SKYSWIMMERS
avamura, 2015. Shingeki no Kyojin © Hajime Isayama. Alternate Universe.
No profit gained from this fanfiction.
[ Kata bijak hari ini: "Senyasar-nyasarnya kamu, jangan pernah nyasar ke kursi navigator pesawat tempur." —Eren Jaeger ]
.
.
.
.
"Woi, balikin gue ke hanggar!"
"Iya, iya, nanti."
"Apa maksud lo nanti, hah!? Gue salah naik pesawat! Lo mau tanggung jawab kalau gue ketinggalan evakuasi? Lo mau nganterin gue ke Australia? Lo bisa menjamin keselamatan gue kalau tiba-tiba para Titan menyerang ke sini, hah!?"
Si pemuda bermata hijau merutuk jengkel. Dirabanya permukaan di sekitar kursinya, mencari-cari tuas, atau tombol, atau kenop, atau apa saja yang bisa mengeluarkannya dari kokpit pesawat jet sialan itu. Tapi sayangnya nihil. Jadi tidak butuh waktu lama sampai ia mulai menggedor jendela kaca dan dasbor untuk melampiaskan kekesalannya.
"Maaf, kita sudah hampir lepas landas. Dilarang membuka pintu atau jendela. Dan tolong, jangan merusak properti negara," ujar Jean Kirschtein, akhirnya—setengah mati menahan hasrat untuk tidak memiting orang asing di sebelahnya itu supaya berhenti menggebrak-gebrak sembarangan. Pesawat didesain untuk dirusak dari luar, bukan dari dalam! "Tempat ini penuh dengan alat-alat yang sensitif, oke?"
"Masa bodo! Gue mau keluar! Lo nggak denger perintah walikota kalau sebentar lagi kota ini harus dikosongkan? Lo nggak tahu gue siapa, hah? Gue ini Eren Jaeger, pewaris tunggal dari keluarga Jaeger, bapak gue dokter terpandang di kota ini! Kalau sampai gue nggak selamat, lo bisa dipidana dengan tuduhan penculikan!" cerocosnya tanpa titik tanpa koma, sembari menunjuk-nunjuk ke pemuda di sebelahnya yang bahkan tidak mengalihkan pandangan dari kaca depan. "Heh, dengerin kalau ada orang ngomong! Lo nggak percaya kalau gue bangsawan? Perlu gue bacain silsilah keluarga gue sampai nabi Ibrahim?"
"Iya, iya, terserah kau sajalah." Jean Kirschtein, sang pilot pesawat yang sudah mulai pening gara-gara omelan lima belas menit nonstop, memijit pangkal hidungnya sambal menghela nafas. "Tapi ada satu kesalahan dalam teorimu, bung: kurasa kita sama-sama tahu kalau kau yang pertama kali masuk ke jetku… jadi secara teknis itu bukan salahku."
Eren protes, tidak terima. "Lah, terus kenapa tadi lo bukain pintu? Emang gue kelihatan kayak orang bodoh yang mau bunuh diri dengan nantangin Titan?"
"Aku baru saja diberitahu kalau navigatorku mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju kemari. Kukira kau pilot pengganti dari markas!"
"Ya kenapa lo nggak bilang!?"
"Ya kenapa lo nggak nanya!" sentak Jean akhirnya, masa bodoh dengan aku-kamu yang berubah jadi lo-gue. "Dan kenapa lo make jaket Angkatan Udara bintang dua?! Mana gue berani nanya-nanya! Gue ini prajurit balok dua, masih baru lulus dari akademi dan langsung diturunin ke lapangan gara-gara keadaan darurat!"
"Ini punya sodara gue, kudaaaa!" Eren menunjukkan nametag bertuliskan ACKERMAN M. yang terbordir di jaket kulitnya. Dongkol setengah mati. Dan hari itu juga, Eren bersumpah dalam hati kalau kelak, seberapapun dinginnya udara musim gugur, dia tidak akan pernah lagi menerima pinjaman jaket dari seorang prajurit Angkatan Udara. Pantesan, tadi prajurit di depan langsung hormat dan melarikannya ke komplek militer begitu dia bertanya soal pesawat!
"Ya mana gue tahu!" elak Jean. "Terus salah siapa, hah? Tadinya gue kira lo malaikat penolong, eh ternyata tuyul rese! "
"Jadi salah gue? Salah bapak gue? Salah nenek moyang gue? Kalo mau salahin orang, nih salahin temen gue yang tulisannya kayak prasasti prasejarah!" Sambil mendengus, Eren menyorongkan secarik kertas berisi nomor pesawat ke Jean. Di sana tertulis SRD 9 S—kode dari pesawat Solaroid milik maskapai swasta, yang saat ini dialihfungsikan oleh pemerintah sebagai properti evakuasi bagi penduduk sipil untuk menghindari invasi Titan. "Gue tadi buru-buru, makanya jadi kebaca SR 095 dan gue dianter ke sini! Sekarang bukain, gue mau keluar!"
Jean menghela nafas. Berusaha menyabarkan diri, karena satu dari sepuluh aturan dasar menjadi pilot adalah tidak boleh terbawa emosi. Apalagi di tengah suasana yang kacau balau seperti sekarang ini, di mana semua orang bingung dan panik, dan semua jenis khilaf jadi hampir bisa ditoleransi. Tapi tetap saja, harus berapa kali dia menjelaskan ke pemuda songong di sampingnya ini bahwa aturan "tidak boleh berjalan di landasan" itu diciptakan karena ada alasannya? Dan kalau sampai bocah (yang katanya orang penting) ini kena angin turbin atau api mesin jet, siapa juga yang repot nantinya, coba?
"Ya nggak bisa sekarang lah. Lo nggak buta kan? Tuh lihat ke luar, pesawat sudah masuk jalur lepas landas!"
"Maksud lo!? Terus kapan? Emangnya pesawat ini mau terbang ke mana?"
Si penumpang kelihatan frustrasi. Tapi tidak lebih frustrasi dari si pilot sendiri, tentu saja, yang menyadari bahwa posisi navigator di pesawatnya sekarang digantikan oleh seorang pemuda tanggung entah dari mana yang mengaku-ngaku selevel dengan pangeran William.
"Base Edna."
"Bisa nggak jangan terlalu spesifik?"
"Alaska."
"WHAT."
"Alaska!"
Eren mengerang. Dia mungkin bukan tipe orang yang up-to-date soal berita, tapi rasa-rasanya cuma orang yang tinggal di bawah tempurung saja yang tidak tahu bahwa ada raksasa kanibal secara ajaib muncul di beberapa daerah. Dan Kanada adalah salah satunya, yang mana berbatasan langsung dengan Alaska. "Iya gue denger Alaska! Gue pernah dapet pelajaran geografi! Gue juga tahu di mana itu Alaska!"
Jean mengangkat bahu. "…Okay."
Sunyi sejenak ketika si penumpang asing menjambak rambutnya sendiri, kelihatan hampir menangis, kalau saja bukan karena kemarahannya lebih mendominasi. Jean bahkan sudah nyaris bersyukur, kalau saja sepuluh detik kemudian Eren tidak mulai mencerocos lagi. Yang sialnya, sekarang ditambah nada otoriter—lebih menyebalkan daripada suara instruktur yang melarangnya pergi ke kamar kecil di tengah latihan terbang. "Apanya yang okay, hah!? Pokoknya dengan semua kekuasaan yang gue punya, gue memerintahkan lo untuk putar arah ke Melbourne! Sekarang juga! Gue nggak mau tahu!" Eren menunjuk-nunjuk peta digital di salah satu layar. Jean menebak-nebak dalam hati apa pemuda itu sadar kalau yang ditunjuknya adalah Gurun Besar Victoria.
"Maaf maaf saja ya, tapi gue tidak sedang dalam posisi menerima perintah. Eh, kecuali kalau di jaket bintang dua itu ada nama lo."
Eren mendecih. "Sombong banget sih lo, baru juga jadi pilot doang. Emang digaji berapa sih lo buat terbang ke Alaska? Kalau nanti gue udah terima warisan dari kakek, gue bisa bayar dua kali lipatnya! Atau kalo perlu, gue beli pesawat lo sekalian!"
Jean memutar mata. Dosa apa sih dia ya Tuhan? Kenapa Marco yang baik hati harus ditukar dengan bocah kepala batu ini? tanyanya dalam hati. Sayang sekali bagian logistik tidak menyediakan lakban dan tali tambang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan semacam ini. Dan lumayan lama juga Jean meratapi nasib, sebelum akhirnya ia mencoba mengajukan win-win solution. Apa saja, asalkan orang ini bisa diam sepanjang perjalanan menuju Edna.
"Oke, begini saja, Eren. " Jean memasang gestur diplomasi terbaiknya. "Gue nggak mungkin nurunin lo di sini, karena semua pesawat sudah terlanjur masuk formasi. Kemungkinannya adalah lo ketabrak pesawat, atau gue dipecat. Jadi nggak ada pilihan selain lo ikut ke Alaska. Tapi tenang saja; dari sana, gue akan bantu lo nyari pesawat yang menuju ke Australia…."
Tapi bohong. Sebenarnya Jean malah cukup yakin kalau jurusan Alaska-Melbourne itu tidak eksis, karena dari Markas Besar, semua pesawat yang tergabung dalam misi ini akan diarahkan kembali ke wilayah Asia dan Amerika. Tapi ya sudahlah. Setidaknya dia bisa membuat bocah di sebelahnya berhenti protes untuk sementara—baru nanti sesampainya di Edna, Jean bisa mencari navigator baru dan meninggalkan Eren untuk merepotkan orang lain.
"B-benarkah?"
Jean mengangguk, berusaha mengabaikan lawan bicaranya yang memasang ekspresi wajah setengah-melas-setengah-tidak-terima. Tiba-tiba dia merasa jahat… tapi apa boleh buat. Dia tidak bisa mengandalkan autopilot terus. Bahkan fighter terbaik pun akan kerepotan kalau bertempur sendirian tanpa navigator, dan jelas tidak mungkin Jean memelencengkan jalurnya jauh-jauh ke Melbourne cuma untuk mengantar orang asing pulang ke rumah. Tolong dibedakan ya bung, mana yang prajurit Angkatan Udara dan mana yang tukang ojek!
Dan sementara pemuda di sebelahnya masih bersedekap sok-sok ngambek, Jean memilih untuk tidak ambil pusing. Jadi ia kembali menyibukkan dirinya dengan prosedur take off, membacakan laporan ke ATC. "Sirion nomor 09 supersonik, Pilot fighter Jean Kirschtein, Navigator Eren Jaguar, siap berangkat."
"Jaeger!"
"Untuk keamanan, silakan matikan semua perangkat seluler dan pakai sabuk pengaman. Helm, sarung tangan, kacamata, semua ada di bawah kursi."
Eren terkesiap. Kentara sekali kalau ia tidak menduga kalau Jean Kirschtein akan mengabaikannya, dan pesawat itu akan benar-benar lepas landas dalam keadaan ia masih ada di dalamnya.
"A-apa? Lo benar-benar mau berangkat!? Dengan gue masih di sini!?" protes Eren, lagi (meski akhirnya ia teergopoh-gopoh mengenakan helm juga, karena di saat yang sama, jet utama tiba-tiba menyala dengan suara super keras). Matanya membulat tidak percaya ketika Jean menjentik beberapa switch dan mengirim flight plan ke markas.
"Before takeoff checklist complete—lights, transponder, action to go."
Mesin mendadak berderum makin nyaring. Pesawat bergetar, lampu-lampu di panel kontrol berkedip. Eren yang makin panik melongok ke samping untuk melihat nametag si pilot berjaket cokelat. "Err, Jean... Kirschtein? Oke, Jean, gue nggak bermaksud mau mengganggu lo, sumpah, karena kalau lo terganggu trus pesawat ini jatuh, gue bakalan ikut mati." ujarnya, "Tapi satu pertanyaan, plis, coba tanya hati kecil lo… apa lo nggak kasihan ngelihat gue terpisah dari orangtua dan shabat-sahabat gue…?"
Dan jangan tanya lagi bagaimana ekspresi si pemuda berambut cokelat, ketika sang pilot kemudian dengan tegas membacakan laporan penerbangan ke mikrofon: "Sirion 09S kepada Base Novus. Regu penyerang C, formasi finger four, lepas landas dari Albany, New York, via jet route 37, menuju ke Alaska."
Tapi bagaimanapun Jean berusaha supaya nada bicaranya tetap kasual (hal terakhir yang dibutuhkannya saat ini adalah seorang pemuda yang berteriak-teriak panik di pesawat, terima kasih), tetap saja. Eren melongo, lalu menatap panel kontrol yang berkedip-kedip di hadapannya dengan ngeri, lalu memandang ke jalur landasan lewat kaca depan… lalu balik menatap Jean dengan ekspresi tidak terdefinisi.
Hitung mundur dari hanggar menggaung sampai ke dalam pesawat. Bunyi mesin terdengar nyaring karena di saat yang bersamaan, pesawat-pesawat lain dalam formasi juga sedang mengambil jarak start untuk take-off. Eren mencengkeram kursinya kuat-kuat. Lalu ketika suara artifisial mencapai angka satu dan menggantikan nol dengan bunyi dentuman yang menggema sampai ke jantung, Eren menahan nafas.
Pesawat pun melaju sepanjang landasan dengan akselerasi mengagumkan.
"J-jadi… lo serius ketika bilang... ini bukan pesawat evakuasi VVIP…?" Ujung landasan terlihat. Suara Eren bergetar ketika ia berteriak, berusaha mengalahkan deru mesin. "Yang bertugas mengamankan orang-orang penting dari serangan Titan…?"
Dan bersamaan dengan tuas kemudi yang ditarik oleh sang pilot, pesawat mendadak mengudara dengan kemiringan hampir tiga puluh derajat ke belakang.
"Tentu saja bukan. Ini pesawat tempur!"
.
.
.
.
.
Eren merasakan kepalanya pusing ketika ia membuka mata. Otaknya serasa habis dikocok-kocok, dan entah kenapa perutnya mual.
"Hei. Lo sudah sadar?"
Suara lembut mengalun dari sebelah kanannya. Eren tidak ingat apa-apa, dan dia baru saja mau bertanya 'Di mana aku? Siapa kamu? Siapa aku?' ketika kemudian lobus oksipitalnya berfungsi lagi dan warna biru terhampar di depan matanya. Ia melihat awan-awan putih sejauh mata memandang. Ah, indah sekali….
Eh, eh. Tunggu sebentar.
"Gue kira tadi lo mati, hahaha. Cemen ah. Baru selisih tekanan berapa atm aja udah pingsan."
Eren mengerjap. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya ia betul-betul sadar—dan kontan terbelalak ketika mengenali siapa yang berbicara. "E-ELO!?"
"EH APAAN SIH TERIAK-TERIAK! MIKROFON LO LANGSUNG NYAMBUNG KE TELINGA GUE, TUYUL!"
"Gue mimpi diculik naik pesawat sama manusia berwajah kuda! Eh ternyata gue belum bangun!" Eren panik. Berusaha mencubit wajahnya tapi dia lupa kalau pakai helm. Lalu makin histeris ketika ia melirik display status dan menyadari seberapa cepat pesawatnya melaju. Alhasil, Jean yang tadinya sudah cukup kalem selama 10 menit ketenangan, jadi mencak-mencak lagi. Dasar nggak tahu terima kasih! Tahu gitu tadi gue tinggalin aja di New York biar jadi cemilan Titan!
"Eh asal lo tahu aja ya... kita sekarang berada di koordinat 22 N-143 W Samudra Pasifik..." Sampai sini, Jean yang asalnya memang punya toleransi rendah terhadap gangguan pun mendorong sebuah tuas di sisi kirinya. Kokpit berdengung sejenak sebelum kanopi logam di bagian atap pesawat terbuka. "...di mana kapal USS Gudgeon yang beratnya 4000 metrik ton bisa hilang dan sampai sekarang nggak pernah ditemukan. Apalagi kalau cuma elo yang tingginya bahkan nggak sampai dua meter."
Eren refleks menggenggam dudukan kursinya erat-erat.
"Jean, bercandaan lo nggak lucu tahu nggak. Tutup lagi atapnya sekarang atau—"
"Sekarang di atas kita tinggal kaca khusus, yang dirancang untuk pecah kalau penumpangnya diluncurkan ke atas dengan kursi pelontar."
Klik. Sesuatu di bagian bawah pesawat berbunyi. Eren tidak tahu apa, tapi itu membuat bulu kuduknya langsung berdiri dalam sepersekian detik.
"Lima… empat… "
"ALAMAKJANGG OI LO SERIUS MAU BUNUH GUE? TES MASUK ANGKATAN UDARA JAMAN SEKARANG NGGAK ADA TES KEJIWAANNYA YA?"
"Tiga… dua…"
"WHOAAAAH! SOS SOS TOLONG MARKAS TOLOOONG ADA PSIKOPAT DI PESAWAT SIRION 95! SOS SOS!"
"Minta maaf nggak ke gue."
"AMPUN AMPUNNNN IYA GUE DIEM JEAN GUE DIEM! JANJI KALO GUE GERECOKIN LO LAGI BIBIR GUE SARIAWAN LIMA TAHUN KE DEPAN!"
Sampai sini, baru Jean menghela nafas dan menekan tombol cancel. Sekarang dia positif yakin, kalau si Eren ini Cuma bocah ababil yang gampang digertak. Dan dia juga tidak tahu apa-apa tentang pesawat, buktinya dia bahkan tidak tahu kalau tuas pelontar ada di bawah kursinya sendiri. Tadinya sih dia berniat mau lanjut sampai detik terakhir untuk efek maksimal, tapi pemuda kecil di kursi navigator ini kayaknya bakal mati duluan kena serangan jantung.
"Nah, gitu dong. Mending lo diem, kan ganteng. Daripada capek histeris kayak tadi."
Di kursinya, Eren Jaeger masih pucat pasi. Matanya menatap kanopi logam yang bergerak menutup kembali atap pesawat. Tapi entah bagaimana, bahkan setelah diancam sedemikian rupa, pemuda itu tidak bisa benar-benar diam untuk waktu lama. Membuat Jean jadi kangen pada Marco, teman sekokpit-nya yang dulu.
"B-bentar, bentar. Tadi lo bilang… ini pesawat tempur, kan? Berarti... yang gue dudukin ini bukannya kursi co-pilot atau semacamnya? Bukan kursi penumpang?"
"Yang jelas, bukan kursi VVIP," jawab Jean setengah hati, tanpa mengalihkan pandangan dari layar radar. "Tapi ya, bisa dibilang begitu. Navigator, sih, lebih tepatnya."
"Navigator? Apa tugasnya?"
"Navigasi, tentu saja. Mengendalikan arah pesawat." Jean menunjuk ke panel kontrol di depan Eren dengan dagunya, seakan-akan itu pertanyaan paling konyol yang pernah dia dengar. "Menurut lo kenapa layar tampilan GPS ada di situ?"
Eren panik. "Hah? B-bukannya itu tugas pilot!? Terus lo ngapain? Lo bukan pilot? Terus pesawat ini dikendalikan siapa dong? Jean jangan bercanda plis, gue nyetir mobil aja masih nabrak pohon gimana nerbangin pesawat!"
"…Ya sudah."
"Maksud lo 'ya sudah' itu 'ya sudah lo ongkang-ongkang kaki aja di situ, nikmatin perjalanan', atau 'ya sudah ayo kita mati bareng-bareng', hah!?" sembur Eren, " Oh iya, lo kan masih baru lulus akademi ya? Aduh mampus, mending kalau tadi gue nyasar ke pesawat Mikasa. Ini gue nyasar ke pesawat prajurit amatir!"
"Eh gue masuk peringkat lima besar kali!"
"Ya Tuhan jika umur hamba memang cuma sampai di sini, ampunilah dosa-dosa hamba, terumalah hamba di sisi-Mu—"
"KAMBAS LO NGEJEK GUE YA—"
"—TAPI KALAU HAMBA HARUS MATI DAN ORANG DI SAMPING HAMBA TETAP HIDUP, IZINKAN HAMBA MENGHANTUINYA SEUMUR HIDUP YA TUHAN— "
"GILA!"
"LO YANG GILA! UDAH TAHU MASIH PUPUK BAWANG, MALAH SOK-SOKAN BERANGKAT SENDIRI!"
"GUE NGGAK BAKAL SENDIRI KALAU LO NGGAK SEMBARANGAN NAIK KE PESAWAT GUE!"
"GUE NGGAK BAKAL NAIK KALAU LO NGGAK SENDIRIAN DI KOKPIT!"
"HARUS GITU YA TERIAK-TERIAK! BERISIK!"
"LAH KAN ELO YANG DULUAN TERIAK!"
Satu pilot junior yang tidak mau kalah, plus satu penumpang ilegal keras kepala; pasangan yang tidak kompatibel memang untuk ukuran pilot Sirion. Suasana pun makin panas. Jean dan Eren terus saja berdebat soal siapa yang lebih salah. Sampai kemudian tiba-tiba saja bunyi bip nyaring terdengar dari panel komunikasi, memutus pertengkaran-volume-tinggi mereka.
Focus Jean langsung kembali ke depan. Layar menampilkan ada panggilan darurat dari Base Edna; pangkalan tempat mereka akan mendarat. Pemuda itu pun tergopoh-gopoh kembali ke perangkatnya untuk menjawab. Dan Eren berani taruhan, siapapun yang melihat cara pemuda itu menangani panggilan barusan, pasti akan tahu kalau dia masih belum begitu berpengalaman.
Kemudian, kokpit sunyi untuk beberapa saat—bahkan Eren tahu lebih baik daripada menyela pembicaraan Jean dengan lelaki entah siapa di seberang sana. Well, sebenarnya tidak bisa dibilang pembicaraan, sih—karena kelihatannya Jean hanya diam saja mendengarkan. Wajahnya serius. Mungkin dia menerima perintah.
"A-apa? Tapi, Sir Levi, saya tidak punya navigator! Bagaimana bisa—"
Dan kalau saat itu ada yang lebih membuat Eren khawatir daripada diterbangkan sekian ribu kaki di udara dengan pesawat tempur… adalah ekspresi Jean Kirschtein.
Bulir keringat menetes dari pelipisnya. Pemuda itu menelan ludah. Di sela-sela pembicaraan, ia melirik ke arah Eren sekilas, lalu menekan sebuah tombol kecil di depannya—yang membuat Eren mendadak tidak bisa mendengar apa-apa dari mic pemuda itu. Jean berbicara lagi. Lalu mendengarkan lebih lama. Bicara terbata-bata. Kemudian diam lagi dengan bibir terkatup rapat.
Dan akhirnya, pembicaraan selesai setelah Jean merespon dengan "Yes, Sir!" yang tidak bisa didengar Eren. Saat itulah, entah bagaimana pemuda berambut cokelat itu yakin sesuatu yang buruk akan terjadi.
Eren menjulurkan badannya, menekan tombol yang tadi dimatikan Jean. Lampunya menyala merah lagi. Membuat fasilitas itu jadi fitur pertama yang Eren ketahui fungsinya, dari sekian ratus tombol yang berderet di sepanjang sisi kokpit. Tombol merah kecil, untuk memutus komunikasi sesama pilot. Yah, lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali, kan? Mungkin ia bisa memamerkannya ke Armin kalau nanti dia kembali.
"…Hei," sapanya.
Jean Kirschtein diam.
"Ada apa? Apa kata Alaska?"
Jean menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya. Suaranya pelan ketika ia bicara, sama sekali berbeda dengan pemuda yang duduk di tempat yang sama lima menit yang lalu. "Titan sudah melewati perbatasan Kanada. Base Edna diserang. Kita tidak bisa mendarat sebelum membersihkan landasan."
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
P.S.: Karena tiba-tiba pengen nulis Eren sama Jean berantem aja…. #jahat