"Aduh–!"

Hasil sentilan di dahi. Pemilik helai kelabu meringis. Mengusap dahi yang baru saja dikasari–meski begitu sebetulnya sentilan itu cukup pelan. "Kau tidak harus seperti itu … Madam Red."

Yang dipanggil mengumbar kekehan. Tepukan singkat di atas kepala, lalu pipi semok terbubuh warna merah muda ditarik lembut. Ciel protes non-verbal, melalui kilat di iris amethyst-sapphire.

"Maka tahulah, Ciel. Asrama tidak seburuk itu. Fasilitas lengkap, edukasi dengan standar yang cukup tinggi. Otakmu itu brilian, tahu–mudah pasti untuk masuk ke sana."

Sepasang iris berbeda kroma berotasi. Remaja 15 tahun membuka dasi, menjauhkan dari kerah baju kemeja putih lesi. "Hah. Menyusahkan."

An mengulas senyum tipis. Dilepas dasi biru sepenuhnya dari kerah, pun fabrik biru jas yang melapisi tubuh Ciel.

"Funtom Bibi yang urus. Fokus pada masa sekolahmu, lulus, lalu kau boleh melakukan apa yang kausuka. Bahkan meneruskan usaha ini. Sepakat?"

Entitas Iris dwiwarna mengalihkan pandangan. Ke arah jendela luar yang dihiasi ribuan bulir air. Tirai hujan tengah merengkuh Austria. Gumpalan kapas kelabu yang berarak semena-mena, melepas rintik air dari singgasana. Helaan napas mengudara, lolos secara tiba-tiba, mengisi hening yang mencekik jiwa.

"… baiklah … kupikirkan."


.

.

.

Disclaimer : Black Butler © Yana Toboso

Warning n Genre(s) : romansa, drama, friendship, typo(s) diharapkan nggak ada, personality karakter sudah pasti melenceng jauh dari canon-nya, alternative universal (mungkin AU! Daily life atau semacam school life dalam kasus fiction di sini), mainstream, pasaran, shounen-ai, bromance, fiction relationship about Sebastian x Ciel, EYD semoga betul seluruhnya.

Terminum by Saaraa

Arc : 1 – "Weldon High School."

.

.

.


Kali pertama Ciel harus bersosialisasi. Bukan berarti tidak pernah sama sekali. Kalau hanya sekadar perbincangan bisnis dan bersikap formal–jauh sebelum sekarang, ia tahu ia sering melakukannya. Sebaliknya, ini berbeda. Kau tidak mungkin menyapa kawanmu dengan sapaan semacam; "Selamat siang, Mr. Schurz. Bagaimana hari Anda hari ini?"

absolutely not.

Koper merah marun bergulir rodanya sepanjang lorong, backpack biru tua terdiam di bahu. Kepala kelabu menoleh kanan dan kiri. Pintu berpelitur cokelat berbaris di setiap enam hasta, dengan papan di hadapan pintu yang menunjukkan ruangan apa itu.

Harusnya ia mencari ruangan kepala sekolah. Ciel semakin tak paham kenapa sekolah ini sebegitu luasnya. Langkahnya masih terburu. Jam tangan melingkar di pergelangan, diberi lirikan sedikit. Menghela napas, hobi baru juga kebiasaan.

"Empat lewat sepuluh sore. Harusnya aku bisa tea time–astaga. Di mana ruang kepala sekolah."

Pundaknya ditepuk. Anggap saja kerja sumsum lanjutan, gerak reflek yang membuat si pemuda berbalik sepenuhnya. Meninggikan tingkat waspada, lalu langkah mundur diambil barang satu atau dua. Yang menepuk mengukir senyum. Iris angkasa berkilat ramah.

"Murid baru? Oh, mencari ruangan kepala sekolah? Lurus saja, nanti ada jalan buntu, lalu pintu di kanan yang berpelitur krem sendiri."

Ciel mengangkat sebelah alis. "O-oh. Makasih."

"Tak masalah. Lorong ini memang khusus untuk staff dan guru, makanya sepi. Kalau tidak tahu, kau harusnya bertanya ketika masuk di depan gerbang sekolah tadi."

Hari pertama dilalui dengan nasehat seseorang. Dari awal memang sudah salah langkah rupanya. Yang berhelai pirang memberi anggukan. "Kalau begitu, sampai jumpa."

Singkat, ia berbalik. Kemudian belok ke kiri, menuruni tangga. Sepasang tungkai melangkah lurus-lurus, berketuk, dengan kets putih yang menjadi sekat antar alas kaki dan karpet. Lurus–lalu bola mata itu menemukan sebuah pintu di ujung jalan buntu. Krem.

Nah.

Pintu diketuk dua kali. Sahutan pelan, izin untuk masuk. Maka gagang pintu ditekan ke bawah, didorong pelan. Dan wajah Ciel menyapa sang kepala sekolah dari celah pintu yang sedikit terbuka. Di sampingnya, ada seorang wanita berhelai cokelat–mungkin asisten. Masuk ke dalam, koper marun ikut ditarik. Pintu ditutup.

Ciel memasang senyum tipis. Seperti biasa–memberi impresi baik.

"Principal dari Weldon High School, Sir Jack Hubert. Senang bertemu Anda. Saya Ciel Phantomhive, saya yakin bibi saya; Ms. Angelina Burnett, telah mengabarkan pindahnya saya ke sekolah ini."

Maju beberapa langkah. Kini mereka dipisahkan sebuah meja. Senyuman hadir di wajah orang tua berkumis tersebut. Ia mengangguk.

"Sikap yang baik sekali. Ms. Burnett benar, keponakkannya ialah semanis ini."

Ciel mengibaskan tangan. "Anda terlalu memuji. Bukankah kesopanan dan sikap seperti ini memang harus dipelihara semua orang?"

Tawaan mengudara keras. "Nah, Miss Alice," panggil sang kepala sekolah pada asistennya.

Anggukan diberikan. Yang punya indentitas diri sebagai Alice merogoh sesuatu di saku blazer. Diulurkannya sebuah kartu pada Ciel, dan pemuda itu menerimanya. Nomor 03321 tertoreh di sana.

"Ini kartu kamar asramamu. Asrama ada di gedung sebelah."

"Terima kasih."

Kepala sekolah memanggil Ciel untuk mendekat. Diulurkannya tangan, kemudian Ciel membalasnya sambil mengulas senyum bisnis–yang lagi-lagi masih terukir di wajahnya.

"Selamat datang di Weldon High School, Mr. Phantomhive."

.

.

"03321 … 3321 … ah. Gotcha."

Ciel merogoh saku celana kain. Kartu didominasi warna putih ia taruh di atas pemindai. Lampu LED hijau menyala, bunyi semacam–ckrek, terdengar. Sebelum lengan Ciel memberi tenaga di atas gagang untuk membuka pintu, pintu kamar terbuka dari dalam. Wajah familiar dengan surai sepirang bulu singa, yang senyumnya lebih ceria daripada sepupu hiperaktif Ciel terlihat jelas di hadapan.

"Ah, kau! Anak baru. Kamarmu di sini juga?"

Ciel mengangguk. Pintu dibuka semakin lebar, akses memasukkan diri. Ruangan berinterior klasik dan rapi. Pendingin ruangan, sebuah kamar mandi, dua buah kasur yang dipisah meja lampu, satu lemari baju, dua meja belajar masing-masing di sisi kasur, jendela menghadap hiruk-pikuk Vienna–tidak buruk. Pemuda yang berhelai pirang menghempaskan pantat di salah satu sisi kasur.

"Alois Trancy. Kau?"

Ciel menaruh koper besar di depan lemari maju. "Eh …, nama? Oh. Ciel Phantomhive."

Alois terkekeh. Ia menepuk-nepuk pundak Ciel, lembut. "Tak usah kaku begitu. Di sekolah ini muridnya baik-baik, omong-omong."

"Itu melegakan."

"Yeah." Alois tergelak pelan. "Aku ingin makan malam. Ikut?"

Sebuah gelengan, disusul tangan kanan yang terangkat sedikit, respon tanpa suara. Alois mengedikkan bahu, ia meloncat turun dari kasur. Sebelum benar-benar keluar dari kamar, suaranya kembali mengirimkan pesan, "Oh, kasurmu di sebelah kiri dekat jendela, oke."

"Ya."

Bunyi pintu ditutup terdengar berdebum. Ciel melirik koper. Setelah itu ia berjalan ke kasur dekat jendela. Menaruh punggungnya di sana, mengistirahatkan diri sebentar, dengan lutut hingga kaki terayun di sisi kasur. Lampu kamar terlalu terang. Seolah menembus lensa. Jadi punggung tangan membantu menghalanginya.

Jam tangan sempat menarik atensi. Jam 6 sore lewat 34. Bangkit dari tidurnya, Ciel membuka lemari baju. Sebelah kanan penuh dengan pakaian. Milik Alois Trancy tanpa diragukan. Sebelah kiri kosong, kecuali kau menghitung sebuah handuk putih yang sama, bedanya terlipat rapi dan tergeletak di rak paling atas.

Ciel menyambar handuk yang terlipat. Kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi. Mengangkat bahu kala melihat handuk putih metah digantung pada gantungan baju, dan ada sablonan huruf 'A' di sana. Ada sebuah kayu yang terpaku di dinding sebelah pintu kamar mandi, di sanalah handuk itu tersampir. Menyalakan lampu, lalu Ciel masuk ke kamar mandi.

Kurang lebih limabelas menit. Usai itu, pintu kamar mandi terbuka. Ia sudah memakai celana selutut keabuan, t-shirt putih bertoreh burung hantu menggantung di bahu. Dan di atas kepala kelabu yang bertempias air, ada handuk putih di sana, mengeringkan bulir air yang turun satu-satu dari juntaian kelabu. Handuk digosok pelan mengeringi surai.

Ciel melangkah beberapa saat. Berjongkok, dirogohnya backpack biru tua. Menemukan ponsel pintar, ia kembali berdiri. Membuka kunci sandi, lalu layar tipis menampilkan opsi menu. Sebaiknya aku mengabari Madam bahwa aku sudah di sini.

Pintu cokelat terbuka kembali.

"Oh … kau. Kau cepat kembali."

"Ya, begitulah."

Pemuda pirang terkekeh pelan. Beranjak meloncati kasurnya, kemudian mendesah lega. "Akhirnya bisa rebahan." Ia melihat Ciel melalui ekor mata, sesaat, yang masih sibuk dengan handuk, helainya, juga ponsel pintar yang Ciel mainkan sedari tadi. Lalu posisinya menjadi duduk.

"Hei, Ciel."

"Ehm … yeah?"

Ada jeda canggung sesaat. Detik jam terdengar mengisi sekali di antara hening, dan Ciel mengangkat alis. Gerakan naik turun dengan handuk di cranium terhenti.

"Hanya aku, atau …," kata Alois. Diputus jeda lagi, dan sungguh–tali kesabaran Ciel bukannya panjang juga. Bisa putus sewaktu-waktu dan pantang ditarik-ulur. Tapi Ciel sudah biasa. Banyak kolega bisnisnya yang sama mengesalkan, atau bahkan lebih, memunculkan urat jengah di pelipis. "Kau itu memang cute?"

"… hah." Ciel membeo di tengah suasana bego. Tiga hingga lima detik terbuang sia-sia, dipakai Alois sekuat tenaga menahan tawa yang akan menghambur keluar. Tapi di detik ke enam percuma saja, sebab tawa keras itu sudah pecah jadi serpihan, ditambah tangan Alois yang memegangi perut, menambah poin di situasi dramatis. "Oke, maaf–apa? Aku? Cute?"

"Tentu saja!"

Tawaan masih meledak, membuat Ciel mendengus. Rambutnya yang masih basah diusap lagi dengan handuk, niat menghabiskan titik air sepenuhnya.

"Kau aneh."

"Kau lebih. Sungguh, bulu matamu, irismu yang berbeda warna–mirip imitasi tapi memang alami, langkah, aneh, unik, bahkan rambut kelabu itu pun menunjukkan seorang gadis perawan tulen. Tinggal diberi wig yang halus dan memakai gaun, dan, jaaang! Kau akan jadi cantik sekali!"

Ciel merotasi bola mata. Meraih gantungan baju dari dalam lemari, menyampirkan handuk di sana seperti handuk bersablon huruf 'A' tadi. Lalu gantungan itu ia jejerkan bersisian dengan handuk Alois.

"Astaga, berhentilah tertawa."

Ternyata murid menengah ke atas ada yang seperti ini. Mirip bocah, asal bicara dan bertingkah sesukanya. Tidak buruk, sih, meski memang annoying. Ciel sendiri sedikit … sesak, mengingat selama ini ia bersikap begitu formal, tersenyum tipis di depan kolega, sejujurnya dengan tingkah hipokrit ia menghadapi orang-orang seperti itu. Terikat dan tak bebas. Serupa anjing yang dikalungi rantai leher.

"Hmn, baik, baik."

"… apa di sekolah ini masih ada lagi orang aneh sepertimu?"

Alois membulatkan iris angkasa. Ia tergelak lagi. "Ya ampun, kau itu sarkas, ya."

"Aku tidak bermaksud begitu."

"Tapi, yah, harus kuakui–ada beberapa. Apa gunanya jadi manusia kalau tidak berbeda?"

Ciel duduk bersila di atas kasurnya. Menarik bantal, kemudian mendekapnya dan menumpukan dagunya di atas benda tersebut. "Oh. Banyak orang aneh."

"Hei, itu tidak sopan. Lagipula aku tidak aneh, aku tulus memujimu, tahu."

"Pujian yang tidak disukai olehku."

"Haha! Tapi, orang-orang begitulah yang asik. Serius."

Ciel menganggguk ragu. "Serius?" tanyanya.

Anggukan mantap. "Serius. Omong-omong," kata Alois. "Ini sudah jam tujuh. Kau benar-benar tidak ingin ke bawah, dan mengambil jatah makanmu?" lanjutnya, menunjuk pintu dengan ibu jari dari balik bahu.

"Apakah makan dijatahi?"

Alois membaringkan tubuhnya di atas kasur. "Yah, seperti bagaimana waktu kau sekolah dasar dulu. Hanya saja, ada kafetaria dekat sana. Kau bisa membeli makanan lain, jika kau mau."

"Oh," gumam Ciel pelan. "Begitu."

"Dan tadi aku bertemu Miss Alice. Ia berpesan padamu, bahwa buku sekolahmu bisa diambil besok di ruangan tata usaha, jam 7 pagi. Nanti jadwal kelasmu akan Miss Alice berikan besok."

Ciel mengangguk. Hening mengambil alih kembali. Ciel bangkit dari ranjangnya, berjalan menjauh dari sana dan menuju pintu. Sebelum Alois hendak bertanya "Mau ke mana", Ciel sudah lebih dulu membalikkan badan sesaat, berkata, "Ke bawah. Makan."

Dan disambut anggukan mengerti. Membuka pintu, lalu pemuda beriris dwiwarna keluar.

.

.

Ciel mengubah posisi tidurnya. Kini menghadap jendela, dan selimut ditarik hingga menemui leher. Kelopak mata masih tertutup, namun pikirannya tetap saja tak menjelajah dunia mimpi. Entahlah. Tak bisa diajak kompromi. Padahal lampu sudah mati, dan jam dinding jelas-jelas menampakkan angka 11 di sana.

Ciel bangun dari posisi tidur dengan gusar. Helai kelabu diacak-acak, kemudian ia turun dari ranjang. Membongkar tas biru gelap, saat menemukan jaket bertudung, ia langsung mengenakannya. Sepatu kets putih dipakainya asal, mengingat tali sepatunya asal-asalan pula. Kartu kunci kamar diselipkan di saku jaket, lalu perlahan dan dengan langkah diam ia keluar dari kamar.

Lorong asrama terlihat panjang. Dindingnya dilapis wallpaper merah marun, namun ada dua garis tipis emas di tengah, bagai sentral bagi gambar bunga mawar dengan duri dan daunnya yang terukir-ukir, juga pualam yang tertimpa karpet lembut. Ciel bisa katakan bahwa tempat ini elegan seperti rumah miliknya.

Tudung dipakai menutupi helai abu-abu. Ciel melirik kanan dan kiri. Tersaji pemandangan lorong panjang seolah tanpa ujung. Menaruh tangan di saku jaket bertudung, ia memutuskan. Ke kanan ia mengambil langkah, berjalan pelan-pelan. Saat ia rasa sudah lama berjalan, lavender dan cerulean melihat sebuah pintu di ujung jalan. Pintu itu lebih besar dari pintu tunggal kamar asrama lainnya. Pintu itu dua pasang, di atas pintu, pahatannya berbentuk mirip dua leher angsa yang saling menekuk dengan dahi saling menempel. Di sisi kanan dan kiri pintu, ada lampu kecil yang menghiasi. Di sebelah masing-masing lampu, terdapat lagi jendela yang besar, ditutupi tirai bercorak asing.

Batik … ? Salah satu kolegaku pernah mengenakan pakaian dengan ukiran gambar yang seperti ini, kalau tidak salah.

Ciel melangkah maju. Diberi tenaga sedikit, pintu itu terbuka. Memang agak berat, melihat ukuran dan kayunya. Bola mata membulat. Ciel melangkah maju, dalam dua langkah, alasnya bukan lagi di karpet, melainkan hanya lantai tanpa ditambah karpet apa pun. Belah bibirnya terbuka sedikit, tindakan apresiasi tanpa suara atas visual yang ada di hadapan. Menutup pintu dengan punggung, sesudah bunyi 'klak' terdengar, Ciel kembali berjalan maju. Dua langkah berikutnya.

Pagar pembatas berbentuk setengah lingkaran di depan pintu. Beranda ini panjang, mengikuti lebar gedung asrama. Seusai Ciel perhatikan dengan seksama, hanya pintu tadi yang menghubungkan beranda dengan lorong asrama. Tidak ada beranda lain selain di lantai empat ini.

Lebih dari itu, matanya terperangkap pada kilau malam kota Vienna. Baik itu serpihan kaca yang bertabur di angkasa malam, atau pun hiruk-pikuk kotanya sendiri. Dengan lampu jalan yang berderet, gemilang memancarkan sinar. Semuanya terlihat seperti semut kecil dari atas ini. Semut kecil yang mengantri satu-satu untuk mendapatkan secuil roti, dan semut-semut itu berpendar warna-warni yang menyilaukan.

"Wow," gumamnya, pelan, lebih pada dirinya sendiri. "Cukup beruntung diberi kamar di lantai empat."

"Yah, begitulah. Tidak merugikan."

"Benar– …."

Ciel mengerjap. Ia tidak melihat ke samping, tapi ia cukup sadar eksistensi sang pemilik suara ada di dekatnya. Baru sadar, sebetulnya.

"Jadi, kau murid di sini?"

"Bukan. Anak hilang." –Itu tidak sengaja, oke. Percayalah. Bawaan lahir. Sarkas yang terkadang bisa ditebar seenaknya.

Yang dibalas sesengit itu malah terkekeh tipis. Ciel memutar tubuhnya, kali ini hadap-hadapan langsung dengan yang menyeletuk asal tadi. Ciel menautkan kedua alisnya.

"Kau aneh."

Pemuda di seberangnya mengerjap. "Kenapa aneh?"

"Yah … matamu. Merah darah. Vermillion. Tapi rambutmu hitam pekat. Obsidian. Wajahmu tidak oriental, tapi ponimu panjang–mirip orang Jepang."

"Tidak semua orang Jepang berponi panjang, kau tahu …."

Ciel mengangguk. "Aku tahu," katanya. Saat matanya kembali fokus pada kilau cahaya yang tersaji di depannya, ia berpikir ulang dengan heran. Tadi, Alois yang berkata bahwa ia cute. Dengan dua bola matanya yang berbeda warna, dan surai yang kelabu. Katanya, langka dan aneh. Sekarang Ciel yang secara frontal mengatai pemuda bersurai hitam itu aneh. Jadi, sepertinya mereka sama-sama aneh, di sini?

Ah, terserahlah.

"Kurasa ini bukan aneh," ujar suara itu kembali. Timbre alto yang mengalun pelan, tapi berhasil membuat Ciel memfokuskan dirinya pada suara itu. "Daripada aneh, lebih cocok disebut unik."

Unik. Ciel mengulang kata itu beberapa kali dalam kepalanya. Unik. Alois juga menyelipkan empat huruf itu dalam kalimat 'pujian'nya. Ciel tahu apa itu unik, definisi dari kata unik. Berbeda, mungkin satu-satunya, tidak sama–namun bukan berarti tersingkir atau bahkan tersudut. Istimewa, spesial–karena perbedaan itulah yang menjadikan hal 'unik' itu bukan lagi yang biasa.

"Tadi aku baru saja mendengar dari Trancy. Bahwa di sini banyak orang aneh."

"Wow," ujar pemuda itu. Monoton, praktisnya–ia hanya pura-pura terkejut. Tapi memang benar, yang terlihat–hanya ada rasa tersinggung ringan dan bukan serius. "Ia juga sama tak warasnya, kalau kau ingin tahu."

"Yeah, tapi terbukti. Kau juga orang aneh." –Meski mungkin aku juga sama anehnya.

"Terserah, deh."

"Sudah menyerah?" kata Ciel, pura-pura terkejut. Membalas perkara 'wow' tadi, dan itu cukup membuat pemuda obsidian mengekeh geli.

"Sebastian," kata pemuda itu. "Sebastian Michaelis."

"Ah." Ciel menahan tawa. "Itu nama anjing black german shepherd di rumahku."

"Sial sekali."

Yang punya nama Sebastian menghela napas pendek. Angin semilir bertiup pelan, memainkan helai obsidian dan kelabu. Ciel lagi-lagi terlibat dalam keheningan aneh. Aku dan relasi bisnisku tak pernah terjebak dalam situasi awkward seperti ini ….

Ciel sungguh belum bisa memindahkan pikirannya dari kerja ke sekolah. Atau sederhananya lagi, dari hubungan bisnis menjadi hubungan antar teman–ia sudah mengenal dua orang hari ini. Awal yang baik sebagai teman, bukan?

Hari ini, memang, ia belum belajar sama sekali. Yang ada hanya perkenalan sesama teman sekamar, dan sekarang bertemu orang aneh di beranda asrama. Mungkin besok, kala materi pelajaran sudah masuk dalam otaknya, ia bisa melupakan pekerjaan dan beberapa hal yang terkait itu. Ia ingat Madam Red pernah bilang bahwa otaknya tak harus dipenuhi pekerjaan melulu. Bisalah sarat gairah anak muda, dan mengacau sedikit.

Kuapan pelan, dari si kepala kelabu. Sebastian mengambil ponsel dari kantung celana jins hitam. Di layar tipisnya terlihat jelas angka yang menunjukkan waktu.

"Sudah setengah duabelas lewat. Kurasa kita harus tidur, atau kau ingin tidur di sini, lalu dimarahi petugas yang patroli pagi dan didentensi?"

"Itu menjelaskan semuanya. Kurasa aku ingin kembali."

"Kau benar."

Kemudian, Sebatian membuka satu sisi pintu cokelat.

.

Ciel, jujur saja, membelalak kaget ketika melihat lampu ruangan menyala. Alois masih di atas kasur, setengah tertidur, namun dalam posisi duduk. Mengusap-usap sebelah matanya, mungkin ingin menyingkirkan kantuk yang menghalangi indranya untuk berfungsi dengan baik.

"Trancy … ? Bukankah kau sudah tidur?"

"Iya, sudah," dia mengaku. Kuapan lagi, disusul kalimat baru, "Tapi aku terbangun dan ingin pipis, lalu aku tidak melihatmu di sana. Aku takut kalau kau berkeliaran di lorong asrama, lalu seseorang mengiramu perempuan dan menyeretmu keluar."

"… kau positif menghinaku. Dan kau pasti setengah tertidur. Sekarang, kembali dan selami mimpi indahmu, oke."

"Oke …."

Ciel menghela napas pendek. Ditutupnya sinar lampu hingga ruangan gelap gulita. Ia melihat Alois sudah kembali berbaring, dengan dengkuran halus dan tempo napas yang teratur di kasur sebelah. Maka Ciel ikut membaringkan tubuhnya di kasurnya sendiri, menghangatkan diri dengan selimut tebal–karena suhu pendingin ruangan yang agak sedikit membuatnya menggigil.

Tapi sepertinya Alois terbiasa dengan itu. Dilihat bagaimana ia hanya mengenakan piyama tipis bergaris vertikal hijau muda, dan kaki yang dipasang kaus kaki berwarna ungu tua.

Masih ada lampu kecil bersinar jingga remang di atas meja. Ditariknya tali yang membuat lampu itu menyala, lalu seketika lampu itu kehilangan sinarnya. Ciel membalikkan tubuhnya. Sebelum dwiwarna itu benar-benar terbalut kelopak mata, Ciel menahan kantuknya sebentar.

Besok … jam tujuh pagi, mengambil buku di ruang tata usaha. Aku harus menyalakan alarm ponselku. Habis dari tata usaha … jadwal kelas? Oh, Trancy bilang jadwal kelas akan diberikan Miss Alice besok. Kira-kira selesai sekolah jam berapa?

Ciel membalik tubuhnya, kini memunggungi jendela.

Habis pulang sekolah, apa aku kabari Madam Red? Mr. Albert masih menunggu jawaban atas proposal pengajuan kerjasama dengan Funtom … Albert? Oh–benar … Mr. Andrew juga membuat rencana makan siang denganku tanggal 12 Juli, dua hari dari sekarang. Ah. Sial. Barang import juga belum keluar, dan Miss Evy belum kuhubungi soal itu. Apa surat-suratnya belum selesai?

Mengerjap, Ciel mendesah lelah. Ia mengacak-acak helai kelabunya sendiri. Pekerjaan sialnya telah terlanjur mendarah daging. Tapi, yah, mengingat saran bibinya … ia rasa selama tiga tahun ini harus berhenti memusingkan perusahaan. Bukan berarti bibinya juga tidak kompeten. Madam Red kapabel dan bisa berusaha dengan baik di situasi apa pun dalam keadaan sekacau apa pun–Ciel tahu.

Maka dari itu, ketika dengkuran Trancy semakin terdengar di antara heningnya malam, Ciel menutup kelopak mata. Menyembunyikan iris amethyst-sapphire dari dunia.

Pikirannya diambil alih oleh dunia fantasi mimpi sebelum jarum panjang menerjang angka satu.

.

.

.

To Be Continued


A/N : Hii … salam kenal. XD

Ngomong-omong, saya ngarang di sini. Sekolah Weldon yang ada di Vienna juga ngarang. Semua serba ngarang, karna ngarang itu indah–hahaha /woi.

Tapi intinya, ini masih chapter satu, manteman. Jadi bagi yang berharap melihat SebasCiel nanti yaa ….

Oh, dan untuk kalian semua yang telah membaca hingga sini, terima kasih! Yang ingin berikan dukungan, pujian, kritik, saran, dan segala macam luapan perasaan bisa di tombol review di bawah, hehe.

Sampai jumpa lagi di chapter berikutnya!