"Hiks … Kuma-chan …" Seorang gadis kecil meratapi gundukan tanahtempat peristirahatan hewan mungil yang padahal kemarin masih bermain lincah di roda putarnya.

"Biasanya wanita akan terlihat cantik ketika menangis. Tapi kau beda. Terlihat jelek sekali. Jadi berhenti menangis," hibur—atau ejek?—seorang anak lelaki yang ikut berjongkok di samping si gadis, dengan raut stoik tetap menempel di wajah.

Gadis kecil itu menoleh, matanya berkaca-kaca, hidung mengeluarkan cairan, serta mulut mengerucut. Manik kelabu itu memandangi wajah kusut si gadis, sebelum sang empunya berkata

"Jangan pasang wajah begitu. Kau jadi terlihat menyedihkan."

.

"Seorang gadis yang waktu itu menangis karena hewan peliharaannya mati, kini menangis karena putus cinta. Benar-benar sebuah kejutan, eh?"

Kau tak merespon. Terlalu banyak tanda tanya di benakmu, salah satunya; kenapa kau tak menyadarinya sejak awal?

"… Apa kau mengingat sesuatu tentangku?" tanya pemuda yang baru saja kaulihat versi kecilnya dalam keping proyeksi ingatan masa lalu.

"Sudah lama tak berjumpa! Apa kabarmu? Aku rindu sekali padamu. Apa kau ingat sewaktu kita pergi ke festival musim panas bersama?"

—Ingin melontarkan kalimat serupa, akan tetapi pikiranmu terasa kosong. Ingatan yang muncul di benakmu hanyalah seorang anak lelaki bersurai kelabu, yang wajah dan tingkah sama persis dengan pemuda di hadapanmu—dan hanya berupa siluet samar.

Mayuzumi menghela napas. "Jujur, aku kecewa. Kuharap kau mengingat sesuatu tentangku, sedikit saja."


disclaimer : knb (c) fujimaki tadatoshi

warning : mungkin ada beberapa hal yang terlalu klise dan dramatis, dan juga OOC (._.)

enjoy!


Sepanjang pelajaran, pikiranmu mengawang kemana-mana. Ocehan guru di depan bagaikan suara dari dunia lain, lantaran dirimu terjebak dalam alam pikiran sendiri. Sekuat tenaga mengorek informasi dari otak. Kau bisa merasakannya—kalau pemuda itu adalah sosok yang begitu dekat denganmu. Bukan kenalan biasa, melainkan seseorang yang spesial arti eksistensinya—sehingga tak mungkin terlupakan begitu saja.

Mayuzumi Chihiro. Mayuzumi Chihiro. Chihiro-kun.

Namanya begitu familiar.

Di tengah labirin pemikiran tanpa ujung, sebuah bola kertas mendarat di mejamu, dari seseorang yang duduk di belakangmu.

—Kau baik-baik saja? Sedang tak enak badan?

Kau mengabaikan pesan tersebut. Tentu kau sedang tak baik-baik saja—karena rasanya seperti kehilangan sesuatu yang penting. Ada batu besar yang mengganjal di otakmu. Hayama selalu menjadi pendengar yang baik—akan tetapi kau merasa bukan pilihan bijak untuk menceritakan mengenai hal yang mengganjalmu ini, sementara kau sendiri benar-benar clueless mengenai duduk permasalahannya.

.

Sesampainya di rumah, kau segera melesat ke gudang untuk mencari album foto lama. Pada lembar halaman yang sedikit menguning serta dihias debu tebal, kau menemukan foto tersebut—yang menjadi bukti kebersamaan kalian beberapa tahun silam. Kau memandangi foto tersebut lekat-lekat, menelisik tiap wajah yang tercetak disana—dan sejurus kemudian manikmu melebar bersamaan dengan ingatan yang mengalir deras bagai sungai.


Musim panas sembilan tahun lalu.

Dalam perjalanan pulang dari konbini, dirimu yang saat itu berusia delapan tahun melewati areal taman dan mendapati seorang anak lelaki duduk di ayunan seorang diri. Tanpa pikir panjang kau menghampirinya.

Anak lelaki itu mendongak—memandangimu dengan ekspresi datar. "Ada apa?"

Kau tersenyum. "Mau es krim?" tawarmu sambil menyodorkan sebungkus es krim yang niatnya akan dilahap di rumahakan tetapi kau berubah pikiran saat melihat si lelaki yang di penglihatanmu seperti penyendiri-yang-suram, berakhir pada inisiatifmu menyapanya.

Kemudian kalian berakhir duduk di dua buah ayunan yang tergantung berdampingan. Keganasan sinar mentari sedikit terblokir oleh gumpalan awan kumulus, walau tetap saja hawa panas mengisi udara sekitar.

"Siapa namamu?" tanyamu sambil menyesap es krim stroberi.

"Mayuzumi Chihiro." Lelaki itu tampak menikmati es krim vanilla pemberianmu.

"Mayuzumi, ya?" Telunjuk kauletakkan di dagu. "Namamu sama seperti tetangga baruku yang pindah beberapa hari lalu."

Lelaki bersurai sewarna langit musim dingin itu menoleh. "Kurasa itu aku. Aku memang baru pindah kesini."

Matamu melebar, gembira. "Eh? Benarkah? Berarti kau tetanggaku, dong! Rumah kita bersebelahan!"

"Souka?"

Kau mengangguk dengan bersemangat. "Namaku [Name]. Salam kenal, Chihiro-kun!"

.

Tak Mayuzumi sangka kalau sepotong hari di awal musim panas itu adalah permulaan dari persahabatannya dengan si gadis ramahatau dalam pikiran Mayuzumi; gadis sok kenal yang langsung memanggil nama kecilnya di pertemuan pertama. Musim yang identik dengan teriknya matahari itu diwarnai oleh berbagai kesenangan yang kalian lakukan bersama. Berburu serangga, berenang di laut, petak umpet, bermain basket, dan permainan lain yang biasa dilakukan anak SD.

Kemudian, Mayuzumi memulai semester baru sebagai murid baru di sekolahmu. Dia kelas 5 SD—satu tingkat di atasmu. Walau kadang tak acuh dan cuek—kontras dengan sifatmu yang cenderung ceria—dia adalah sosok yang menyenangkan. Berhubung rumah kalian bersebelahan, hampir tiap sore kalian pulang bersama.

Namun, dalam segala untaian kisah tersebut—bukan hanya ada kalian berdua.

"Tunggu aku, [Name]-chan! Mayuzumi-kun!"—Seorang gadis kecil menyongsong dua sosok yang berada di depannya.

Ada satu orang lagi. Namanya Shirokawa Mikorin, gadis yang tinggal beberapa blok dari rumah kalian. Kau mengenalnya sejak TKdan dia sudah menjadi sahabat baikmu jauh sebelum Mayuzumi.

Sambil menatap langit, kalian bertiga berandai-andai mengenai masa depan. Membayangkan, betapa menyenangkannya ketika tumbuh bersama. Namun takdir mengatakan tidak pada rancangan kisah-indah-mengenai-persahabatan-sejak-kecil yang klise itu, yang dimulai dari menghilangnya Miko dalam lingkaran hidup kalian.

—Dan itu adalah kesalahanmu.

.

Setahun kemudian, semester baru dimulai, pertanda usainya liburan musim panas yang tidak seindah tahun lalu; lantaran dihampiri seorang tamu bernama kematian.

"[Name]-san, kami turut berduka atas apa yang terjadi pada Shirokawa…"

"… Eh? Shirokawa?"

"Miko! Sahabatmu!"

"... Aku tidak tahu siapa yang kalian bicarakan."

Kedua teman sekelasmu itu saling berpandangan.

Sejak saat itu, orang-orang di sekitarmu bertingkah seolah menyembunyikan sesuatu darimu. Dan anak lelaki bernama Mayuzumi Chihiro tidak pernah terlihat lagi—diketahui ia pindah keluar kota karena pekerjaan orangtuanya, tepat seminggu setelah tragedi itu.

Tinggallah dirimu seorang diri, bersama dengan angan mengenai tumbuh bersama yang melayang.

.

Memory block adalah sebuah mekanisme dimana otak "menyembunyikan" ingatan yang tidak diinginkan oleh pemiliknya. Biasanya berupa tragedi atau hal-hal yang menyebabkan trauma—sehingga seseorang terus-menerus menyangkal pengalaman tersebut, hingga pada akhirnya ingatan itu tersegel dan tak pernah muncul lagi di permukaan.

Itu lah yang kaualami. Kau mengubur memori menyakitkan yang sangat tidak ingin kauingat. Dan lelaki yang selalu bersama kalian dan menjadi bagian tak terpisahkan dari ingatanmu mengenai Miko—yaitu Mayuzumi Chihiro—ikut terkubur di dasar otak.


Sembilan tahun sejak perkenalan pertama—serta delapan tahun sejak ingatan buruk itu terjadi. SMA Rakuzan.

Kau duduk seorang diri di bangku taman sekolah dengan kepala tertunduk seperti orang yang sedang dirundung masalah. Berbagai pemikiran berkelebat di otak dan perasaanmu campur aduk.

Tiba-tiba sebuah roti diletakkan di pangkuanmu. Kau menengadah dan mendapati dia, lelaki yang telah lama menghilang berdiri di hadapanmu.

"Balasan untuk bento waktu itu," ujarnya singkat. Kemudian ia mendudukkan diri di sebelahmu. "Kau terlihat seperti bebek yang bersedih."

Ingin memprotes pengandaiannya yang aneh itu, tetapi ada hal lain yang lebih mendesak.

"Aku mengingat semuanya …" Kau meremas rok. Pemuda itu menanti kelanjutan kalimatmu. "… Itu semua salahku. Aku lah yang menyebabkan Miko meninggal …"

"Hah?" Seketika raut pemuda itu berubah. Keterkejutan begitu kentara di wajahnya.

Cerita itu mulai meluncur dari mulutmu, dengan getaran di tiap silabelnya. "Waktu itu ... aku marah padanya karena sebuah masalah kecil. Aku membentaknya lalu berlari meninggalkannya sementara dia terus mengejarku dari belakang. Aku tak peduli, namun dia tetap berusaha menyusulku. Dan saat itulah, dia, dia …"

"Ya. Aku tahu," potong Mayuzumi. Pemuda itu tahu persis apa yang terjadi setelah itu. Sebuah mobil melaju kencang dan menghantam tubuh si gadis. Mayuzumi sedang bersantai di rumahnya kala kabar itu sampai di telinganya, dan begitu sampai di lokasi—yang ia dapati adalah ambulans, keranda yang digotong, serta simbahan darah di jalanan. Mewarnai udara musim panas dengan bau anyir.

Serta, gadis satunya—dirimu—begitu terguncang hingga jatuh terduduk dengan wajah syok. Mayuzumi tak bicara lagi denganmu sejak itu, lantaran kau mengurung diri di kamar hingga bahkan tak mengucapkan salam perpisahan pada dirinya—yang kembali berpindah rumah mengikuti pekerjaan orangtua.

"Aku merasa sangat bersalah … Semua salahku … Miko-chan pasti tak akan memaafkanku," lirihmu. Kau menggigit bibir bawahmu sekuat tenaga, hingga setitik cairan merah muncul disana. Ada penyesalan mendalam yang berputar-putar, serta sebuah pemikiran mengerikan mengenai menjadi penyebab dari hilangnya kehidupan seseorang menghantui benak. Perasaan yang pernah menghantuimu delapan tahun lalu—kini kembali datang menghujam.

Mayuzumi terpekur. Ini jelas bukan duduk perkara yang mudah diurai.

Keheningan terjadi dalam durasi lama.

Setelah termenung sedemikian rupa, pemuda itu buka suara. "Kaupikir dia orang yang sesempit itu? Kalau aku, mungkin aku akan menghantui dan tak memaafkanmu seumur hidup. Tetapi, Shirokawa … dia anak yang baik. Well, aku tidak bisa memastikan apa yang dirasakannya sekarang."—Mayuzumi mendongak, menatap langit seolah gadis yang dimaksud kini berada di atas sana—"Tapi aku ingin kau berhenti menyalahkan diri sendiri. Ketika kau berbuat kesalahan, maka kau selalu punya kesempatan untuk memperbaiki. Selain itu—

"Aku juga melakukan kesalahan. Waktu itu—aku tak berada di sampingmu. Aku pergi begitu saja, membiarkanmu menanggung beban ini seorang diri. Maka dari itu aku melakukan hal yang aku bisa untuk membuatmu merasa lebih baik sebagai bentuk penebusan kesalahanku. Jadi yah—jangan salah paham dengan semua yang kulakukan padamu dalam beberapa hari terakhir."

Pemuda itu mendaratkan telapak tangannya ke puncak kepalamu. Kemudian telapak tangan yang besar dan agak kasar—efek dari sering berinteraksi dengan bola basket—itu mengusap rambutmu pelan, seolah hendak mentransfer ketenangan dan membersihkan emosi-emosi negatif.

Menebus kesalahan, eh? Apa yang telah dilakukannya padamu membuatmu merasa lebih baik. Mungkin kau bisa melakukan hal serupa pada orang lain, untuk memperbaiki kesalahan di masa lampau.

Rasanya, beban yang menggelayuti dirimu sedikit meringan. Kedua sudut bibir tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman lebar. "Terima kasih, etto … Bagaimana aku harus memanggilmu? Mayuzumi-senpai, atau Chihiro-kun?"

"Kurasa pilihan pertama lebih baik."

"Hmm, kalau begitu … Chihiro-senpai!"

"Rasanya aneh dipanggil dengan nama kecil oleh seorang adik kelas …"

Kau hanya tersenyum simpul. Bagaimana pun, dia tak menolak, bukan?

"Bagaimana kalau sehabis ini kita mengunjungi makam Miko-chan?"

"Aku ada latihan basket. Bagaimana kalau besok?"

"Ya. Tapi sebelum itu, ada yang ingin kulakukan terlebih dahulu."


"Benda itu ada disini?"

"Iya. Aku ingat sekali, kita bertiga menguburnya delapan tahun lalu."

Cangkul difungsikan untuk membuka lapisan tanah dimana benda itu dikubur. Sebuah time capsule—alias kapsul waktu.

Ekspresimu saat membuka tutup kotak tersebut seperti seorang anak kecil yang dibelikan mainan. "Wah, ini bola tenis yang sering kita mainkan! Lalu—eh, kenapa ada kertas ulanganku disini?"

"Seorang anak bodoh yang nilai sainsnya anjlok merengek pada kakak kelasnya yang pintar untuk mengajarinya—dan berkat kebaikan hati si kakak kelas, nilai anak itu naik drastis," jelas Mayuzumi dengan sinisme dalam tiap silabelnya.

Kau mendelik. "Anak bodoh? Kakak kelas yang pintar? Ternyata, Senpai ini narsis ya?"

"Itu kenyataan."

Kau tertawa garing, kemudian lanjut mengubek-ubek kotak berisi berbagai barang tersebut. Matamu melebar kala mendapati benda yang terletak di dasar kotak—tiga lembar kertas dengan kalimat bertemakan 'mimpi di masa depan' tertulis disana. Yang berada paling atas adalah milik sahabatmu yang telah meninggal. Pandanganmu agak menggelap kala membaca untaian kalimat yang ditulis tangan tersebut. Tiba-tiba, sebuah sentilan mendarat di keningmu.

"Sakit!"

"Baka! Kita menggali ini bukan untuk bermuram durja," sinis Mayuzumi.

"Wakatta, wakatta. Kalau begitu, kita lihat yang selanjutnya," kertas dibalik. "Oh, milikku."

Aku ingin menjadi wanita yang cantik dan hebat, sukses dalam karier serta keluarga. Nanti menikah dengan siapa? Itu sih belum direncanakan, ha ha ha. Lalu … semoga suatu saat aku bisa makan pizza yang ukurannya lebih besar dari kepalaku.

Dengusan geli terdengar dari sebelahmu. Tampak Mayuzumi menutup mulutnya, menahan tawa. Wajahmu sontak memerah—memikirkan betapa anehnya kalimat yang kautulis tujuh tahun lalu. Namun, kalimat selanjutnya—yang ditulis di sudut kertas—sukses membuat wajahmu jadi lebih merah lagi.

p.s. oh iya, mungkin … nanti aku menikah dengan Chihiro-kun, haha.

Mayuzumi memandangi tulisan tersebut. "Heh, lelucon macam apa ini?"

Segera kausambar kertas memalukan tersebut. "Lupakan! Lupakan! Sekarang, giliran membaca punyamu~"

"Oi, hentikan—"

Di kertas terakhir—milik satu-satunya lelaki dalam kelompok kecil kalian—terdapat satu kalimat yang ditulis besar-besar, hampir memenuhi satu halaman.

Ingin hidup tenang dan damai, serta tidak terlibat hal yang merepotkan.

Kau sweatdrop begitu membacanya. Namun sejurus kemudian manikmu membulat kala mendapati kalimat di sudut kertas.

Ingin terus bersama [Name]. … Menikahinya, mungkin?

—Sayang sekali, udah terlambat bagi Mayuzumi untuk menyembunyikan fakta bahwa ia pernah menulis kalimat tersebut.

Kalian berdua berpandangan—kemudian membuang wajah secara bersamaan. Ada rona merah yang menjalar di muka masing-masing.

"… Ternyata waktu itu kita begitu polos, ya …" komentarmu.

"Yeah. Entah apa yang merasukiku waktu itu. Benar-benar konyol."

Setelah puas bernostalgia—yang berakhir chaos lantaran sesuatu—kalian melaksanakan agenda utama. Sore itu, makam sahabatmu dihias dua jenis bunga yang kaubeli di toko. Masing-masing memiliki arti; melati ( persahabatan ) dan tulip putih ( permohonan maaf ).

Serta sebuket bunga kamelia kuning kauberikan pada Mayuzumi.

( Yellow camelia; longing )


"Sebentar lagi liburan musim panas. Nee, apa rencana Senpai?"

"Aku akan menghabiskan liburan untuk latihan intensif dalam rangka menghadapi Winter Cup nanti. Tidak ada waku istirahat."

"Oh, iya! Hayama sudah menceritakannya padaku. Sepertinya latihan kalian keras sekali, eh?"

"Satu jam latihan sudah cukup untukmu merasakan neraka dunia. Oh ya, sepertinya kau dekat sekali dengan si bocah berisik itu."

"Dia teman sekelasku, haha. Ngomong-ngomong, berjuanglah! Nanti aku akan pergi menonton sekaligus mendukung kalian di pertandingan."

"Hee, nanti kau bertemu dengan orang itu, lho."

"Yah, soalnya … ini pertama kalinya Senpai maju ke pertandingan besar, bukan? Dari dulu Senpai tidak pernah masuk posisi reguler dan hanya menjadi anggota biasa yang samasekali tidak menonjol."

"Kau meledekku atau apa?"

Kau tertawa kecil. Kemudian saat menoleh, yang kaudapati adalah tubuh tinggi sang pemuda yang disepuh sinar mentari senja. Seberkas warna jingga menghias wajahnyadan saat itulah kau terpesona pada wajahnya yang terpahat indah. Dia telah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tampan.

Cukup dua kata untuk menggambarkan suasana hatimu saat ini; lega dan bahagia.

Sama seperti waktu itu—ketika dia menemukanku yang tersesat saat festival musim panas, dia menyelamatkanku. Kali ini—dia datang kembali, dan menarikku keluar dari lembah keterpurukan. Berkat dia, aku bisa membebaskan diri secara perlahan dan menemukan harapan baru.

.

"... ngomong-ngomong, mau sampai kapan kau mengagumi wajahku?"

.


Tbc.


.

Akhirnya saya bisa fast update~ *tebar confetti*

Gomen ya kalau menurut kalian ini OOC. Menyeimbangkan antara alur cerita serta ke-IC-an itu ternyata lumayan susah, apalagi ini Mayuzumi—who is kinda introvert and indifferent, also can be blunt and rude sometimes coretbut handsomecoret.

O ya, memory block memang ada dan sudah dibuktikan lewat penelitian. Sebenernya saya baru tahu istilah itu pas baca novel Koala Kumal-nya Raditya Dika, bab Patah Hati Terhebat. Disitu saya langsung pengen menuliskan sesuatu tentang memory block, dan akhirnya terrealisasikan juga lewat cerita ini :D

OC dimunculkan demi mendukung cerita, tapi tenang kok cuma di chapter ini doang. Next chapter will be focused on the development of your relationship, and some conflicts maybe ;;)

Cerita ini masih ada lanjutannya lho, khuhuhu. Baidewei, gimana chapter ini? Bagus nggak? Memuaskan nggak? Tulis pendapatmu di kotak review yaa! Dan juga silahkan kalau ada yang ingin dikoreksi, soalnya saya sering puyeng sendiri pas self-beta /?

Salam,

Mieko


"I have found my precious long-lost chilhood friend."

.

"She approached me under the the blue summer sky with that shining smile of hers. Eight years has passed, and once again—she appeared in front of me under the night sky with that hopeless and pathetic look plastered her figure. What a huge change, huh? I don't know whether to be blessed or dissatisfied."