knb © fujimaki tadatoshi
alternate universe, genderbending!akashi, too many extra cheese here :p
after works
Seijuurou membuka pintu rumah dengan kunci cadangan. Pelan dan hati-hati, tanpa menimbulkan suara sekecil apa pun. Malam sudah larut. Pertengahannya sudah menjemput. Dia tidak ingin membangunkan siapa pun yang sedang istirahat. Perempuan itu melepas sepatu pantofel berhak dua inci di dekat rak sepatu. Tanpa mau repot-repot meletakkannya di tempat yang benar. Juga memakai sandal rumah yang tersedia. Telanjang kaki, dia melewati ruang tamu yang gelap gulita. Menuju ruang keluarga. Lampunya masih menyala.
Blazer dilepas, dua kancing teratas kemeja dilonggarkan. Gerah. Hawa bulan Juni terasa seperti bara api. Padahal sudah larut malam. Jari-jari kakinya terbenam dalam karpet tebal, sewarna dengan rambutnya. Sambil menahan sakit di sekitar lutut dan betisnya. Efek menggunakan sepatu berhak seharian. Tuntutan pekerjaan. Apa kata pegawai-pegawai di kantor ayahnya jika calon direktur mereka tidak berpenampilan rapi. Menjadi putri tunggal pemimpin korporasi besar saja sudah cukup sulit. Kepemimpinannya seringkali dipertanyakan hanya karena dia perempuan. Kemampuannya juga sering diragukan. Padahal, jenis kelamin tidak ada hubungannya dengan kemampuan. Seijuurou tidak perlu masalah-masalah yang lain.
Dokumen terbalut tas kerja dan blazer hitamnya diletakkan sembarangan di atas sofa tunggal yang masih kosong. Sementara sosok Midorima Shintarou tertidur di atas sofa yang sebenarnya muat untuk menampung tiga orang. Kacamata masih bertengger angkuh di hidungnya. Kendatipun sepasang matanya terpejam. Buku entah apa telungkup di atas perut.
Melodi piano lembut yang dikenalnya sebagai salah satu Sonata Chopin mengudara. Melalui stereo set di ruang keluarga. Lirih, tidak cukup keras untuk menembus dinding bata. Seijuurou mematikan stereonya manual, malas mencari remote. Shintarou pasti tertidur ketika sedang membaca buku sambil mendengarkan musik. Menunggunya.
Disingkirkannya kacamata Shintarou dengan hati-hati. Shintarou mudah sekali terbangun, meski hanya dengan gerakan kecil. Seijuurou mengecup keningnya. Lalu menyamankan dirinya di lantai berlapis karpet. Meluruskan kaki. Punggung bersandar pada sofa yang menjadi alas tidur Shintarou. Sofa memang kelihatannya cukup nyaman, tapi tak ada tempat untuk meluruskan kaki. Menumpukan kaki ke atas meja sama sekali bukan hal yang patut dilakukan sekalipun di rumah sendiri. Berada berjam-jam di balik kemudi di jalanan yang macet cukup menyakiti punggung dan kakinya.
"Sei?" Nah. Apa dia bilang. Shintarou mudah sekali terbangun. Suaranya serak. Seperti ada sesuatu tertahan di tenggorokannya. "Baru pulang?"
"Ya," Seijuurou mengangguk. Mengamati Shintarou yang mengerjap beberapa kali, sebelum menyadari kacamatanya sudah tidak berada di tempat. Dia meletakkan buku yang semula tertelungkup di atas perutnya ke atas meja. Sambil meraba-raba. Mencari alat bantu penglihatannya.
"Kau tidak bilang akan pulang larut," Shintarou menemukan kacamatanya.
"Ponselku mati. Maaf," Seijuurou meminta maaf tanpa niat. Didengarnya Shintarou mendengus sambil bergumam kebiasaan. Dia meraih bantal sofa yang tadi dijadikan alas tidur Shintarou di ujung sofa. Meletakaannya di pangkuan. "Tadi ada kecelakaan. Macet luar biasa. Kakiku sampai pegal, bergantian menginjak rem dan gas."
Pemuda berambut hijau itu berpindah ke sebelahnya. Duduk di atas lantai berkarpet. Melipat kaki. "Kau mau makan sesuatu? Masih ada sup tofu, aku bisa memanaskannya untukmu."
"Tidak. Aku tidak lapar." Hal yang diinginkannya sekarang adalah mandi dengan air hangat, lalu bergelung dalam pelukan Shintarou hingga pagi. Hingga siang, kalau perlu. Lupakan saja apa itu pekerjaan.
"Ah, ya..." Shintarou mencondongkan tubuhnya, mengecup pelipis Seijuurou dengan sayang. "Okaeri."
Seijuurou terkekeh pelan. Merasakan tangan Shintarou mengusap puncak kepalanya. "Tadaima."
"Ada yang lucu?" Shintarou tampak terganggu dengan tawa pelannya. Lebih karena tidak menemukan apa yang ditertawakan Seijuurou.
"Tidak ada," dia meraih tangan Shintarou, menautkan jari-jari mereka. Telapak tangan Shintarou terasa dingin. Entah mengapa. "Rasanya kau lebih sering mengucapkan selamat datang di rumah dibandingkan aku." Umumnya, perempuan yang menunggu di rumah dan mengucapkan selamat datang kepada pasangannya. Kasus mereka memang sedikit lain. Jadwal Shintarou dan Seijuurou sama-sama sporadis. Tidak jelas, siapa yang pulang terlebih dahulu, siapa yang menunggu siapa.
"Aku tidak keberatan. Kita sama-sama tahu kau sibuk—sangat sibuk."
Sangat sibuk hingga kau tak punya waktu untuk dirimu sendiri—dan kita. Bertahun-tahun mengenal dokter itu, Seijuurou bisa mendengar apa yang tersembunyi di sela-sela kalimat Shintarou. Shintarou tidak banyak berubah. Jarinya masih terbalut perban, meskipun dia bukan lagi pemain basket. Dia masih menonton ramalan bintang pagi hari dan membawa benda keberuntungan ke mana-mana. Juga masih sulit mengatakan apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Sekalipun kepada Seijuurou.
"Hanya ketika aku sedang memegang proyek besar," Seijuurou membela diri. Toh, dia masih menyempatkan diri untuk bersantai ketika akhir pekan tiba. Shintarou juga selalu berusaha untuk tidak berada di rumah sakit sepanjang akhir pekan. Meluangkan waktu untuknya. Tahu, bahwa Seijuurou tidak punya banyak waktu di luar hari Sabtu dan Minggu. Meskipun tidak pernah mau mengaku. Baik sekali, pikirnya. Meskipun Seijuurou tidak pernah terang-terangan mengatakannya di depan Shintarou. "Padahal kau juga sibuk, Sensei."
"Tidak sesibuk kau."
"Siapa bilang?" Seijuurou memiringkan kepalanya. Tersenyum miring. Memasang raut wajah semenyebalkan mungkin, untuk menggoda Shintarou. " Dua hari lalu siapa yang menelepon malam-malam, bilang kalau tidak bisa segera pulang karena ada operasi mendadak?"
"Itu tidak sering." Shintarou membetulkan posisi kacamatanya.
"Lalu, siapa yang tiba-tiba menghilang di hari Sabtu, meninggalkan pesan kalau ada urusan darurat di rumah sakit? Padahal hanya kutinggal ke konbini sebentar," Seijuurou memutar bola matanya.
"Oke, kau menang," Shintarou mendengus, kesal. Memancing tawa kecil Seijuurou.
"Kau lupa kalau aku selalu menang," Seijuurou bertutur lagi. Ada canda dalam nada suaranya.
"Ya, ya. Dan kau selalu benar," Shintarou menambahkan, hanya untuk diabaikan. Tangannya bergerak, melepas jepit rambut Seijuurou. Helai-helai rambut merahnya berjatuhan di punggung. Nyaris mencapai pinggang. Beberapa tersangkut di daun telinga. "Kurasa kau harus potong rambut."
Kening Seijuurou berkerut. Jari-jarinya mempermainkan ujung rambutnya. "Kau tak suka rambut panjang?"
"Tidak—bukan begitu. Maksudku, apa ini tidak mengganggumu?" Shintarou menyingkap helaian poni Seijuurou yang memanjang, menjuntai menghalangi matanya. Menyelipkannya ke telinga.
"Hanya ini? Aku bisa memotongnya sendiri," Seijuurou mendongak, menatap mata hijau Shintarou. Menyadari jika dia berada demikian dekat dengan Shintarou. Jika dia bergerak maju sedikit lagi, bisa dipastikan dahinya membentur dagu Shintarou—itu pasti menyakitkan. (Shintarou pernah bilang kepalanya lebih keras dari batu—itu kiasan, tapi benar-benar tidak lucu jika Shintarou harus mendapatkan memar di dagu gara-gara kepalanya.)
"Sebaiknya kau tidak memegang benda tajam. Itu membuatku sedikit khawatir," Shintarou buru-buru mencegahnya.
"Aku tidak akan melukai diriku. Aku bukan anak-anak."
"Justru aku khawatir kau akan mencederai orang lain."
"Shin!" Seijuurou mendorong bahunya. Wajahnya sedikit tertekuk. Shintarou bergeming, dorongan Seijuurou tidak cukup kuat. "Di sini hanya ada aku dan kau. Kalau aku mencederai orang selain diriku, pasti itu kau, tidak mungkin orang lain. Kurasa itu bukan masalah besar."
"Maka dari itu, aku mengkhawatirkan keselamatanku."
"Sialan!"
Senyum tipis terbit di bibir Shintarou. Dia menyisir rambut panjang Seijuurou dengan jari-jarinya. "Sudahlah, aku akan mengantarmu ke salon. Akhir minggu ini."
"Baiklah," Seijuurou mengangguk, sepakat. "Tidak ada pembatalan janji yang tiba-tiba, oke?"
"Tidak. Aku janji."
"Tidak ada operasi mendadak?"
"Asalkan kau juga tidak ada rapat mendadak dengan mitra kerjamu."
"Pekerjaanku akan beres sebelum akhir pekan," Seijuurou mengecup sudut bibir Shintarou. "Bisa kita mampir ke kafe favoritku, setelahnya?"
"Tentu saja."
[after all of this troubles and mess in my life, i just wanna write something warm and happy—kinda cheesy though. happy (belated) midoaka day. thanks for reading.]