Ya, saya sedikitnya ngerasa agak bingung harus berucap gimana di awal-awal ini. Sebesar rasa maaf ingin saya ucapkan karena begitu lama tak lagi memunculkan bahkan sedikitpun batang hidung saya di situs ini. Setelah berbagai kegiatan yang menyita sebagian besar waktu saya buat menulis, akhirnya saya bangkit dari lumpur dan siap aktif lagi. 1 tahun bertapa dan mencari pencerahan akhirnya saya bisa kembali berkarya disini.

Yah, dari pada denger ocehan saya yang kayaknya gak bakal ada habisnya, kita langsung loncat saja ke cerita.

Jinsei no Monogatari

Disclaimer :: Serius! Hamba 'gak berani ngaku-ngakuin kepemilikannya.

Warning(s) :: AU, OOC, Typo(s), Alur berantakan, Abal, Gaje, Bahasa acak adul. TwinNaru, genderbender!

Yang jelas bikin perih mata. Siapkan kantung kresek buat muntah!

Story by DreamTheater — Youzzaa

o0o•

=========0o0o0=========

ARC-I : Harapan yang Semu

'Chapter 3 :: Kota Berselimut Kabut'

===========0o00o0===========

o0o

.

.

"Dasar aniki bego, aniki super duper bego, aniki 'gak bertanggung jawab, aniki #!? x:*!.—"

Rapalan komat-kamit dengan bahasa yang kian lama kian mengerikan untuk didengar itu meluncur dengan indah dari bibir tipis seorang cewek pirang panjang yang tengah berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan langkah yang dia hentak-hentakan. Tak lupa umpatan-umpatan yang semakin panjang, dan dengan kata-kata yang bahkan bisa membuat para preman pasar dibuat ngeri.

Naruko Namikaze, cewek 17 tahun dan merupakan putri bungsu dari pasangan Uzumaki dan Namikaze ini bahkan sukses mengusir semua burung yang bertengger manis di dahan-dahan pohon yang tumbuh subur di sekitar bangunan. Padahal burung-burung tersebut sudah siap mengeluarkan senandung nyanyian mereka untuk melengkapi keindahan pagi hari ini. Namun, Seakan 'gak mau cari mati, sekumpulan burung-burung tersebut dengan serentak langsung membubarkan diri, dan lebih memilih mengungsi ke tempat lain untuk mengadakan konser pagi mereka.

Bahkan suster yang sebelumnya ingin memberi peringatan pada cewek ini, karena secara tidak langsung sudah menggagu beberapa pasien di sepanjang jalan, langsung membatalkan niatnya karena dibuat ngeri ketika merasakan aura tak mengenakan yang mengumbar dari sosok cewek ini. Suster tersebut pada akhirnya lebih memilih langsung menjauh dan membiarkan cewek satu itu bertingkah semaunya. Meski dirinya tau nanti akan diomeli oleh atasannya, tapi dirinya juga masih ingin selamat.

Dan sepertinya pagi ini juga merupakan satu pagi yang sangat buruk bagi Naruko. Cewek yang kayaknya lagi masuk masa 'pramenstruasi' ini juga punya mood yang benar-benar lagi ada di level terendahnya sekarang. Dan semua itu dia tuangkan dengan jelas dari tampangnya. Wajah cantik yang biasanya selalu terlihat cerah layaknya sang mentari itu, kini tergantikan dengan guratan-guratan kemarahan. Bibir tipis menggoda yang biasa menebar senyum menawan, kini hilang terganti dengan bibir yang dia monyongkan beberapa centi, menandakan kalau dirinya emang lagi di tahap ngambek sengambek-ngambeknya. Meski itu malah sedikit menambah ke imutannya.

"Awas saja kau aniki, hukumanmu nanti adalah menemaniku kencan dan mentraktirku makan ramen 8 hari dalam seminggu tanpa henti."

Dan seakan 'gak puas jika hanya memaki-maki sang kembaran, cewek satu ini juga sudah merencanakan hukuman yang menurutnya setimpal atas kesialannya sekarang ini, meski mungkin dia agak lupa atau gimana kalau hari hanya berjumlah 7 dalam seminggu. Yah, kita do'akan saja Naruto dan gama-chan dapat bertahan dari keganasan kembarannya ini.

Kedatangan Naruko ke rumah sakit khusus untuk para makhluk supernatural ini juga bukanlah tanpa alasan. Salahkanlah kembarannya yang beberapa hari lalu sudah seenak udelnya membuat keributan di Academy dengan membabat kelompok dari mantan tunangan kembarannya itu, dan berimbas dengan Naruto yang malah membuat putri satu-satunya dari salah satu petinggi Da-tenshi harus dibuat tak sadarkan diri hingga sekarang.

Meski Naruko begitu senang atas kondisi yang diterima oleh Akeno Himejima, —mengingat apa yang sudah diperbuat oleh sahabat dari cewek itu lakukan pada Naruto dan juga beberapa alasan lainnya yang bersifat pribadi. Tapi itu tak serta merta membuat rasa kesal pada kembarannya hilang begitu saja. Karena terlalu termakan emosi, Naruto malah dengan sadisnya memberikan Genjutsu rank tinggi pada Akeno sehingga membuat cewek Miko itu tak sadarkan diri hingga sekarang, karena tak ada seorangpun di Kuoh yang dapat menghilangkan ilusi yang Naruto berikan.

Dan karena poin yang udah disebutin diatas, Naruko yang sedikitpun 'gak tau-menau akan detil kejadian di Academy beberapa hari yang lalu itu, dan juga 'gak punya sangkut pautnya sedikitpun, malah harus kena imbasnya juga. Mengingat bahwa pemahaman dari para ahli medis tentang teknik ilusi para ninja yang sangatlah minim dan hanya mecakupi pengatahuan dasarnya saja, membuat mereka angkat tangan akan Genjutsu yang Naruto berikan pada Akeno, yang sepertinya memang membutuhkan penanganan dari seorang Shinobi asli.

Lalu dikarenakan sebuah kebetulan yang benar-benar terlalu kebetulan, di Kuoh ini lagi gak ada shinobi yang berkeliaran ataupun sejenak tinggal, TERKECUALI DIRINYA dan JUGA kembarannya. DAN sudah jelas tentunya, baik dirinya maupun Naruto punya pengetahuan yang pasti lebih luas soal Genjutsu karena bagaimanapun mereka berdua adalah Shinobi tulen.

Dan KARENA itu pula, tanpa perlu dipikir bahkan hingga 2x pihak rumah sakit sudah pasti akan langsung meminta dirinya atau mungkin Naruto untuk membantu menyembuhkan putri dari Baraqiel tersebut.

Dan sialnya pihak rumah sakit juga punya alasan kuat meminta Naruto untuk menyadarkan Akeno, karena bagaimanapun pelaku utama yang membuat Akeno mengalami kondisi seperti itu adalah karena kesalahan dari kembarannya itu juga.

Tapi karena kembarannya itu adalah seorang cowok yang 'nggak BERTANGGUNG jawab, kini dirinya HARUS menjadi SATU-SATUnya target sasaran pihak rumah sakit untuk dimintai bantuan dan sekaligus menggantikan kembarannya itu untuk bertanggung jawab.

Entah dirinya harus merasa bangga atau merasa sangat sial. Jujur, sebenarnya Naruko sangatlah ogah menyetujui permintaan tersebut, jika saja permintaan itu bukan datang dari sang ayah Akeno sendiri —Baraqiel, lebih baik dirinya pura-pura menulikan pendengarannya akan permintaan tersebut, meski sang dokter yang mendatanginya kemarin bersujud-sujud di kakinya sekalipun.

Mengingat kembali perkara yang menimpanya sekarang malah semakin membuat cewe Namikaze ini kian frustasi. Padahal dirinya mempunyai jadwal yang cukup padat di Academy, tapi gara-gara apa yang sudah dilakukan oleh Naruto, jadwalnya malah bertambah semakin padat. Meski kenyataannya Academy baru akan dimulai 2 jam lagi. Tapi, hey... 'Gak ada salahnya 'kan jika dirinya cuman ingin bersantai sejenak di pagi yang indah kayak gini!?

"Astaga."

Naruko langsung mengurut pelipisnya saat itu juga ketika rasa pening mendadak mendera kepalanya. Sepertinya dirinya membutuhkan beberapa tablet aspirin atau mungkin beberapa mangkuk ramen untuk menyegarkan fikirannya kembalin bagaimanapun juga dirinya berangkat tanpa mengisi pertu terlebih dahulu sebelumnya. Mungkin dirinya akan sarapan diluar jika waktu masih sangat luang untuknya setelah semua urannya selesai.

Menghela napas sesaat untuk menenangkan diri dan membuang pikiran-pikiran anehnya. Naruko tanpa mau buang waktu lagi langsung mempercepat langkah kakinya untuk segera sampai keruangan yang katanya ditempati oleh Akeno Himajima sekarang. Menyelesaikan urusannya di sini sehingga dirinya dapat segera pulang, bersantai sebentar dan bersiap-siap pergi ke Academy setelahnya.

Meski dirinya juga sudah begitu malas bahkan untuk menginjakkan kaki ke Academy, mengingat bahkan Naruto sudah bukanlah murid disana lagi. Tapi, karena permintaan dari kembarannya yang ingin agar dirinya tetap bersekolah disana, pada akhirnya Naruko dengan berat hati menurut apa kata dari kembarannya itu. Meski jujur dirinya beneran udah 'gak sudi lagi bahkan untuk sekedar memunculkan batang hidungnya.

Tapi apalah mau dikata, Naruko tetaplah Naruko, dan seorang Naruko yang begitu sayang pada kembarannya 'gak akan bisa nolak jika Naruto sudah meminta.

Oh— Jika berbicara soal kembarannya itu, entah kenapa moodnya serasa kian bobrok saja sekarang ini. Dirinya kembali diingatkan dengan kejadian di rumah sebelum dirinya berangkat kemari. Dimana setelah dirinya terbangun dari tidur cantiknya, Naruko langsung menjelajah seisi rumah untuk mencoba mencari keberadaan dari sosok kembarannya. Namun pada akhirnya yang dapat ia temukan hanyalah secarik kertas yang merupakan sebuah memo yang sempat Naruto tinggalkan untuknya. Dimana di memo itu tertulis jika kembarannya itu akan pergi menjalankan misi entah untuk waktu berapa lama.

Ah— dirinya hanya bisa menghela napasnya saja saat membaca memo tersebut. Jika boleh jujur, sebagai seorang adik, Naruko merasa sangat bangga pada kembarannya itu, mengingat begitu seringnya Naruto mendapat misi, sudah membuktikan bahwa kembarannya itu adalah seorang yang begitu kompeten dan punya kemampuan yang tak dapat diragukan lagi sebagai seorang Shinobi, sehingga dia itu dapat dipercaya untuk menjalankan berbagai misi.

Namun, meski dirinya begitu bangga atas prestasi yang dimiliki kembarannya, sebesar apapun rasa bangganya terhadap Naruto, entah kenapa sedikit rasa kecewa selalu saja mencubit hatinya. Naruko tau, kalau dirinya tak boleh menjadi egois tentang apa yang dia inginkan. Tapi, apakah salah untuknya, jika berharap bisa menghabiskan waktu bersama kembarannya itu dengan bebas sesekali?

Mungkin dirinya terkesan seperti cewek yang manja, namun itu bukan tanpa alasan. Bagaimanapun, di Kuoh ini mereka ini hanya hidup berdua, membuat mereka hidup berjauhan dengan kedua orang tua mereka. Dan karena faktor itu, Naruko ingin sesekali bisa menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan saudaranya itu lagi. Karena jujur dirinya sangatlah merasa kesepian selama ini. Dirinya sangat merindukan kebersamaannya dengan Naruto, tertawa bersama, bersenang-senang bersama, dan meski malu mengakuinya, Naruko sebenarnya sudah agak lupa kapan terakhir kali mereka makan malam bersama.

Jika boleh dirinya meminta. Naruko ingin sekali keinginannya ini dikabulkan. Permintaannya juga tidaklah banyak dan hanya sebuah keinginan yang sangat sederhana. Dirinya hanya ingin Naruto mengerti sedikit tentang kegundahannya ini. Dan dirinya ingin agar Naruto dapat meluangkan waktu untuknya meski itu hanya untuk sesaat, karena Naruko sangat rindu dengan kebersamaan mereka.

Karena terlalu banyak melamun di sepanjang perjalanan, tak terasa kini langkah kakinya itu sudah mengantarkannya sampai pada tujuan. Di depannya kini sudah terdapat sebuah pintu dengan sebuah papan kecil tergantung manis, dimana di sana tertulis deretan angka dengan nomor '201' yang terukir dengan rapih.

Sesaat dirinya mengeluarkan dengusan dari hidungnya karena akhirnya menemukan ruangan yang dirinya cari-cari sedari tadi, sekaligus membuang pikiran-pikiran aneh yang sempat hinggap di kepalanya.

Dirinya menatap pintu di depannya yang merupakan pemisah antara dirinya dengan isi ruangan di seberang sana dengan sedikit waktu extra. Sebelum akhirnya menghela napas untuk sesaat, dan tanpa buang waktu dan tanpa sedikitpun mengindahkan tatakrama yang selalu di koar-koarkan ibunya, dirinya langsung saja membuka pintu di depannya itu tanpa permisi.

Naruko tak terlalu peduli soal sopan santun sekarang ini, moodnya benar-benar lagi ancur banget bahkan jika itu hanya untuk sekedar bertatakrama. Toh lagian buat apa dia merhatiin tatakrama sekarang ini, jika orang yang lagi nempatin ini ruangan lagi gak sa—.

"—Ah?" —dar!

Oke, seingatnya beberapa puluh menit terakhir dirinya emang merasa lagi terserang stress berat sebelumnya, namun apakah dirinya kali ini sedang bermimpi? Jika iya, bisakah seseorang membangunkannya sekarang juga?!. Karena jika ini emang beneran mimpi, entah kenapa ini mimpi semakin lama semakin terasa sangat menjengkelkan sekali untuknya.

Serius deh, dirinya sangatlah tau betul, dirinya datang ke rumah sakit saat hari emang masih terlalu pagi. Namun, Naruko sangat yakin kalau dirinya sudahlah tersadar sepenuhnya, meski dalam perjalanannya kemari dirinya hampir menyerupai sesosok zombie. Tapi dirinya bisa sampai ke rumah sakit dengan kesadaran yang sudah terkumpul semua.

Dirinya juga yakin betul kalau pendengarannya ini 'gak mengalami malfungsi saat suster yang berjaga di meja resepsionis yang sebelumnya dia temui mengatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa ruangan '201' adalah tempat dimana Akeno dirawat. Senggaknya itu berarti dirinya 'gak lagi salah alamat 'kan?

Lalu sekarang apa? sekian kali dirinya bolak balik melihat papan nomor yang tergantung di pintu dan isi ruangan ini secara bergantian, dirinya masih belum terlalu ngeh kalau kini ruangan tersebut sudah kosong melompong.

Apa yang dapat dia temukan sekarang hanyalah isi ruangan ini sudah tertata dengan sangat rapi seakan sudah tak lagi dipakai untuk rawat inap pasien. Padahal dirinya sudah sangat percaya kalau pas dirinya membuka pintu ini, dirinya pasti akan menemukan sosok Akeno yang terbaring 'gak sadarkan diri diatas kasur. Namun nihil, sosok cewek yang selalu saja membuatnya ngerasa jengkel karena tingkahnya itu bahkan 'gak ada di dalam ruangan.

"Oke—" Naruko langsung menarik napasnya sesaat untuk menengankan diri, sebelum bersedekap dada dengan satu jari telunjuk yang dia tempelkan di ujung bibirnya "—aku yakin sekali jika udah minum sebotol air mineral pegunungan dulu tadi sebelum berangkat kemari, itu berarti aku lagi gak bener-bener hilang fokus. Hmm, lalu jika emang aku gak lagi ngimpi atau mungkin salah alamat? Terus ini anak kemana perginya? Bukannya itu cewek katanya masih belum sadar? Masa iya dia jalan-jalan saat lagi gak sadar. Apa jangan-jangan dokter yang kemarin lagi mengerjaiku?—"

Entah karena faktor pramenstruasi atau karena dirinya emang udah termakan emosi, entah kenapa otak cerdasnya itu kini malah mulai berspekulasi dimana perspektifnya mulai lari ke arah yang negatif. Yah, seenggaknya kita tau kalau cewek satu ini emang lagi ngalamin dua-duanya. Melihat gimana hidungnya yang mulai kembang-kempis, dan wajahnya yang mulai merah padam itu, sudah jelas menandakan kalau ini cewek udah nyampe batasnya buat nahan emosi.

Dan sepertinya cewek pirang ini juga siap meledak kapan saja andai suara pintu lain di dalam ruangan ini tidak terbuka secara tiba-tiba sehingga membuat cewek pirang ini langsung mengalihkan perhatiannya.

"Ha?"

Dan Naruko kini cuman bisa cengok di tempatnya berdiri saat menyadari siapa sosok yang membuka pintu lain di ruangan ini barusan. Rambut hitam indah yang tergerai, dan terlihat sedikit basah, memantulkan cahaya dari sorot kemilau mentari yang menerobos jendela di belakangnya itu terlihat sangat kontras dengan wajah cantik yang dihiasi manik violet yang terlihat sayu menatap ke arahnya.

Entah kenapa sistem motorik di otak pintarnya ini tiba-tiba mengalami macet dadakan sekarang. Matanya melotot lebar dengan mulut menganga melihat ke arah cewek yang lagi balik menatapnya dengan tanda tanya besar yang mengambang diatas kepala.

Ah— sepertinya menganga saja tidaklah cukup untuk Naruko sekarang. Secara perlahan kedua tangannya dia angkat, dan dengan bersamaan langsung memegang dan menelungkup kedua pipinya masih dengan mulut yang menganga, mirip orang yang lagi dilanda shock berat.

"APA-APAAN SEMUA INIIIII?"

Teriakan membahana dengan suara cempreng barusan dengan sadisnya menggema ke setiap penjuru ruangan, bahkan mungkin juga hampir ke setiap sudut bangunan rumah sakit.

Dan karena teriakan dadakannya itu, kini giliran Akeno yang dibuat cengok. Bahkan bukan hanya Akeno, suster yang kebetulan lewat di depan ruangan ini saja hampir terkena serangan jantung dadakan karena kaget, jika saja teman susternya tidak segera menenangkan temannya itu, sang suster mungkin bisa berubah status jadi seorang pasien.—nyebut bu nyebut!

Meski sempat dibuat cengok, Akeno dengan cepat dapat menguasai diri kembali, meski sebelumnya sempat terkaget-kaget atas teriakan tanpa aba-aba Naruko barusan, dirinya dapat dengan cepat kembali ke mode kalemnya dan memasang senyum anggun di wajah ayunya.

Dirinya menatap pada Naruko, yang sekarang malah lagi asyik ngacak-ngacak rambutnya sendiri, layaknya orang yang lagi frustrasi. Apa yang Naruko lakukan malah mengundang keringat jatuh yang turun dari kepala Akeno.

Sebenarnya Akeno masih belum ngeh betul dengan situasinya sekarang ini. Dirinya mungkin 'gak akan terlalu dibingungkan andai saja cewek di depannya ini bisa sedikit lebih tenang dan menjelaskan padanya perihal kedatangannya kemari. Karena dirinya masih penasaran betul atas kedatangan Naruko ke ruangan dirinya dirawat ini.

Dirinya ingin sekali bertanya sejak dari awal saat setelah dirinya keluar dari kamar mandi dan menemukan sosok cewek itu yang sudah berada di dalam kamar inapnya ini. Namun saat Naruko malah bereaksi dengan berteriak secara tiba-tiba seperti tadi, dirinya jadi mengurungkan niatnya untuk bertanya.

Lagian, kedatangan cewek itu sedikit membuatnya kaget. Karena dari sekian banyaknya daftar orang-orang yang dia tebak akan menjenguknya, tak terpikirkan sedikitpun olehnya kalau Naruko akan menjadi salah satunya,—atau mungkin juga tidak. Entahlah dia juga belum tau tujuan dari Naruko datang berkunjung sekarang, namun itu tetap saja membuatnya kaget karena cewek itu sekarang ada di kamar inapnya.

Keberanian kembali dia kumpulkan dan mencoba untuk bertanya, namun melihat bagaimana Naruko yang kelihatannya lagi punya mood yang 'nggak bagus, dirinya kembali menahan pertanyaannya. Dan lebih memikirkan cara agar bisa membuat cewek di depannya ini tenang.

Karena dari lagak-lagaknya Akeno bisa melihat cewek di depannya itu kayaknya masih terlihat siap untuk meledak kembali kapan saja. Dan jika emang iya, itu akan sangat merepotkan, karena jika sampai itu terjadi mungkin itu akan membuat pasien di ruangan lain merasa terganggu.

Oke, kayaknya dirinya emang harus segera bicara, melihat cewek di depannya itu udah keliatan ngambil ancang-ancang buat teriak lagi.

"Ara, Naruko-chan. Kau bisa mengganggu pasien yang lain jika berteriak seperti itu. Lagian ini masih sangat pagi, 'gak baik buat cewek teriak-teriak gitu di pagi yang indah begini."

Layaknya seorang ibu yang lagi menasihati anak perempuannya yang sudah berprilaku ceroboh, Akeno berujar dengan gaya yang emang khas kayak ibu-ibu banget. Sepertinya tanpa sadar dirinya sudah masuk mode Yamato Nadeshikonya yang melegenda. Dan karena perkataannya barusan itu membuat Naruko yang sebelumnya lagi sibuk ngacak-ngacak rambut, langsung mendongak ke arahnya dengan tatapan dongkol.

"Bodo amat—" Naruko langsung mengangkat tangannya dan menunjuk-nunjuk ke arah Akeno "—lagian, apa-apaan sebenarnya ini! Kau! Bukan kah kau harusnya belum sadar? Lalu kenapa? Kenapa?! Kau, sekarang kau—! Harghhh."

Seakan bingung dengan apa yang harus dia katakan pada cewek di hadapannya ini, Naruko kini malah kembali mengacak-acak rambut pirangnya yang sebelumnya sudah berantakan itu dengan rasa frustrasi yang semakin kentara. Sudah cukup! dirinya beneran marah sekarang. Dirinya benar-benar sudah dikerjai habis-habisan hari ini.

Apapun itu, dirinya harus meminta pertanggung jawaban pada dokter yang semalam memohon-mohon padanya itu sekarang juga. Gara-gara dokter sialan itu, gara-gara dokter penipu itu dirinya kini harus membuang-buang waktunya gak jelas padahal moodnya benar-benar lagi buruk banget hari ini. Beberapa skema penyiksaan searang sudah tersusun rapi di kepalanya untuk sang dokter.

"Ara, ara, apakah Naruto-kun gak bilang apa-apa padamu Naruko-chan?"

"Ha? Apa maksudmu?"

Namun, mendengar nama kembarannya yang tiba-tiba disebut, membuat pikiran-pikiran untuk menyiksa dokter yang sempat menemuinya itu kini menguap gitu aja. Sekarang dirinya lebih dibingungkan dengan ucapan dari Akeno barusan. Apa hubungannya Akeno yang sudah sadar dengan kembarannya? Dan apa yang dimaksud dengan kembarannya itu yang 'gak ngasih tau apa-apa padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu entah kenapa kini mulai berselewengan di kepalanya, dan membuat cewek pirang ini kian dipusingkan. Jadi siapa yang lagi mengerjainya sekarang?

"Sebenarnya aku udah sadar dari semalam. Naruto-kun sendiri yang datang kemari tengah malam tadi dan langsung menyadarkanku. Apakah dia 'gak bilang apa-apa padamu Ruko-chan?"

Dan seakan mendengar suara sambaran petir di siang bolong, Naruko kembali dibuat melongo hebat atas perkataan Akeno barusan.

"A-app—?"

Jadi sedari awal dirinya emang udah dikerjai. Dirinya yang bangun dari subuh-subuh hari, membuang-buang waktunya 'gak jelas, membuang waktu bersantainya yang berharga, dan semua hal yang berarti di pagi harinya harus pupus dengan percuma karena sumber dari kesialannya dari awal tetap 'gak jauh-jauh dari kembarannya juga?! Cukup sudah!

Melihat ekspresi yang di tunjukan oleh Naruko sekarang, Akeno akhirnya mengerti duduk permasalahannya. Itu berarti Naruto yang sudah menyadarkannya semalam itu sama sekali tidak memberitahukan perihal kejadian di ruangan ini pada kembarannya ini. Meski dirinya masih belum mengerti maksud kedatangan Naruko kemari sekarang. Ingin dirinya bertanya kembali,

"—ah?"

Namun, saat melihat Naruko di depannya yang mulai terlihat mengap-mengap kayak ikan kekurangan air, Akeno hanya bisa tersenyum dengan hambar dan menelan kembali pertanyaan-pertanyaan yang sudah dia siapkan itu. Melihat gerak-gerik Naruko sekarang, sepertinya dirinya sudah tau apa yang akan terjadi setelah ini. Dan untuk kali ini dirinya sudah kehabisan akal untuk bisa mencari jalan keluar.

Dan sebagai langkah antisipasi, Akeno dengan segera berbalik badan dan kembali masuk kedalam kamar mandi secepat yang ia bisa tak lupa menutup rapat-rapat telinganya dengan memanjatkan sedikit doa semoga 'gak ada pasien yang mati mendadak hari ini.

"B-BAKA ANIKIIIIII!"

~• I •~

"Huachiiimmm!—"

Perubahan cuaca mungkin adalah sesuatu hal yang sangat sulit sekali untuk di prediksi, mengingat bagaimana cuaca dapat berubah-ubah dengan waktu yang sama sekali tak terduga. Setidaknya itu adalah apa yang pemuda ini pikirkan.

Pendapat dari Naruto ini emang kurang meyakinkan namun semua itu mendasar dari apa yang pengalamannya katakan, dan itu membuatnya menjadi orang yang sangat anti sekali untuk percaya pada prediksi cuaca yang selalu diberitakan di televisi.

Sebagai pembukti, dirinya yakin sempat mendengar pemberitaan di televisi yang mengatakan bahwa seminggu ini jepang yang memang sudah memasuki awal musim semi ini, akan mempunyai cuaca yang sangat cerah.

Saat mendengarnya Naruto hanya mengacungkan jari tengahnya ke arah televisi dan merutuk dengan lantang kalau orang-orang dalam media tersebut adalah para pembohong besar. Meski dirinya tak punya alasan untuk melakukan tindakan tercela seperti itu, karena apa yang diberitakan media hanyalah sebuah prediksi belaka, yang sudah jelas tidaklah selalu akurat. Tapi, ayolah bagaimanapun dirinya menanggapi hal itu, dirinya tetap merasa sudah terdustai.

Awal minggu berjalan dirinya sempat dibuat percaya dengan ramalan cuaca yang diberitakan itu, mengingat awal minggu pertama berjalan dengan terbuktinya ramalan yang diberitakan. Namun sekarang dirinya benar-benar merasa sudah seperti orang bodoh karena terlalu percaya pada ramalan cuaca yang diberitakan.

Oke, Dirinya tau ini memang masih sangatlah awal dari pergantian musim di bulat Maret, setelah berlalunya musing dingin yang panjang. dan sepertinya masih terlalu awal untuk merasa senang akan musim semi yang mulai berjalan ini, karena bagaimanapun rasa dingin yang tersisa masih tetaplah bertahan.

Tapi dari apa yang dirinya tau, dalam pergantian musim dari bulan Februari ke Maret tak ada sedikitpun orang yang memperkirakan akan adanya awan mendung yang menghias langit seperti sekarang, mungkin awan mendung masih terlihat biasa, lalu bagaimana jika itu disusul dengan air yang mulai mengguyur bumi ini. Dirinya mungkin akan sangat tidak heran dengan hawa dingin yang sedikit menusuk dan membuatnya terbersin dengan tubuh menggigil dan ingus yang mulai keluar dari lubang hidungnya ini, mengingat musim semi hanya sedikit lebih hangat dari musim dingin, tapi jika hawa yang sudah dingin ini harus dibarengi dengan hujan gerimis seperti sekarang, lain lagi cerita.

Padahal seingatnya sekarang ini masih di pertengahan bulan maret. Tapi entah kenapa melihat cuaca yang udah benar-benar 'gak jelas seperti ini, tak ayal membuatnya sedikit percaya kalau dirinya kini sudah berada di akhir bulan juni.

Merapatkan jaket tebal yang kini dia kenakan, Naruto terus berjalan tanpa arah di kedalaman hutan pulau Nami ini. Mencoba menghiraukan rasa dingin yang kini dia rasakan, meski itu sangatlah sulit ketika dirinya kembali harus terbersin dengan ingus yang kembali meleleh dari lubang hidungnya.

"Aku tau ini bukanlah di Inggris, tapi kalau cuacanya udah bener-bener gak jelas kayak gini apa mungkin ini pulau udah bergeser tempat. Masa iyah—achimm."

Keluhannya langsung terhenti saat dirinya kembali terbersin dengan suara lucu. Sambil mengelap ingusnya yang sempat keluar dengan kasar, Naruto mengumpat kesal dalam hati untuk kesekian kalinya.

"Arghh. SIALAN."

Dirinya benar-benar merasa hari ini adalah hari paling sial untuknya. dipermainkan oleh iklim yang gak jelas, dan sekarang lebih apesnya lagi, Naruto yang harusnya menjalankan misi dengan lancar sentosa sekarang malah harus dibuat kesasar di dalam hutan belantara ini, dan tak ayal itu membuatnya sangat frustrasi. Ketimbang keingingnanya untuk merutuki kesialannya sekarang, entah kenapa dirinya serasa ingin menangis saja.

Dirinya kembali mengingat kejadian yang membuatnya mengalami kesialan ini. Naruto yang sebelumnya lagi terbang dengan menaiki burung tinta hasil manifestasi lukisan Sai yang emang jadi basic kemampuannya itu dengan adem ayem, harus rela dibuat terjun bebas dari ketinggian yang tidaklah pendek, saat burung tinta yang dia tunggangi itu langsung menghilang saat hujan yang tak sedikitpun dia duga menerpa tubuh burung tinta tersebut, membuatnya menghilang dan menerjunkannya dengan bebas di udara.

Meski dirinya selamat dari acara terjatuhnya berkat keahlian Shinobinya, tapi kesialan tetap saja gak bisa jauh-jauh darinya. Naruto mungkin dapat selamat dengan sentosa ke permukaan, namun yang menjadi masalah sekarang adalah dirinya mendarat ditempat asing, dengan pohon-pohon yang mengelilinginya sejauh mata memandang. tak perlu menjadi seorang jenius untuk mengetahui situasinya sekarang, dan bocah sekalipun dapat dengan jelas tau kalau dirinya lagi tersesat di tengah hutan ini, SENDIRIAN!

Naruto kini hanya merutuk atas idenya yang sempat menyarankan pada Sai agar mereka berpencar dengan alasan agar dapat segera menemukan teman satu tim mereka. Namun, bukannya mempercepat pencarian, dirinya kini malah semakin menyusahkan dirinya sendiri.

Menyesal sekarang mungkin tidaklah lagi berguna, mengingat Nasi sudah menjadi bubur. Meski masih dirundung kekesalan atas kesialan, dirinya kini hanya dapat berpuisi singkat dalam hati, dengan ratapan penuh derita —'apa yang terjadi, terjadilah. Yang dia tau tuhan penyayang umatnya.'

Ah, mengingat soal anggota timnya, dirinya entah kenapa teringat kembali dengan pesan yang sudah dia terima dari anggota timnya semalam. Pesan yang harus membuatnya dengan terburu-buru langsung berangkat ke pulau Nami, dan mempercepat jadwal keberangkatan dari rencana sebelumnya.

Apa yang membuatnya terburu-buru menyusul anggota timnya bukanlah dari apa isi pesan yang dia terima, mengingat bahwa isi pesan tersebut hanyalah berupa laporan-laporan singkat mengenai kejahatan-kejahatan dari Gato dibalik layar, yang menurutnya terasa terlalu biasa karena info yang diberikan oleh Gurunya juga tidaklah berbeda jauh, meski itu semakin meyakinkannya untuk segera membereskan Gato, mengingat bahwa usahawan sukses tersebut melakukan bisnisnya dengan cara yang sangat kotor.

Bukan, bukan itu yang membuatnya mempercepat jadwal keberangkatannya, bukan soal kejahatan kotor Gato yang membuat timbulnya perasan tidak mengenakan yang dia rasakan ini, rasa panik yang terus saja menggerogotinya itu justru datang dari bercak darah yang dia sadari setelah habis membaca laporan tersebut.

Saat melihat bercak darah yang tertempel di gulungan tersebut tak sedikitpun membuatnya merasa senang. Apalagi dirinya sadar betul bahwa darah tersebut trerlihat masih segar. Itu cukup membuat indikasi-indikasi buruk langsung menghantam pikirannya, meski ingin sekali dirinya membuang prasangka buruknya itu, namun entah kenapa kecemasan masih saja menghantuinya.

Dan dengan itu saja sudah cukup menjadi alasan untuknya mempercepat keberangkatannya ke pulau Nami ini, dan menyusul anggota timnya dengan sedikit doa semoga apa yang dipikirkannya tak pernah terjadi.

Setelah sekian lama berjalan kaki, menyusuri hutan yang entah kenapa terasa begitu luas ini. Tepat di ujung sana Naruto dapat menemukan sebuah aliran sungai lebar, dengan air terjun yang menghias bagian hulu, dan aliran sungai mengalir deras membentang jauh kedalam hutan di sampingnya. Naruto hanya menatapnya sekilas, sebelum memompa chakra ke telapak kaki, melakukan beberapa kali lompatan diatas permukaan air sebelum akhirnya dirinya sampai di seberang sungai.

Namun, dirinya tak lekas berlalu begitu saja. Berdiri dengan santai, Naruto langsung menarik napas panjang, sebelum menghembuskannya secara perlahan. Dan detik berikutnya hawa tak mengenakan yang menguar di sekitarnya membuat alam seakan terdiam.

"Sampai kapan kau akan terus mengikutiku?"

Suara tanpa intonasi berarti dari Naruto memecah keheningan di kedalaman hutan ini. Suara yang hampir menyamai bisikan, namun entah kenapa dapat sangat jelas terdengar dan memberikan ancaman yang begitu nyata. Pemuda pirang tersebut terlihat mengeraskan postur tubuhnya yang sebelumnya terlihat santai, dan langsung berbalik badan menghadap ke arah dimana dirinya datang sebelumnya.

"Kau mungkin begitu baik dalam menyembunyikan keberadaanmu. Namun, sepertinya kau harus belajar kembali untuk menyembunyikan emosimu itu."

Sekian lama berlalu, tak ada balasan berarti setelah dirinya berkata seperti itu, meski nada penuh ancaman yang dirinya berikan. Dan Naruto masih tetap menatap ke depan dengan wajah keras, menunggu balasan dari sosok yang dia yakin ada di seberang sana.

Namun, balasan yang dirinya terima sedetik setelahnya membuat pemuda pirang berantakan ini hanya dapat terdiam kaku di tempatnya berdiri saat sebatang besi panjang dengan ujung runcing melesat tanpa dapat dia duga sedikitpun dari arah berlawanan dari perkiraannya. Melesat bagai peluru, membelah udara dengan ujung runcing tanpa hambatan sedikitpun.

Naruto terdiam kaku ditempat, terlambat untuk sadar di saat senjata yang serasa tak asing di matanya itu melesat memotong jarak tanpa terhambat. Dan sedetik berikutnya, sesuatu yang terasa dingin menghantam tubuhnya, memberikan rasa ngilu saat sesuatu terasa menembus perutnya.

Masih dengan rasa shock yang bertahan, dengan kaku dirinya melihat pada bagian perutnya, sebuah tali mengkilap yang memanjang ke arah seberang sungai adalah apa yang tertangkap oleh penglihatannya, dan dibelakang tubuhnya kini tertancap sebilah besi serupa dengan jarum yang dihiasi tali di ujungnya yang terhubung dengan tali yang menembus tubuhnya.

"C-Chouto? —"

Naruto di hantam kesadarannya sendiri, saat rasa ngilu yang sebelumnya dia rasakan kini mulai merambat dengan rasa sakit tak tertahankan. Dirinya tau sekarang, dan sangat sadar betul dengan siapa dirinya berurusan, mengingat kembali pada tali yang kini menembus tubuhnya dan berujung dari kedua arah depan dan belakang tubuhnya.

Dirinya kini jatuh berlutut, menggeram tertahan dengan rasa sakit yang mulai menyiksa. Dirinya, situasinya sekarang tak sedikitpun akan menguntungkannya. Karena kelengahannya, kini dirinya sudah masuk situasi yang sangatlah buruk. Dalam hati dirinya diam-diam kembali merutuk akan kesialannya ini. kenapa harus di saat seperti ini?

Dirinya mungkin sangat sadar saat dirinya diikuti semenjak memulai berjalan di belantara hutan ini. itu juga yang membuatnya memilih opsi berjalan kaki santai, ketimbang bergerak cepat layaknya Shinobi seperti biasa.

Dirinya mencoba menunggu sosok penguntitnya itu keluar dari persembunyiannya, atau segera melespaskannya karena mengira dirinya hanya seorang warga biasa yang sedang tersesat di dalam hutan, namun semua itu tetap saja membuatnya terus diikuti. Naruto sebenarnya tak sedikitpun dapat merasakan chakra yang ditekan sebaik mungkin oleh sosok penguntitnya itu, namun dirinya adalah seorang ninja yang mempunyai sensor yang unik. Dimana dirinya dapat merasakan niat jahat dari musuhnya.

Orang yang kini bersembunyi itu mungkin sangatlah baik menekan chakranya sehingga dirinya tak sedikitpun menyadarinya, namun sebaik apapun dirinya menyembunyikan keberadaan itu akan percuma padanya jika niat jahat itu masih dia umbarkan. Namun, sepertinya Naruto terlalu percaya diri tanpa tau bahaya apa yang menunggunya, dirinya lengah dan dirinya mendapat getah dari kecerobohannya ini, dan sekarang dirinya kembali harus memutar otak untuk mencari jalan keluar.

Suara langkah kaki yang masuk indra pendengaran, membuat Naruto dengan kaku menatap ke seberang sungai, dan sosok yang dapat dilihat oleh matanya adalah seseorang yang sangat dirinya tau betul. Tak ada yang tak akan mengenalnya, wajah yang tertutupi topeng porselen kesatuan ANBU model terdahulu dari Negara ninja yang dulu merupakan Kiri itu.

Sosok itu kini hanya berdiri di seberang, menghadap ke arahnya dengan tangan yang dia angkat sebatas dada. Dimana tangan yang terbungkus sarung tangan yang mencapai lengan, kini menarik tali yang menghubungkannya dengan senjata yang sudah menembus perutnya dan kini tertancap di tanah di belakangnya.

"K-Kushimaru."

Naruto menggeram, menatap tajam pada pria di depannya. Namun tak ada reaksi apapun di tunjukan oleh musuhnya itu.

Kushimaru Kuriarare, tak ada yang tidak mengenalnya di Negara Ninja ini. Seorang missing-nin kelas-S dari desa Ninja yang dulu merupakan desa Kirigakure. Meski tak banyak yang tahu bagaimana sosoknya, namun senjata yang dipergunakannya dalam pertarungan sudah menjelaskan siapa dirinya.

Sang pemegang pedang panjang Nuibiri, yang merupakan salah satu senjata yang dalam sejarah Ninja merupakan salah satu dari 7 pedang legendaris yang dipegang oleh orang-orang terpilih dari Desa Kiri yang tergabung dalam Shinobi Gatana Shichinin Shuu, yang merupakan sekumpulan elit dari ninja ahli pedang yang bahkan ditakuti oleh seluruh Shinobi. Kekejaman mereka layaknya predator berdarah dingin dalam pertarungan, dan itu membuat mereka yang tergabung di dalamnya menjadi sangatlah diwaspadai, dan semakin diwaspadai saat semua anggotanya menjadi seorang missing-nin.

Dan dihadapkan dengan orang seperti Kushimaru di situasi seperti ini, Naruto sangat yakin kalau kesialannya ini benar-benar sudah sukses kembali mempermainkannya.

Kushimaru kini mulai berjalan ke arah pemuda pirang yang saat ini masih berlutut kesakitan di seberang sana. Dirinya mengalirkan chakra pada telapak kaki dengan stabil, dan dengan santai berjalan di atas permukaan air, dan Memotong jaraknya dengan pemuda pirang tersebut yang kini hanya menatap tajam dan waspada ke arahnya.

Namun, setengah perjalanan yang dirinya tempuh diatas aliran sungai kini tertahan oleh sesuatu yang mencengkeram pergelangan kakinya. Dirinya menunduk dan menemukan pergelangan kakinya kini sudah di cengkeram oleh sepasang tangan yang keluar dari permukaan air. Dirinya kembali menatap pada sosok pemuda pirang yang masih saja berlutut di permukaan tanah di depannya, dan mendapati seringai yang terbentuk di wajah pemuda tersebut. Meski dirinya kini tak membuat reaksi berlebih, namun dari balik topeng yang selalu dikenakannya dirinya tak dapat menyembunyikan rasa terkejut dengan situasinya sekarang.

Dirinya yakin tak pernah melepaskan perhatiannya dari pemuda di depannya ini, namun dirinya tak sadar dan tak menyangka pemuda itu sudah merencanakan hal sejauh ini tanpa dirinya sadari.

Dengan gerakan cepat, Kushimaru langsung menarik tali baja yang melilit tangannya yang tersambung dengan Nuibiri, lalu menariknya secepat yang ia bisa. Namun pemuda pirang yang masih tertembus oleh senjatanya itu, tak sedikitpun membiarkannya begitu saja.

Naruto dengan kesigapannya langsung menggenggam tali yang menembus tubuhnya itu, sehingga membuat tubuhnya kini ikut tertarik ke arah Kushimaru yang terlihat menegang tubuhnya, karena tak memperkirakan aksi pemuda di depannya itu.

Tak banyak hal yang dapat Kushimaru pikirkan untuk dapat berkelit dari bahaya yang seperti tengah menantinya ini. Mengandalkan insting bertahan hidup yang sudah terasah bertahun-tahun dalam pertempuran, chakra dengan sedikit lebih kuat dia alirkan pada kakinya, dan dengan hentakan kuat meski kini kakinya masih dalam cengkeraman sosok lain di bawah air, dirinya dapat melompat tanpa beban sedikitpun sekaligus menarik orang yang mencengkeram kakinya yang ternyata adalah pemuda pirang berantakan yang jadi lawannya.

Dirinya menggeram singkat dibalik topengnya, menyadari salah satu diantara dua pemuda pirang tersebut adalah Bunshin.

Dirinya langsung menarik salah tangannya yang menganggur, memasukannya kedalam tas kecil dibelakang pinggangnya, dan menarik sebilah kunai dari dalamnya.

Tanpa keraguan sedikitpun dirinya langsung melemparkan kunai di tangannya itu pada lawan yang kini mencengkeram kakinya, dengan akurasi luar biasa yang dapat dengan mudah menancap pada batok kepala lawannya dengan jarak yang terlampau dekat ini. Namun, bukannya darah yang ditemukan saat kunai itu menikam kepala pemuda pirang itu, melainkan kepulan asap tebal saat pemuda tersebut meledak menjadi asap yang membuat kabur penglihatannya.

Dirinya lekas kembali waspada mengingat musuh yang sebelumnya mencengkeram kakinya ternyata hanyalah bunshin, dirinya langsung terfokus pada tali baja yang semakin mengendur, menandakan jarak Nuibiri yang semakin mendekat ke arahnya, mungkin juga sedikit tambahan dengan pemuda pirang yang sebelumnya ikut tertarik ke arahnya.

Namun, saat mendengar suara bising dari balik kepulan asap, tak sedikitpun membuat perasaannya merasa baik. Dan saat kepulan asap menipis, dirinya merasakan napas di tenggorokannya tersumbat saat mendapati sosok pemuda pirang yang ikut tertarik dengan Nuibiri kini sudah berada di depan matanya, dengan mengarahkan tangan kanannya yang berselimut aliran petir dengan suara layaknya ribuan kicau burung yang seakan sedang menyerbunya.

Kini situasi berbalik, Kushimaru hanya dapat terdiam kaku di udara, melihat jarak yang sudah tak ada sedikitpun celah yang dapat membuatnya terlepas dari bahaya. Dan suara terakhir yang didengarnya hanya sebuah bisik mengerikan yang disusul dengan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Raikiri

Rasa sakitnya benar-benar tiada akhir, aliran listrik seakan menjalar ke setiap saraf, dan memberikan getaran menyakitkan pada setiap inchi tubuhnya. Kushimaru kembali harus merasakan sakit di sekujur tubuhnya ketika sebuah tendangan telak bersarang pada perutnya, membuatnya menukik tajam dan menghantam permukaan tanah.

Namun, semua belum berakhir begitu saja. Belum sempat dirinya mengambil napas, pemuda pirang itu kini menukik tajam ke arahnya. Namun bukannya menyerang, pemuda pirang itu kini malah terjatuh dan menimpa tubuhnya yang masih kaku karena sengatan listrik. Dirinya kini menatap pemuda yang menimpa tubuhnya dan menemukan cengiran yang diberikan pemuda tersebut.

"Selamat tinggal."

Sempat dibuat heran dengan perkataan pemuda tersebut, dirinya kembali harus dibuat terkejut saat tubuh dari pemuda yang menimpanya ini perlahan mengeluarkan cahaya.

Dirinya panik dan mencoba bergerak, dan menyingkirkan ninja pirang ini dari tubuhnya, meski sangat tak mungkin dirinya bergerak saat semua otot dalam tubuhnya terasa kaku dan begitu lemas ini. Dan dirinya hanya terdiam pasrah saat mendengar lantunan kata yang terucap dari bibir pemuda yang menimpanya ini setelahnya sebelum akhirnya

Bunshin Daibakuha

Ledakan besar membuat areal di sekitar pedalaman hutan ini tertutup oleh asap tebal yang membumbung tinggi. Hewan-hewan yang berada di sekitar ledakan langsung berhamburan dengan panik untuk menjauh dari medan pertarungan. Beberapa pohon ikut terhempas saat daya kejut yang dihasilkan lumayan untuk meratakan sebagian besar daerah tersebut.

Sementara itu, beberapa meter dari tempat ledakan barusan, seorang pemuda pirang berantakan kini tengah berjongkok santai diatas salah satu dahan pohon. Sosok dari Naruto yang kini hanya berdiam diri mengamati dari jauh ledakan tersebut dari tempatnya sekarang.

Sepertinya rencananya berjalan dengan lancar di depan sana. Namun itu tak sedikitpun membuatnya merasa senang. Dirinya kini mengusap wajahnya yang mulai basah oleh air dari hujan gerimis yang masih mengguyur bumi, dan menghela napas dengan berat sebelum akhirnya berdiri dari posisi jongkok dan berbalik badan.

"Jika aku tau yang bertarung di sana hanyalah bunshin, mungkin aku gak seharusnya ngerusak keindahan alam di sana. Ah, sangat disayangkan" Naruto langsung menengokkan kepalanya saat mendengar langkah kaki yang mendekat ke arahnya, disusul dengan suara tepuk tangan dari balik pohon beberapa meter dari tempatnya "—yah, seperti dugaanku, gak ada yang mungkin terasa gampang di pertarungan saat yang kuhadapi adalah seorang missing-nin kelas S sepertimu."

Suara tepuk tangan itu semakin jelas terdengar telinganya ketika sosok dari balik pohon itu menunjukkan diri. Topeng porselen yang masih menempel rapat menutup wajah sang empunya itu membuat Naruto langsung menghela napasnya.

"Pertunjukkan yang menarik, nak." Perkataan yang akhirnya terlontar dari sosok Kushimaru yang sedari awal hanya terdiam membisu sepanjang pertarungan. Laki-laki itu masih dengan santainya bertepuk tangan seakan memberikan tanggapan bagus pada aksi dari bunshin mereka berdua.

Ah— Bagaimanapun dirinya menanggapinya, sosok di depannya itu memang adalah Kushimaru Kuriarare, ninja yang sejak tadi bertarung dengan 2 bunshinya. Yah meski dirinya sudah menebak bahwa dirinya tidaklah mungkin menang mudah dari missing-nin kelas S sepertinya. Justru jika dirinya menang dengan mudah, malah akan terasa aneh, yah meski harus dia akui, pada akhirnya pertarungan tadi hanya berakhir menjadi ajang akting baik untuk bunshinnya ataupun bunshin dari Kushimaru. Dan itu membuatnya mendengus geli entah kenapa.

"Kayaknya akting bunshinku gak buruk-buruk amat, yah, meski aku ngerasa pengen muntah pas ngeliat akting kesaktiannya yang gak ngena tadi." Naruto berujar dengan rasa geli meski dirinya tau sedang mengkritik bunshinnya sendiri, yang sudah jelas itu juga mengkritik dirinya sendiri. Mungki dirinya harus sedikit belajar lagi soal penjiwaan dalam akting nanti, itupun jika dirinya dapat menang dari pertarungan ini.

Dan karena perkataan dari Naruto barusan, membuat Kushimaru langsung tergelak dalam tawanya, namun itu hanya untuk sesaat, Sebelum Missing-nin kelas kakap itu langsung menarik Nuibiri keluar dan menggemgamnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya kini menarik tali baja yang dia lilitkan. Dan itu tak lepas dari perhatian Naruto, "Maaf jika ini mengecewakanmu, nak. Namun kesenangan harus berakhir disini."

Seakan merespon perkataan dari musuhnya ini, Naruto juga langsung mengambil dua buah kunai dari kantong ninja yang tergantung dibelakang pinggangnya, menggenggam dengan santai dengan kedua tangannya yang kini terkulai di samping tubuh.

"Tentu saja paman, lagi pula sepertinya tubuhku sedang ingin berdansa sekarang." meski perkataannya terkesan layaknya candaan, Namun ekspresi yang terlihat datar itu menunjukkan artian yang sebaliknya.

"Sepertinya kau butuh pasangan untuk berdansa."

"Sayangnya aku ini jomblo paman, jadi—" cakra terkonsentrasi langsung menyelubungi kaki Naruto, dan dengan hentakan kuat pada dahan pohon yang dia jadikan pijakan, dirinya melesat dengan kecepatan yang luar biasa ke arah Kushimaru yang kini tengah menantikan serangannya. "—Maukah paman menemaniku berdansa."

Dan dua senjata saling beradu, menghasilkan bunyi dentingan keras dengan percikan api saat dua besi saling adu dominasi. Naruto tak berhenti begitu saja pada serangannya, memanfaatkan momentum luncuran tubuhnya, dirinya memberikan dorongan lebih pada kedua tangannya, membuatnya sedikit melayang dan punya kesempatan dengan melancarkan tendangan memutar, yang membuat Kushimaru terdorong.

"Sepertinya ini akan menarik. Bagaimana kalau kita naikkan tensinya."

Naruto yang baru mendarat di tanah hanya membalas dengan seringaian lebar, dan kembali bersiap dengan posisi menyerang, begitu pula dengan Kushimaru yang sudah siap kembali dengan Nuibirinya.

"Dengan senang hati."

Dan keduanya langsung melesat kearah satu sama lain, mempertemukan senjata mereka kembali, sekaligus meneruskan pertarunagn di keheningan hutan yang kini mulai menjadi ramai dengan adu kekuatan mereka.

...

Sementara beberapa kilometer dari tempat Naruto sekarang, Sai yang saat ini sedang menunggangi burung tinta lukisannya itu, tengah bermanuver cepat di angkasa. Terbang dengan gaya zigzag dan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari hujaman dari peluru-peluru yang terus saja mengincarnya.

Burung tinta lukisannya terus bermanuver dengan keanggunan yang hebat, layaknya kapal akrobatik yang sedang unjuk gigi diangkasa. Sementara Sai sebagai penunggang terus mempertahankan posisinya pada burung tinta yang dia tunggangi.

Keduanya kemudian menaikan jarak mereka, dengan terbang lebih tinggi, kemudian berbalik dan langsung menukik tajam. Hujan peluru masih terus dirinya hindari, dengan terus bergerak lincah kesana kemari, meski apa yang dia lakukan malah semakin membuat sang pelaku penembakan terlihat makin senang.

"Gyahahaha. Terus bergerak, teruslah menari."

Tawa yang terdengar layaknya orang gila itu sedikit mengganggu untuk Sai. Ditambah dengan tampang layaknya psyco yang membuat Sai yang sangatlah susah untuk mengekspresikan perasaannya itu terlihat jengkel sekarang.

Tak pernah terpikirkan olehnya sedikitpun akan masuk pada situasi seperti ini. Padahal sebelum pertarungan ini berlangsung, dirinya hanya sedang berpatroli sesuai dengan arahan dari Naruto.

Dan saat mendengar suara ledakan besar dengan asap yang membumbung tinggi dari kejauhan, Sai langsung mencoba lekas mendekat. Namun, sebelum dapat bergerak jauh, instingnya meneriakan akan adanya bahaya yang medekat.

Dan benar saja, 3 detik saat dirinya berencana pergi ke tempat dimana ledakan itu berada. Dirinya langsung dihujani dengan peluru-peluru yang siap melubangi tubuhnya. Dan saat melihat siapa sang pelaku pendembakan, dirinya menemukan seorang laki-laki yang kini menapak di tanah dan tengah menodongkan 2 pistol yang diarahkan padanya.

Dan dirinya tau betul siapa pelakunya, bagaimanapun seseorang yang menembakinya masuk daftar buronan gereja yang paling dicari. Freed sellzen sang ex-exorchist dari gereja patikan italia.

Sai kembali bermanuver, saat sebuah peluru hampir melubagni batok kepalanya. Dengan dirinya yang kini terus bergerak mencoba mendekat ke arah Freed yang masih terus menembakinya. Pertarungan jarak jauh, akan merugikan sekali untuknya.

Sai langsung membuka gulungan di tangannya, dan dengan kecepatan luar biasa dirinya langsung melukiskan beberapa gambar di gulungan tersebut.

Chouju Giga

Beberapa ekor burung dari lukisan Sai dengan ukuran lebih kecil dari burung yang kini dirinya tunggangi, mulai memunculkan diri dari gulungan tersebut. Terbang dengan kecepatan tinggi, menukik tajam mencoba menyerbu sosok Freed yang kini terus menembak-nembak ke udara.

"Engh—"

Melihat burung-burung berwana hitam yang kini menyerbunya Freed mengerutkan dahi, tak ada kepanikan ditunjukan olehnya, laki-laki mantan pendeta itu malah memasang wajah cemberut diwajahnya, sebelum akhirnya mulai menembak-nembak kesegala arah, mencoba menembaki burung-burung kecil itu dengan akurasi tembakannya yang bukan main-main.

Beberapa burung ciptaan Sai langsung menghilang, menerima serangan peluru-peluru dari pistol yang dipergunakan Freed. Sementara beberapa yang lolos juga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang memuaskan karena Freed dapat menghindarinya tanpa susah payah.

Kini Freed kembali pada fokus utamanya. Senjata jenis pistol warna perak mengkilap, mulai kembali membombardir pemuda yang masih asik terbang di udara.

"Mari menari kembali, zombie."

Dan Sai kembali harus bermanuver dengan cepat saat peluru-peluru kembali menjadikannya sasaran.

Entah sudah keberapa kalinya Naruko pagi ini menghela napas, ini bahkan masih jauh dari tengah hari, tapi dirinya kini sudah kayak seorang nenek yang lagi ngeratapi nasibnya saja.

Geraman kesal juga terkadang lolos dari mulutnya karena benar-benar sudah sangat terlampau kesal dengan situasi yang dialamaninya sedari pagi sampai sekarang ini. Naruko benar-benar merutuki kesialan yang selalu saja mengikutinya kemanapun, seakan kesialan begitu senang mempermainkannya.

Dan sampai sekarang kekesalannya juga tak sedikitpun berkurang, justru sampai sekarang kekesalan malah semakin naik di setiap saatnya hingga kini dirinya sudah mencapai batasnya. Dan karena itulah dirinya lantas langsung menghentikan langkah kakinya dengan sangat tiba-tiba dan segera berbalik badan. Memasang wajah garang pada wajahnya, dirinya langsung mengangkat telunjuknya ke depan dengan kedutan kesal tak terbendung.

"Sapai kapan kau akan mengikutiku terus hah?"

Perkataan dengan nada kesal itu Naruko ucapkan dengan suara yang lumayan keras. Tepatnya perkataan itu dirinya tunjukkan pada seorang cewek bersurai panjang berwarna hitam yang diikat dengan gaya ponytail, cewek yang kini sudah lengkap memakai seragam sekolah khas Kuoh Military Highschool yang lebih populer dengan singkatan KMHS itu, sosok yang kini hanya menatap polos kearahnya adalah Akeno Himejima yang sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.

Cewek itu juga kini sudah berdiri dengan menatap bingung kearahnya. Naruko tau perkataannya barusan benar tak cocok dengan imej kewanitaan, tapi mau gimana lagi, dirinya udah kepalang kesal sekali sekarang.

"Ara, Ruko-chan, apa kamu lupa kalau ini masih hari efektif sekolah. Dan lagi pula apa kamu juga lupa kalau jalan ke sekolah memanglah lewat sini."

Jawaban dari Akeno dengan intonasi tak bersalah barusan semakin membuat Naruko berkedut kesal, "Aku tau, Aku tau. Tapi kenapa kau malah ngikutin aku terus hah? Bukannya kau itu bisa terbang, bukannya kau itu bisa pake sihir teleportasimu itu untuk sampai di sekolah! Dan kenapa kau malah nemplok mulu di belakangku sih."

"Emang gak boleh yah?"

"NGGAK BOLEH!"

"Tapi aku ingin berjalan kaki Ruko-chan."

Naruko langsung menepuk dahinya dengan keras saat itu juga dan mengusap wajahnya untuk mencoba tenang. Seperti dugaannya, cewek di depannya ini memang selalu saja berhasil membuatnya naik darah.

"Arggh, Terserah kau saja Himejima!"

Dan dengan perkataannya barusan, Naruko kembali berbalik badan dan meneruskan perjalannya untuk segera pulang. Percuma saja dirinya berdebat dengan cewek di belakangnya yang kembali mengikuti langkah kakinya itu. Dirinya juga langsung mendengus ketika mendengar suara terkikik dari Akeno.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan dalam keheningan. Naruko masih terus saja berjalan dengan kaki mengentak pada permukaan tembok terotoar, dengan sesekali menggumamkan sesuatu dengan raut wajah yang kesal, sementara Akeno masih terus setia mengikutinya dari belakang.

"Ne, Ruko-chan—"

"Jangan memanggilku seolah-olah kita sudah akrab Himejima!" Naruko menjawab dengan suara yang kian meninggi. Dirinya benar-benar sangat muak saat Akeno memanggilnya dengan panggilan kecil itu. Sungguh, bahkan kembarannya sendiri tak pernah berani memanggilnya seperti itu sepanjang hidupnya. Padahal dia sangat berharap itu panggilan itu terucap dari mulut kembarannya dan bukan dari musuh bebuyutannya ini.

"Ah— tapi, bukankah aku memang selalu memanggilmu seperti itu Ruko-chan!"

Naruko kembali hanya menghela napasnya lelah. Dirinya tau mau gimanapun dirinya bicara akan sangat percuma saja jika itu dengan Akeno. Karena cewek satu itu tak akan pernah sedikitpun bahkan untuk mendengarkan perkataannya. Dan karena itu juga dirinya memilih untuk bungkam dari pada kembali menyelanya.

"Ne Ruko-chan. Bolehkah aku sedikit bertanya?" Akeno kembali mencoba membuka pembicaraan diantara mereka, meski melihat Naruko seakan enggan untuk bicara dengannya, namun Akeno tak sedikitpun memperdulikannya. Dirinya kini tengah dilanda rasa penasaran yang selalu menghantuinya sejak kemarin, dan itu benar-benar sangat mengganggunya.

"Tck, Apa?"

"Bisakah kamu mengatakan padaku, alasan kenapa Naruto-kun menjadi bersikap aneh pada Rias? Bukankah Rias adalah tunangannya, lalu kenapa Naruto seakan bersikap seolah mereka tidaklah punya hubungan apapun."

Akeno harus sedikit berusaha menekan perasaan emosi yang kini dia rasakan saat bertanya, karena bagaimanapun dirinya harus kembali diingatkan dengan kejadian tempo hari itu. Bagaimanapun dirinya menanggapi, apa yang telah terjadi kemarin tetap tak menyurutkan perasaan marahnya terhadap Naruto.

Namun, dirinya juga tetap harus menahan diri dan mengusut semua masalah antara sahabatnya itu dengan tunangannya. Dirinya tidaklah bodoh untuk sadar ada sesuatu yang Naruto sembunyikan, dan itu pasti adalah alasan yang mendasari perbuatannya itu kemarin.

Dirinya tau kalau pertanyaan yang dia ucapkan ini adalah hal yang tabu, namun dirinya tetap ingin tau alasan yang mendasari perbuatan Naruto tempo hari itu. Karena bagaimanapun, Akeno tak ingin mempercayai orang yang salah.

Akeno kini melihat Naruko yang langsung menghentikan langkah kakinya kembali yang otomatis membuat dirinya juga ikut menghentikan langkahnya. Dirinya juga sedikit berjengit saat dapat merasakan aura yang tak mengenakan dikeluarkan oleh Naruko sekarang. Seperti dugaannya, menanyakan hal ini memang bukan ide yang baik.

"Kenapa aku harus mengatakannya padamu?"

Suara yang sangat teramat dingin yang dikeluarkan Naruko sedikit membuat Akeno kaget. Respon yang tak dia duga sedikitpun.

"Ah, aku..."

"Kau tak punya hubungan apapun dengan kejadian ini, jadi jangan ikut campur."

Akeno tak tau harus berbuat apa, dan harus bicara seperti apa. Lidahnya serasa kelu, seakan semua keberaniannya sudah dimakan habis. Dirinya tau Naruko punya mood buruk sepanjang pertemuan mereka pagi ini, namun setiap pembicaraan mereka, tak ada respon yang benar-benar terlalu mencolok, yang memperlihatkan keengganan Naruko berbicara padanya.

Dirinya tau, perasaan yang ditunjukkan Naruko sekarang, itu bukan karena kesal atas kejailannya sepanjang pertemuan mereka, dan bukan kemarahan yang disebabkan oleh sesuatu hal yang membuat gadis di depannya ini kehabisan kesabaran.

Yang dia rasakan saat menangkap intonasi perkataan Naruko adalah, kebencian. Dirinya tidak mengerti apa kesalahannya, atau apa yang sebenarnya arti dari kebencian Naruko tunjukkan sekarang.

Jika memang ini adalah atas apa yang dialami oleh Naruto, bukannya kejadian itu adalah kesalahan dari Naruto sendiri, lalu kenapa yang mempunyai kebencian mendalam justru ada pada Naruko?

Itu kian membuatnya penasaran atas apa yang sebenarnya terjadi. Semua kebingungannya semakin meyakinkannya untuk menggali akar dari permasalahan ini. Namun, situasi ini sepertinya akan sedikit membuatnya kesulitan, untuk mengungkapkan semua kesalahan dari kejadian ini.

Dan saat melihat tatapan dari mata biru yang seakan menusuknya itu, Akeno tau, dirinya kini dalam masalah.

TBC

=====XxXxXxXxXxXxX=====

Ah—

Kayaknya cukup untuk chapter 4 ini. Seperti dugaan saya, chap ini benar-benar sangat acak-acakan. Mohon di maklumi untuk yang satu ini, bagaimanapun saya benar-benar kaku saat memilih kembali menulis. 1 tahun lebih saya menganggurkan diri di dunia kepenulisan dan seperti yang kalian liat kemampuan saya dalam pengolahan kata sangat berantakan.

Yah, harap dimaklumi mengingat saya bukan seorang yang punya bakat menulis alami, karena bagaimanapun saya hanyalah penulis yang nempuh perjalanan dari nol karena kemampuan saya dalam pengolahan kata yang sangat payah, dan dibawah rata-rata.

Oke, mungkin saya akan banyak bicara dulu disini, sekaligus ngasih penjelasan atas berhentinya saya di FFN selama setahun terakhir. Sebenarnya tidak ada alasan khusus, yang menjadi masalah kenapa saya vakum adalah karena sakit hati.

Sedikit curhat, saya kehilangan semua file saya, baik itu data fanfic, orific dan novel saya saat semua data yang tersimpan di smartphone raib beserta gadgetnya. Dan sialnya waktu itu lepi masih masa rawat inap jadi saya gak sempat mencopy ekstensi file dan mecadangkannya.

Dan karena alasan itu juga, semua ide fic saya yang sekarang sudah terlupakan. Baik fic AS atau yang ini. Untuk fic yang satu ini, saya masih bisa nyambung ide, mengingat chapter yang ada masihlah awal, jadi pengembangannya bisa saya improvisasiin lagi. Sedangkan untuk Atarashi Seikatsu, saya harus menggali lagi memory otak saya untuk mengingat konsep-konsep dasar dan beberapa chara yang seharusnya. Jadi mungkin akan memakan waktu untuk fic tersebut meneruskan chapter lagi, karena chapter yg udah 20-an jadi saya susah untuk mengembangkan dengan ide baru.

Untuk hal lainnya, fic ini mungkin akan sedikit melenceng dari ide awal. Patokan dari seting waktu dari chap awal sampe 3 mungkin jadi harus menyesuaikan dengan yang chapter 4 ini, jadi maaf jika jadi sangat rancu saat menyambungkan chap sebelumnya dengan yg satu ini.

Dan chap ini kayaknya juga gak terlalu penting-penting amat sebenernya. Hanya saja saya perlu pemicu pengembangan cerita baru, jadi sebagai permulaan saya menulis dulu beberapa detil awal untuk patokannya.

Ah, apalagi yah, mungkin itu saja untuk sekarang. Maaf jika gak bisa balas riview dulu. Untuk sesi hari ini adalah permintaan maaf dan beberapa hal penting yang harus saya sampaikan.

Dan Saya masih berpegang teguh atas permohonan maaf saya yang udah nggak aktif selama setahun. Saya mungkin sekarang juga gak bisa janji update cepat seperti dulu, mengingat saya yang udah kerja, jadi waktu senggang agak kurang untuk menulis. Tapi saya tetap usaha buat nulis danb update semampunya.

Dan dengan update ini saya juga ngumumin kalo saya benar-benar akan aktif lagi di ffn.

Itu saja. Kayaknya bakal kepanjangan kalau diterusin.

Oh, dan jangan lupa tinggalkan jejak anda di kolom riview. Kritik dan saran yang membangun sangat saya butuhkan, karena saya adalah seorang penulis yang masih dalam proses belajar, hal itu sangat diperlukan untuk saya menaikan kualitas menulis saya agar dapat memuaskan pembaca.

Dan maaf jika chapter ini banyak salah-salah dalam penulisan, mengingat saya ini nulis via smartphone. Jadi mohon koreksi jika kalian menemukan kesalahan dari penulisan atau memang kesalahan-kesalahan saya yang lainnya dalam chapter kali ini.

Okay, Thank you very much for your support. Don't forget to leave a message, an impression, criticism, praise, and your opinions. Flame? no problem for me.

Alright everybody, See you to the next chap..!

Bye... DreamTheater — Youzzaa (Charlotte) out!