Deru suara menggema dalam kamar. Kamar yang berukuran empat kali empat itu dipenuhi oleh beberapa tumpuk kain serta peralatan jahit. Beberapa rak yang berisi pernak-pernik diletakkan pada pojok ruangan. Kain-kain disusun rapi dalam sebuah lemari berwarna cokelat tua. Peralatan jahit diletakkan tepat di sebelah meja kecil yang terdapat sebuah mesin jahit.
Benda logam yang bersatu dengan mesin, memaksa masuk sehelai benang ke dalam kain polos mentah. Ujung kain didorong ke depan hingga membentuk sebuah lekukan jalan benang. Kadang berliku, dan kadang lurus.
Beberapa pernak-pernik cantik nan berkilau, dijahit dalam kain yang sudah diberi ukuran. Sisa-sisa kain yang tak terpakai, bermetamorfosis menjadi bahan tambahan yang nantinya akan dijahit pada bagian bawah.
Seorang pemuda berambut biru, duduk di atas sebuah bantal kecil nan tipis. Kedua tangan sibuk berkutat dengan mesin jahit serta pensil. Sesekali ia membuat pola pada kain lalu memotongnya. Sesekali juga ia mendecak kesal karena salah pola atau sebaliknya.
Iris biru menatap fokus pada mesin jahitnya lagi. Ia mencoba untuk menjahit sesuai dengan pola yang ditentukan. Kali ini polanya berliku jadi sedikit susah. Tapi mau tidak mau—ia harus bisa.
Bergerak perlahan. Mengikuti arah pola dengan hati-hati—takut-takut nanti salah dan harus merombaknya ulang. Menggeser kain dengan perlahan agar hasilnya maksimal. Begitu teliti dan lembut. Memang harus seperti itu kalo berurusan dengan jahit-menjahit.
Selang sepuluh menit, ia berhasil menyelesaikan jahitannya. Dengan bangga, ia ambil kain tersebut lalu memakaikannya pada badan mannequin.
Kain polos disulap menjadi ssebuah gaun pernikahan yang cantik.
Gaun panjang tanpa lengan yang dipadu dengan rumbai-rumbai putih, menghiasi daerah pinggang. Pernak-pernik dipasang disekitar bawah. Tidak terlalu ramai dan simpel. Namun memberi kesan cantik dan anggun pada gaun ini.
Ya, pemuda itu tengah membuat sebuah gaun pernikahan untuk salah seorang pelanggannya.
Ia adalah Kuroko Tetsuya. Seorang fashion designer yang akhir-akhir ini sedang sepi oleh pelanggan. Mengingat banyak butik—mulai dari yang mahal hingga murah—menjual berbagai macam baju yang menjadi fashion tahun ini. Dan orang cenderung untuk membeli ketimbang menjahit sendiri ke tukang jahit.
Kuroko berdiri sembari meregangkan tubuh. Sudah dua hari ia begadang dan hal tersebut justru merusak pola hidup. Ia harus mengerjakan gaun tersebut dalam kurun waktu dua hari, karena besok ia akan bertemu dengan calon pengantin yang memesan gaun padanya.
"Ukh, badanku sakit sekali." Kuroko mengaduh capek—merasakan setiap inci tubuhnya kini dibalut oleh rasa pegal dan nyeri.
Tak membuang-buang waktu, akhirnya Kuroko keluar dari ruang kerja menuju kamarnya yang berada di sebelah. Menghempaskan tubuh lelah ke atas tempat tidur yang empuk. Memejamkan kedua mata dan perlahan mulai menggapai mimpi. Dengkuran halus keluar dari kedua belah bibir tipis Kuroko Tetsuya.
.
MADRE
Giovanno
.
"Wah! Bagus sekali!"
Suara kagum keluar dari mulut seorang wanita berambut cokelat pendek. Menatap diri di hadapan cermin sembari memperhatikan gaun yang ia kenakan. Sesekali ia memutar badan seratus delapan puluh derajat hingga menimbulkan sebuah gelombang pada gaun—mulai dari pinggang sampai kaki. Secercah senyum gembira terlukis di paras cantik wanita ini.
Kini, Kuroko berada di sebuah apartmen pelanggannya. Ia duduk di salah satu sofa tamu sembari menyesap secangkir macchiato hangat yang sudah dihidangkan. Sejenak, ia meletakkan cangkir yang masih terdapat kepulan asap di atas pisin cangkir.
Kuroko tersenyum tipis mendengar ocehan senang dari pelanggannya itu. Ia bertanya, "Apakah masih ada yang kurang, Aida-san?"
Wanita itu—Aida Riko, menggeleng mantap seraya menjawab, "Tidak. Ini sudah sangat bagus dan aku menyukainya. Kuroko-kun, terima kasih banyak atas kerja kerasmu." Menurutnya, gaun ini adalah gaun yang sangat bagus melebihi gaun mahal yang dijual di butik. Berlebihan? Tapi itulah faktanya.
Aida menatap kembali dirinya di cermin, "Kuroko-kun, apakah aku terlihat cantik dengan balutan gaun ini?"
Kuroko mengangguk mantap, "Tentu saja. Aida-san adalah wanita cantik yang pantas mengenakan gaun tersebut. Aku yakin kalau Hyuuga-san juga akan berpikir hal yang sama denganku."
Mendengar itu, sontak Aida menoleh ke belakang sembari menatap wajah datar Kuroko. Mukanya merah seperti kepiting rebus begitu mendengar nama Hyuuga atau lebih lengkapnya Hyuuga Junpei, yang masuk ke dalam genderang telinga.
"Kuroko-kun! Kenapa kau berpendapat seperti itu?"
Kuroko menautkan sebelah alis, "Hmm? Tentu saja, bukankah ia calon suamimu? Hyuuga-san pasti akan berpendapat hal yang sama denganku—bahkan lebih."
Aida tersenyum lembut, "Benar juga. Ah ya, Kuroko-kun, bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyanya sembari mengambil posisi duduk di sofa sebelah Kuroko.
Pemuda biru kembali menyesap macchiato dan menjawab, "Tidak buruk dan tidak bagus. Biasa saja."
"Hmm? Maksudmu?" tanya Aida bingung sembari menatap wajah datar pemuda itu.
Kuroko kembali meletakkan cangkir pada pisin. Sejenak, ia menghela napas berat sambil menutup kedua mata. Bila diingat-ingat, sudah jarang—bahkan nyaris tidak ada pelanggan yang memesan baju padanya. Mungkin, karena kemampuannya sudah disikat habis oleh butik-butik berkelas yang berada di berbagai wilayah.
Kuroko menyenderkan punggung pada badan sofa nan empuk, "Ya begitulah, sudah jarang pelanggan yang memesan. Dan mungkin sudah saatnya aku gulung tikar."
Mendengar itu, mata hazel membulat dan sontak berkata, "Jangan putus asa seperti itu, Kuroko-kun. Kau pasti bisa mencari jalan keluar dari masalah ini."
"Tapi, bagaimana caranya?" tanya Kuroko bingung sembari balas menatap mata hazel indah milik Aida.
Wanita cokelat menaruh telunjuk pada dagu. Kedua mata bergerak ke sana kemari. Ia mencoba berpikir untuk menyelesaikan kasus masalah yang tengah dialami Kuroko. Sejenak, sebuah ide terlintas dibenaknya. Mungkin ini bisa membantu Kuroko.
Aida mengangguk lalu beranjak dari sofa, "Tunggu sebentar, ya." Wanita cokelat berjalan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Kuroko yang menatap punggungnya sembari mengangguk.
Tak lama kemudian, Aida keluar dengan membawa sebuah kartu nama kecil yang digenggam pada jemari mungil. Ia duduk kembali di posisi semula, lalu menyerahkan kartu nama tersebut pada Kuroko. Pemuda itu dengan senang hati menerima benda kecil tersebut dan mulai membacanya.
Yvest Saint Laurent.
Membaca namanya saja sudah membuat Kuroko tercengang.
Merek tersebut merupakan merek termahal di dunia. Mulai dari baju hingga sepatu—bahkan parfum, bisa mencapai angka jutaan rupiah. Biasanya mereka ini sangat digemari oleh kaum adam—termasuk Kuroko.
Aida tersenyum menangkap raut ekspresi di wajah Kuroko, "Kenapa? Kau kaget?"
"Tentu saja. Merek ternama dan termahal di dunia. Meski aku suka tapi aku belum pernah membeli satu barang pun yang berasal dari merek ini," jawab Kuroko panjang lebar. Aida tertawa mendengar jawaban Kuroko.
Kuroko mendengus, "Lalu, untuk apa kau memberikan ini?"
"Mungkin, kau bisa mencari pekerjaan disini. Kalau tidak salah, mereka sedang mencari perancang busana untuk model. Siapa tahu kau diterima di sana," jawab Aida mantap.
"Aku tidak yakin."
"Kau harus yakin, Kuroko-kun. Lagian, hasil karyamu bagus-bagus. Jadi, tidak salah lagi kalau kau akan diterima."
Kuroko merasa tidak yakin dengan keputusan tersebut. Bekerja di perusahan ternama? Apakah ia bisa? Justru itu yang menjadi pakar masalah baru. Inilah jeleknya Kuroko. Ia selalu ragu dan tidak percaya diri dalam mengambil sebuah keputusan.
"Aku… semakin tidak yakin," jawabnya ragu sembari menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
Mendengar itu, Aida menghela napas jengkel, "Kuroko-kun, kau harus bisa mengambil keputusan secara bijak. Ingat. Ini adalah sebuah kesempatan emas yang mungkin tak akan terjadi lagi."
"Hmm… jadi? Patut kucoba?"
"Tentu saja, dan aku sangat mendukung sekali," jawab Aida sembari mengacungkan jempol di depan dada.
Melihat itu, Kuroko terhenyak sejenak. Lalu, ia pun mengulas senyum tipis. Meski seorang pelanggan, tapi Aida sangat menyemangatinya sekali.
"Terima kasih banyak, Aida-san."
"Ya, sama-sama, Kuroko-kun."
.
.
.
Langkah kaki berhenti tepat di depan pintu otomatis. Kuroko mendongakkan kepala—menatap tulisan yang tertera pada papan nama yang ditempel tepat lima meter dari pintu otomatis. Pemuda biru menghela napas berat—rasanya ia berada di alam mimpi sekarang.
Mencoba melamar pada salah satu perusahaan terkaya memang bukan gaya seorang Kuroko Tetsuya. Namun, kenyataan membuatnya ditampar dan berpikir ke depan. Dengan berat, ia mencoba melangkah masuk ke dalam gedung.
Pintu otomatis terbuka dan menampilkan ruangan bergaya ala Perancis. Wangi aroma terapi menggelitik hidung mancung Kuroko. Beberapa pakaian yang dipakaikan oleh mannequin di pajang tepat sepuluh meter dari pintu masuk. Beberapa rak yang berdasar kayu jati, dipenuhi oleh beberapa pakaian yang dilipat rapih. Beberapa foto juga pernak-pernik lain menjadi pelengkap ruangan ini.
Satu kata yang terlintas dibenak Kuroko—
Elegan.
Ya, gedung ini memang sangat elegan. Tentunya, karena gedung ini milik perusahaan ternama dunia.
Kuroko meneguk ludah dan mulai berjalan menuju meja informasi yang berada di sudut ruangan. Seorang resepsionis menyadari kehadiran Kuroko. Ia pun beranjak dari kursi lalu mengulurkan tangan untuk berjabat. Dengan sopan, Kuroko membalas uluran tangan tersebut dan mulai mengambil posisi duduk di seberang meja.
Resepsionis itu bertanya, "Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ah, ya, saya ingin melamar kerja di sini begitu mendapat kartu nama ini," jawab Kuroko seraya memperlihatkan kartu nama yang tadi diberikan oleh Aida. "Dan saya juga ingin melamar kerja menjadi fashion designer di sini. Apakah masih ada tempat?" tanya Kuroko sopan.
Resepsionis itu mengangguk lalu menjawab, "Kebetulan kami memang sedang mencari pekerja—khususnya fashion designer. Mungkin saya bisa mengantarkan Anda kepada manajer?"
"Ya, tentu saja. Dengan senang hati," jawab Kuroko.
Resepsionis itu beranjak dari tempatnya duduk, "Baiklah, mari ikut dengan saya."
Kuroko mengikuti resepsionis itu dari belakang. Mereka berjalan menyusuri lorong lalu masuk ke dalam lift yang berada di sudut lorong. Resepsionis menekan angka lima pada tombol yang tertera di dalam lift. Tak lama kemudian, pintu lift pun terbuka dan memperlihatkan lorong lantai lima.
Mereka berdua keluar. Menyusuri lorong lalu berbelok ke kiri—mendapati sebuah pintu bercat hitam pekat. Tepat di depan pintu, si resepsionis mengetuk pintu pelan dan mulai masuk ke dalam ruangan—diikuti oleh Kuroko dari belakang.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda. Ada yang ingin bertemu dengan Anda."
Sebuah ruangan bergaya Victoria klasik menjadi pandangan pertama yang Kuroko lihat. Ruangan itu hanya dipenuhi oleh sebuah rak buku yang diletakkan pada sudut ruangan. Sebuah sofa yang lengkap dengan meja kecil dilapisi oleh karpet diletakkan di tengah ruangan. Sebuah meja kerja yang diletakkan di dekat kaca besar, yang menghubungkan dunia luar dengan ruangan itu di duduki oleh seorang pria berambut hijau.
Seorang pria bertubuh tegap yang dibalut oleh pakaian jas abu-abu, menatap dua orang yang berada lima meter dari meja kerjanya. Kacamata berbingkai tebal yang melindungi kedua iris hijau, ia naikkan sedikit.
Pria itu bertanya, "Siapa dia?"
"Dia adalah seorang yang ingin melamar menjadi fashion designer di sini, Tuan," jawabnya sopan.
Pria itu mengangguk dan memberikan kode agar si resepsionis keluar dari ruangan—meninggalkan mereka berdua sendiri di dalam ruangan bergaya klasik. Pria itu menyuruh Kuroko untuk duduk di sofa yang telah disediakan. Menurut. Kuroko pun duduk di sofa dan pria tersebut beranjak dari kursi kerja lalu duduk di sofa seberang Kuroko.
Pria itu bertanya, "Jadi, kau di sini untuk melamar kerja, begitu nodayo?" Suara baritone nan khas menggema dalam ruangan. Kuroko mengangguk sebagai jawaban.
"Ya, tujuan saya ke sini adalah untuk melamar pekerjaan."
"Jadi, kau ahli di bidang apa?"
"Fashion designer," jawab Kuroko singkat. "Ah ya, sebelum itu, perkenalkan namaku Kuroko Tetsuya."
"Kuroko Tetsuya. Baiklah, namaku Midorima Shintarou. Manajer perusahaan ini."
Pria berambut hijau—Midorima Shintarou memperkenalkan diri sembari menaikkan kacamata yang tadi sempat melorot. Ah, jadi ini manajernya? Benar-benar fashionable sekali. Tak salah lagi bila ia menjadi manajer.
"Baiklah, apakah kau berpengalaman di bidang tersebut? Apa baru sekedar mencoba, nanodayo?" tanya Midorima.
"Kebetulan, saya ini seorang penjahit baju yang menerima pesanan dari pelanggan. Namun, akhir-akhir ini sepi karena kebanyakan orang cenderung membeli ketimbang bikin."
"Apa alasan mereka seperti itu?"
Kuroko menghirup napas lalu membuangnya perlahan, "Karena ongkos menjahit itu memang mahal—terutama bahan yang dipakai. Kalau membeli, meski mahal tapi tak perlu menunggu lama."
"Memang ada betulnya. Ongkos menjahit memang mahal—apalagi membuatnya tak semudah membalikkan telapak tangan."
"Jadi?"
"Jadi…"
Kuroko menunggu jawaban yang keluar dari kedua belah tipis Midorima. Berharap kalo ia diterima di perusahaan ini. Perusahaan mereka dunia yang selalu dikagumi oleh pemuda biru Kuroko Tetsuya.
Midorima menghela napas sembari menyenderkan tubuh pada badan sofa, "Aku belum sepenuhnya memutuskan. Tapi, mengontrakmu selama sebulan tak menjadi masalah. Bila pekerjaanmu bagus dan tepat, maka aku tak segan untuk mencapmu menjadi pekerja tetap."
Mendengar itu, ada rasa lega di hati Kuroko. Tidak apa ia dikontrak selama sebulan, yang jelas ia bisa mencicipi bekerja di perusahaan ini. Baiklah kalau begitu, Kuroko harus bekerja dengan serius agar mendapat jabatan pekerja tetap di sini.
"Terima kasih banyak, Midorima-san."
"Sama-sama, dan tidak perlu se-formal itu, nodayo."
"Ah, sudah sepantasnya saya formal."
Midorima menghela napas. Pria berambut hijau mulai beranjak dari tempatnya duduk. Ia mengisyaratkan agar Kuroko ikut dengannya. Tanpa menunda, Kuroko mulai mengikuti Midorima dari belakang. Sebenarnya ia tidak tahu akan ke mana, tapi ada baiknya ia mengikuti si manajer.
Mereka berdua keluar dari ruang kerja Midorima. Berjalan menyusuri lorong lalu masuk ke dalam lift. Di dalam lift, Midorima menekan angka tujuh yang tertera pada tombol lift. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka dan memperlihatkan sebuah lorong, dan sekitar jarak lima belas meter terdapat sebuah pintu besar berwarna cokelat tua.
Keduanya berjalan. Dan begitu sampai di depan pintu, Midorima membuka pintu hingga memperlihatkan sebuah ruangan berukuran lima kali lima yang di desain khusus sebagai ruang photoshoot. Midorima serta Kuroko melangkah masuk ke dalam ruangan.
Hal pertama yang dilihat Kuroko adalah—
Interaksi antara fotografer dan model.
Seorang pria berambut abu-abu memberikan aba-aba pada seorang model berambut merah yang kini terbalut oleh busana musim panas.
Model tersebut mengenakan kaos v-neck warna putih yang dipadu oleh celana pendek kotak-kotak selutut berwarna cokelat. Sepasang sandal bermerek mahal, membalut dua telapak kaki si model. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Ia mulai berpose di depan kamera.
Selang sepuluh menit, fotografer selesai membidik gambar. Sadar dengan kehadiran Midorima dan Kuroko, ia pun berjalan menghampiri keduanya.
Fotografer itu terbalut oleh sebuah kemeja putih yang satu kancing teratas dibiarkan terbuka, dan sepasang jeans berwarna hitam. Sangat sederhana dan simpel—namun terlihat elegan.
"Midorima? Sedang apa kau ke sini?" tanya si fotografer.
"Aku sedang mengajak seorang pekerja baru untuk melihat-lihat, nanodayo."
Iris abu fotografer menangkap sosok Kuroko Tetsuya yang berdiri tepat di sebelah Kuroko.
"Oh itu? Memang dia bekerja sebagai apa?"
"Fashion designer," sanggah Kuroko cepat, "Nama saya Kuroko Tetsuya, senang berkenalan dengan Anda." Kuroko berucap sopan sembari mengulurkan tangan.
Si fotografer membalas jabatan Kuroko, "Salam kenal juga. Namaku Mayuzumi Chihiro. Seorang fotografer perusahaan ini." Pria itu—Mayuzumi Chihiro, berucap tak kalah datarnya dengan Kuroko.
"Lalu, kalau boleh tahu, siapa model itu?" tanya Kuroko sopan.
Mayuzumi menoleh, "Oh itu? Oi, Sei, sini sebentar."
Model yang dipanggil Sei itu menatap tajam Mayuzumi.
"Ada apa?"
"Kemari sebentar," jawab Midorima dan dituruti oleh si model.
Model itu berjalan lalu menghentikkan langkah tepat di sebelah Mayuzumi. Iris dwi warna menangkap sosok figur Kuroko Tetsuya yang berdiri di samping Midorima.
Model itu bertanya, "Siapa dia?"
"Dia adalah—"
"Kuroko Tetsuya. Seorang pekerja fashion designer baru di sini," potong Kuroko sembari mengulurkan tangan—hendak menjabat tangan.
Si model menautkan sebelah alis, "Oh? Kuroko Tetsuya? Namaku Akashi Seijuurou. Aku model di sini." Ia pun membalas jabatan tangan Kuroko. Namun tidak lama, jabatan itu diputus oleh model yang bernama Akashi Seijuurou.
Midorima menghela napas melihat tingkah laku Akashi.
"Baiklah, karena kalian sudah saling berkenalan," jeda sejenak, "Kuroko, mulai sekarang kau akan bekerja sama dengan mereka. Sebenarnya masih banyak yang ingin kukenalkan namun pada intinya kau akan bekerja sama dengan mereka. Nah, untuk sekarang, kau akan menjadi perancang busana untuk Akashi."
Kuroko membulatkan kedua mata. Apa katanya? Perancang busana untuk Akashi? Apakah ia tak salah dengar?
Kuroko tidak menolak tapi—apakah secepat itu?
Ia langsung ditunjuk secara pribadi sebagai perancang busana untuk Akashi—model papan atas yang bekerja di perusahaan ini. Kuroko meneguk ludah. Rasanya ia seperti berada di dalam mimpi.
Melihat itu, Midorima mencoba memanggil Kuroko, "Kuroko?"
"A-ah! Ya?"
"Kau siap?"
"Umm… ya, saya siap. Dan mohon kerjasamanya."
Midorima merasa lega dengan jawaban Kuroko. Akhirnya, ia menerima pekerjaan ini meski baru dikontrak sebulan. Sebuah pekerjaan baru mendatangkan sebuah tantangan hebat di depan mata. Dan Kuroko siap dengan tantangan yang akan menghadangnya ke depan.
Karena ia sudah bertekad dalam hati untuk—
Menjadi pekerja tetap di perusahaan ini. Perusahaan yang selalu dikagumi dan diingankan oleh pemuda biru muda, Kuroko Tetsuya.
.
.
.
-To Be Continued-
A/N:
Masih prologue dan belum seratus persen greget jadi mohon dimaklumi.
Sebelum itu, saya berterima kasih banyak kepada para pembaca yang sudah senantiasa mampir dan membaca cerita buatan saya.
Saya adalah orang baru yang menjejalkan kaki di fandom ini. Dan cerita ini merupakan cerita pertama saya. Jadi, mohon bantuannya semua!
Oh ya, saya juga minta maaf sebesar-besarnya bila terjadi kekurangan dalam cerita ini.
Silahkan memberikan kritik, komentar, dan saran melalui kotak review atau langsung PM saya langsung.
See you in next chapter! XD
Tertulis,
Giovanno