Mellifluous Chansonnette

{ Conclusion }

Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Tidak ada keuntungan material apapun yang didapat dari pembuatan karya ini. Ditulis hanya untuk hiburan dan berbagi kesenangan semata.
Pairing: America/Belarus, slight!Canada/Ukraine. Genre: Hurt/Comfort/Romance, Rating: T. Other notes: historical references, political stuffs, post-cold war era.

(Pasca perang dingin, Alfred menambah aliansi. Mengetuk rumah kecil berteras penuh salju untuk memberikan sebuket bunga matahari, "Selamat datang di dunia internasional, Belarus—Natalya.".)


"Kau serius?"

Star berdasi biru itu mengangguk. Alfred pun menyeringai lebar. Yang kemudian tersulap menjadi gelak tawa keras. "Negara itu? Meminta bantuan pada IMF? IMF, dari semua orang yang bisa ia mintai bantuan?" Alfred pun memutar kursinya, menghadap jendela kaca besar yang mencapai lantai. Oh, langit D.C. tampaknya tak terlalu senang hari ini. Dia menggeleng-geleng sambil melonggarkan dasinya. "Mana kakaknya yang dia bilang sangat ingin dia 'nikahi' itu? Bukannya teman bergantungnya cuma itu?"

Lalu gelak tawa konyol lagi.

Si staf tidak berani mengemukakan asumsinya. Tentang bantuan yang 'tak cukup hanya dari satu pihak'.

"Dasar aneh."

"Jadi ...?"

Alfred mengangkat pandangannya. "Apanya?"

"Apa ini perlu kita abaikan saja?"

Alfred mengetukkan jarinya di meja. Selaras dengan gerak penanda detik yang disimbolkan tanda titik dua di jam digital di mejanya. "Biarkan dua delegasi bertemu."

"Apa pada akhirnya kau akan menyetujuinya?"

"Cermati isi dialog nanti."

Staf tersebut membuka-buka menu pada smartphone-nya. Mengecek jadwal. "Mereka sepertinya akan datang ke IMF pertengahan bulan depan."

Kening lelaki yang berada di balik meja itu mengerut. Matanya bergerak ke beberapa arah untuk sesaat, mencari hal di pikirannya. "Wah, sayang sekali. Aku tidak bisa ikut, sepertinya. Aku harus pergi ke Jenewa juga Brusel. Tapi kurasa wanita itu tidak akan datang juga."

Yang di hadapannya tidak tahu harus mengucapkan apa. Pada akhirnya dia hanya mengakhiri pembicaraan dengan ala kadarnya dan pamit untuk keluar. Alfred melepaskannya dengan santai.

Namun setelahnya dia berbalik menghadap ke jendela. Lalu membayangkan langit yang berubah menjadi sedikit lebih cerah, hanya agar dia bisa tersenyum dengan sungguh-sungguh. Dia pun mengambil dompet dari saku belakang celananya. Dibukanya. Dipandanginya salah satu bagian. Dahulu, di bagian yang sekarang ditempati lembaran berisi foto dirinya, Arthur, Matthew dan Francis, di sebuah booth, ada foto dua tangan. Dua tangan yang memakai cincin yang sama. Difoto dengan latar belakang langit biru.

Foto tangan itu entah di mana sekarang.

Andainya foto itu masih ada di sini dan tak banyak hal yang berubah ... sudahlah.


Sebesar apapun keinginan Alfred untuk menghindari Natalya agar dia bisa benar-benar terbebas, tetap saja ada hal-hal yang tak bisa dihindari. Dan walaupun dia begitu ingin menjauh, dia masih punya utang. Dia tidak boleh selamanya lari.

Sebab, bagaimanapun, dia masih terikat pada Natalya. Kalau dia benar-benar ingin bebas, dia harus dengan benar menemui dan mengatakan hal penting itu.

Agar sepenuhnya terlepas.

Mungkin dengan itu, dia akan lebih lega? Dia cuma bisa bertaruh.

"Al ... kau masih menyimpan ini ...?"

Alfred langsung tersadar. Dia menggelengkan kepala dan menurunkan kaki dari lengan sofa. "Apa?"

Matthew hanya menatap Alfred sebentar, lantas mengembalikan perhatiannya pada isi kotak hitam yang dia temukan di laci sudut ruang tengah apartemen kecil Alfred. Apartemen di utara New York, tak jauh dari lokasi pertemuan dunia yang sebentar lagi akan diadakan.

Alfred pun menyeberangi ruangan. Dia cuma tersenyum miring sambil menggelengkan kepala ringan, mengangkat bahu di hadapan Matthew. "Aku hanya belum mau membuangnya. Rasanya ... entahlah. Tidak bisa. Kau pasti memahaminya."

Jari Matthew menyusuri permukaan cincin yang masih bersinar itu. Permatanya masih cemerlang. Tidak ada cela atau gores yang terlihat, seolah Alfred merawatnya dengan benar-benar baik. Benda ini sangat bagus—dan Matthew menaksir harganya, mungkin dua kali lipat harga cincin yang dia beli untuk dirinya dan Katyusha yang sekarang, salah satunya, menggantung sebagai mata kalung di lehernya.

"Cincin ini ... cantik sekali ..."

"Yah ... secantik yang menerima ... ah, apa yang kukatakan tadi? Ha ha ha, lupakan, Matt, lupakan. Mattie-ku tidak mendengarnya, Mattie-ku tidak mendengarnya~~" Alfred memain-mainkan tangannya di depan wajah Matthew, seperti tukang hipnotis amatiran yang sedang mengadakan percobaan.

"Aku tahu, Al. Kau selalu ingin berlari tapi ... salah satu bagian dari dirimu menolaknya ..."

Alfred berbalik sambil mengacak rambutnya, "Karena kami masih terikat, Matt, masih terikat! Aku belum mengucapkan perpisahan yang benar-benar tepat untuknya dan aku juga tidak mampu—ah, tidak, tidak, aku hanya belum menemukan waktunya. Sudah berapa tahun sejak dia terakhir kali menginjakkkan kaki di rumahku? Sepuluh? Atau lebih? Tapi ... uh, sial. Aku belum bisa tenang kalau belum menceraikannya secara personal!" dia menggulung jari-jarinya ke dalam telapak, namun kemudian mengempaskan tangannya ke udara, lalu mengulanginya lagi. Kalut.

Matthew hanya memiringkan kepala sedikit, "Apa kauyakin ... satu-satunya hal yang paling kauinginkan sekarang adalah mengucapkan perpisahan terakhir?"

"Ya!"

"Kau benar-benar ingin berpisah darinya?"

"Matt, tidak usah ditegaskan lagi. Aku hanya ingin bebas! Aku ingin bebas dari tahun-tahun dan minggu-minggu juga malam-malam yang kosong dan aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang teman tidurku itu. Aku tidak perlu dia lagi karena dia sudah memiliki kakaknya dan Amerika benar-benar bukan prioritasnya dalam hal meminta bantuan dan bersandar! Aku mungkin hero untuk perdamaian dunia dan segalanya—tapi satu-satunya yang tidak bisa kulakukan hanyalah menjadi pahlawan untuknya," Alfred terengah-engah. Mengepalkan tangannya. Napasnya begitu berisik sampai-sampai Matthew mengerutkan kening. "Sudahlah. Satu negara bukanlah masalah. Tidak apa-apa aku tidak berarti untuknya asalkan di mata dunia aku tetap bisa menjadi yang terbaik."

Matthew kemudian mengulurkan tangannya. "Kalau begitu, buang isi kotak ini ke sungai ... aku akan menemanimu. Sekarang juga, mungkin, eh?"

Rahang Alfred menggantung. Lantas dia merusak tatanan poninya dan duduk kembali. Kali ini di lengan sofa.

"Kau boleh berbohong padaku soal ini, Al ... tidak apa-apa. Karena aku tidak akan tersakiti. Tetapi ... kalau kau berbohong pada dirimu sendiri, lihatlah ..." Matthew berjalan mendekat, masih memegang kotak cincin yang terbuka. "Siapa yang terluka?"

Alfred mengangkat kepala. Dia mendesis.

"Lakukanlah apa yang kaumau, Al. Semua tergantung padamu. Berbohong juga tidak apa-apa, karena yang menanggungnya hanya kau sendiri," Matthew tidak lagi menatap lembut kali ini, walaupun senyum tipisnya terlihat. Alfred bisa melihat segelintir ancaman yang sedikit menakutkan—yang selama ini selalu tersembunyi—dari Matthew. Matthew, saudaranya yang penuh keajaiban sifat.

"Heh," Alfred pun tertawa sarkastis. Untuk dirinya sendiri. Dia pun meraih kotak itu. Memandangi cincinnya sambil tersenyum. "Katakan padaku. Apa seorang hero boleh memiliki kelemahan?"

Matthew tersenyum lebih lembut. "Kau membuat banyak film tentang mereka. Kenapa kau masih harus bertanya?"

"Ha ha ha," si kacamata mengambil cincin dari dasar kotak. Dia mengangkatnya dan membiarkan sinar matahari terpantul dari berliannya. Terlihat ukiran nama A di bagian dalamnya. "Andai aku penulis skenario, aku akan menulis satu ciri tentang pahlawan itu. Dia punya kelemahan dan kekuatan yang berasal dari satu orang. Kelemahan yang bisa menghancurkannya ketika satu orang itu meninggalkannya, namun ketika orang itu disakiti, hero akan mendapatkan kembali kekuatannya."

Matthew pun duduk di sofa bagian seberang. "Dialah heroine itu, Al."

"Ya, mari kita lihat," Alfred pun memasukkan cincin itu ke jarinya. Segera diabaikannya setelah terpasang. Matanya sibuk mengejar langit di luar jendela yang gordennya setengah terbuka. "Mana kita tahu, apa si heroine akan memilih hero atau rival hero?"


Berterimakasihlah karena hari itu Arthur terpaksa—mau tak mau—mengajak Peter ke ruang rapat. Dan dia membuat keributan di pojok bersama gengnya ketika bermain kartu karena tidak diperbolehkan bergabung di meja besar. Memindahkan perhatian Alfred. Sementara, ya, sementara, setidaknya selama rapat berlangsung.

Matthew mendorongnya untuk mendekati kelompok Baltik dan Russia ketika rapat berakhir.

"Oy, hai."

Natalya menoleh dan mendelik. Katyusha di depannya langsung memekik, "Matvey!" dan berlari melewati Alfred. Matthew memisahkan diri lebih jauh dari saudaranya, bersama Katyusha.

Alfred mendeham dan tersenyum seperti biasa. "Apa kabar?"

Wajah Natalya dingin. "Baik."

"Bagaimana bantuan IMF-nya, hm?" Alfred memasukkan tangannya ke saku celana, "Dan kabar kehidupanmu dengan kakakmu? Katanya sudah menikah, 'kan? Ha ha ha ha!"

Alfred tidak melihat Natalya mengepalkan tangannya erat-erat di kedua sisi tubuh. "Termakan gosip dari mana, sialan?"

"Ow, ow, ow—sudah berani berkata begitu padaku? Nat, Nat, tidak ksuangka kau sudah berkembang sejauh ini! Hebat!" Alfred lalu mengerutkan kening. "Lho, Nat? Kau aneh. Kausuka kakakmu, 'kan? Lalu kenapa kau malah tidak senang dengan berita itu?"

Natalya menggeram dan mulai menyiapkan kekuatan di tangannya untuk memberi Alfred pelajaran.

"Lucu, lucu," Alfred menepukkan tangan.

"Kau—" Natalya tiba-tiba terdiam. Matanya agak membulat dan mulutnya setengah terbuka, lalu dia menggeleng seolah sedang menolak apa yang dia lihat. Dia menurunkan tangannya yang barusan hampir saja menampar Alfred.

Seringai, "Kenapa? Tampar saja aku." Alfred bahkan menepuk pipinya sendiri, mengundang kekasaran itu pada dirinya sendiri.

"Cincin itu ..." tanpa sepenuhnya Natalya sadari bisikan itu cukup nyaring untuk didengar.

Napas Alfred tertahan sebentar. Dia membuka mulut tapi tak jadi. Setelah menata kalimat-kalimat dengan cepat di depan kepalanya, baru kemudian memasang topeng tersenyum seperti anak kecil bodoh, dan dilapisi gelak tawa konyol. Sambil menggaruk kepalanya dia terkekeh, "O ho ho, ow—aku salah memakai cincin, ternyata! Kukira ini adalah cincinku yang satunya—"

"Dia memang ingin memakai itu. Aku melihatnya."

Matthew membelokkan situasi. Dan dia dengan mudah menarik perhatian Natalya dengan kalimat itu. Wajahnya tegas dan dia tidak seperti Canada yang mereka kenal, yang hanya bisa bertatap-tatapan dengan kikuk dengan orang lain.

"Dia masih menyimpannya, Nona Arlovskaya."

Alfred salah tingkah dan tiba-tiba saja begitu ingin mendorong Matthew, tetapi dia mengurungkannya dan langsung membuang muka. Dia mendesis dan kepalan tangannya menutupi bibirnya. Dari sudut mata Natalya memperhatikan, tidak pernah Alfred terlihat seperti ini.

Natalya cuma sempat beradu pandang dengan Alfred sebentar. Setelahnya ia memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa-gesa. Bunyi high heels-nya berisik sekali, bertempo cepat dan berderap seperti mars perang. Katyusha hanya sempat berpamitan singkat pada Matthew dan langsung menyusul adiknya.

Alfred menatap Matthew, "Bro, aku tidak meminta hal itu."

Matthew sedikit memiringkan kepalanya, "Tapi kau memerlukannya."

Alfred tertawa sarkastis. Bagus, aku telah memperlihatkan sisi itu di tempat umum. Tetapi dia merasa bersyukur karena yang tersisa di ruangan hanyalah orang-orang yang sibuk dengan gosip masing-masing juga Peter dengan gengnya yang tak pernah bisa diatur. Semoga saja mereka semua tak punya cukup waktu untuk memperhatikan.

"Jadi—Matt—aku harus apa?"

"Aku ... akan bertanya pada Kat nomor ruangan Natalya Arlovskaya."

Alfred tidak ingin memikirkan apakah hal ini akan membantu atau malah memperparah keadaan. Yang jelas, dia tidak ingin melewati lebih banyak tahun dengan hubungan yang memburuk. Di saat seperti inilah dia sadar Matthew kadang-kadang jauh lebih memahami dirinya daripada dia sendiri.


Hanya tiga kali ketukan, Alfred langsung dibukakan pintu.

"Kau—"

"Hai, Nona. Butuh sabun tambahan atau mau membuang sampah?" Alfred kemudian tergelak. Menggaruk kepalanya. "Oke, humor yang jelek. Maaf. Apa aku boleh masuk dan bicara?"

Natalya memutar bola matanya. Dia sempat ragu sesaat dan mendorong daun pintu mendekati wajah Alfred, tetapi dia memilih untuk mengalah dan melebarkan jalan untuk Alfred. Mempersilakan tanpa mengatakan apa-apa.

Alfred melangkah sambil memperhatikan bagaimana isinya. Benar-benar Natalya. Mengingatkan Alfred pada kamar yang dahulu sempat ditempati Natalya dan kamar mereka, yang selalu dirapikan dan ditata sedemikian rupa sehingga hampir tak ada benda yang bergelimpangan bahkan keluar dari tempat seharusnya barang satu sentimeter. Cuma ada satu koper dan satu tas tangan. Selebihnya, cuma ada satu blazer yang digantung di dinding. Semuanya rapi.

"Teh atau kopi?" Natalya mendekati dispenser dan kulkas di ujung sana, di balik tembok kecil berkaca.

"Tidak, tidak usah. Aku belum butuh minuman," Alfred melonggarkan dasinya. Entah kenapa dia merasa gerah, sampai akhirnya benar-benar melepaskannya tanpa pikir dua kali. "Duduklah. Aku ingin langsung bicara. Dan ini serius. Aku akan bercanda pada waktunya, oke? Boleh minta tolong didengarkan?"

Natalya terdiam sejenak. Lantas ia menaruh cangkir ke meja kembali. Sempat merenung sesaat sambil memandangi marmer meja dengan bibir membentuk garis lurus. Akhirnya dia menurut dan duduk di sofa yang berseberangan dengan Alfred. Dia merapikan roknya ketika merapatkan kaki, dan sempat mencuri pandang ke tangan Alfred. Dia masih memakainya. Lalu Natalya menutup matanya beberapa detik. Mengulang masa lalu sesaat, masa di mana tangan itu menyentuh, memeluk, dan merabanya dengan paduan hangatnya kulit dan dinginnya logam mulia. Kadang-kadang, ia memang butuh itu. Berharap lagi.

"Kau benar-benar sudah ... ehm, menikah, uhuk, dengan kakakmu sendiri? Secara diam-diam, seperti cara kita?"

Natalya menggeleng. "Tidak pernah ada hal seperti itu."

"Kau menginginkannya, 'kan?"

Jeda sebentar. Natalya melirik ke kiri, "... Ya."

"Lihat aku, Natalya," Alfred bersuara tegas. "Dan kau menginginkannya sebagai siapa? Sebagai Belarus atau Natalya?"

Natalya mulai gelisah dan tidak mau melirik Alfred. Hanya membuat laki-laki itu berdecak dan menggeleng.

"Mana Natalya yang tegas dan berani waktu itu? Yang bisa menguasai cara menembak dengan tipe senjata ala Amerika yang jarang dipakainya dalam waktu hanya lima menit? Yang bisa bertahan melewati banyak perang dan pendudukan dan berhasil menjadi dirinya sendiri?"

"Apa perlumu mengetahui itu, Alfred Jones? Kita sudah berpisah dan kau tidak perlu mencampuri urusanku sendiri—"

Alfred mengangkat tangannya, yang salah satu jarinya dilingkari cincin. "Kau masih Natalya Jones, Madam. Aku belum mengucapkan perpisahan sama sekali. Dan kurasa aku tidak ingin mengucapkannya. Setidaknya untuk seratus tahun ke depan."

Natalya membuka mulut namun tergagap dan dia menelan kata-katanya sendiri. Dia mendesis lalu menggeram dan membentak, "Oke, oke, tutup mulutmu dulu sebelum aku selesai bicara! Jangan pernah memotong! Lakukan apa yang kaumau setelah ini!"

"Aku mendengarkanmu, Nyonya Jones."

Natalya mengepalkan tangannya kuat-kuat dan menutup mata ketika mendengar frasa nama itu. Dia menarik napas, sebelum akhirnya buka suara. "Bersama dengan kakak, aku merasa lebih tenang dan nyaman karena orang-orangku merasa lebih aman dari ejekan atau kritikan. Lebih dekat dan berpihak dengan orang-orang yang sedarah—orang Rusia—membuat mereka lebih tenang dan merasa seperti di dalam sebuah keluarga, dibandingkan dengan memihak pada orang yang jauh dan tidak tahu tentang mereka. America, kau bisa membandingkannya ketika kau bersama Canada atau bersama orang asing seperti kakak atau kelompok Baltik."

Sempat alis Alfred berkedut ketika mendengar Natalya menyebutnya America—suatu hal yang dirasanya membuat mereka benar-benar jauh satu sama lain. Dia menahan dirinya. Sebentar, hanya sebentar lagi.

"Mungkin kami belum bisa dikatakan makmur, tetapi bersama orang-orang yang lebih dekat asal-usulnya lebih menjamin ketenangan dibandingkan bersama orang-orang yang berideologi bebas dan bukan kerabat dekat kami. Aku mendekati Kakak ... demi mereka semua."

Jeda terjadi cukup panjang. Alfred mengembuskan napas panjang.

"Sudah?"

Natalya mengempaskan punggungnya ke punggung sofa. Ia mengangguk lemah.

"Tolong jawab satu hal."

"Nn."

"Sebagai Belarus, kau memang mencintai dan memilih kakakmu, karena itu yang terbaik untuk orang-orangmu. Ya—kita ini memang begini—hidup demi mereka dan atas nama mereka," Alfred tersenyum pahit. "Tapi kita juga punya sisi manusiawi, yang membuat kita bisa berbuat baik dan turut mengatur serta tidak hanya mengikuti kemauan bos yang kadang-kadang ... di luar batas. Dan sebagai manusia, kau, Natalya Arlovskaya, apakah kau masih mencintaiku?"

Sesaat, mata mereka bertemu. Alfred tak banyak menuntut, dan itu terlihat di matanya. Lembut. Natalya merasa tenggelam. Kembali ke dimensi tua yang hanya memiliki kepercayaan dan kenyamanan. Tanpa pertimbangan lain. Yang membuatnya memilih Alfred, baik secara nation maupun personal.

"Sebagai United States of America, aku mencintai banyak entitas. Mulai dari Canada sampai England. Mulai dari France sampai Australia. Mulai dari Japan hingga Iceland. Demi kebutuhan diplomatik dan kebijakan luar negeri. Tapi secara personal, aku hanya ingin Natalya Arlovskaya."

Adu pandang lagi. Tatapan Natalya berkabut. Dan tanpa dia sadari dia menggigit bibirnya. Dia hanya menoleh ke samping dan mengosongkan pikirannya, tak peduli pada airmata yang lepas kendali. Ia mencoba tak memikirkan apapun agar dia bisa menemukan jawaban jernih setelah dia menarik napas, namun ia gagal. Ia malah semakin terjebak di ruangan dengan berpuluh cermin, dengan banyak bayangan dirinya di dalamnya dan masing-masing menyerangnya dengan berbagai tuturan. Mulai dari kenangan bersama Alfred sampai fasilitas yang disediakan Ivan. Mulai dari hangatnya rumah Alfred sampai nyamannya ruang tengah Ivan.

Yang berikutnya ia sadari adalah Alfred yang duduk di sampingnya. Alfred menyingkirkan rambut Natalya ke balik punggungnya, dan memutar pelan wajah perempuan itu untuk mengarah padanya.

"Kau belum menjawabnya."

Natalya masih membeku bahkan ketika Alfred mencoba memeluknya sesaat. Alfred seolah memeluk patung kaku.

Alfred mundur. Tertawa kecil. "Kukira kau sudah ahli membagi dirimu secara adil. Kapan kau menjadi representasi dan kapan kau bisa jadi seseorang yang benar-benar seperti manusia. Padahal kau lebih tua dariku, Nat," tersenyum satu kali. Alfred lalu menyisir rambut Natalya dengan jari-jari panjangnya. "Mungkin kau menghabiskan terlalu banyak waktu bersama kakak-kakakmu. Dan kau adalah adik terkecil. Aku mengerti itu."

Laki-laki itu pun berdiri. Natalya mendongak dan wajahnya seperti menahan perih dengan mulut sedikit terbuka. Tetapi Alfred cuma tersenyum dan berjalan menjauh.

"Kau tahu hal terbaik untuk dirimu. Pikirkan jawabanmu. Besok masih ada pertemuan, dan kuharap setelahnya kaubisa datang padaku untuk menjawab. Aku bukan laki-laki yang akan mengambil keuntungan dengan cara memaksa perempuan yang sedang kebingungan—dengan cara menciumnya dan memintanya untuk memberi jawaban yang kumau. Itu menodai hak dan kebebasanmu untuk berpikir."

Natalya berdiri namun seperti salah tingkah.

"Inilah sisi Alfred-ku, Natalya. Kuharap kau juga menggunakan sisi Natalya-mu dengan baik. Dan tolong, jangan pernah lukai diri Natalya yang kaumiliki." Alfred pun membuka knop pintu. Sebelum pergi dan menutupnya, kepalanya menyembul, "Sekadar info, ini adalah hal yang diturunkan Iggy padaku. Jangan salah, aku juga bisa jadi gentleman, ha ha ha!"

Alfred pun pergi. Mata kosong namun masih basah milik Natalya memandang daun pintu hitam eboni itu.


Riuhnya itu tak bisa menjadi hal yang mengalihkan diri mereka. Meski tak mengatakannya pada siapapun, mereka berdua tak bisa tenang sama sekali. Katyusha bahkan bertanya apakah Natalya sakit. Arthur dan Francis heran kenapa Alfred sering salah bicara dan tertawa dengan aneh.

Beruntung, Ludwig yang memimpin pertemuan hari kedua ini dan Alfred tidak perlu mengacaukan pertemuan yang sudah kacau itu.

Ketika akhir yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, Alfred beralasan dia ingin tidur di ruangan rapat saja karena kamar apartemen New York-nya berantakan. Dan Natalya, sengaja berjalan paling belakang untuk membuat Ivan lengah dan akhirnya dia tidak jadi meninggalkan ruangan.

Ruangan itu terasa terlalu luas untuk mereka berdua.

Setelah memastikan orang terakhir, Iceland, telah keluar, akhirnya Natalya menutup pintu.

"Jadi?" suara Alfred bergema.

Natalya bersandar di pintu. Menepikan rambutnya ke belakang telinga. Menunduk sambil melirik ke kanan. Dia cuma mengangguk.

"Apa artinya itu, Arlovskaya?"

Derap kaki juga bergema. Natalya ingin mundur tetapi tidak punya tempat. Begitu dia mengangkat kepala, Alfred yang tersenyum menyambutnya.

"Apakah itu 'ya, aku masih mencintaimu, Alfred, karena aku blahblahblahblah'," Alfred memutar bola matanya sambil menyunggingkan senyum lebar nan konyol. "Aku butuh jawabannya sekarang Natalya. Aku sudah menunggu semalaman."

"Ya, Jones, puas?" Natalya bertanya sarkastik. "Dan mulai sekarang, kau punya kewajiban untuk mengajariku tentang bagaimana cara menjadi dua entitas yang berbeda di dalam satu tubuh. Tentang menjadi Natalya dan menjadi Belarus. Setidaknya, lakukan itu dengan benar agar aku tidak perlu meninggalkanmu lagi. Puas?"

Gelak tawa pun memenuhi ruangan, bergaung berkali-kali dan Alfred pun mengakhirinya dengan mengacak rambut Natalya. "Begitu caramu untuk bilang cinta, ya? Hmmmh, bukan sesuatu yang konyol atau murahan, kok, cuma, ya ... menyenangkan dan menghibur," Alfred tak mampu menahan cengirannya. "Sekarang, pulanglah ke kamarmu. Ganti pakaian. Yang santai saja tidak apa-apa. Temui aku setengah jam lagi di area B5 di basement sebelah utara."

Alfred menatap Natalya dengan isyarat, ayo buka pintunya. Natalya masih bergeming. Malah, dia memegang knop pintunya dan menggeser dirinya untuk melindungi benda itu dari Alfred.

"Heeei."

Natalya menarik wajah Alfred dan menangkup pipinya, mencium bibir lawan bicaranya dengan mata tertutup. Alfred tak memikirkan penolakan. Salah satu tangannya melingkari pinggang Natalya dan salah satunya mulai meraba pintu untuk mencari knopnya. Dan walau dengan mata tertutup serta masih menikmati rasa rindu yang sama-sama terpendam sekian tahun, dia berhasil membuka pintu dan mendorong Natalya untuk berjalan keluar.

Masa bodoh dengan dunia luar. Dia begitu ingin dunia tahu, inilah dia, Alfred Fitzgerald Jones, dengan entitasnya sebagai bagian dari Amerika, juga memiliki orang yang bersedia dia jaga dari perang apapun dan kegilaan badai dunia seperti apapun.

Ketika mereka mundur dan sama-sama refleks untuk memperhatikan sekeliling, Alfred dan Natalya menangkap basah Sealand dan Wy yang sedang tercengang dengan mulut terbuka di seberang sana.

"Aaaa, aaaaaa, aku tidak melihat apapun! Aku tidak melihat apapun tadi! Aku masih suciiii!" Peter memekik sambil berlari menjauh dan menutup matanya. Tangannya yang lain mengibas-ngibas di udara.

"Ini gara-gara kau terlalu lama di toilet tadi, bodoh!" Paula memukul punggung Peter sambil turut berlari. "Ini karena kaaauu!"

Alfred langsung terbahak-bahak.

Dan di depannya, masih memegang tangan Alfred, Natalya tertunduk sedikit, dan menyuarakan kekehan kecil yang bahkan tak sempat disaksikan dan didengar Alfred.


Natalya menepati janji. Bahkan lebih cepat dari yang diminta Alfred. Natalya bukan tipe yang akan berdandan lama, tentu saja. Asalkan pita di kepalanya telah terpasang rapi, dia tak akan ragu untuk melangkah keluar kamar.

Melihat Alfred yang datang dengan sepeda motor sport besar berwarna merah-hitam, Natalya bersyukur dia memutuskan untuk memakai jeans hitam ini. Dan jaket denim berwarna serupa. Alfred di seberang sana, jaketnya hitam-merah dengan model sporty dan sepatunya merah terang. Jeans birunya tak mencolok.

Begitu menyadari Natalya telah datang, Alfred segera melepas kacamatanya dan menaruhnya di leher kaos. Diberikannya helm untuk Natalya.

"Ke mana?"

Bunyi klik helm Alfred terdengar. "Kita butuh sepasang cincin yang baru."

Natalya mendelik ke tangan Alfred. Cincin yang kemarin sudah tidak ada.

"Aku yakin punyamu sudah hilang entah ke mana," Alfred mengerling.

"Maaf-maaf saja," Natalya naik ke kendaraan tersebut. "Sudah kubuang bertahun-tahun lalu," dia membenarkan helmnya lalu menguncinya.

"Ha ha ha, sudah kuduga," mesin pun dihidupkan. Alfred menoleh, dan walaupun mulutnya terhalang sisi bawah helm, suaranya tetap terdengar, "Kenapa ragu, huh?" tangannya pun menarik tangan Natalya untuk melingkari pinggangnya. "Kita sudah biasa lebih dari ini, 'kan?" dia pun tertawa jahil.

Natalya cuma menyimpan kata sial di hatinya. Dia mendengus secara nyata.

Perjalanan pun dimulai. Natalya tidak pernah naik kendaraan terbuka seperti ini selama tinggal di Amerika, dan harus ia akui:

ini perjalanan terbaik yang pernah dia miliki selama di tanah Paman Sam. Lebih menyenangkan dibanding trip dengan mobil terbaik Alfred sekalipun.


Setelah negosiasi panjang dan pemilihan yang kadang-kadang membuat mereka berselisih kecil, akhirnya desain cincin baru dipilih. Sederhana seperti sebelumnya, namun ukiran nama dibuat di bagian luar, disertai dengan berlian biru-putih-biru untuk Alfred dan putih-ungu-putih untuk Natalya. Baru bisa selesai paling cepat tiga hari lagi, dan itu artinya Natalya harus menunda kepulangannya. Dia akan memperpanjang masa tinggalnya, dia sudah memutuskan.

"Aku akan jujur pada Katyusha soal alasannya," Natalya menarik kursi di balkon restoran. "Dan Ivan ..." dia memandang pada langit New York sesaat. "Aku akan beralasan lain. Dia akan kuberitahu nanti ... nanti saja."

Alfred mengangkat bahu. "Itu terserah kau," dia menerima buku menu dari pelayan. "Apa kaupikir dia akan menerima?"

Natalya menarik napas, "Sebagai Ivan, kurasa dia akan menerima."

Senyum Alfred tersembunyi di balik buku menu.

Alfred meminta satu porsi daging sapi panggang besar dan kalkun. Natalya syok mendengarnya, karena dia hanya minta salad buah dan muffin, beralasan bahwa dia tidak lapar.

"Porsi makanmu semakin mengerikan."

"Tapi aku punya alat olahraga tambahan di rumah," Alfred menusuk kalkunnya. "Dan tambahan jam latihan sebanyak setengah jam tiap malam."

Natalya bertanya-tanya ... tentang bagaimana hidup Alfred setelah ia tinggal pergi. Tetapi dia menyimpannya untuk nanti. Masih ada banyak waktu untuk dihabiskan berdua, sekalipun itu artinya harus dalam jarak yang jauh.

"Setelah ini kita check out kamar hotelmu, ya. Biar malam ini kau sudah bisa tidur di apartemen New York-ku. Atau kalau perlu, besok ketika yang lain sudah pulang ke negara masing-masing, kita juga segera kembali ke D.C. Atau mau memilih rumah lain?" Alfred menawarkan dengan entengnya.

"New York cukup," Natalya menggigit chocolate chip di atas muffin tersebut. "Atau ... California."

"Ooo~ ho ho ho, kau merindukan Pesisir Barat? Kenapa tidak! Aku akan menghubungi West Coast untuk membersihkan rumahku di sana," segera saja Alfred mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan pesan dengan cepat tanpa memberikan kesempatan bagi Natalya untuk protes. Natalya sebenarnya ingin membatalkannya karena berpikir bahwa itu akan merepotkan ... tapi sudahlah. Alfred pasti tidak akan menggubris dan malah mungkin mengatainya tsundere.

"Yaaa, besok mungkin siap. Soal tiket penerbangan ke sana, jangan dipikirkan. Selalu ada cara," Alfred lanjut makan. "Bulan madu yang pertama setelah sekian tahun, hm? Dan walaupun aku punya pekerjaan yang harus selesai—oh, no, no, no, jangan disanggah—aku akan minta Washington untuk mewakiliku saja. Aku sudah menunggu saat ini bertahun-tahun, Nat ... yang sempat kutakutkan tidak akan terjadi. Jadi jangan biarkan aku mengacaukan hari-hari bahagiaku sendiri."

Natalya urung bicara setelah berkali-kali dipotong. Namun bukan berarti dia marah. Dia hanya menyimpan semua kata-katanya sebab dia tahu, Alfred tak melakukannya untuk menjahati.

Alfred melakukannya bisa jadi karena dia terlalu rindu.

Dan ... ya. Dirinya juga.


Begitu memasuki apartemen Alfred ... ya. Alasannya saat di ruang rapat tadi sore bahwa dia ingin tidur di sana saja karena rumahnya berantakan ... bukanlah kebohongan.

Natalya memijat keningnya mendapati kamar tidur. Pakaian kotor bercampur dengan gulungan selimut. Koper terbuka dan nyaris kosong. Gelas dengan air putih yang masih separuh ada di mana-mana, berikut cangkir kopi dan buku-buku yang susunannya berantakan. Laptop bahkan terbuka dengan hamburan kertas di sekelilingnya.

"Um, Nat, berdua akan membuat semuanya lebih cepat, 'kan?"

Natalya duduk di atas tempat tidur dan melepas jaketnya. Dia menggeleng pada Alfred di hadapannya. "Kau gila."

"Yaaa, tidak sempat, ha ha ha—"

Natalya menarik kaos Alfred. "Kita tidak punya waktu untuk beres-beres sekarang."

Mendapati kilat warna mata Natalya yang sungguh dia kenal, Alfred pun menyeringai seperti rubah.

Natalya yang lebih dulu menangkup wajah Alfred dan menariknya ke arah tempat tidur.

Alfred tidak pernah lebih lega daripada saat ini: ketika dia tahu yang rindu bukan hanya dia.

Ini rindu resiprokal.

Dan simbiosis mutualisme yang sempurna.


"Banyak hal yang sudah berubah. Kita tidak bisa tinggal satu rumah lagi seperti dulu," Natalya menatap langit-langit sambil menyusuri tepian selimut dengan tangannya. Masih pukul dua, tetapi setelah tertidur pulas karena kelelahan, mereka sama-sama tidak ingin tidur lagi. Setidaknya untuk satu jam ke depan.

"Aku sudah memikirkan itu," Alfred menyilangkan tangan dan menjadikannya bantal. "Tetapi hal itu bukan hal buruk, 'kan? Matthew dan Katyusha juga begitu sejak dulu."

"Aku bisa sering-sering datang ke D.C. Negaraku adalah negara kecil yang tak terlalu direpotkan oleh banyak urusan seperti negaramu. Aku bisa meluangkan banyak waktu. Tetapi kau ..."

Alfred menghadap Natalya. Mencolek hidungnya, "Hubungi saja kapanpun kau akan datang. Maka aku akan bilang di mana aku berada dan kau bisa menyusulku."

"Mmm."

Alfred menarik tubuh Natalya, mendekapnya, menghangatkannya lagi dengan interaksi kulit dan kulit. "I fucking love you, you Belarusian Wolf," bisiknya di depan telinga Natalya.

"Damn Eagle, shut your dirty mouth."


Mereka bersama-sama pergi ke bandara dengan taksi hari Rabu itu. Alfred harus ke Lima dan Natalya memang sudah harus kembali ke Minsk. Tidak bisa diperpanjang lagi karena tadi malam Bosnya sudah menghubungi.

Sebelum memasuki terminal keberangkatan masing-masing, Alfred menggenggam tangan Natalya. Mencium keningnya. Dan mengucapkan, "Sampai jumpa."

"Sampai bertemu lagi, Kakak."

Kening Alfred berkerut. Natalya memalingkan wajah. Menahan tawa. Tahu bahwa Alfred sangat sensitif dengan hal yang sempat menjadi masalah di antara mereka.

"Sial. Mulutmu memang harus dihukum."

Satu ciuman lagi. Di bibir. Dominansi Alfred berikut kegilaannya. Tetapi Natalya tak pernah bosan untuk melawan.

"Oke," Alfred mendelik ke kiri dan kanan. Sudah mulai menjadi pusat perhatian, dan artinya mereka harus benar-benar berpisah sebelum jadi bahan tontonan. "Sampai jumpa di Kiev, empat bulan lagi."

"Ya."

Sebelum berpaling menuju arah lain, Alfred mengambil tangan Natalya yang dilingkari cincin di jari manisnya. Mencium cincinnya.

Natalya menarik napas. Ini bukan perpisahan lagi. Ini awal baru.

end.


a/n: terima kasih atas perhatiannya terhadap fic ini ;;u;;)/ terima kasih fav, follow dan reviewnya! xoxo