Luhan benar. Sehun membutuhkan waktu untuk memahami semua kejadian dan perasaan rumit ini.
"Aku mengerti Luhan… kau benar. Mari kita mencoba bersama membiasakan diri satu sama lain,"
Mendengarnya, Luhan tersenyum lebar dengan perasaan luar biasa lega. "Ya, dan suatu saat jika kau mengatakan lagi perasaanmu, aku akan menerimanya,"
Sehun mengangguk dengan senyum yang terpatri manis.
"Luhan…"
"Hmm?"
"Bagaimana dengan Haowen? Apakah kau akan meninggalkannya lagi?"
Luhan terdiam sejenak. "Tidak. Tentu saja aku tak akan meninggalkan lagi putraku. Aku ingin tetap berada di sisinya. Bolehkah?" Luhan menatap Sehun penuh harap.
"tentu saja, bagaimana mungkin kau meminta izin dariku? Akulah yang seharusnya meminta izin padamu untuk bahkan sekedar melihatnya," Sehun berucap dengan sedikit canda.
Luhan tersenyum. "Aku ingin melihat putraku tumbuh. Bagaimana ia nantinya akan mengatakan kata pertamanya, bagaimana ia akan merangkak, bagamana nantinya ia akan berdiri dan mulai berjalan, ah, aku tak ingin melewatkan itu semua,"
"Haowen pasti akan tumbuh menjadi seorang pangeran yang mempesona,"
Luhan memandang Sehun dengan tatapan lembut. "Ya, seperti ayahnya, dan Eommanya,"
Mendengarnya membuat Sehun menyentil hidung Luhan gemas. "Dan aku berharap ia tumbuh menjadi seorang laki-laki baik hati seperti Mamanya,"
Tawa ringan terdengar dari dua orang yang ada di sana.
"Ah, malam semakin dingin, sebaiknya kau juga beristirahat Sehun-ah,"
Sehun tersenyum. Diusapnya tangan mungil milik Luhan yang masih dalam genggamannya sedari tadi.
"Untuk menutup malam ini, aku ingin kau tahu bahwa kau selalu tahu apa yang terbaik. Terimakasih, sejujurnya, aku sendiri sedikit lega atas saran yang kau utarakan," Sehun berucap lembut pada Luhan.
Luhan tersenyum. "Yixing memang seorang pemberi nasihat yang baik, dan waktu adalah solusi yang sangat hebat,"
Ya.
Waktu.
Serahkan semuanya padanya.
Dan ia akan menjawab.
.
.
.
.
.
.
Esoknya, saat matahari bahkan belum menyingsing dengan benar, dan udara masih terasa terlalu dingin, seorang laki-laki membawa guci mewah yang berisi abu milik mendiang istrinya untuk dibawanya ke tempat perkuburan keluarga kerajaan. Tempat itu terletak di sebuah kuil yang masih ada di kompleks istana. Tidak jauh, namun juga tidak bisa dibilang dekat. Sehun membawanya seorang diri. Menikmati udara pagi dan kesunyian yang menemani.
Setelah sampai, ia segera masuk ke dalam kuil tersebut dan menyapa seorang pendetayang memang menjaga kuil tersebut. Pendeta itu mempersilahkan Sehun masuk dan laki-laki itu pun segera pergi keruang yang sudah dipersiapkan.
Sehun menggeser pintu kecil itu dan masuk ke dalamnya. Ia meletakkan abu milik mendiang istrinya pada tatanan rak tertinggi dengan persembahan yang sudah dipersiapkan dibawahnya. Segera setelah guci itu sempurna berdiri diatas rak, Sehun menyalakan dupa yang ada di sana. Laki-laki itu kemudian memberi hormat beberapa kali pada mendiang istrinya.
Setelah selesai, ia duduk bersila dengan wajah yang mendongak melihat potret mendiang istrinya yang terlihat sangat rupawan.
"Yoona-ya,"
Sehun berbicara pada potret yang akan selalu terlihat tersenyum padanya.
"Aku akan berjalan dengan waktu,"
Sehun kini ikut tersenyum pada potret itu.
"Aku memutuskan untuk mencoba mengerti, untuk akhirnya memahami dan menerima semuanya. Tentang perasaanku padamu, tentang kehilanganmu, tentang Haowen, dan tentang Luhan… aku membarkan waktu menjawab semuanya,"
Sehun terdiam cukup lama. "Kau tahu bahwa aku akan meminta maaf padamu lagi kan? Aku selalu merasa berapa kalipun aku meminta maaf, aku tak akan pernah merasa cukup,"
"Yoona-ya, maafkan aku… aku mencintai Luhan…"
Sehun kembali terdiam. "Namun kau juga tahu, kau akan selalu punya tempat tersendiri di hatiku. Sampai kapanpun Yoona-ya, sampai kapanpun,"
Sebuah semburat cahaya mentari terlihat memasuki celah jendela ruangan kecil itu. Membuat Sehun tersenyum dan kembali memandang Yoona. "Aku harus pergi, aku akan kembali lain kali,terimakasih untuk segalanya,terimakasih untuk cinta yang telah kau berikan, aku harap kau berbahagia di sana Yoona-ya selalu,"
Sehun membungkuk sekali lagi dan mulai melangkah untuk menggeser pintu itu dan keluar. Ia melangkah dengan ringan. Keluar dan kembali menuju istana dimana seseorang telah menunggunya.
Aku harap kau akan selalu bahagia Yoona-ya
Karena aku juga akan mencoba menemukan kebahagiaanku.
.
.
.
.
.
.
"Hyuuuuung! Kenapa kau tidak ikut pulang bersama kami?! Kenapa?!" Baekhyun dengan manja terus menarik-narik lengan kurus milik hyungnya yang hanya bisa tertawa.
"sudah kubilang aku tidak bisa meninggalkan Haowen, Baekhyun-ah," Luhan mencoba menjawab dengan sabar.
"Sudah kubilang kau bisa membawa Haowen, hyuuung," ucap Baekhyun tak mau kalah.
"Ia tidak bisa meninggalkanku, apa kau bersedia membawaku ke kerajaanmu?"
Luhan tertawa melihat reaksi adiknya yang tampak kaget dan kalah telak atas argumen Sehun.
"Ish, aku masih tidak menyukaimu,"
"Tenang, perasaan itu mutual adanya,"
Luhan merasa sudah saatnya kini ia menengahi, lagi. "hei sudahlah, kenapa kalian benar-benar tidak bisa akur hmm?"
"Sebenarnya akan bagus jika Sehun menikah dengan Baekhyun, aku tak mampu membayangkan kelucuan seperti apa yang akan terjadi," sebuah suara muncul dan ketiga orang yang ada di sana menengok cepat. Dua membelalakkan matanya tak percaya dan satu orang hanya memandang laki-laki yang kini telah bersama mereka itu dengan jenaka.
"Ah kau benar, aku tidak membayangkan adik manjaku ini menikah dengan si keras kepala,"
"Benar sekali, itu akan menjadi suatu hal yang sangat menarik," ujarnya lagi.
"YA!" dua orang yang membelalak tak percaya itu pun berteriak mendengarnya. Membuat si empunya suara terkekeh senang.
"Dasar kalian, aku akan merindukan kalian oke? Dan pastikan kalian hadir di pernikahanku dengan membawa momongan manis kalian, aku tak sabar bertemu lagi dengan Haowen dan Seojun dan Seoeon,"
"Ya, pastikan kalian datang oke? Kami menunda pernikahan kami karena kematian Yoona, jadi bersiaplah kalian untuk menerima undangan pernikahanku dengan Jongin sekitar 2 bulan lagi," pria dengan bibir manis berbentuk hati itu pun merangkul sayang pria berkulit eksotis dengan senyum merekah.
"Dua bulan? Aku tidak percaya kau mampu menahannya selama itu Kai," pria dengan tinggi diatas rata-rata datang dan langsung memeluk laki-laki mungil yang sempat berdebat dengan Sehun tadi.
"Sayang, kau membuatku kaget," Baekhyun mencubit gemas pria yang memeluknya. Membuat Chanyeol tertawa karena Baekhyun mencubit di bagian sensitifnya.
"Oh, tolonglah, aku ingin muntah melihatnya," Kai mengejek pasangan yang kini saling lempar senyum satu sama lain itu.
"Kau hanya iri karena saat ini masih akan lama saat kau menikah nanti," Baekhyun menjulurkan lidahnya.
"Saat aku menikahi Kyungsoo nanti,aku akan mencium laki-laki mungil dalam dekapanku ini dengan panas, langsung di hadapan kalian berdua,"
"Oh, aku akan menantikannya," ejek Baekhyun.
"Oh lihat saja, akan kubuktikan," Kai berucap dengan kesal.
Luhan tertawa melihat interaksi adik dan teman-temannya ini. Sehun yang melihat laki-laki mungil kesayangannya itu tertawa pun ikut tersenyum bahagia.
"Baekhyun sudahlah, ayo kita pulang, tidakkah kau merindukan dua buah hati kita hmm?" Chanyeol mencoba menengahi perdebatan memang jika tidak dihentikan, bibir tipis istrinya itu bisa menjadi sedikit berbahaya.
"Ah Seojunnie, Seoeonnie! Aku sangat merindukan mereka! Ayo kita pulang Ayah,"
Sehun menaikkan alisnya.
Begitupun Kai.
Chanyeol membelalak melihat reaksi kedua temannya.
"M-maksudnya ayah dari Seojunnie dan Seoeonnie, k-kenapa kalian berdua menatapku seperti itu?"
Sehun mengedikkan bahunya dan tersenyum penuh arti pada Chanyeol. Sedangkan kai hanya menaik-naikkan alisnya pada Chanyeol yang makin kelihatan gugup.
"Sudahlah Ayah, abaikan saja dua orang itu, mereka tidak penting," Baekhyun menarik tangan Chanyeol yang baru saja akan membalas kedua temannya. Baekhyun tersenyum senang saat Chanyeol menurut dan terdiam. Baekhyun beralih pada Luhan dan merentangkan tangannya lebar.
"Hyuuuung, aku akan sangaaaat, amaaat, sangaaaat, merindukanmu, kunjungi aku kapan-kapan oke?" Luhan tertawa saat Baekhyun merengek padanya. Namun ia membalas pelukan adiknya tak kalah erat.
Baekhyun beralih pada Sehun dan mencibir padanya. Sehun hanya membalas dengan putaran bola malas. Baekhyun langsung menunduk untuk mengucapkan selamat tinggal pada keponakan kesayangannya. "haowen-ah, bibi pergi dulu hmm? Jangan nakal dan tumbuhlah menjadi pangeran yang tampan," Baekhyun mengecup dua pipi gembil itu dan beralih pada Kyungsoo.
"Aku akan merindukan kue keringmu," dan Kyungsoo tertawa saat Baekhyun memeluknya erat.
Chanyeol berpelukan pada Sehun, Kai, Kyungsoo dan juga Luhan saat akan mengucapkan selamat tinggal. Tak lupa ia juga mengecup sayang pipi keponakannya yang lucu.
"Ah melihat Haowen aku jadi semakin ingin pulang," Chanyeol berucap dan segera ia menuntun istrinya untuk naik ke kereta yang telah disipakan. Keduanya melambai dari jendela kereta yang terbuka dan semua orang membalas lambaian itu dengan senyum mengeringi kepergian mereka.
"Aku dan Kyungsoo juga harus pergi Sehun-ah, Luhan-ah," Kai berucap setelah kereta itu tak nampak lagi dari pandangan mereka. Kai dan Chanyeol memang menjadi tamu yang pulang paling akhir. Mungkin karena mereka berdua juga merasakan kesedihan yang sama saat kehilangan Yoona. terlebih mereka seperti terlibat dalam kisah rumit Sehun dan Luhan.
Selebihnya, Luhan dan Sehun juga bersyukur atas tinggalnya mereka selama beberapa hari ini.
"Ah tentu saja, aku berharap delegasi kerajaanmu segera datang untuk mengantarkan surat undangan pernikahan,"
Kai tersenyum mendengarnya dan memandang tunangannya penuh kekaguman. "Pasti,nantikan saja, undangan itu pasti akan datang,"
Kai memeluk Sehun dan Luhan secara bergantian. Ia mencubit pipi haowen pelan sebelum mengecupnya. Membuat si bayi menggeliat tidak nyaman dan menghasilkan tatapan tajam dari Sehun.
Kyungsoo emmeluk Sehun terlebih dahulu dan memeluk Luhan laki-laki mungil itu berpelukan cukup lama. Dan Kyungsoo sempat membisikkan sesuatu pada Luhan yang dijawab dengan anggukan dan senyuman termakasih.
"Bahagialah Luhan,"
Sepasang lelaki itu melihat kereta yang mulai menjauh dengan tangan yang masih melambai. Mereka berdiri di sana sampai kereta tak lagi terlihat dan kesunyian mengelilingi mereka.
"Terasa sangat sunyi saat semua sudah pulang," Sehun mengatakannya sabil menatap Luhan.
"Ya," Luhan balas menatap Sehun dan tersenyum.
"Kau mau masuk? Aku yakin kau ada kelas dengan Yixing," Sehun mengulurkan tangannya pada Luhan dan mengajaknya masuk ke dalam.
Luhan mendesah malas, namun tetap menerima uluran tangan Sehun dan berjalan pelan-pelan masuk ke istana. "Aku melupakan hal itu, ah padahal aku ingin bermain bersama Haowen setelah ini,"
Sehun menggeleng. "Tidak bisa. Siapa yang dahulu memaksaku untuk membuat Yixing mau membantumu belajar? Apa kau tahu apa yang harus aku lakukan untuk Yixing?"
Luhan menatapnya bingung. "memangnya kau harus melakukan apa?"
Sehun mendecak kesal hanya dengan mengingatnya. "Aku harus menjadi kelinci percobaan Yixing… saat ia memanggang kue. Oh itu benar-benar hal yang mengerikan,"
Luhan tertawa. "Ayolah,tidak seburuk itu kan?"
Sehun menatap Luhan dengan kesal. "Bukan kau yang mencoba kue yang dicampur dengan bayam, wortel dan kacang Luhan, kau tidak tahu apa-apa, aku ulangi kau tidak tahu apa-apa,"
Luhan tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Sayangnya tawanya membuat bayi Haowen terbangun da menangis. Sehun yang terlihat bingung membuat Luhan mengambil alih haowen dan membawa bayi itu dalam menenangkannya.
Sehun memandang laki-laki yang kini tersenyum dan membuat wajah-wajah menggemaskan pada bayi dalam gendongannya. Laki-laki yang menimang-nimang dan akan bersenandung lembut untuk membuat sang bayi kembali tertidur. Sehun melihat wajah cantik dan ketulusan seorang ibu di sana. Sehun melihat cinta dan kasih di sana.
Sehun melihat Luhan.
Yang kini tersenyum sumringah padanya.
Sehun seakan berhenti bernafas.
"Sehun-ah, ada apa?"
Sehun menggeleng.
"Tidak,"
Dan laki-laki yang tinggi itu pun tersenyum. "Tidak apa-apa,"
Sehun membawa tangannya menangkup pipi yang terlihat lebih berisi sekarang. matanya menghujam tepat pada manik mata yang terbingkai bulu mata yang lua biasa indah. Kemudian turun ke hidung mungil yang terlihat sangat berakhir pada bibir merah muda yang sedikit membuka. Menampakkan dua pasang gigi yang lebih besar dari gigi-gigi mungil lainnya.
Dan Sehun menutup matanya.
Kemudian dengan cepat…
Ia dekap bibir tipis itu dengan bibirnya.
"Hmmpphhh…" suara Luhan teredam oleh bibir milik Sehun. dan laki-laki mungil itu pun segera memprotes apa yang dilakukan laki-laki tinggi ini. Sebelum akhirnya menyerah, dan membiarkannya mengalah. Menutup matanya dan mencoba menikmatinya.
Cukup lama sepasang aki-laki itu berciuman di lorong peduli orang-orang yang melihat atau bergumam. Mereka tenggelam dalam dunia mereka. Sampai akhirnya pergerakkan tak nyaman datang dari dekapan Luhan.
Dan segera saja, laki-laki mungil itu mundur dan memutus pagutan lembut itu.
Laki-laki yang lebih tinggi menatap Luhan dengan seringaian terpatri tipis di wajahnya.
"Luhan, wajahmu memerah, kau sakit?" goda Sehun pada laki-laki yang masih belum mau menunjukkan wajahnya.
"Kenapa kau menciumku Sehun? kita kan sudah setuju untuk berjalan dengan waktu," Luhan berkata dengan kesal.
Sehun tersenyum dan mengedikkan bahunya. "Hanya sebuah proses untuk mempercepat waktu Luhan-ah,"
Luhan mendecak kesal dan memilih meninggalkan Sehun dengan gumaman gerutuan di setiap langkahnya.
"Lihat ayahmu itu, sangaaat menyebalkan sekali. Awas saja jika ayahmu itu melakukannya lagi. Ish, mama akan―"
Sehun tertawa mendengar gerutuan lucu milik Luhan. ia memilih berjalan pelan dan mengikuti di belakang Luhan. Menatap punggung sempit yang membuatnya mabuk kepayang.
Ya. Mereka berdua telah berdamai. Dan memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada waktu. Membiarkan takdir melukiskan kisah mereka dengan persetujuan sang waktu. Berharap jika suatu saat, takdir mereka akan bertemu dan berakhir dengan sebuah tawa, dan juga cinta.
Langkah kaki itu kini terhenti untuk memandang langit biru dan awan yang menggumpal dari jendela besar yang terbuka. Menghantarkan semilir angin musim semi yang hangat. Untuk saat ini, Sehun masih menyimpan kalimat aku mencintaimu untuk dikatakan pada saat, tempat, dan suasana yang tepat, dan pada orang yang benar-benar berhak mendengarnya.
Entah kapan, dimana, atau pada siapa kata-kata itu akan terucap.
Namun satu yang Sehun tahu, bahwa sosok yang ia pandangi saat ini, semua emosinya hanya berfokus padanya. Pada laki-lai mungil yang kini menggendong anaknya dengan sayang. Pada laki-laki manis yang selalu bisa menyajikan perasaan hangat untuknya. Pada Luhan.
Maka Sehun tersenyum dan memejamkan matanya. Berharap angin yang berhembus kali ini, menghantarkan bisikan manis di telinga laki-laki yang juga terhenti di ujung sebrang jendela besar ini untuk menikmati indahnya alam. Menyampaikan pesan yang tak bisa Sehun ungkap. Yang Sehun harap akan segera ia ucap pada sosok yang kini mengisi hari-harinya.
Aku mencintaimu Luhan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
THE END
.
.
.
Hoooollaaaaaaaa…. Akhirnya ff ini selesai juga. Fast update banget ga sih? :"
*dirajam batu*
Anyway, ini udah lama banget iya ga sih? Hampir setahun? Atau udah setahun? Maafkan saya *bow* jadi gini, ini chapter, bener-bener chapter terlama yang pernah saya buat *maafkan* sebenernya udah beberapa kali saya pengen update dengan catatan masih TBC, cumaaaaa, karena saya udah janji mau diselesaiin, maka jadilah chapter ini ngaret sengaret-ngaretnya.
Jadi intiinya, adakah yang masih nunggu ff ini? :")
Oke, cukup formal-formalnya, pokoknya gue mau ngucapin terimakasih banyak buat kalian yang akhirnya baca PUM dari chapter 1 sampai baca author note di chapter ini. Engga nyangka banget ini banyak yang suka, beneran lho :" terimakasih buat kalian yang setia menunggu, yang selalu review, yang favorite, yang follow, yang pm buat ngingetin update, maupun yang cuma baca terus ditutup tabnya :" semua ini gaes,ga akan terjadi tanpa kalian.
Gue tau kalian pasti udah enek baca chapter ini, this chap is cheesy af―dan words nya, beuh, ngalahin proposal skripsi w. 16,7k+ words gue tumpehin buat kalian yang sabar dan setia menunggu :" jadi gue ga akan lama-lama nongol di author's note. Oh ya btw apa yang tertulis di ff ini semuanya murni imajinasi yaa, upacara segala itu pokoknya imajinasi. Terus terus, na na na na di bagian awal sendiri itu pake nada tian mimi nya Luhan yang diawal itu lho, owkayyy?
p.s: jadi ini adalah shameless advertisement, ehee. Gue baru aja bikin ig dengan uname deerylu_fanart buat menyalurkan gambar-gambar gue, hehe, please kindly check and like the pic if you feel that you like it? you don't have to follow tho… *puppy eyes mode on* anyway, dari pada bingung, yang mau komunikasi (ceilah) sama gue, bisa lewat ig itu, ga akan gue privat kok, jadi bisa dm ._.
p.s.s: cie yang ga suka open ending pasti kecewa cie. Kudukah kubuat sequelnya? Tapi sabar, gue mau ujian nih, jadi nunggu lagi ehee :"
p.s.s.s: menurut kalian apakah gue pantes bikin ff project baru?
Please reviewwww, thankyouu *tebar hati*
